Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ruby Friendly
Abstrak :
Pada prinsipnya Pelarangan PNS untuk berserikat dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok Kepegawaian esensinya telah menghilangkan hak asasi PNS, dan HAM yang dijamin dalam dalam UUD 1945, DUHAM, ICCPR, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Penulisan dilakukan dengan metode penelitian kualitatif, yaitu mendiskripsikan fenomena pengurangan HAM PNS di bidang politik melalui pencarian/penelusuran data primer dengan cara melakukan penelitian lapangan bertemu dengan narasumber/inforrnan melalui wawancara dan memberikan kuesioner yang dimulai dari bulan April hingga pertengahan Juni 2007. Latar belakang responden yang diteliti memiliki berbagai macam latar belakang, seperti latar belakang profesi, yaitu pegawai negeri sipil dari anggota partai politik yang juga sebagai anggota DPR, sedangkan latar belakang responden mulai dari tamatan Sekolah Menengah Umum (SMU), Sarjana (SI), Magister (S2), Doktor (S3), dan guru besar (Profesor), dan juga latar belakang di PNS mulai dari staf, eselon IV, eselon III, eselon, R, dan eselon I. Disamping data primer, penulis juga menelusuri data sekunder berupa studi dokumentasi kepustakaan berupa landasan konsep dan teoritikal, kepustakaan buku-buku tentang HAM, peraturan perundang-undangan, data tersebut ditambah dengan penelusuran melalui media massa, baik cetak maupun elektronik (kliping Koran/majalah/tabloid, penelusuran internet. Pelarangan hak berserikat, yaitu masuk menjadi anggota/pengurus partai politik, bagi PNS berarti telah menghapuskan HAM PNS yang telah jelas dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Kovenan Hak Sipil dan Politik (telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU), dan UU Tentang Partai Politik. Oleh karena itu, Hak berserikat bagi PNS harus segera dipulihkan, karena hak berserikat dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, dalam berbagai produk perundang-undangan mengenai HAM (lokal dan intemasional), dari dalam UU Partai Politik. Selain itu juga, perlu dibentuk peraturan yang dapat memberikan batasan yang jelas dan tegas yang mengatur bagi PNS yang masuk menjadi anggota/pengurus partai politik. ...... In principle, the prohibition for civil servant to become member/administrator of political parties has eliminated the Civil Servant rights, and human rights that has guarantee in Indonesian Constitution UUD 1945, Universal Declaration of Human Rights, Law Number 12 Year 2005 on Ratification ICCPR, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, and Law Number 31 Year 2002 on Political Parties. Writing Methods by implementing qualitative research, which is describing the phenomenon of reducing the Civil Servants political rights through searching/exploring primary data by doing field research to see some informers by interviewing and giving questioners, which executed from April to mid of June 2007. The respondent backgrounds are from various professions such as Civil Servants who works at Department of Law and Human Rights, Department of Domestic Affairs, and National Employment Agency, also member of political parties and Parliament, while the education of respondents are High School graduates, Bachelors degree, Masters degree, Doctoral degree, and Professors. The position of respondents who work as civil servants are staff, echelon IV, echelon III, echelon II and echelon I. In addition to primary data, the author also searches secondary data by documentation studies such as conceptual and theoretical basis, Iiterature on human rights studies, laws, also added by searching mass media, printed and electronic (paper clipping/magazine/weekly papers, internet exploring). The prohibition to civil servants to join becoming member/administrator of political parties, means the prohibition has deleted the civil servants right which is guaranteed in Indonesian Constitution UUD 1945, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, Covenant of civil and political rights (has been ratified to Law), and Law on Political Parties. That's why, the right to join organization to civil servants should be regained, because such right is guaranteed and protected in UUD 1945, in various of law products concerning human rights (national and international), and law on Political Parties. Besides, regulations should be made to form clear and strict boundaries for ruling the civil servants who become member/administrator of political parties.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Nursiawaty
Abstrak :
