Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Mardiana
Abstrak :
Pemerintah merupakan pihak yang paling berkuasa di dalam memutuskan suatu kebijakan pembangunan. Akan tetapi proses penerbitan kebijakan tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan birokrasi pemerintah, sebab terbitnya sebuah kebijakan banyak dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam komunitas kebijakan. Relasi sosial, kekuasaan dan uang merupakan hal-hal yang dipandang panting dan memberi pengaruh besar terhadap proses terbitnya kebijakan. Tesis ini akan menganalisiskasus kebijakan pelepasan pengembangan tanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Kajian ini menggunakan pendekatan antropologi kebijakan, yakni memandang keterkaitan antara norma dan institusi, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kekuasaan, retorika dan wacana, serta makna dan interpretasi, dimana semua itu dipengaruhi oleh konteks lokal, nasional hingga global. Dalam kajian ini banyak menampilkan inspirasi dari pemikiran Foucault tentang kekuasaan yang berkaitan dengan pemberdayaan dan kebijakan. Relasi sosial dibangun oleh para pihak berkepentingan atas dasar adanya kesamaan mulai dari pemikiran, ideologi, tujuan dan kepentingan. Selanjutnya pihak berkepentingan dalam relasi sosial itu membentuk komunitas kebijakan, yakni para pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan. Pada dasamya para pihak berkepentingan dalam komunitas kebijakan berperan sebagai aktor yang mendistribusikan kekuasaan. Diantara relasi sosial dan kekuasaan terdapat imbalan yang saling dipertukarkan oleh pihak-pihak dalam komunitas tersebut. Pertukaran atas jasa yang dikeluarkan oleh salah satu pihak, akan dikembalikan oleh pihak yang lainnya dalam bentuk uang. Dengan demikian uang menjadi alat yang diakumulasikan oleh para pihak berkepentingan terhadap suatu kebijakan. Pihak berkepentingan terhadap kebijakan produk transgenik terdiri dari pemerintah, perusahaan, akademisi/ilmuwan, LSM dan petani. Pihak berkepentingan ini terpolarisasi kedalam dua kutub, yakni kelompok pendukung kebijakan produk transgenik, dimana kelompok ini sekaligus sebagai pihak yang tergabung dalam komunitas kebijakan. Sementara di kutub yang berseberangan adalah kelompok yang mendukung prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik. Kelompok yang terakhir disebutkan ini, tidak tergabung ke dalam komunitas kebijakan. Kelompok ini, justru memberikan reaksi terhadap aspek sosial-budaya kebijakan sebagai sebuah arena kontestasi kekuasan. Monsanto merupakan perusahaan pemilik paten produk transgenik, sehingga Monsanto sangat berkepentingan untuk menjalankan bisnis produk transgenik. Dengan demikian Monsanto membangun relasi sosial dengan birokrat pemerintah agar pemerintah bersedia membuatkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mempu mendorong dilancarkannya kebijakan komersialisasi produk transgenik. `Suap' adalah Cara yang dijalankan perusahaan untuk mendorong beroperasinya kekuasaan pemerintah di dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Disisi lain, pihak perusahaan juga membangun relasi sosial dengan pihak akademisi/ilmuwan pendukung inovasi teknologi transgenik. Kepentingan akademisi/ilmuwan mencakup penemuan inovasi teknologi, sistem paten, dan pengetahuan terhadap keilmiahan teknologi itu sendiri. Pada kenyataannya kemampuan finansial perusahaan mampu menembus birokrasi pemerintahan yang menganut paradigma pembangunan kapitalisme, sekaligus berperan sebagai pejabat birokrat yang bermental korup. Dalam implementasi di lapangan sangat nampak, birokrat pemerintah turun tangan dalam mengkampanyekan janji janji keunggulan pertanian transgenik, sehingga petani bersedia beralih menanam kepada benih jenis transgenik. Argumen yang diajukan pemerintah adalah bahwa kebijakan pertanian transgenik bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Disisi lain, kalangan akademisi/ilmuwan juga memainkan peranan sebagai pihak yang mengusung nilai-nilai kebenaran ilmiah. Melalui berbagai pernyataan kalangan akademisi/ilmuwan, pihak perusahaan berharap dapat meningkatkan opini publik mengenai citra positif produk transgenik. Guna mengantungi citra positif ini, pihak perusahaan tak segan-segan mengulirkan dana