Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Baby Ahnan
"Masalah berangkat dart pengamatan keseharian terhadap masalah kegilaan. Kegilaan tampak sebagai gejala tetap kehidupan. Gejala ini tidak pernah hilang sepajang sejarah kehidupan manusia, sekalipun zaman mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, ada pendapat yang menganggap bahwa kegilaan adalah konsekuensi yang menyertai kemajuan zaman. Kasus kegilaan di zaman modern jauh lebih banyak daripada zaman primitif. Foucault beranggapan bahwa peningkatan jumlah kasus kegilaan di zaman modern disebabkan oleh semakin jauhnya manusia dari alam kodratnya. Kekuatan industri, perubahan cepat dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya telah mengasingkan manusia dari kemungkinan hidup otentik. Orientasi nilai menjadi rancu. Manusia cenderung dianggap sebagai alat yang dapat dikendalikan atau dimanipulasi. Orang lebih mudah menjadi pengekor orang lain atau bidak massa. Peningkatan konflik di zaman modern seiring dengan peningkatan jumlah kasus gangguan jiwa. Di Amerika, penelitian NIMH (National Institute of Mental Health) terhadap 17.000 sampel penduduk lima wliayah (Baltimore, New Haven, Connecticut, North Carolina, St. Louis dan Los Angeles) menunjukkan bahwa 19% sampel mengalami gangguan jiwa, dengan kata lain, 2 dari 10 sampel mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa meliputi 13 kategori gangguan mayor yang ditetapkan oleh American Psychiatric Association dalam DSM-111. Di Indonesia, Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor sebagai rumah sakit Jiwa kedua terbesar pada tahun 1997-1998 merawat 1.694 pasien. Tidak ada data kesembuhan. Kesembuhan dianggap sebagai kemungkinan yang sangat kecil atau nihil. Dlanggap bahwa faktor utama penghalang kesembuhan adalah sikap negatif masyarakat terhadap kasus kegilaan. Bila ada seorang pasien rumah sakit jiwa yang dinyatakan telah sembuh dan dapat kembali bergabung dalam masyarakat, blasanya masyarakat setempat akan menolak kehadiran bekas paslen tersebut, sehingga paslen akan kembali lagi ke rumah sakit jiwa dalam keadaan yang lebih parah dari sebelumnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: McGraw-Hill , 1987
616.890 2 COM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Deasyanti
"Latar Belakang: Jumlah orang dengan gangguan jiwa semakin meningkat, namun tidak diikuti dengan pelayanan psikiatrik yang optimal, baik perawatan secara informal maupun formal, jumlah petugas sosial yang berimbang dan kemampuan teknis keperawatan dalam memberikan pelayanan sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil petugas, kebutuhan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas panti dan petugas kesehatan Panti Sosial BinaLaras Harapan Sentosa (PSBL) 2 Cipayung.
Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-kuantitatif melalui observasi dan pengisian kuesioner bagi seluruh petugas panti dan petugas kesehatan PSBL Harapan Sentosa 2 Cipayung pada periode April-Mei 2014.
Hasil: Didapatkan PNS (50%) dengan tugas sebagai staf administrasi yang memiliki latar belakang pendidikan terbanyak SMA (58,5%) dan belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai kesehatan (73,91%). Pengetahuan yang dibutuhkan: pengertian mengenai gangguan jiwa yang memahami hanya (13%), faktor yang menjadi penyebab munculnya ganggguan jiwa yang memahami (45,6%), gejala yang paling sering muncul terbanyak yang memahami (54,4%), masalah yang sering muncul terbanyak tidak mau merawat diri (54,4%), kebutuhan yang dibutuhkan terbanyak pengertian dan dukungan dari orang yang merawat (72,2%), kesulitan terbanyak menentukan diagnosis dan kriteria gangguan jiwa (50%), kendala terbanyak berkaitan dengan fisik (61%) dan hal yang dapat terjadi jika tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup adalah risiko kekerasan (65,5%). Prioritas pengetahuan yang dibutuhkan: deteksi gangguan jiwa, gangguan jiwa, dan manajemen keperawatan. Prioritas keterampilan: perawatan gangguan jiwa, dan cara mengatasi gaduh gelisah. Dari (95,6%) membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dengan metode yang dipilih pelatihan dan pendampingan perawat yang sudah berpengalaman. Sebanyak (73,9%) menyatakan sudah ada ketersediaan sarana. Sarana tersebut adalah Rumah Sakit (81,5%) dan (100%) bersedia untuk mengikutinya.