Tesis ini membahas pencitraan pegawai negeri sipil (PNS) era reformasi, sebagaimana tercermin dalam buku Catatan Parno PNS Gila (2011) karya Yulius Haflan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan cultural studies dengan menerapkan strategi trans-coding sebagai salah satu mekanisme representasi untuk menganalisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks masuk ke dalam sistem representasi citra PNS dominan dan mengalami perubahan dan perluasan dimensi sehingga membentuk makna dan citra baru. Pencitraan PNS dalam teks masih membawa citra yang sudah populer di masyarakat namun juga membentuk citra baru. Citra populer yang masih ditampilkan, yaitu: patuh, berdedikasi, gaji kecil, dan budaya kerja yang buruk. Citra yang baru meliputi gigih dan gagap teknologi. Pencitraan tersebut disampaikan dalam bahasa yang komunikatif dan penuh humor, yang merupakan cara efektif untuk memberikan pemahaman sekaligus menghibur pembaca. ...... This thesis focused on the image of civil servants in reform era, as reflected in the book of Catatan Parno PNS Gila (2011) written by Yulius Haflan. This research is based on a qualitative research, using the cultural studies approach and applying the trans-coding strategies, as one of the representation mechanisms, to analyze texts. The result of the research shows that the text entered the representation system of dominant image of the civil servants and makes changes and expansion of dimensions so that it constructs new meanings and images. The images of civil servants in the text still carry the public's popular images but at the same time it also constructs several new images. The popular images that still exist consist of obedient, dedicated, civil servant with low income and low performance work culture, while the new images include persistent attitude and technology illiterate. Those images are delivered in a communicative and humorous way, an effective way to convey ideas and to entertain the readers.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T43575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Asmono
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai Kewajiban Pemberhentian Sementara Terhadap Pengangkatan Komisioner dan Anggota Lembaga Non Struktural Yang Berstatus Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, dikaitkan dengan mekanisme pengisian jabatan Komisioner Dan Anggota Lembaga Non Struktural. Dalam pengisian jabatan tersebut terdapat mekanisme yang berbeda antara komisioner atau anggota yang mewakili Pemerintah atau yang biasa disebut dalam peraturan perundangan-undangan sebagai Unsur Pemerintah dengan komisioner atau anggota yang melalui seleksi terbuka atau yang biasa disebut dalam peraturan perundangan-undangan sebagai Unsur Masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kewajiban pemberhentian sementara yang diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara maupun Peraturan Pemerintah mengenai Dipilin PNS, tidak serta mengikat seluruh PNS yang diangkat sebagai Komisioner dan Anggota Lembaga Non Struktural. Disisi lain, aturan mengenai kewajiban pemberhentian sementara PNS dimaksud belum diatur mengenai sanksi bagi pihak terkait apabila kewajiban pemberhentian sementara PNS dilaksanakan saat semua persyaratan pemberhentian sementara PNS tersebut telah memenuhi syarat. ......This thesis discusses the Temporary Suspension Obligation for the Appointment of Commissioners and Members of Non-Structural Institutions with the Status of Civil Servants as stipulated in Law Number 5 of 2014 concerning the State Civil Apparatus, associated with the mechanism for filling the positions of Commissioners and Members of Non-Structural Institutions. In filling the position, there is a different mechanism between commissioners or members representing the Government or commonly referred to in laws and regulations as Government Elements and commissioners or members who go through open selection or commonly referred to in laws and regulations as Community Elements. Based on the results of the study, it was concluded that the temporary suspension obligation stipulated in the State Civil Apparatus Law and Government Regulations regarding the Election of Civil Servants, does not and binds all civil servants appointed as Commissioners and Members of Non-Structural Institutions. On the other hand, the rules regarding the obligation to suspend the civil servant have not been regulated regarding sanctions for related parties if the obligation to suspend the civil servant is implemented when all the conditions for the suspension of the civil servant have met the requirements.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roberia
Abstrak :
