Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isrizal
Abstrak :
Masalah penelitian adalah : (I) Bagaimanakah proses pelaksanaan ToTu? ; (2) Adakah peningkatan pengetahuan terhadap materi (ToTu) antara sebelum dan sesudah mengikuti ToTu? (3) Adakah hubungan antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan taraf fungsi menyeluruh subyek kelompok eksperimen? ; (4) Apakah ada pengaruh treatment yang berorientasi pada tugas (ToTu) dalam memperbaiki fungsi menyeluruh pasien GBZ ? Subyek penelitian ialah pasien yang sedang menjalani program rawat inap di Unit Rehabilitasi Medik RSKO, kriteria : (a) Dengan diagnosis penggunaan heroin yang merugikan dan ketergantungan heroin dalam keadaan remisi.; (b) Pendidikan pasien minimal SMA; (c) Pendidikan orangtua tidak ditentukan, (d) Bersedia untuk berpartisipasi di dalam ToTu.Subyek diambil secara insidental dan ditempatkan ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara non random assignment. Disain penelitian ini tergolong ke dalam evaluation research (Hawe,1994); quasi-experimental design, nonequivalent control group design (Craig &Metze,1986) dan models of combined designs - the dominant-less dominant design (Cresswel,1994:177); termasuk juga ke dalam. Untuk mengumpulkan data penelitian ini akan digunakan instrumen-instrumen berikut: (1) Skala yang digunakan untuk mengevaluasi taraf fungsi menyeluruh yaitu Addiction Severity Index (AdSeI,McLellan dkk,1980; McLellan, dkk.1980 dalam Wanigaratne,S.dkk ,1995); (2) Pertanyaan untuk mengukur pengetahuan terhadap materi ToTu setelah belajar, dibuat berdasarkan materi setiap tugas dan tugas yang hams dilakukan subyek; (3) Kuesioner evaluasi terhadap proses terdiri dari, perubahan yang dibutuhkan terhadap materi ToTu , form kepuasan pasien, form penilaian diskusi kelompok, form penilaian pasien. (Linney, 7.A & Wandersman,A.1991), ToTu terdiri dari sepuluh tugas pasien dan sepuluh tugas keluarga pasien. Tujuan ToTu adalah (I) meningkatkan pengetahuan pasien tentang ketergantungan zat, (2) membantu pasien mendiagnosa diri sendiri yang berarti mengakui bahwa pasien mempunyai penyakit ketergantungan, (3) memperkenalkan dan memudahkan keterlibatan pasien di dalam program treatment yang efektif terus-menerus, (4) menolong pasien mengambil tanggung jawab pribadi untuk mempertahankan atau memelihara program `kesembuhan'. Bagi keluarga pasien, diharapkan dapat mengambil tanggung jawab sebagai pendukung utama pasien dalam mencapai `kesembuhan'. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian, adalah (1) ToTu dapat diterapkan dan dianggap sangat diminati, berguna dan relevan dengan kebutuhan pasien dan keluarga serta berhasil memperbaiki taraf status medis dan penggunaan zat pada kelompok eksperimen; (2) Ada peningkatan pengetahuan yang signifikan terhadap materi ToTu pada kelompok eksperimen setelah mengikuti program; (3) Bila dilihat secara keseluruhan tidak ada hubungan yang kuat antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan taraf fungsi menyeluruh kelompok eksperimen. Namun, bila dilihat per aspek, ada hubungan yang cukup kuat antara peningkatan pengetahuan materi ToTu dengan status medis dan status penggunaan zat kelompok eksperimen. Pada aspek fungsi menyeluruh - status pendidikan/pekerjaan, status legal, status social/eluarga, status psikologis tidak terdapat hubungan yang kuat dengan peningkatan pengetahuan materi ToTu. Bila dilihat secara keseluruhan ,tidak ada pengaruh ToTu dalam memperbaiki fungsi menyeluruh pasien GBZ pada tindak lanjut tiga sampai enam bulan setelah selesai dari treatment. Namun bila dilihat dari aspek-aspek taraf fungsi menyeluruh terdapat pengaruh yang signifikan ToTu dalam memperbaiki status medis dan status penggunaan zat. Pada aspek fungsi menyeluruh : status pendidikan/pekerjaan, status legal, status sosial/keluarga, status psikologis tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari ToTu. Penyebab pertama mungkin karena pelajaran pada tugas sembilan dan sepuluh yang membicarakan pengegahan kambuh dan mewujudkan rencana ke dalarn tindakan