Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rudi Hartono
Abstrak :
Pembinaan narapidana di Lapas dilakukan bertahap mulai dari tahap masa pengenalan lingkungan (Mapenaling) sampai dengan masa asimilasi. Pada tahap Mapenaling narapidana mempersepsikan apa yang dialaminya melalui proses penilaian tentang atribusi pengamatannya dengan menggunakan kesadarannya (kognisi). Persepsi dan tingkah laku dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu bentuk keseluruhan atau totalitas dari rangsang (emergent) dan kekuatan-kekuatan (forces) yang ada dalam lapangan psikologi (Field theory: Lewin,1914) yang saling berinteraksi dan membuat hubungan konsonan, tidak relevan dan hubungan disonan. Hubungan yang terakhir inilah yang menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak senang (disonansi kognitif) yang berakibat penilaian narapidana terhadap pembinaan menjadi negatif. Dalam tulisan ini penulis mencoba merancang program intervensi untuk mengurangi disonansi kognitif narapidana dengan menerapkan Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran (Conscious Attentional Resourches Theory: Festinger, 1957) yang menekankan pada proses kognisi individu. Rancangan Program Mapenaling yang diusulkan di Lapas Paledang adalah intervensi berbasis evaluasi did pada tahap Mapenaling melalui latihan meditasi dan penyusunan Buku Panduan Melakukan Evaluasi Diri. Yang menjadi pertimbangan adalah efektivitas pelaksanaan program ini dan perlunya dukungan para Pemangku Kebijakan (Stake Holder) disamping kegiatan-kegiatan lain sebagai pelengkap.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Aswani
Abstrak :
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang menyaakan, bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan (narapidana) menjadi manusia seutuhnya baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai insan Tuhan. Untuk itu suasana yang kondusif, tertib dan kesehatan jasmani dan psikologis yang terpelihara dari warga binaan pemasyarakatan merupakan sesuatu yang sangat berarti dan diharapkan olel, sebuah institusi lembaga pemasyarakatan di Iingkungan Departemen Hukum dan HAM RI. Undang-undang nomor 12 tahun 1995 telah menggariskan hak-hak yang dimiliki oleh warga binaan lembaga pemmasyarakatan, tanpa kecuali. Adapun hakhak tarsebut antara lain mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jamani. Selain itu UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 juga mencantumkan tentang Hak untuk Hidup : Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf hidupnya, hidup tenterani, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta berhak atas lingkungan hidup yang balk dan sehat. Bunuh diri (suicide) di dalam lembaga pemasyarakatan dapat terjadi dan merupakan kasus yang paling fatal karena merupakan gangguan psikologis yang paling berbahaya dan wargabinaan yang melakukan bunuh diri dapat menimbulkan kericuhan pada teman-teman sekamarnya maupun orang-orang sekitarnya. Data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang bunuh din di dalam lembaga pemasyrakatan di seluruh Indonesia yang terlihat cenderung meningkat Pada tahun 2004 ada 19 kasus, tahun 2005 sebanyak 21 kasus, dan tahun 2006 dari Januari Dktober sebanyak 17 kasus. Berdasarkan kejadian diatas maka perlu upaya identifikasi resiko bunuh diri (suicide risk) terhadap warga binaan pemasyarakatan oleh petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan melalui pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuannya dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologis warga binaan sehingga dapat dilakukan pencegahan bunuh diri warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya Petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan akan dapat berfungsi sebagai pintu terdepan untuk deteksi diri bunch diri dan terampil untuk melakukan prevensi dan mencegah terulangnya tindakan bunuh diri, kemudian bila menemukan warga binaan yang berisiko bunuh did akan dapat melakukan konseling psikologik dan atau merujuk warga binaan untuk tindakan medik psikiatrik. Dengan demikian maka diperlukan upaya advokasi kepada Diijen PAS untuk pelatihan bagi petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan agar mampu melakukan identifikasi asesmen bunuh diri, Akhirnya sangat diperlukan kerja sama dengan psikolog, pckerja sosial, konselor, psikiater dan rumah sakit untuk pelaksanaan konseling dan atau rujukan bagi warga binaan yang berisiko bunuh diri.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Muhammad
Abstrak :
ABSTRAK
Petugas pengamanan LAPAS Kls. I Sukamiskin Bandung sebagai pelaksana teknis lapangan mempunyai tugas mencegah terjadinya pelarian, gangguan kamtib seperti perkelahian,kericuhan, pemberontakan warga binaan. Selain itu juga bertanggung jawab atas terwujudnya tertib kehidupan penghuni LAPAS dan keamanan gedung serta seisinya terutama setelah kantor di tutup. Petugas pengamanan pads umumnya masih memiliki motivasi kerja yang rendah dalam melaksanakan tugas dan fimgsinya. Hal ini antara lain karena banyak petugas yang tidak memahami TUPOKSI pengamanan.