Tuntutan kesempurnaan Pegawai Negeri selaku aparatur negara yang memegan peranan penting dalam kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangatlah tinggi. Sementara itu, sistim penghargaan sebagai balasan atas jasa yang telah dicurahkan dengan sepenuh jiwa dan raga oleh Pegawai Negeri kepada negara diselenggarakan dengan tidak berdasarkan pada kinerja (merit system) dan sangat terkesan serta populer dengan plesetan PGPS (?pintar goblok penghasilan sama?). Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan program reformasi birokrasi yang diantaranya termasuk penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri. Kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat mulai diberlakukan bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan pada 1 Juli 2007 dan secara terbatas dan bertahap dilanjutkan penerapannya pada beberapa kementerian/lembaga. Penerapan perbaikan sistim remunerasi yang terbatas dan bertahap itu tentu telah menimbulkan diskriminasi karena tidak adanya keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagiPegawai Negeri secara keseluruhan. Di samping persoalan keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi itu, juga terdapat berbagai kelemahan yuridis dalam pelaksanaan penerapan kebijakan tersebut. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana ketaatan asas hukum dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam konteks sebagai negara yang memproklamirkan dirinya Negara Hukum. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis. Mengingat topik penelitian ini terkait dengan remunerasi yang dianalisis secara yuridis, maka landasan teori didasarkan pada kerangka pemikiran hierarki kebutuhan dan keadilan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki sistim remunerasi itu haruslah mampu memberikan dan menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan dan layak masih belum terwujud dengan baik. Kedua, peraturan perundang-undang yang mengatur sistim remunerasi tidak menegaskan aturan sistim remunerasi yang berbasis kinerja. Ketiga, rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan perbaikan sistim remunerasi tersebut adalah tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk reformasi sistim remunerasi adalah dengan membuat Undang-Undang tentang Kepegawaian yang baru yang sunguh-sunguh merumuskan amanat konstitusi dan menggantikan Undang-Undang tentang Kepegawaian yang saat ini berlaku. ...... Civil servants, as a state apparatus have a big and an important role in the smooth organization and tasks of the government and national development. Their performance is claimed very high. Meanwhile, the award system as a reward for services rendered have been torrentialwith full life and wholeheartedly by them with no organized based onperformance (merit system) and are very impressed with the popular and the term ?PGPS? ( ?Pintar Goblok Penghasilan Sama? or "wise fool of the same"). To solve the problem, Indonesian government has been trying to reform the remuneration system. Since July 1 2007, Department of Finance of Republic of Indonesia has started to introduce a new remuneration system for its officials. The new remuneration system has implemented by limited and gradually in several ministries / agencies. The limited application of a new remuneration system has been caused discrimination due to the absence of justice in the implementation of policy for overall civil servants. In addition to the issue of fairness/justice in the implementation of the policy, there are many weaknesses in the implementation of the juridical application of these policy. This research tries to observe whether the new remuneration system for civil servants is well obeyed in accordance with law because of Indonesia as a country proclaiming itself as the Rule of Law or Rechtsstaat. This research is based on juridicalnormative, with the secondary data analysis and with the method of data processing and analysis by qualitative and descriptive-analytical and prescriptiveanalytical. Given the topic of this research related to the remuneration of the juridical analyzed, the theoretical foundation or framework of thought is based on the hierarchy of needs and theory of justice. This research produced some findings. First, the mandate of the Constitution require the remuneration system should be able to provide and create the prosperity which is proper and justice has not been realized well. Second, the regulations which set the remuneration system does not assert that the rules-based remuneration system performance. Third, the formulation of norms and norm validity of regulations made as a legal basis of the policy about reformation of the remuneration system is not compliance the principles of law and it can be said is invalid. Therefore, in order ius constituendum, there is no way that should be done to reform the system of remuneration is to make a new Act on civil servant or officialdom Act (Undang- Undang Kepegawaian) that compliance to constitution and replacing the old Act.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26194
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN, 2004