Simpulan: Profil petugas panti dan petugas kesehatan di PSBL 2 Harapan Sentosa memiliki tingkat pendidikan terbanyak bukan dengan latar belakang kesehatan dan hanya sedikit petugas panti dan petugas kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan mengenai gangguan jiwa. Petugas panti dan petugas kesehatan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dibidang kesehatan jiwa mengenai gangguan jiwa, perawatan dan kendala dan kesulitan yang dihadapi dengan metode pelatihan dan pendampingan.

Background: People with mental disorder is increasing nowadays. Unfurtunately it is not followed with optimal mental health services, number of institution officers and technical nursing capability for those officers. The aim of this research is to identified profile, knowledge, and still requirements of intitutions officers and medical staff in Bina Laras Harapan Sentosa 2 Social Institution Cipayung East Jakarta.
Method: The design of this research was qualitative-quantitative through observation and filling up questioner for institution officers and medical staff in Bina Laras Harapan Sentosa 2 Social Institution Cipayung East Jakarta on April-May 2014.
Result: From 46 participants, 50% was administration staff with high school educational background. About 73,91% had never have medical training before. Requirements of knowledge are: knowledge of mental disorder 13% understanding, factors that contribute to the onset of mental disorder 45,6%, symptoms that often appears 54,4%, most encountered problems lack of self caring about 54,4%, crucial needs supoort from caregiver for about 72,2%, difficulties in handling people with mental disorder diagnosis and criteria of mental disorder for about 50%, obstacle in disease for about 61% and things to except with lack of knowledge and skill risk for asssault for about 65,5%. Priority of knowledge needed are detection of mental disorder, mental disorder, and nursing management. Priority of skill are nursing for mental disorder and handling of agitation. About 95,6% officers require knowledge and skill to taking care of people with mental disorder. They prefer training and supporting methods from experienced capable nurse.About 73,9% officers affimerd that there is already hospital 81,5% to help improve, knowledge, skill amd all of the, are willing to participate.
Conclusion:Most of intitutional officers and medical staff in PSBL 2 dont have medical educational back ground. Among them only few have a tarining about mental disorder. Institutional officer and medical staff need knowledge and skill about mental disorder, nursing management and also difficulties in applying methods of training and supporting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Widakdo
"Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan 11,6% penduduk
Indonesia berumur 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyakit kronis terhadap
gangguan mental emosional. Desain penelitian ini adalah potong lintang
mengggunakan data Riskesdas tahun 2007. Sebanyak 660.452 responden
berusia di atas 15 tahun yang tidak mengalami gangguan jiwa dijadikan
sampel. Gangguan mental emosional dinyatakan ada jika responden mem-
punyai paling tidak enam dari 20 gangguan. Penyakit kronis seperti tuber-
culosis (TB) paru, hepatitis, jantung, diabetes, kanker, dan stroke diukur
melalui wawancara yang didasarkan pada diagnosis petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh penderita penyakit kronis,
dua sampai lima penderita akan mengalami gangguan mental emosional.
Analisis regresi logistik multivariat memperlihatkan bahwa risiko gangguan
mental emosional semakin tinggi bersamaan dengan semakin banyak jum-
lah penyakit kronis yang diderita oleh responden. Responden yang
menderita satu penyakit kronis berisiko 2,6 kali lebih besar untuk mengala-
mi gangguan mental emosional, yang menderita dua penyakit kronis
berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga penyakit kronis atau lebih berisiko 11
kali. Kementerian Kesehatan disarankan untuk mengembangkan standar
pelayanan penyakit kronis terkait dengan pengurangan dampak pada gangguan
mental emosional dan dibentuknya tim bimbingan teknis pelayanan penyakit
kronis.