Program intervensi bagi Petugas pengamanan dilakukan melalui Program Pelatihan Peningkatan Motivasi Kerja yaitu program yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan petugas pengamanan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sebagai upaya meningkatkan motivasi dan sikap kerja petugas pengamanan terhadap tugas dan fungsinya. Pelatihan dirancang mulai dari tahap persiapan,pelaksanaan dan evaluasi. Materi dan metode pelatihan menggunakan konsep metode belajar untuk orang dewasa dan mempergunakan teori motivasi dua faktor dari Frederick Herzberg. Melalui pelatihan peningkatan motivasi kerja diharapkan petugas regu pengamanan dapat meningkat motivasi kerjanya dan semakin menguasai TUPOKSI-nya. Agar pelatihan dan hasilnya lebih efektif maka perlu dibuat tata tertib untuk WBP dan petugas, mengadakan pembinaan dan bimbingan, penempatan petugas sesuai dengan kemampuan serta lcoordinasi pasca pelatihan.
2007
T17793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Martanto
Abstrak :
Pergaulan bebas berdampak pada perkembangan remaja dan tidak bisa lepas dari permasalahan. Remaja merupakan masa-masa kritis dan pencarian identitas diri karena remaja tidak bisa beradaptasi dan melewati masa krisis dapat terlibat dalam perbuatan kriminal. Akibat kenakalan pada remaja menjadikan remaja menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Program pembinaan dengan pendidikan, ketrampilan maupun kemandirian merupakan salah satu ketrampilan yang akan menjadi bekal untuk bekerja, berkeluarga dan bermasyarakat sesuai dengan sistem pemasyarakatan menjadikan warga binaan/anak didik di pemasyarakatan menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Beberapa program pembinaan pada anak didik telah dilakukan namun demikian dalam proses pelaksanaannya masih terdapat kendala antara lain anak didik kurang berminat terhadap program-program pembinaan, kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan di lembaga pemasyarakatan. Salah satu sebabnya adalah anak merasa tidak berminat dengan kegiatan yang sesuai dengan keinginannya. Selain itu anak merasa belum terbuka terhadap petugas, dikarenakan komunikasi yang dilakukannya kurang berjalan optimal. Sedangkan petugas dalam pembinaan masih ada yang menggunakan cara dengan kekerasan bila anak didik tidak mengikuti aturan dan program pembinaan yang dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya dalam memperbaiki dan menjadikan program pembinaan sebagai salah satu kegiatan mengembalikan anak kepada orang tua dan masyarakat. Di sisi lain diharapkan petugas dapat berperan sebagai pengganti orang tua di saat anak menjalani hukuman dalam lembaga pemasyarakatan. Untuk itu dilakukan intervensi dengan tujuan menciptakan anak yang selaras dengan norma dan anak dapat beradaptasi dengan program pembinaan. Salah satu intervensi yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal. Dalam tugas akhir ini penulis menawarkan program pelatihan komunikasi interpersonal bagi petugas khususnya petugas pembinaan dengan kemampuan ketrampilan komunikasi pada petugas diharapkan petugas lebih arif dan bijak dalam berhubungan dengan anak didik. Sehingga program yang dilaksanakan dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik. Berdasarkan dengan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hal yang mempengaruhi keberhasilan anak didik dalam mengikuti program pembinaan adalah diikuti dengan ketrampilan petugas dalam hal komunikasi interpersonal dengan tujuan petugas dapat lebih memahami keberadaan anak.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rooslane Indira Sari
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancangan program peningkatan kemampuan pengumpulan data bagi Pembimbing Kemasyarakatan, sehubungan dengan permasalahan pada Bapas Jakarta Barat yaitu hasil Litmas tersebut tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam sidang anak dan proses pembinaan di Lapas. