Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Salis Yuniardi
Abstrak :
Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang rentan masalah. Salah satu wujud dari masalah-masalah tersebut adalah apa yang kemudian dikenal sebagai perilaku antisosial. Ada banyak faktor yang diduga berperan pada timbulnya perilaku antisosial pada remaja, di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor psikososial. Salah satu faktor yang tercakup dalam psikosial adalah faktor keluarga. Namun berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak, seringkali fokus kita akan langsung menengok pada peran ibu. Namun pola di dalam keluarga berubah seiring dengan perubahan masyarakat dunia pasca revolusi industri pada tahun 1950-an. Seiring perubahan tersebut, peran ayah dalam keluarga-pun mendapat perhatian dalam kajian-kajian ilmiah terbaru. Beberapa penelitian diantaranya dilakukan oleh Lamb (1971), Heteringthon (1976), Baruch & Barnett (1981), serta US Departement of Justice yang pada tahun 1988 menyatakan bahwa ketidakadanya peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya (Fathering Interprises: 1995-1996, dalam http:11artikel_uslslameto2.htm1) Selanjutnya sangatlah menarik untuk mengkaji hal yang sebaliknya, yaitu bagaimana persepsi, penerimaan, dan identifikasi remaja sendiri, secara kuusus remaja laki-laki dengan perilaku antisosial, terhadap peran ayah dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan bentuk strategi yang dipilih adalah studi kasus. Penelitian ini mengambil subyek penelitian yaitu remaja laki-laki yang berusia antara 16-19 tahun yang berperilaku anti sosial sehingga mendapat atau pernah mendapat hukuman pidana yang saat ini sedang mendapat rehabilitasi atau mengikuti kursus di PSMP Handayani. Subyek yang diambil sebanyak lima orang. Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu : 1) Para subyek memiliki persepsi jika peran ayah dalam sebuah keluarga sangat penting. la adalah kepala, pemimpin, dan tiangnya keluarga. Dalam perannya ini, tugas paling utamanya adalah sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan juga diharapkan dapat memberi perhatian, kasih sayang, dan bimbingan bagi anakanaknya. 2) Kesemua subyek melihat ayah mereka belum menjalankan seluruh peran sebagai ayah yang baik. Ada beberapa ayah yang sudah menjalankan fungsinya sebagai economic providers, namun hampir semua ayah subyek kurang mampu dengan baik menjalankan fungsi : caregivers, friend and playmate, teacher and role model, monitor and disciplinarian, protector. Hampir semua ayah dari subyek masih menjalankan fungsi advocate, namun hanya beberapa dari ayah subyek yang juga menjalankan fungsi resource. Kurangnya kelengkapan dalam menjalankan peran tersebut menimbulkan berbagai perasaan negatif pada para subyek, seperti merasa tidak diperhatikan, tidak dekat, kurang merasa diawasi, bahkan perasaan kesal dan dendam. Pada akhirnya perasaan-perasaan negatif tersebut berujung pada munculnya perilaku anti sosial. 3) Para subyek ingin meniru apa yang positif dari ayahnya, seperti sikap kerja kerasnya. Sebaliknya, mereka ingin memperbaiki apa yang mereka rasa salah dari perilaku - perilaku ayahnya di dalam menjalankan perannya sebagai ayah, seperti masalah pembagian waktu antara kerja dengan keluarga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Vidiyanto
Abstrak :
Cara seseorang memandang masa depannya seringkali diistilahkan sebagai orientasi masa depan. Trommsdorff (1983) mendefinisikan orientasi masa depan sebagai fenomena kognisi-motivasional yang kompleks dimana seseorang melakukan antisipasi dan evaluasi terhadap masa depan dalam interaksinya dengan lingkungan. Nurmi (1989) membagi orientasi masa depan kedalam 3 proses dasar yakni motivasi (motivation), perencanaan (planning) dan evaluasi (evaluation) yang berinteraksi dengan skemata kognitif' nlengenai tugas perkembangan yang diantisipasi. Proses motivasi mengacu pada apa yang menjadi minat individu di masa depan, sedangkan proses perencanaan mengacu pada bagaimana sescorang merencanakan perwujudan minatnya. Adapun proses evaluasi memfokuskan pada sejauhmana seseorang berharap agar minatnya dapat terwujud. Remaja merupakan usia dimana seseorang mengalami suatu masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa (Papalia, Olds & Feldman. 2001). Hal ini menjadikan masalah pencarian identitas diri sebagai tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh setiap remaja. Identitas diri tidak hanya terkait dengan apa yang ada dalam diri seseorang saat ini, tetapi juga berkaitan dengan masa depan seseorang, termasuk harapan, cita-cita dan berbagai rencana untuk mencapai tergetan individu di masa depan (Trommsdorf, 1986). Sebagaimana dikatakan oleh Havighurst (dalam Nurmi. 