ratusan juta kepada kalangan ilmuwan baik di perguruan tinggi maupun di instansi pemerintahan, guna melakukan riset, seminar, ataupun lokakarya yang pada intinya mendukung kebijakan produk transgenik. Dalam relasi sosial dan kekuasaan yang bekerja pada masing-masing pihak berkepentingan tersebut, ada sebuah mekanisme pertukaran imbalan yang berjalan sebagai sesuatu pemberian yang wajib dibalas dengan pemberian pula. Uang adalah sebuah kata kuncinya. Perusahaan melakukan penyuapan kepada sejumlah birokrat pemerintah agar dibuatkan kebijakan yang bisa membuat dijalankannya bisnis perusahaan. Perusaliaan juga membiayai berbagai riset akademisi ilmuwan guna membeli kekuasaan yang bekerja pada pihak akademisi/ilmuwan sebagai penghasil pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Akan tetapi disini, baik pihak akademisi/ilmuwan maupun pemerintah tidak serta merta tunduk pada kekuasaan kapital perusahaan. Karena birokrat pemerintah dan akademisililmuwan jugs membalas pemberian uang tersebut dengan uang pula. Keberhasilan adopsi kebijakan di tingkat petani akan memberikan keuntungan bisnis kepada perusahaan dengan jumlah yang jauh berlipat-lipat. Jadi, saya melihat bahwa para pihak dalam komunitas kebijakan pada dasarnya melakukan akumulasi kapital bagi dirinya sendiri, atas beroperasinya kekuasaan yang mereka jalankan. Melihat fenomena proses penerbitan kebijakan pembangunan yang seperti ini, lantas bagaimana dengan tujuan pembangunan itu sendiri ? apakah tujuan meningkatkan kesejahteraan petani bisa terwujud ?. dalam hal ini, saya memandang bahwa kebijakan pembangunan yang lahir atas kepentingan kapitalisme global, pada akhirnya hanya akan membuat petani berada sebagai pihak yang semakin terpuruk. Petani melulu hanya dijadikan objek pembangunan. Alasan atas nama kesejahteraan rakyat, hanyalah retorika belaka. Dengan demikian, keberadaan kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian terhadap kebijakan produk transgenik menjadi panting keberadaannya. Kelompok yang menekankan prinsip kehati-hatian melakukan kontestasi terhadap kebijakan produk transgenik, dan menekan pemerintah agar tidak meletakkan perkembangan inovasi teknologi transgenik yang disinyalir memiliki potensi besar dalam mengatasi masalah krisis pangan, sebagai inovasi teknologi yang semata-mata bergerak atas kepentingan kapitalis. Bagaiamanapun juga, teknologi ini menyimpan potensi untuk kebaikan. Untuk itu, peraturan perundang-undangan yang ketat dalam mengatur regulasi produk transgenik serta keterbukaan dan keterlibatan publik dalam berpartisipasi terhadap kebijakan produk transgenik, tentunya diharapkan dapat lebih membuat kebijakan yang adil dan berpihak kepada kaum tani dan kelompok minoritas lainnya. Metode penelitian yang diterapkan dalam tesis ini adalah metode kualitatif. Teknik penelitian antropologi yang digunakan meliputi wawancara mendalam, analisis kasus, dan pengamatan terlibat. Selain itu juga dikumpulkan dokumen kebijakan dan pernyataan wacana yang tertuang dalam media massa ataupun makalah publikasi. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara mendetail, holistik dan komprehensif.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahyudin
Abstrak :
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan perubahan ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga baru dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kewenangan yang dimiliki oleh MK berbeda dengan kewenangan yang dimiliki MA yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap udang-undang. Kewenangan MK sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah (i) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; (ii) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang diberikan oleh UUD tersebut hanya untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan tidak diberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh MK melalui putusan perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menimbulkan perbedaan pendapat tidak hanya dikalangan para hakim MK melainkan juga para ahli-ahli hukum terlebih lagi pengujian Perpu tersebut MK menyatakan berwenang melakukan pengujian dan bahkan putusan tersebut telah dijadikan yurisprudensi dan diikuti oleh hakimhakim konstitusi