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa dalam kenyataan sehari-hari para petugas PK melaksanakan Litmasnya hanya sebatas melakukan perintah tanpa memperhatikan pentingnya kualitas hasil litmas, pengumpulan data dilakukan dengan cara intrograsi, kurang memahami informasi penting yang harus dikumpulkan, hanya sekedar memenuhi kerangka format isian yang ada dalam kenyataannya sudah tidak sesuai lagi untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Teori yang dirujuk sebagai dasar pembuatan rancangan program ini adalah teori Balai Pemasyarakatan (Bapas), wawancara, observasi, remaja, dewasa muda dan teori mengenai workshop. Rancangan Program tersebut bertujuan agar Pembimbing Kemasyarakatan mampu menyusun Litmas sesuai dengan kebutuhannya, mendapatkan data yang akurat dari hasil wawancara dan observasi, mengerti mengenai kegunaan data. Cara bagaimana mengumpulkan data dan menganalisa data. Serta diharapkan Pembimbing Kemasyarakatanan tidak hanya meningkatkan kemampuan Pembimbing Kemasyarakatan dalam pengumpulan data tetapi juga perubahan sikap dan perilaku sehingga Pembimbing Kemasyarakatan dapat menerapkan dalam penyusunan Litmas.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T17819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Kumalasari
Abstrak :
Kontroversi tentang pempidanaan anak terus berlangsung . Di satu sisi ada pihak yang tetap menjatuhkan pidana terhadap anak-anak yang melakukan kriminal di sisi lain ada pihak yang menganggap bahwa anak-anak yang melakukan kriminal tidaklah sepantasnya untuk dipidana melainkan harus dilakukan pembinaan. Kenyataan menunjukkan bahwa hakim yang menangani perkara anak lebih cenderung mempidana daripada membina. Hal ini dapat di lihat dari data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa hampir 90% dari total perkara yang diajukan ke pengadilan anak dikenakan sanksi pidana (Suara Karya, 2004). Dengan semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang hams menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak Pria Tangerang maka semakin penting pula peranan Lapas Anak Pria dalam melakukan pembinaan terhadap mereka. Adapun tujuan dilakukannya pembinaan agar mereka dapat menyadari kesalahan, tidak mengulangi perbuatannya untuk ke dua kalinya dan dapat diterima kembali oleh masyarakat. Hal ini sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah, dan Batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan (selanjutnya disebut WBP) agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pembinaan yang dilakukan di dalam Lapas meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar WBP menjadi manusia seutuhnya. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan keterampilan agar WBP dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang babas dan bertanggung jawab (Sujatno, 2002:18). Mereka yang berada di dalam Lapas Anak umumnya berada pada rentang usia 8 -18 tahun. Pada tahap ini mereka berada pada tahap anak-anak dan remaja. Pada tahap ini mereka lebih sering berkumpul bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan membentuk gang. Keberadan mereka di dalam suatu geng merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dengan teman-teman sebayanya sehingga mereka saling meniru dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh teman-temannya. Dengan demikian perbuatan kenakalan yang dilakukan sebagain besar merupakan pengaruh dari teman-temannya agar mereka dapat diterirna tanpa menghiraukan apakah perbuatan yang dilakukannya baik atau buruk. Berdasarkan sudut Pandang hukum seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya Oleh karena itu meskipun mereka masih pada tahap anak-anak mereka harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan sebagai konsekuensinya mereka harus menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak. Mengingat posisi mereka yang belum dewasa tetapi sudah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum membuat mereka mempunyai hak-hak khusus di dalam Lapas Anak. Adapun hak-hak mereka di dalam Lapas (Wadong, 2000:79) adalah : 1. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan; 2. mendapatkan perawatan baik jasmani mapun rohani; 3. mendapatkan kesempatan sekolah; 4. menerima kunjungan; 5. mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana (remisi). Aspek utama yang lebih ditekankan dalam pembinaan di dalam Lapas Anak adalah pada aspek kepribadian, salah satunya adalah pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) yang dilakukan dalam bentuk pendidikan formal mapun non-formal. Pendidikan non-formal dapat diselenggarakan melalui kesempatan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya dari luar misalnya membaca majalah atau koran, menonton TV, mendengarkan radio dan sebagainya. Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan formal diupayakan Cara belajar melalui program kejar paket A (setara dengan Sekolah Dasar), kejar paket B (setara dengan Sekolah Menengah Pertama), dan kejar paket C (setara dengan Sekolah Menengah Atas) (Sujatno, 2004.19). Narapidana meskipun mereka kehilangan kemerdekaannya namun mereka tetap dapat menjalankan kehidupan sehari-hari mereka di dalam Lapas. Dalam arti hilangnya kemerdekaan bukan berarti hilang pula hak-hak mereka yang lain dalam hal ini adalah kesempatan untuk mempero[eh pendidikan. UUD 1945 Pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pengajaran (pendidikan). UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Terlaksananya pendidikan di dalam Lapas Anak bukan suatu hal yang mudah mengingat latar belakang keberadaan mereka di dalam Lapas Anak yang berbeda-beda dengan tingkat kemampun yang berbeda-beda pula. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan program pembinaan yang berbeda-beda dengan program pembinaan pada umumnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Pataprilia
Abstrak :
Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa WBP bukan saja obyek melainkan subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktuwaktu dapat melakukan kesalahan dan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan WBP berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Oleh sebab itu eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan WBP agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Di samping itu, sistem pemasyarakatan juga berasumsi bahwa pada hakekatnya perbuatan melanggar hukum oleh WBP adalah cerminan adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya perbuatan melanggar hukum bertumpu dan diakibatkan oleh "kegagalan" yang bersangkutan dengan ketiga aspek tersebut. Aspek hidup diartikan sebagai hubungan manusia dengan penciptaNya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan antara sesama manusia. Sedangkan aspek penghidupan diartikan sebagai hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaannya). Oleh sebab itu, tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara WBP dengan masyarakatnya (Sujatno, 2003). Untuk mencapai tujuan dimaksud, sistem pemasyarakatan mengenal adanya dua jenis program pembinaan dan pembimbingan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar WBP menjadi manusia seutuhnya, bertakwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan ketrampilan agar WBP dapat kembali berperan aktif sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab (Sujatno, 2004). Pembinaan kepribadian meliputi : a. Pembinaan kesadaran beragama. b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. c. Pembinaan kemampuan intelektual. d. Pembinaan kesadaran hukum e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program: a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri. b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil. c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian. Namun, beberapa program pembinaan tadi belum terlaksana/berjalan sesuai dengan tujuan pemasyarakatan karena berbagai faktor. Dalam pelaksanaannya, banyak narapidana yang belum tersentuh program pembinaan tersebut dan andaikan tersentuh pembinaan kepribadian seperti pembinaan rohani sifatnya massal seperti ceramah yang kurang efektif. Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis membatasi permasalahan yang terdapat pada program kepribadian. Menurut penulis, di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) perlu adanya program pembinaan kepribadian yang bersifat individual karena mengingat latar belakang dan permasalahan yang dihadapi oleh para narapidana tersebut tidaklah sama. Salah satu program yang dapat dijadikan program pembinaan kepribadian adalah Program Self Control. Menurut Shapiro (dalam Franken, 2003)), pengendalian diri (self control) penting untuk kesehatan fisik dan mental. Kehilangan kendali dihubungkan dengan timbulnya berbagai gangguan, seperti stress, depresi, kecemasan, mengkonsumsi obat-obatan sampai kecanduan obat.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Jaka Riswantara
Abstrak :