1994) bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas perkembangannya akan menjadi dasar bagi penyelesaian tugas perkembangan sclanjutnya. Mengingat pentingnya penyusunan orientasi masa depan yang jelas dan realistis bagi remaja, maka modul ini menawarkan sebuah alternatif pelatihan yang bertemakan "Planning Your Future". Pelatihan merupakan kumpulan aktivitas formal atau informal yang dirancang untuk memberikan kontribusi terhadap tingkat pengetahuan, kcterampilan dan sikap peserta pelatihan (Lucas, 1994). Subyek yang menjadi sasaran dalam pelatihan ini adalah usia remaja akhir. yakni mereka yang sedang duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Pada penyusunan modul pelatihan ini, analisis kebutuhan dilakukan melalui pemberian kuisioner sebagai metode utama. dan wawancara sebagai metode pelengkap. Tujuan pelatihan ini adalah untuk menyadarkan remaja akan pentingnya mempersiapkan masa depan dan membekali mereka dengan pemahaman serta berbagai keterampilan untuk menyusun rencana masa depan yang jelas dan realistis. Tujuan pelatihan ini kemudian diturunkan menjadi sasaran-sasaran yang termanifestasi di dalam setiap sesi pelatihan. Isi pelatihan dirangkum dalam sebuah modal yang terdiri alas 7 sesi. Pelatihan ini nlembutuhkan waktu 2 hari. dimana setiap harinya berlangswig selama 7 - 8 jam. Evaluasi yang akan digunakan dalam pelatihan ini terdiri dari 2 jenis, yakni evaluasi terhadap program pelatihan dan evaluasi terhadap pemahaman peserta. Kedua macam evaluasi ini akan disajikan dalam bentuk kuisioner. Sebelum modul pelatihan ini dilaksanakan, sebaiknya diujicobakan terlebih dahulu kepada beberapa remaja untuk melihat apakah program ini sudah efektif untuk membekali mereka dengan kemampuan menyusun orientasi masa depan. Selain itu, ada baiknya dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada remaja mengenai pentingnya mempersiapkan masa depan, melalui seminar atau buletin-buletin karena hal ini seringkali menjadi suatu hal yang tidak disadari oleh remaja. Seusai pelatihan sebaiknya ditindaklanjuti dengan pembentukan komunitas. sehingga proses pencapaian terget yang telah dibuat peserta dalam pelatihan dapat terus terpantau.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniar
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrianda Bachtiar
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3102
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Gustian
Abstrak :
Sejak tahun 1984 sistem pemasyarakatan digunakan untuk menggantikan sistem kepenjaraan sebagai institusi pembinaan bagi pelaku tindak kriminal. Tujuan ideal lemba- ga pemasyarakatan sampai saat ini ternyata belum sesuai dengan kenyataan yang ada. Selain program yang sangat sukar dijalani juga kondisi yang terbentuk dalam lembaga pemasyarakatan, baik situasi sosial dan lingkungan fisik, menjadikan lembaga pemasyarakatan sukar mencapai tujuan- nya. Kondisi ini memberikan dampak negatif bagi perkembangan aspek psikologis penghuninya. Lembaga pemasyarakatan tidak hanya diperuntukkan bagi orang dewasa namun juga untuk remaja. Pada masa remaja ini, konsep diri adalah aspek terpenting dalam diri remaja yang harus diperhatikan. Kehidupan dalam lembaga pemasyarakatan mempengaruhi tiga proses yang terjadi dalgm pembentukan konsep diri, yaitu "reflected appraisal", "social comparison" dan "role internalization". Lingkungan lembaga pemasyarakatan yang unik dengan norma dan penghuninya yang pernah melakukan tindak kejahatan serta kecilnya berhubungan dengan pihak luar mempengaruhi konsep diri yang terbentuk dalam diri remaja delinkuen. Lamanya masa hukuman menjadi faktor yang menentukan dalam proses pembentukan konsep diri, karena faktor-faktor dalam lembaga pemasyarakatan akan semakin berperan berdasarkan lamanya kehidupan dalam lembaga pemasyarakatan yang dijalani. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilihat konsep diri yang terbentuk pada remaja yang menjalani masa hukuman dalam lembaga pemasyarakatan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross-sectional dengan metode kuantitatif. Alat ukur berbentuk kuesioner, yaitu TSCS (tennesse Self Concept Scale). Subyek yang digunakan berjumlah 137 subyek. Hasil penelitian menunjukkan subyek nemiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri yang dimiliki oleh subyek juga cenderung semakin negatif selama menjalani masa hukumannya. Pendekatan cross-sectional yang digunakan memiliki kelemahan, yaitu tidak diikutinya seluruh proses yang terjadi untuk itu disarankan untuk melakukan studi dengan pendekatan "longitudinal".