352.63 BAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Birokrasi merupakan tata kerja pemerintahan yang bersifat hierarki, agar tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Sebagai upaya perwujudan yang efektif dan efisien, mengatur hal dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun puda banyak sistem birokrasi di Indonesia masih belum mendapat kepercayaan. Birokrasi yang seharusnya dapat melayani publik dengan baik demi tercapainya tujuan bersama, menjadi suatu hal yang belum terlaksana secara maksimal. Hal ini diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan oleh Political and Earnomic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010. Survei tersehut menyimpulkan bahwa, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara yang memiliki sistem birokrasi terburuk di Asia (Nedirika, Tempo.co akses 18 September 2013). Tidak jarang orang berpendapat bahwa sistem birokrasi Indonesia dianggap terlalu rumit dan bertele-tele. Oleh karena itu, tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sangat rawan terjadi dalam birokrasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat, menyederhanakan bahkan memanipulasi proses birokrasi di Indonesia. Sebuah studi pernah dilakukan oleh lvan lllich dan Billy Sander (dalam Said, 2009: 36) di Amerika, mengenai pandangan mahasisau llmu Politik yang memberikan penilaian terhadap birokrasi. Berdasarkan studi tersehut birokrasi dengan mahasiswa mengidentikkan diperoleh bahwa sebagian besar praktik korupsi. Padahal, pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya telah menyediakan payung hukum untuk meminimalisir praktik KKN. TAP MPR RI 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999. Semua peraturan tersebut melindungi birokrasi sebagai tombak terdepan dalam pelayanan masyarakat. Namun kenyataan dilapangan belum dapat terealisasikan dengan baik. Apabila ini dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pelaksana birokrasi di Indonesia dan bagi masyarakat sendiri. Praktik KKN ini secara tidak langsung akan memberikan labeling atau kesan yang buruk terhadap birokrasi di Indonesia. Tidak semua pelaksana birokrasi melakukan praktik KKN. Inilah yang akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dampak yang lebih buruk, praktik KKN dalam birokrasi dapat merubah sistem birokrasi itu sendiri menjadi lebih buruk. Sehingga masyarakat yang mengikuti proses birokrasi sesuai prosedur merasa dirugikan. Pada teori yang dipaparkan Thoha (1991), perilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Sehingga, individu disini merupakan aspek penting dalam efektifnya sistem birokrasi. Mengingat buruknya pencitraan masyarakat terhadap birokasi layanan publik, seorang pelayan publik seharusnya memilki motivasi pengelolahan kesan yang ditanamkan pada masyarakat agar dapat mengubah persepsi tersebut. Sebagaimana Teori Brigham (1991) motivasi mengelola kesan menggambarkan bagaimana motivasi yang dimiliki sesoprang untuk menciptakan kesan tertentu dalam fikiran orang lain sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1973), individu dapat mengalami disonansi kognitif. Hal ini terlihat ketika seseorang memiliki dua kognisi (ide-ide dan pikiran) secara stimulann dam saling berkontradiksi. Ketika hal ini terjadi, maka individu tersebut akan mengalami ketegangan psikologis yang akan mendorong seseorang mengurangi desonansi tersebut. Karya tulis ini bersifat memaparkan kondisi birokrasi di Indonesia. Selain itu, karya tulis ini memberikan solusi alternatif dengan adanya salam wajib yang harus diucapkan oleh pelayan birokrasi memperhitungkan pemahaman psikologis pada birokrat dan pencitraan lebih baik dari masyarakat. Adapun sumber data yang kami peroleh deras dari media massa seperti media massa cetak, media online, sumber dari makalah dan jurnal, serta buku penunjang kajian pustaka yang mempertimbangan solusi alternatif kami wajib Saya Anti Korupsi yang diucapkan pada setiap salam dapat menjadi salah satu cara sederhana yang dapat mengurangi praktik KKN dalam sistem birokrasi Indonesia. Salam ini diucapkan khususnya pada saat melayani publik secara langsung. Seperti, "selamat pagi. Saya Rudi, Polisi anti korupsi. Ada yang bisa saya bantu?"
JPAN 4:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alosios Gorby
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang desain pengembangan SDM PNS di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini bermula dari masalah kualitas SDMyang berdampak pada kinerja PNS. Pengembangan SDM telah dilaksanakan meliputi Pelatihan dan Pengembangan serta Pengembangan Karir oleh Setdaprov melalui setiap unit. Tujuan dari penelitian iniuntuk mengetahui bagaimana model yang diimplementasikan bagi pengembangan SDM PNS di Instansi Setdaprov Kalteng. Penelitian ini adalah penelitian Pos-Positivis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme yang dijalankan tidak dikoordinasikan secara terintegrasi. Setiap PNS dan unit kerja menentukan sendiri kebutuhan peningkatan SDM, disamping kebijakan yang masih terpusat pada pimpinan untuk menyeleksi, menugaskan, dan mengevaluasi.