belum sempat dilatihkan kepada subyek kelompok eksperimen. Hal kedua yang menjadi penyebab adalah terhentinya tugas-tugas ToTu untuk keluarga pasien pada tugas kedua dan kurangnya dukungan keluarga dan sosial kepada pasien dalam berjuang mencapai kesembuhan. Saran atau implikasi dari penelitian ini adalah: program dapat diterapkan di RSKO dan pusat pelayanan pasien GBZ lain, baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Materi ToTu perlu dimodifikasi dan diperkaya dengan pengetahuan tentang aspek hukum dan etika, dunia kerja dan perencanaan karir di masa datang. Penelitian mendatang perlu memusatkan perhatian pada perbaikan metode. penelitian terutama disain penelitian, kesulitan logistik berhubungan dengan subyek pasien GBZ (misal sering berpindah, kekurangan konsistensi dalam jaringan sosial), penempatan subyek pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara random assignment to treatment. Untuk tes pemahaman materi ToTu, perlu dibuat kumpulan soal tes secara integratif yang mencakup materi kesepuluh tugas. Pendidikan bagi keluarga berupa pelatihan intensif dalam beberapa hari untuk mengatasi kesibukan anggota keluarga yang terlibat dalam proses treatment pasien.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T3250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozamon
Abstrak :
Menjadi orang tua merupakan salah satu sumber perasaan bermakna (Dwivedi, 2000). Kebanyakan orang tua menjadi orang tua tanpa persiapan yang matang, banyak yang beranggapan bahwa keterampilan menjadi orang tua akan muncul secara alamiah, hal ini bisa henar bila orang tua memiliki dan menikmati masa kecil yang nyaman (Dwivedi, 2000). Namun Namun pada kenyataannya banyak orang tua yang tidak beruntung memiliki pengalaman masa kecil yang baik, bahkan tidak jarang mengalami kekerasan dari orang tuanya (Dwivedi 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang menjadi obyek kekerasan di masa kecil akan melakukan kekerasan kembali kepada anak-anaknya ketika mereka menjadi orang tua, sehingga terjadi suatu intergenerational transmission of abuse (McCord, 1995; Kaplan 1999). Beberapa penelitian retrospective juga menunjukkan bahwa pemberian hukuman fisik oleh orang tua terhadap anak berkorelasi dengan bagaimana cara orang tua tersebut dibesarkan (McCord, 1995). Mengapa orang tua korban yang menjadi korban kekerasan dan pengabaian di waktu kecil melakukan kekerasan dan pengabaian kembali terhadap anak-anaknya. Proses parenting yang dijalankan oleh orang tua tergantung pada karakteristik orang tua, karakteristik anak dan konteks lingkungan ( Martin dan Colbert 1997). Ketiga determinant tersebebut menentukan bagaimana proses parenting yang dijalankan, melakukan kekerasan dan pengabaian atau tidak. Pengalaman kekerasan dan pengabaian yang diderita oleh orang tua merupakan hanyalah salah satu faktor dari karakteristik orang tua yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dan pengabaian kembali terhadap anak. Determinannya ikut berperan dalam menyebabkan terjadinya kekerasan. Namun perannya cukup besar, 30 % dari pelaku kekerasan terhadap anak mengalami kekerasan yang sama dari orang tuanya. (Hoffman, Paris dan Hall 1977). Oleh karena itu pada penelitian ini akan ditelusuri proses yang mendasari transmisi kekerasan antar generasi. Simons (1991) mengungkapkan bahwa faktor modeling dan parenting cognition berperan dalam menyebabkan transmisi tersebut, disamping juga menggali parenting determinan pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek yang melanjutkan kekerasan dan pengabaian terhadap anak memiliki karakteristik yang khas, disertai konteks lingkungan yang memicu terjadi kekerasan. Penilaian terhadap karakteristik anak juga berperan. Modeling tampak berperan dalam menyebabkan transmisi kekerasan. Selaian itu pengalaman kekerasan membuat terbentuknya skema kognitif yang khas, yang mempengaruhi interaksi selanjutnya dengan anak berupa parenting dengan kekerasan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gantina Komalasari
Abstrak :