selanjutnya dalam memutus setiap permohonan pengujian Perpu terlihat dalam berbagai putusan MK dengan menggunakan pertimbangan hukum yang terdapat pada putusan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 dan dengan dasar pertimbangan itu menyatakan MK berwenang melakukan pengujian Perpu. Terhadap kewenangan yang diperoleh MK melalui penafsiran pengujian Perpu telah memperluas kewenangan yang dimilikinya yang tidak hanya terbatas pada penggujian UU namun telah bertambah dengan pengujian Perpu terhadap UUD yang sebetulnya kewenangan pengujian Perpu merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Perbandingan dengan negara-negara lain berkaitan kewenangan MK menguji Perpu, dari keempat negara yakni Jerman, Korea Selatan, Thailand dan Italia menunjukan tiga negara yakni Jerman, Korea Selatan dan Italia tidak memiliki kewenangan untuk menguji Perpu sementara satu negara yakni Thailand kewenangan MK hanya dapat menguji rancangan peraturan darurat/Perpu.
The establishment of the Constitutional Court (MK) by the third amendment to the Constitution NRI 1945 as a new institution in carrying out the functions of the judicial power in addition to the Supreme Court (MA). Authority possessed by the Court is different from the authority possessed MA examine the legislation under laws against shrimp reserved. The authority of the Constitutional Court as in Article 24C paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution are: (i) the Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions are an arbitrary granted by the Constitution, to decide the dissolution partaipolitik, and to decide disputes concerning the results of the General Election; (ii) The Court shall give a decision on the opinion of the House of Representatives regarding the alleged violations by the President and / or Vice President by the Constitution. The authority granted by the Constitution just to test the constitutionality of laws against the Constitution and not be authorized tests on other legislation. Testing Government Regulation in Lieu of Law (decree) No. 4 of 2009 regarding the Commission for Corruption Eradication by the Court through a ruling Case Number 138 / PUU-VII / 2009 has caused dissent not only among the judges of the Constitutional Court, but also the legal experts moreover testing the decree of the Constitutional Court states the authority to conduct testing and even the decision has been made jurisprudence and followed by the judges of the constitution later in deciding each petition decree seen in various decision of the Court using legal considerations contained in the decision of Testing Regulation No. 4 of 2009 and with the consideration that the Court declare decree authorized to conduct testing. Against the authority acquired through the interpretation of the Constitutional Court decree has expanded testing of its authorities are not just limited to penggujian Act but has increased with the testing decree against the Constitution are actually testing decree authority is the authority of Parliament as former Act in accordance with Article 22 of the 1945 Constitution Comparison with the state Other related MK-state authorities test the decree, from the four countries namely Germany, South Korea, Thailand and Italy showed three countries, namely Germany, South Korea and Italy do not have the authority to examine the decree while the Court states that the Thai authorities can only test the draft emergency ordinance/Perpu.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Candra
Abstrak :
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih memiliki keterbatasan kewenangan. Penelitian ini akan membahas terkait peningkatan kewenangan DJP berdasarkan standar OECD. Peningkatan kewenangan yang dimaksud antara lain pembuatan peraturan pelaksanaan perpajakan, penetapan sanksi administrasi, penetapan standar pelayanan, manajemen anggaran, perencanaan struktur organisasi, dan manajemen SDM dalam proses rekrutmen pegawai. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data kualitatif diperoleh melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil bahwa kewenangan DJP saat ini masih terbatas dan perlu adanya peningkatan kewenangan DJP dengan mempertimbangkan kesiapan dari DJP.