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran penerapan program Therapeutic Community (TC) dalam pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun pokok-pokok pikiran dari tulisan ini adalah : 1. Tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan, yakni upaya pembinaan yang bermuara pada fungsi reintegrasi soaial bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Upaya pembinaan Narapidana dilakukan untuk membentuk individu yang memiliki good personal adjustment dan prosocial behavior. 3. Metode TC merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk tercapainya perilaku yang mengarah kepada perubahan diri dari penyimpangan sosial kearah perilaku sosial yang bisa diterima 4. Dalam pelaksanaan pembinaan masih dihadapkan dengan masalah kuatnya pengaruh perilaku negatif Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu masalah yang penulis angkat dalam tugas akhir ini adalah bagaimana menerapkan program TC untuk mengurangi perilaku negatif Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. 5. Untuk menjelaskan arti pentingnya metode TC, penulis melakukan kajian dengan menggunakan teori FIRO-B. 6. Melalui treatment yang diberikan dalam program TC diharapkan para Narapidana dapat memperoleh keyakinan dalam dirinya, sehingga bisa merubah perilaku yang semula menyimpang dari norma menjadi perilaku yang bisa diterima oleh masyarakat. 7. Melalui beberapa penyesuaian, Metode TC dipandang sangat efektif dalam merubah perilaku Narapidana sehingga dapat diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan. 8. Sehubungan dengan penerapan metode TC, salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan, yaitu morning meeting guna mengurangi perilaku negatif Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18773
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husni Setiabudi
Abstrak :
Ketrampilan kerja narapidana secara umum belum dapat diandalkan untuk memenuhi hidup, kehidupan dan penghidupannya sehingga kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebelum masuk Lapas mereka mengambil jalan pintas yaitu dengan melakukan tindak pidana. Narapidana selama di Lapas cenderung diberikan pembinaan ketrampilan kerja berupa pelatihan, namun aspek kepribadiannya seperti malas bekerja, pengembangan minat dan bakat kerjanya belum tertangani secara menyeluruh. Hal tersebut dimungkinkan mengingat sarana dan prasarana serta surnber daya manusia Lapas masih sangat terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada kondisi demikian, pengelola Lapas berusaha mencari solusi pemecahannya, mengingat penghuni Lapas relatif usia muda, yang masih potensial untuk dikembangkan melakukan pekerjaan dalam dunia usaha. Dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada maka untuk meningkatkan minat dan bakat kerja narapidana di Lapas, perlu dilaksanakan konseling vokasional untuk membantu pribadi narapidana mengembangkan kesatuan dan gambaran diri serta perannya dalam dunia kerja (Super dalam Surya, 1975). Program konseling vokasional untuk meningkatkan minat kerja narapidana disusun untuk Tugas Akhir dengan melalui pendekatan langsung, pendekatan tidak langsung dan pendekatan collective.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Yanti
Abstrak :
Kondisi saat ini di lembaga pemasyarakatan yang ditempatkan terpidana seumur hidup tidak memberikan program pembinaan secara khusus. Pembinaan kepribadian yang diberikan bersifat umum dan digabung dengan terpidana lainnya tanpa memperhatikan faktor kondisi individu yang bersangkutan. Sedangkan pembinaan kemandirian dengan pekerjaan hanya semata-mata untuk mengisi waktu saja. Terpidana seumur hidup tidak saja mengalami krisis psikis akibat adanya pembatasan kemerdekaan bergeraknya. Namun dengan tidak adanya batas akhir penjara sampai dengan kematian sehingga terpidana harus menjalani sisa hidupnya dalam penjara. Keputusasaan yang disebabkan trauma tindak pidana, ketiadaan cita-cita dan harapan ke depan membuat dirinya mengalami krisis makna hidup. Makna hidup yang negatif disebabkan terpidana seumur hidup hanya melihat penderitaan dan pembatasan sebagai terpidana seumur hidup hanya sebagai sesuatu yang harus dipersalahkan dan disesali terus menerus. Pelatihan bagi petugas pemasyarakatan dengan basis kemampuan empati untuk menjadi pendamping dan pembimbing terpidana seumur hidup dinilai merupakan program yang tepat untuk memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan sebagai pendamping dan pembimbing. Materi dasar dari pelatihan adalah pemberian makna hidup positif dan konsultasi yang baik dan efektif.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>