ABSTRACT
This thesis discusses Human Resources Development Design Of Civil Servant In Central Borneo Provinsi Secretariat. The research started from the quality of human resurces issues that impact on the performance of civil servants. Human Resources Development have been implemented include the training and development and career development by setdaprov through each unit. The aim of this research is to determine how the designl is implemented for the development of the human resources development in the Central Borneo Province Secretariat Institution. This research is Post Positivist study. The result of this study indicates that the mechanism that runs not coordinated in an integrated system. Every civil servant, work unit defines their own needs of human resources development, in addition to the policy that still centered on the leadership for selecting, assigning, and evaluating
2017
T47388
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Masdiana
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini meneliti bagaimana urgensi netralitas PNS dalam pilkada untuk mewujudkan AUPB, dan melihat bagaimana permasalahan penerapan netralitas PNS dalam beberapa pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwasanya Pilkada di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu kebelakang masih diwarnai dengan beberapa permasalahan dan sengketa pasca pilkada dilaksanakan, hal tersebut dilatarbelakangi berbagai hal dan yang spesifik berkaitan dengan penelitian ini adalah pelanggaran terhadap netralitas PNS dalam pelaksanaan Pilkada. Pada hasil penelitian, terlihat dengan jelas bahwa netralitas PNS dalam pelaksanaan Pilkada merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini termaktub dengan jelas dalam berbagai aturan yang mengatur secara rinci tentang PNS, antara lain dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dimana PNS harus bebas dari pengaruh golongan maupun parpol, dan netralitas merupakan amanat yang ada didalam Asas Manajemen ASN. Selanjutnya Netralitas PNS sangat erat kaitannya dalam mewujudkan AUPB, dimana didalam UU ASN telah disebutkan bahwa PNS harus netral, dan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik melalui AUPB, diatur bahwa PNS harus netral dan tidak boleh berpihak sehingga dengan pelaksanaan netralitas PNS dapat mewujudkan pelaksanaan AUPB. Selanjutnya mengenai pelanggaran netralitas PNS diatur sanksi hukuman sedang dan berat sebagaimana diatur dalam Disiplin PNS PP No. 53 Tahun 2010, dimana ancaman terberat PNS dapat diberhentikan dengan tidak hormat atas pelanggaran yang telah dilakukan. Pelanggaran netralitas PNS di daerah marak diwarnai modus, antara lain Mobilisasi PNS, Mutasi PNS, Penyalahgunaan Anggaran, serta intimidasi PNS. Pada akhirnya pasca dikeluarkannya UU ASN pengawasan netralitas ASN menjadi tugas Komisi Aparatur SIpil Negara (KASN), dengan tugas yang demikian besar, KASN masih memiliki keterbatasan dibidang kewenangan, SDM dan anggaran. Sehingga kedepannya untuk meningkatkan pengawasan netralitas PNS diperlukan penguatan KASN dari berbagai aspek tersebut, kemudian perlu diadakannya sosialiasi secara komprehensif kepada PNS di seluruh daerah untuk melakukan prevensi terhadap berbagai pelanggaran netralitas PNS, dan terakhir perlu kiranya memanfaatkan teknologi informasi untuk membuka pengawasan masyarakat terhadap PNS melalui pengaduan langsung dengan sistem informasi, sehingga dapat mewujudkan pengawasan netralitas PNS secara efektif.