The Directorate General of Taxes has limited authority. This research will discuss the measures on how to increase the authority of the Directorate General of Taxes based on the OECD standard. Improvement of the authority covers tax law interpretation designing, penalties and interest, performance standard setting, budget expenditure management, organization and planning, and human resource management in recruitment process. This research uses descriptive qualitative with research design. We uses the study of literature and deep interviews to obtain the data. Based on the research, the author conclude that the Directorate General of Taxes’s authority is still limited, and it needs to be increased by considering the readiness of the Directorate General of Taxes.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S55685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhly Haviz
Abstrak :
Dalam kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah telah diatur untuk menggunakan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), tidak terkecuali Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu yang mana telah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada unit perangkat daerah tersendiri, termasuk perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana pengaturan hukum serta peralihan wewenang dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu khususnya terkait perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal di Provinsi Bengkulu. Selain itu, penulisan skripsi ini juga mempunyai tujuan untuk memberikan masukan dalam memperbaiki pengaturan serta pelaksanan sistem pelayanan terpadu satu pintu pada bidang penanaman modal di Provinsi Bengkulu. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilaksanakan melalui penelitian kepustakaan yang dititikberatkan kepada analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta data-data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, sehingga penelitian ini dispesifikasikan ke dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan tahap-tahap penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai PTSP di Provinsi Bengkulu tidak mengatur secara detail beberapa aspek penting pelaksanaan PTSP itu sendiri seperti SDM, Keuangan dan Pengawasan, selain itu bentuk kelembagaannya masih setingkat kantor dimana notabene SKPD teknis yang bersinggungan dengan KP2T Provinsi Bengkulu telah berbentuk Dinas atau Badan yang mengakibatkan kesenjangan eselon pimpinan. Oleh karenanya diperlukan perubahan terhadap pengaturan pelaksanaan PTSP di Provinsi Bengkulu kedepannya agar dapat berjalan dengan optimal dalam melayani masyarakat.
Implementation of licensing and non-licensing services in locality government has been set up to use the One Stop Service (OSS), is no exception with Bengkulu Province Government which has been delegated one stop services authority to their own special local unit, including licensing and non-licensing in the field of investment. This study aims to gain an idea of how the legal arrangements and transfer of authority in the implementation of the One Stop Services in particular related to the licensing and non-licensing in the field of investment in the Province of Bengkulu. In addition, this thesis also has the objective to provide input to improve the regulation and conduct of integrated one-stop service system in the field of investment in the province of Bengkulu. Method approach in this study is normative juridical approach, legal research conducted through library research focused on an analysis of the legislation and the data obtained from observations and interviews, so this study is specified in the descriptive research analytical, with the stages of the research literature and field research. This study shows that the regulation of PTSP in Bengkulu province does not regulate in detail some important aspects of the implementation of the OSS itself like human resources, finance and control, otherwise it the forms of institutions level is still offices, whereas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) as the counterpart of KP2T Bengkulu Province has institutional form with Department or Body which resulted a gaps of echelon leaders. Therefore, government need to changes the regulation of OSS implementation at Bengkulu Province in the future, to making the implementation of public services run better.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Rizmadeta
Abstrak :
UU Cipta Kerja mengubah beberapa pengaturan perizinan, termasuk perizinan bangunan gedung. Tahun 2021 lalu, MK mengeluarkan Putusan MK No. 91/PUUXVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sehingga pelaksanaan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan hal-hal strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan termasuk membentuk peraturan pelaksana baru. Dalam pengimplementasiannya, penyelenggaraan PBG mengalami kendala di daerah, dalam penelitian ini adalah Kota Serang. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen yang terdiri atas bahan hukum primer dan sekunder, serta wawancara dengan pihak terkait. Dalam penelitian ini, kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja masih menjadi kewenangan daerah yang dilaksanakan oleh DPMPTSP. Kewenangan tersebut masih sama dengan regulasi bangunan gedung sebelum UU Cipta Kerja. Hubungan kewenangan pusat dan daerah terlihat dari terintegrasinya pemerintah pusat dan daerah melalui sistem SIMBG yang mana pemerintah pusat dapat melakukan pengawasan langsung terhadap izin yang diterbitkan oleh daerah. Adapun kendala yang dihadapi oleh Kota Serang dalam penyelenggaraan PBG setelah UU Cipta Kerja adalah tidak adanya penyesuaian regulasi daerah terhadap UU terbaru. Sehingga, penyelenggaraan PBG terhambat termasuk penarikan retribusinya yang menyebabkan perolehan PAD menurun. Putusan MK tersebut tidak berimplikasi terhadap pembentukan regulasi PBG di daerah mengingat pemerintah daerah hanya melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan dalam beberapa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, penulis berharap Kota Serang dapat segera mengesahkan Perda PBG yang telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Hal tersebut sebagai solusi permasalahan penyelenggaraan PBG di daerah terutama dalam hal retribusi. ...... Law of the Job Creation led to changes in building permit regulation. In 2021, the Constitutional Court of Indonesia issued Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020 which stated that the Law of the Job Creation was unconstitutional so its implementation related to strategic matters and had a broad impact should be suspended, including forming new implementing regulations. There are some constraints on the level of local government in the implementation of building permits. This research uses juridical-normative methods with data collection tools in the form of document studies consisting of primary and secondary legal materials, as well as conducting interviews with related informants. In this research, implementation of PBG after the Law of the Job Creation is still a regional authority implemented by DPMPTSP. This authority is still the same as the building regulations before the Law of the Job Creation. The relationship between central and regional authorities can be seen from the integration governments through the SIMBG system where the central government can conduct direct supervision of permits issued by the regions. The constraints faced by local governments is there are no regulatory adjustments in the regional level. This caused the issuance of building permits to be obstructed including the retribution that reduced regional revenues. The Constitutional Court's decision has no implications for the implementation of PBG in the regions considering that local governments just implement policies that have been stipulated in several implementing regulations of Law of the Job Creation. Therefore, the author hopes that Serang City can immediately establish PBG Regulation which has been adjusted to the new regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eckstein, Harry
London: John Wiley & Sons, 1975
301.155 2 ECK p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sennett, Richard
New York: Alfred A. Knopf, 1980
303.36 SEN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Local authonomy is able to be viewed as a bright policy, if we can appreciate the geographical and demographical situation within Indonesia. The regional aothonomy as a policy is made to be the media on minimizing conflict and tense between central government to local government should not be seen in a win or lose therm, but implementation on democracy and welfare for nation. from those aspects people in regional area will be positioned as an active and participative part of the nation, which on the same time the relation between central - local government is more to partnership - interdependency. Conflicts of power arises as an excess of miscomunication, besides the differentces on necessity between central and regional ,although the sizes of the occuring conflicts are not similar from time to time .That situation can be happened due to decentralization implementation affected by situation, condition, paradigma, also the approach on the implementation system held by the local government.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Hanan Rahmadi
Abstrak :
The enforcement of Law No. 22 Year 1999 on the Regional Autonomy Administration, which later was substituted by Law No. 32 Year 2004 regarding regional Administration , that had brought about different new paradigm in establishing the autonomy, has basically changed the practices of running the local government. One of them concerns the positions, duties, function and the authority of Sub-district Head. The change will both directly and indirectly change the structure of organization, its funding, staffing, meeting its logistic requirements and accountability. The change began with its definition about the "Sub-district" itself. In Law No. 5 Year 1974 about Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Governance Principles), Sub-district is an administrative Territory in the cause of de-concentration, namely within the circle of the. government bureaucracy locally executing public service_ While in Law No. 32 Year 2004 regarding Regional Government, Sub-district is an operational territory as a part of the municipality. This corresponds to what mentioned in Chapter 120, Article (2) regarding as follows: The municipality level consists of