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Yudhita Widyastuti
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh parenting style terhadap resiliensi pada remaja dari keluarga miskin. Terdapat 213 remaja dari keluarga miskin yang terlibat sebagai partisipan penelitian. Mereka mengisi kuesioner parenting style yang dikembangkan oleh Lamborn et.al (1991) yaitu Parenting Style Questionnaire (PSQ) dan resiliensi diukur dengan menggunakan alat ukur Resilience Scale 14 item (RS-14) yang dikembangkan oleh Wagnild dan Young (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh parenting style yang signifikan terhadap resiliensi (Beta 0.293, sig. (p) = 0.000). Selain itu, melalui analisis tambahan, terdapat perbedaan mean parenting style yang signifikan pada jenis kelamin partisipan dan juga pada pekerjaan ibu. ......This study was conducted to see the effect of parenting style on adolescent resilience of poor families. There were 213 adolescents from poor families who are involved as participants. They filled out questionnaires about parenting style was developed by Lamborn et.al (1991), that is Parenting Style Questionnaire (PSQ), and resilience is measured by using measuring devices Resilience Scale 14 item (RS-14) developed by Wagnild and Young (2009). Result showed that there was a significant effect of parenting style on the resilience (Beta 0.293, sig. (p) = 0.000). Through additional analysis, the mean differences of parenting styles were significant on gender participants and also the mother's occupation.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhuhita Karima
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat psychological well being antara remaja laki-laki dan perempuan yang ditinggal oleh orangtua bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. Metode penelitian ini adalah non-eksperimental dan kuantitatif dengan menggunakan alat ukur 18-item Ryff Psychological Well-Being Scale. Partisipan penelitian ini adalah 163 remaja berusia 11-16 tahun berdomisili di Desa Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Hasil dari penelitian ini terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan antara remaja laki-laki dan perempuan. Remaja perempuan memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja laki-laki. ......The aim of this research is to see psychological well-being difference between male and female adolescent left behind by migrant worker parent. This research is non-experimental using 18-item Ryff Psychological Well-Being Scale. The respondents of this research are 163 adolescents between 11-16 years old who live in Cilamaya, Karawang, West Java. The results of this research shows that there is a significant psychological well-being difference between left behind male and female adolescent by parent?s migration where female adolescent scored higher psychological well-being compare to male adolescent.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60260
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diptya Ratri Pratiwi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara parentification dan autonomy pada remaja dari keluarga miskin perkotaan. Parentification diukur dengan menggunakan Parentification Inventory (Hooper, 2009) yang telah diadaptasi oleh Fivi Nurwianti. Adapun Autonomy diukur dengan menggunakan Index of Autonomous Functioning (Weinstein, Przybylski, & Ryan, 2012) yang diadaptasi oleh peneliti. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 210 remaja usia 11-20 tahun yang berasal dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parentification dan autonomy pada remaja dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek (r = 0.158, p < 0.05, two-tailed). Artinya semakin tinggi parentification pada remaja dari keluarga miskin perkotaan di Jabodetabek, maka semakin tinggi juga autonomy pada remaja tersebut.
The aim of this study was to find out the relationship between parentification and autonomy in adolescents from poor urban families. Parentification was measured using Parentification Inventory (Hooper, 2009) which has been adapted by Fivi Nurwianti. Autonomy was measured using the Index of Autonomous Functioning (Weinstein, Przybylski, & Ryan, 2012) that was adapted by the researcher. Respondents in this research were 210 adolescents aged 11-20 years who came from poor urban families in Jabodetabek. The main result of this study indicates that there is a significant positive relationship between parentification and autonomy in adolescents from poor urban families in Jabodetabek (r = 0.158, p < 0.05, two-tailed). It means that when the parentification in adolescents from poor urban families in Jabodetabek are high, the autonomy of the adolescents will be high too.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60459
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Aulia Putri
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah, baik domain afektif (father nurturant) maupun domain perilaku (reported father involvement), di sepanjang kehidupan anak dan kesulitan pengambilan keputusan karir pada remaja madya. Keterlibatan ayah merupakan sejauh mana ayah ikut berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan anak-anak mereka (Finley, Mira, & Schwartz, 2008). Sedangkan kesulitan pengambilan keputusan karir didefinisikan sebagai hal-hal yang menghambat seseorang di saat orang tersebut harus membuat keputusan akan karirnya, memiliki kesediaan untuk menentukan karir yang dijalani, dan mampu membuat keputusan tentang karir yang tepat bagi dirinya (Gati & Saka, 2001). Pengukuran keterlibatan ayah menggunakan alat ukur The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales yang disusun oleh Finley dan Schwartz (2004) dan untuk pengukuran kesulitan pengambilan keputusan karir menggunakan alat ukur Career Decision-Making Difficulties Questionnaire (CDDQ) dari Gati, Krauz, dan Osipow (1996). Partisipan berjumlah 412 siswa SMA dengan usia 15 sampai 18 tahun di Jabodetabek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan dengan arah negatif antara keterlibatan ayah, baik pada domain afektif (father nurturant) maupun domain perilaku (reported father involvement) di sepanjang kehidupan anak dan kesulitan pengambilan keputusan karir pada remaja madya (r = -0.263, p<0.000; two-tailed; r = -0.241, p<0.000; two tailed). Berdasarkan hasil yang didapat, diharapkan ayah dapat terlibat didalam berbagai aspek kehidupan anak-anak mereka.