Penelitian ini berawal dari pemikiran bahwa memasuki pensiun bukan merupakan hal yang mudah dan sering kali menimbulkan masalah psikologis bagi yang menjalaninya. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, nilai dan pola hidup individu secara menyeluruh. Bagi individu yang belum siap menghadapi pensiun dan belum siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan psikologis, finansial dan social yang mungkin terjadi akan menganggap bahwa pensiun merupakan suatu periode kepahitan, kegetiran dan sesuatu yang mengancam, karena terpaksa harus kehilangan hal-hal yang pernah menjadi miliknya dan harus menyesuaikan diri dengan cara hidup baru yang belum diketahuinya. Berbagai perubahan dan penyesuaian yang khas sifatnya akan dihadapi seorang individu pada saat memasuki masa pensiun, demikian pula di kalangan PNS. Keadaan ini menuntut pengertian dan perlakuan tersendiri dari orang lain maupun dirinya sendiri. Sejalan pula dengan arah pembangunan jangka panjang kedua, kita perlu memberi perhatian terhadap penduduk usia lanjut agar dapat tetap berperan dalam pembangunan khususnya pembinaan generasi muda dan masyarakat. Untuk itu pemahaman mengenai pensiun merupakan hal yang mendasar; dengan dasar pemahaman yang komprehensif diharapkan PNS yang MPP dapat menghadapi pensiun dengan lebih baik, yaitu terciptanya penduduk usia lanjut yang produktif dan kreatif, sehingga mampu mengisi hidupnya dengan sesuatu yang bermakna. Penelitian ini mengkaji hubungan antara makna hidup, dukungan sosial dan sikap terhadap pensiun dengan kecemasan dalam menghadapi pensiun pada PNS yang MPP. Berdasarkan kajian teori diajukan 4 hipotesis untuk dibuktikan kebenarannya. Penelitian ini dilakukan pada PNS yang MPP terdiri dari golongan I sampai golongan IV dari Departemen Penerangan, Departemen Tenaga Kerja dan Departemen 'Pendidikan Dan Kebudayaan di DKI Jakarta tahun 1994. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1. Hasil analisis Korelasi Sederhana Product Moment dan analisis regresi berganda terhadap variabel yang diteliti menunjukkan Makna Hidup, Dukungan Sosial dan Sikap terhadap pensiun secara keseluruhan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan Kecemasan menghadapi pensiun. Dengan perkataan lain semakin Bermakna Hidup PNS yang MPP, semakin tinggi Dukungan Sosial dan semakin positif Sikap terhadap pensiun, maka akan semakin rendah Kecemasan menghadapi pensiun. Akan tetapi berdasarkan analisis lanjutan Korelasi Parsial terbukti Dukungan Sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan Kecemasan menghadapi pensiun. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kecemasan menghadapi pensiun pada PNS yang MPP hanya dipengaruhi tinggi rendahnya makna hidup yang dimiliki dan positif tidaknya sikap mereka terhadap pensiun. 2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, menunjukkan PNS yang MPP pada umumnya memiliki Makna Hidup yang tinggi, Dukungan Sosial yang tinggi, Sikap yang positif terhadap pensiun dan Kecemasan yang rendah dalam menghadapi pensiun. Selanjutnya dengan hasil temuan pada penelitian ini diajukan saran agar ditingkatkan usaha menumbuh kembangkan sikap positif terhadap pensiun dan makna hidup, melalui pengembangan situasi dan kondisi yang memungkinkan kedua aspek tersebut dapat berkembang secara optimal. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan meneliti individu yang telah memasuki masa pensiun, sehingga dapat ditelaah lebih lanjut bagaimana para pensiunan menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dengan menggunakan metode pengumpulan data yang terpadu. Serta dimanfaatkannya hasil penelitian ini sebagai salah satu bahan masukan dalam upaya pengembangan program pelatihan pra pensiun agar individu siap untuk memasuki dan menyesuaikan din terhadap berbagai perubahan pada masa pensiun dan dapat mengembangkan produktivitasnya.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini P. Daengsari
Abstrak :
ABSTRAK
Meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini didukung oleh kemajuan di bidang kesehatan, kedokteran dan teknologinya. Artinya peningkatan usia harapan hidup tersebut sejalan dengan kemajuan negara kita sehingga dapat diakui sebagai suatu prestasi yang membanggakan; namun di balik itu peningkatan tersebut membawa banyak konsekuensi yang hares diantisipasi agar tidak berdampak negatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tua seseorang semakin mundur berbagai aspek kehidupannya, dan kemunduran akan memunculkan berbagai masalah yang pada gilirannya akan menyebabkan ketidak bahagiaan. Oleh karena itu yang menjadi tantangan bagi negara kita adalah melakukan berbagai hal untuk mengupayakan kehidupan usia lanjut yang berkualitas_Upaya tersebut perlu melibatkan berbagai pihak, yaitu keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Upaya yang dilakukan akan efektif dan maksimal bila didukung oleh persepsi yang positif terhadap usia lanjut, bila persepsi terhadap usia lanjut positif, sikap dan perilaku terhadap usia lanjutpun akan positif, demikian pula sebaliknya. Melalui penelitian irti akan digali informasi dari berbagai kelompok subyek penelitian mengenai persepsi mereka terhadap usia lanjut. Adapun judul penelitian ini adalah `PERSEPSI TENTANG USIA LANJUT' (Studi Tiga Generasi). Hasil yang diperoleh menunjukkan pada umumnya persepsi ke tiga kelompok subyek penelitian (generasi Remaja, Dewasa, Usia lanjut) terhadap usia lanjut positif, tercermin dan penilaian, sikap, pandangan, hubungan dan perilaku generasi muda (anak dan cucu) terhadap usia lanjut; dan usia lanjutpun menunjukkan sikap dan perilaku yang positif yang mendukung kualitas hidupnya.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Ambarwati
Abstrak :
Lebih jauh jika merujuk pada prevalensi penderita dispepsia di seluruh dunia yang grafiknya terus meningkat (antara 7 hingga 41 persen per tahun) maka penelitian Muth yang menggunakan sampel kecil kurang bisa memberi gambaran secara umum tentang trait kepribadian dan kecemasan penderita dispepsia fungsional. Menurut data terakhir yang diperoleh pada penelitian tertutup di RSCM disebutkan dari 100 pasien dengan keluhan dispepsia, 80 persen mengalami dispepsia fungsional. Fakta-fakta ini mendorong penulis melakukan penelitian ulang dari penelitian Muth dengan menggunakan dua metode penelitian secara berurutan. Metode penelitian kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang trait kepribadian dan kecemasan penderita dispepsia fungsional di DKI Jakarta sedangkan metode penelitian kualitatif dengan menambahkan variabel stres dan strategi coping digunakan untuk melihat keunikan yang tergambar pada masing-masing kasus dispepsia fungsional. Penelitian kuantitatif dengan sampel 90 orang penderita dispepsia fungsional dilakukan di RSCM dan beberapa klinik di Jakarta. Penelitian ini mempergunakan cara penyebaran angket yang diadaptasi dari NEO P1-R buatan McCrae dan Costa (1990) dan Beck Anxiety Inventory buatan Beck (1985). Hasilnya ternyata trait neuroticism dan trait extraversion masing-masing memiliki pengaruh yang cukup kuat pada penderita dispepsia fungsional. Jika dibandingkan per subgrup dispepsia fungsional terlihat kalau pasien-pasien pada subgrup dysmotility-like dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait extraversion dan pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia serta non-specific dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait neuroticism. Mengenai kecemasan, 90 persen pasien memiliki kecemasan yang tinggi, dengan urutan pasien-pasien dari subgrup non-specific dyspepsia kecemasannya paling tinggi, disusul dengan pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia dan pasien-pasien dari subgrup dyrmotility-like dyspepsia. Selanjutnya dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara depth interview dan observasi terlihat bahwa pengaruh trait neuroticism membuat penderita menjadi sosok yang selalu worrying, emotional, insecure, dan inadequate; sedangkan pengaruh trait extraversion-introversion membuat penderita terlalu personal-oriented, aloof; quiet, retiring, unsociable, inexuberant, dan over optimistic. Mengenai gambaran kecemasan terlihat bahwa kecemasan