ABSTRACT
This research examines how urgency of civil servant neutrality in elections to realize AUPB, and to see how the problem of civil servant neutrality implementation in some implementation of Election of Regional Head (Pilkada). Based on the results of the research, it appears that elections in various regions in Indonesia some time back are still colored by several problems and post election disputes implemented, it is motivated by various things and specific related to this research is a violation of the neutrality of civil servants in the implementation of elections. In the research results, it is clear that the neutrality of civil servants in the implementation of Pilkada is a very important thing, it is clearly stated in the various rules that regulate in detail about civil servants, among others, in Law no. 5 Year 2014 on ASN where civil servants should be free from the influence of groups and political parties, and neutrality is a mandate that exists within the ASN Management Principles. Furthermore, the neutrality of civil servants is closely related to the realization of AUPB, where in the ASN Act has been mentioned that the civil servants should be neutral, and to realize good governance through AUPB, regulated that the civil servants should be neutral and should not take sides so with the implementation of the neutrality of civil servants can realize the implementation of AUPB . Furthermore, regarding the violation of the neutrality of civil servants are sanctioned by medium and heavy punishment as stipulated in the Civil Government Regulation PP. 53 of 2010, where the heaviest threat of civil servants may be dismissed with disrespect for the offenses committed. Violations of the neutrality of civil servants in rampant areas are colored by modes, including Mobilization of Civil Servants, Mutation of Civil Servants, Budget Abuse, and civil servants intimidation. In the end, after the issuance of ASN Law, the control of ASN neutrality becomes the task of the State Apparatus Force (KASN), with such a large task, KASN still has limited authority, human resources and budget. So in the future to improve the supervision of the neutrality of civil servants is needed strengthening KASN from various aspects, then need comprehensive socialization to civil servants across the region to prevent the prevention of various violations of the neutrality of civil servants, and lastly need to use information technology to open the public surveillance of civil servants through a complaint directly with the information system, so as to realize the supervision of the neutrality of civil servants effectively.
2017
T49042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ulumy
Abstrak :

Pengelolaan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) berbasis digital menjadi salah satu bentuk penyesuaian organisasi birokrasi terhadap kemajuan teknologi dan tuntutan reformasi birokrasi. BKKBN membuat sistem penilaian kinerja pegawai berbasis aplikasi yang disebut SIVIKA (Sistem Informasi Visum Kinerja) bagi ASN yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Adanya inovasi menuntut perubahan perilaku bagi adopternya yaitu PNS BKKBN.oleh karena itu, BKKBN sebagai organisasi harus mampu, bukan hanya menyebarluaskan namun menyebarserapkan (difusi) inovasi tersebut. Metode penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan wawancara dan studi dokumentasi. Proses difusi inovasi pada organisasi birokrasi memerlukan kebijakan khusus (enforcement) agar para adopternya mengadopsi inovasi tersebut. Kebijakan khusus dalam penelitian ini adalah Peraturan Kepala BKKBN yang menjelaskan mekanisme pengisian Aplikasi SIVIKA dan mekanisme penghitungan besaran tunjangan kinerja, serta sanksi yang diberikan jika tidak mengisi Aplikasi SIVIKA. Mekanisme sanksi dan insentif berkaitan dengan besarnya remunerasi/tunjangan kinerja yang diterima memaksa adopternya untuk mengadopsi inovasi. Saluran komunikasi dan sosialisasi dalam proses difusi inovasi organisasi tidak hanya menggunakan jalur formal, namun juga memanfaatkan sarana-sarana informal yang dimiliki organisasi. Bentuk compliance dapat berupa aturan formal mengenai ketentuan pengisian Aplikasi SIVIKA, namun dapat pula berbentuk informal berupa kesepakatan tidak tertulis sebagai hasil dari negosiasi antara individu sebagai adopter dengan unit kerja sebagai pengelola aplikasi.


Digital management of civil servants is one form of bureaucracy adaptations to technology advances and bureaucratic reforms. BKKBN creates an application performance assessment system called SIVIKA (Sistem Informasi Visum Kinerja/Performance Journal Informations System). The innovation makes behavior change of adopters, those are all civil servants in BKKBN because they have to report all daily activities by application SIVIKA. Therefore, BKKBN as an organization, not only dissemination but also diffusion of innovation. This is a qualitative research, so the primary datas come from interview and documents study. Diffusion innovation in organization needs enforcement policy to push the adopters. The enforcement policy from internal regulation which have contents about how to operate the application, remunerations percentage, and sanction/penalties if civil servants not use the application for reporting daily activities. Those rewards&punishment system enforce the adopters. Communications channel in this diffusion process, not only using formal, but also informal. Formal communications by informations letter, socialization of regulations, and training. Regulations can be seen as formal compliance, whereas negotiations as informal compliance. 

2019
T53185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>