This research was conducted to find the relationship between father involvement which comprise of father nurturant and reported father involvement, and career decision making difficulties in middle adolescent. Father involvement is the extent to which the father participated in various aspects of their children?s life (Finley, Mira, & Schwartz, 2008). While career decision-making difficulties are defined as things that inhibit a person to make decisions on his career, have a willingness to determine his career, and able to make decisions about the right career for himself (Gati & Saka, 2001). Measurement in this study is using an instrument named The Father Involvement and Nurturant Fathering Scales which was developed by Finley and Schwartz (2004) and to measured career decision-making difficulties using an instrument named Career Decision-Making Difficulties Questionnaire (CDDQ) from Gati, Krauz, dan Osipow (1996). The partisipants of this research were 412 high school students from age 15 to 18 years old in Greater Jakarta. The main results of this research shows that father involvement which comprise of father nurturant and reported father involvement negatively correlated with career decision-making difficulties in middle adolescents (r = -0.263, p<0.000; two-tailed; r = -0.241, p<0.000; two tailed). Based on the results, it is expected that the father can be involved in various aspects of their children?s life.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60664
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Ananditasari
Abstrak :
[Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru yang ditetapkan pemerintah sebagai acuan dalam pendidikan. Terdapat faktor-faktor dalam penerapan Kurikulum tersebut yang mempengaruhi tingkat stres siswa yaitu beban pelajaran, diskusi, presentasi, teman sebaya, dan fasilitator. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan faktor-faktor dalam penerapan kurikulum 2013 dengan tingkat stres siswa. Jumlah responden dalam penelitian ini yaitu 109 orang. Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Metode sampling yang digunakan yaitu simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan dari lima variabel, empat diantaranya mempunyai hubungan dengan tingkat stres, yaitu beban pelajaran, diskusi, presentasi, dan teman sebaya. Namun pada fasilitator tidak ditemukan hubungan dengan tingkat stres (nilai p=0,225). Siswa lebih banyak mengalami tingkat stres sedang dalam penelitian ini. Strategi koping yang baik harus dimiliki setiap siswa agar dapat menangani stres dengan baik. ;Curriculum 2013 is a new curricullum that the government apply as a in education. There are factors in the curriculum that affect students' stress level such as subject difficulty, discussion, presentation, peer group, and facilitator. This aim of study is to identify the relationship between factors in implementation of curriculum 2013 with stress level in students of junior high school. There are 109 participants involved in this study The design of this study is descriptive correlative with cross sectional approach. Simple random sampling is used as sampling method. In results, there are 4 of 5 variables that correlate to stress level, such as subject difficulty, discussion, presentation, and peer group. There is no correlation between facilitator with stress (p value=0,225). There are more students that have moderate stress level in this study. They must have adaptive coping strategies in order to cope with stress well. ;Curriculum 2013 is a new curricullum that the government apply as a in education. There are factors in the curriculum that affect students' stress level such as subject difficulty, discussion, presentation, peer group, and facilitator. This aim of study is to identify the relationship between factors in implementation of curriculum 2013 with stress level in students of junior high school. There are 109 participants involved in this study The design of this study is descriptive correlative with cross sectional approach. Simple random sampling is used as sampling method. In results, there are 4 of 5 variables that correlate to stress level, such as subject difficulty, discussion, presentation, and peer group. There is no correlation between facilitator with stress (p value=0,225). There are more students that have moderate stress level in this study. They must have adaptive coping strategies in order to cope with stress well. , Curriculum 2013 is a new curricullum that the government apply as a in education. There are factors in the curriculum that affect students' stress level such as subject difficulty, discussion, presentation, peer group, and facilitator. This aim of study is to identify the relationship between factors in implementation of curriculum 2013 with stress level in students of junior high school. There are 109 participants involved in this study The design of this study is descriptive correlative with cross sectional approach. Simple random sampling is used as sampling method. In results, there are 4 of 5 variables that correlate to stress level, such as subject difficulty, discussion, presentation, and peer group. There is no correlation between facilitator with stress (p value=0,225). There are more students that have moderate stress level in this study. They must have adaptive coping strategies in order to cope with stress well. ]
2015
S60987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>