the local secretariat, regional agency, local technical bodies, sub-district and village. On its position, it is indirectly obliged to execute the authority of the municipal. This is found in chapter 126 article (2) Law No. 32 year 2004 regarding Regional administration, declaring that : The head of the sub-district in carrying out his/her duty receives the authority delegation from the mayor to handle the locallautonomy matters. Specifically for Tangerang municipality government, the decree of the mayor No. 02 year 2003 regarding the delegation of done of the municipality administration to the head sub-district across Tangerang territory was issued. There are some sectors out of 10 areas of authority that have been delegated to the sub-district head, among others : Transportation, general works, land matters, population affairs, trading, industry and cooperation, social matters, peace and order, licensing, tax and retribution, and secretarial matters. Two years' time has lapsed since its issuance, but the implementation of this authority delegation to the sub-district has not been optimally exercised. Starting from the curiosity for the actual reasons for the situation, a study has been made. The study used the qualitative method by accumulating the data through direct interview to relevant official, literature study and secondary data. The result shows that the delayed implementation of this authority delegation from the municipality administration to the head sub-district is caused by technical matters as to how it should be carried out. This is due to the decree of the mayor of Tangerang regarding the authority delegation has not been followed with required direction for its implementation and method which in the field has caused uncertainly as to how to do it. Besides, there are still other factors that also has caused the Tangerang mayor decree has not been implemented optimally, among others : human resources problem, financing aspects, requisite needs which have not been fully provided by the city administration. This means no other that the decree issues, has not been sufficiently supported by the above mentioned three factors. Coordination aspect has also become an additional cause for the delay of such implementation. The sub-district administration and Agency could not easily construct the required coordination, there's no coordination mechanism: The Tangerang Mayor's Decree No. 2 year 2003, could not sufficiently be made basic of coordination between the district held and the related body. The organization structure aspect has made it difficult to implement the authority. The existing structure within the sub-district administration is not compatible with the amount of sectors delegated, and the delegation aspect itself has caused the delay of the implementation. This due to existing doubt or reluctance of the related agency to voluntarily delegate some of the authority as have been regulated in Tangerang Mayor decree No. 2 year 2003. Some implication of this study is that it is necessary to create operational and technical directions for the Tangerang Mayor's decree No. 2 year 2003, that in the field, practice can be made easier if the sub-district be provided with the actual authority, like certain permits, that the sub-district administration service may become miniature of in its territory. This is all mainly done in the framework of providing better public service. It's undoubtedly, support of human resources, sufficient financial back up, requisite/perquisite availability is indispensable to help implement the message contained in the city major mentioned above. It's also of necessity to reconstruct the sub-district organization to make it more optimal in its status, especially in existing its main obligation and function.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Primarwati
Abstrak :
ABSTRAK
Tugas akhir ini merupakan laporan kegiatan penulis dalam upaya membantu menyelesaikan kasus penyalahgunaan wewenang yang terjadi di PT X, yang dikaitkan dengan upaya meningkatkan pola pendisiplin mencegah berulangnya kejadian yang sama.

Kasus yang terjadi melibatkan 2 orang Manajer Pemasaran dan seorang Direktur Operasi dan mempakan penyalahgunaan wewenang, pencurian order perusahaan, pencurian know how perusahaan, dan memakai fasilitas perusahaan untuk kepenlingan priibadi/kelompok yang rnengakibatkan kerugian dan atau rnengurangi keuntungan perusahaan. Kasus ini melanggar peraturan dalam Kesepakatan Kerja Bersama yang ditandatangani pada tanggal 24 Desember 2002, yang secara legal berlaku untuk seluruh karyawan PT. X termasuk manajemen PT. X, dengan sanksi PHK, dan bisa dikembangkan menjadi kasus pidana pencurian atau korupsi (tindakan kriminal).

Pemberian sanksi berupa Surat Peringatan Pertama, mempunyai dampak pada organisasi , karena para oknum adalah orang-orang yang memiliki posisi tinggi di PT. X yang seharusnya menjadi panutan (role model) bagi para bawahannya.

Untuk usulan pemecahan, kami mengusulkan untuk memutasi mereka ke anak perusahaan lain atau ke perusahaan induk di bagian yang memang dipemntukkan unluk kmyawan dengan kinerja kurang. Selain itu hams dijaga agar peraturan serta sanksinya dapat di jalankan dengan efektif.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>