yang tinggi berhubungan dengan riwayat stres berkepanjangan. Stres umumnya disebabkan daily hassl, namun pada sebuah kasus stres disebabkan oleh major life event. Selain itu stres ini pun berhubungan dengan: cognitive appraisal. Tentang gambaran strategi coping, seluruh sampel cenderung memilih emotional focus coping. Tetapi bila dilihat dari kronologis cerita di masa lalu terungkap bahwa dua orang sampel pernah mencoba melakukan problem focus coping hanya saja hasilnya tidak memuaskan hingga kemudian lebih memilih emotional focus coping. Sayangnya emotional focus coping yang dikembangkan oleh seluruh sampel masih kurang efektif dikarenakan mereka juga mengembangkan perilaku coping yang bersifat destruktif, yaitu: giving up, striking out at others, indulging self blaming self, dan defensive coping. Hal ini menyebabkan seluruh sampel masih terus mengalami dispepsia fungsiona.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Tati Sumiati
Abstrak :
Data statistik menunjukkan bahwa tindak kriminal dengan kekerasan yang mematikan (pembunuhan) yang dilakukan wanita mengalami peningkatan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan bahwa wanita yang melakukan yang membunuh suaminya adalah mereka yang telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Data tersebut, tampak berlawanan dengan asumsi stereotip tentang wanita. Wanita dipercaya memiliki sifat ramah, penuh kasih sayang, sensitif, hangat dan ekspresif serta seringkali digambarkan lebih toleran dan lebih mampu menghadapi masalah tanpa perlu menunjukkan tingkah laku - tingkah laku delinquency. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap kondisi tersebut hanya mengungkapkan data statistik deskriptif, tidak menggambarkan dinamika terjadinya serta faktor-faktor yang mendasari tindak kekerasan. Oleh karena itu, pembunuhan yang dilakukan wanita terhadap suaminya, menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika dan faktor-faktor yang melatarbelangi pembunuhan yang dilakukan wanita terhadap suaminya. Menurut Feldman (1993) pembunuhan termasuk ke dalam tindak kriminal terhadap orang. Pembunuhan merupakan bentuk agresi yang paling ekstrim (Krahe, 2005). Pembunuhan termasuk dalam tindak kriminal dengan kekerasan atau kekerasan kriminal yang mencakup tingkah laku melukai yang secara langsung melanggar hukum (Rollin, 1993), Teori yang digunakan untuk menjelaskan tingkah laku tersebut adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurut teori tersebut, suatu tingkah laku, termasuk tindak kriminal, dapat dijelaskan melalui model resiprokal triadik di mana tingkah Iaku, kognitif, dan faktor-faktor personal lainnya serta kejadian-kejadian di dalam lingkungan, keseluruhannya beroperasi sebagai hasil interaksi yang saling mempengaruhi sate sama lainnya (Feldman, 1993). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita T'angerang. Di Lapas ini tercatat 12 orang narapidana dengan kasus pembunuhan, namun hanya dua orang narapidana yang melakukan pembunuhan terhadap suami. Dengan demikian, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan subjek terjadi melalui suatu proses pembelajaran di salah satu atau keseluruhan lingkungan yang dimasuki subjek, baik lingkungan keluarga, teman, maupun lingkungan sosial yang lebih luas. Kondisi-kondisi di lingkungan ini mempengaruhi personal subjek, baik dalam pemikiran, maupun tingkah laku subjek. Faktor lingkungan dan personal yang dimiliki subjek tersebut mendasari subjek dalam mengambil keputusan ketika subjek berada dalam kondisi konflik dan frustrasi. Penelitian ini menamukan bahwa subjek yang mengalami frustrasi dalam menghadapi konflik perkawinan dan suami yang biasa melakukan tindak kekerasan terhadapnya, cenderung menyelesaikan konflik dengan tindak kekerasan lagi dalam hal ini pembunuhan terhadap suami. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan wanita melakukan pembunuhan terhadap suami selain adanya faktor kesempatan, insentif dan penilaian subjektif, juga adanya keterbangkitan emosi marah. Keterbangkitan emosi marah ini bersumber dari akumulasi terhadap ketidakpuasan dalam perkawinan, dan dipicu oleh kecemburuan. Konflik perkawinan yang dialaminya menimbulkan frustasi. Kondisi tersebut merupakan faktor kriminogenik, yang dapat menimbulkan suatu tindak kriminal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita dan pria memiliki kesamaan dalam melakukan agresi, baik ekspresi kemarahan maupun pengendaliannya memiliki kesamaan. Namun, wanita tetap menyadari secara fisik mereka lebih lemah dani pria sehingga dalam mengembangkan strategi-strategi yang memungkinkan untuk dilakukan, mereka (wanita) menunggu korbannya lengah. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dilakukan baik bagi subjek penelitan, masyarakat, Lembaga Pemasyarakatan maupun bagi peneliti lain yang tertarik untuk mendalami masalah-masalah tindak kriminal yang dilakukan wanita.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T17945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Anggraeni Rosmasuri
Abstrak :
Teori agresif Fromm menyatakan pada dasarnya seseorang yang terhalang oleh suatu hambatan atau tekanan karena dibatasi geraknya maka energi yang muncul dapat menjadi perilaku agresif. SMU Taruna Nusantara yang menerapkan pendidikan disiplin tinggi mewajibkan siswanya mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Hipotesis adanya hubungan positif antara pendidikan disiplin dan kecenderungan perilaku agresif siswa SMU Taruna Nusantara telah ditetapkan. Nilai disiplin dan kecenderungan agresif siswa SMU Taruna Nusantara kelas II dan kelas III diukur dengan angket. Angket disiplin dan angket agresif disusun dan divalidasi. Reliabilitas angket disiplin 0,5536 dan angket agresif 0,5217. Disiplin terdiri dari aspek disiplin penampilan, disiplin keseharian, disiplin belajar, disiplin pesiar, disiplin makan, dan disiplin tradisi. Agresif terdiri dari aspek agresif pengaruh massa, deindividuasi, tersinggung, pertahanan diri , dan frustasi. Berdasarkan analisis multivariat (analisis korelasi, analisis faktor, analisis regresi berganda, analisis diskriminan, dan analisis cluster) terhadap data angket diperoleh hasil hipotesis ditolak. Tidak ada hubungan positif antara pendidikan disiplin dan kecenderungan perilaku agresif pada siswa SMU Taruna Nusantara Magelang. Analisis korelasi mernperlihatkan disiplin tidak berkorelasi dengan agresif (koefisien 0,031 dan signifikansi 0.597). Korelasi lemah terjadi pada beberapa aspek disiplin dan aspek agresif, yaitu frustasi dan pengaruh massa. Analisis regresi berganda memperlihatkan beberapa aspek disiplin, kecuali aspek disiplin penampilan dan belajar mandiri, berhubungan dengan variabel tak bebas agresif atau aspek agresif. Perubahan nilai R2 yang kecil (0 s.d. -0.008) menunjukkan hubungan yang lemah. Analisis diskriminan dengan variabel tak bebas latar belakang siswa (jenis kelamin, kelas, cita-cita, dan pekerjaan orang tua) memperlihatkan hubungan antara latar belakang siswa dan beberapa aspek disiplin dan aspek agresif. Analisis cluster memperkuat hasil tidak ada hubungan positif antara agresif dan disiplin.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Risky Adinda
Abstrak :
Menjalani hubungan romantis yang memuaskan merupakan tugas perkembangan yang khas pada dewasa muda. Intimacy merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan romantis, yang telah konsisten ditemukan mempengaruhi kepuasan hubungan. Penelitian-penelitian sebelumnya meneliti pola attachment sebagai faktor individual yang mempengaruhi baik intimacy maupun kepuasan hubungan. Pola avoidant dan anxious attachment yang memanifestasikan rasa tidak amannya dengan menghindari atau mencemaskan hubungan romantisnya berkorelasi negatif dengan tingkat intimacy dan kepuasan hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek pola avoidant dan anxious attachment sebagai moderator antara intimacy dan kepuasan hubungan berpacaran pada dewasa muda. Sebanyak 881 dewasa muda (18-30 tahun) berpartisipasi dalam penelitian. Intimacy diukur menggunakan Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant dkk, 2016); pola attachment diukur menggunakan Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); dan kepuasan hubungan diukur menggunakan Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) intimacy dapat memprediksi kepuasan hubungan secara signifikan; (2) avoidant dan anxious attachment tidak signifikan memoderatori hubungan antara engagement dan communication intimacy dengan kepuasan hubungan; dan (3) pola anxious attachment signifikan memoderatori hubungan antara shared friends intimacy dan kepuasan hubungan. Dengan demikian, pengalaman shared friends intimacy dapat memberikan kepuasan hubungan yang lebih tinggi bagi individu dengan tingkat anxious attachment yang lebih tinggi. ......Having a satisfying romantic relationship is a typical developmental task for young adults. Intimacy is one of the important factors in romantic relationships, consistently found to affect relationship satisfaction. Previous studies have examined attachment style as the individual factor that influences both intimacy and relationship satisfaction. Avoidant and anxious attachment, which manifest their feelings of insecurity by avoiding or worrying about their relationship, negatively correlated with intimacy and relationship satisfaction. This study aims to test the effect of avoidant and anxious attachment style as a moderator between intimacy and relationship satisfaction. A sample of 881 young adults (18-30 years old) participated in the study. Intimacy was measured using the Personal Assessment of Intimacy in Relationships (Schaefer & Olson, 1981; Constant et al, 2016); attachment style was assessed using the Experiences in Close Relationships-Revised (Fraley, Waller, & Brennan, 2000); and relationship satisfaction was measured using the Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Results showed that (1) intimacy significantly predicted relationship satisfaction; (2) neither avoidant nor anxious attachment significantly moderated the relationship between engagement and communication intimacy with relationship satisfaction; and (3) anxious attachment significantly moderated the relationship between shared friends intimacy and relationship satisfaction. Thus, the experience of shared friends intimacy can promote higher relationship satisfaction for individuals with higher level of anxious attachment.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisia Kumala Masyhadi
Abstrak :
Keluarga merupakan kelompok individu yang suatu kesatuan. Hal ini berarti bahwa permasalahan yang dihadapi oleh suami istri (orang tua) juga akan berpengaruh kepada perkembangan dan dinamika anak-anak. Salah satu permasalahan dalam perkawinan yang kemudian men]adi masalah keluarga adalah poligini, dimana seorang suami memiliki lebih dari satu orang istri dalam waktu yang bersamaan. Dalam beberapa penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa keluarga poligini akan cenderung memunculkan dampak pada anak, antara lain permasalahan tingkah laku dan rendahnya prestasi anak (Krenawi, 1997). Dalam penelitian ini akan dibahas bagaimana dinamika konflik antara ayah dan anak dalam keluarga poligini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana data dari subek penelitian di dapat dengan cara wawancara dan observasi (Poerwandari, 2001). Diharapkan dengan menggunakan metode ini, data yang di dapat bisa lebih mendalam. Dalam penelitian ini diambil empat subyek secara acak, dengan karakteristik dan latar belakang yang berbeda satu lama lain. Data dari empat subyek ini diambil dengan cara wawancara dan observasi. Hasil yang diperoleh dari pengolahan data subyek yang telah dilakukan menggambarkan bahwa anak dalam keluarga poligini cenderung memiliki perasaan marah kepada ayahnya. Anak juga akan mengalami konflik berkaitan dengan pola hubungannya dengan ayah. Di satu sisi anak merasa marah dan ingin menghindar dari sosok ayah, di sisi lain ia masih merasa membutuhkan ayah dan atau menyayanginya sehingga harus menerima ayahnya dengan kondisi yang ada.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T16811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>