Basic Health Research (Riskesdas) year 2007 showed that 11.6 percent of
Indonesia?s population aged 15 years and above suffering from mental emo-
tional disorder. This study aimed to examine the effects of chronic illness to
the mental emotional disorders. A cross-sectional study was performed that
used Riskesdas 2007 data. A total of 660,452 respondents aged 15 years
and over who are mentally health become sample of this study. Mental
Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental
Emosional
Effects of Chronic Illness to the Mental Emotional Disorders
Giri Widakdo* Besral**
*Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, **Departemen Biostatistika dan Ilmu
Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
emotional disorders exist if they have at least six of the 20 disorder. Chronic
diseases such as pulmonary tuberculosis, hepatitis, heart disease, dia-
betes, cancer, and stroke were measured based on diagnosis by health pro-
fesional. The results showed that out of ten respondents with chronic
illness, aproximately two to five will suffering from mental emotional dis-
order. Multivariat logistic regression analysis shows that the risk of developing
mental emotional disorders higher as more number of chronic illnesses suffered
by the respondent. Respondents suffering from one chronic disease were 2.6
times greater risk for emotional mental disorder, suffering from two chronic dis-
ease have risk 4.6 times, which had three or more chronic disease risk have risk
11 times. It is suggested that the Ministry of Health to develop a standard of
care of chronic diseases associated with reducing impact on the mental
emotional disorders and establishment of teams for technical guidance
chronic disease care."
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yunia Fitriani
"ABSTRAK
Pendahuluan. Gangguan mental emosional adalah keadaan distress psikologik yang jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan gangguan jiwa berat dan disabilitas. Prevalensi gangguan mental emosional yang dialami oleh perawat perempuan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, rumah sakit rujukan tersier di Indonesia, pada tahun 1998 adalah sebesar 17,7%. Salah satu bahaya potensial psikososial yang diduga berhubungan dengan gangguan kesehatan mental adalah konflik pekerjaan-keluarga.
Metode. Disain penelitian menggunakan studi potong lintang dengan mencari hubungan antara variabel bebas konflik pekerjaan-keluarga dan faktor individu serta faktor pekerjaan lainnya dengan variabel terikatnya yaitu gangguan mental emosional. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner konflik pekerjaan-keluarga, SRQ 20 dengan populasi penelitian perawat perempuan yang bekerja di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Hasil. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 23,5%. Faktor paling dominan yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah konflik pekerjaan-keluarga (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) dan tingkat pendidikan (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Kesimpulan. Didapatkan hubungan yang bermakna antara konflik pekerjaan-keluarga dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di Indonesia.

ABSTRACT
Introduction: Emotional mental disorder is a state of psychological distress that, if not handled properly, can lead to severe mental disorders and disabilities. The prevalence of emotional mental disorder experienced by female nurses at the National General Hospital (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, tertiary referral hospital in Indonesia, in 1998 was 17.7%. One potential psychosocial hazard that is thought to be related to mental health disorders is the work-family conflict.
Methods: This was a cross-sectional study by looking for relationship between the independent variable work-family conflict, individual factors and work factors with dependent variable emotional mental disorder. The instruments used in this study are work-family conflict questionnaire and SRQ 20 with study population is female nurses whom are working at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Results: The prevalence of emotional mental disorder in female nurses at Dr.Cipto Mangunkusumo RSUPN is 23.5%. The most dominant factor associated with emotional mental disorder in female nurses at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo is work-family conflict (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) and level of education (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Conclusion: There is a significant relationship between work-family conflicts and emotional mental disorders in female nurses in Indonesia."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Princessa
"Pendahuluan: Adiksi internet merupakan masalah kesehatan yang terus meningkat. Kelompok usia dewasa dan remaja, yang merupakan kelompok usia pada mahasiswa kedokteran, adalah populasi yang paling rentan mengalami adiksi internet. Masalah emosi dan depresi sering ditemukan bersama dengan adiksi internet. Metode: Penelitian ini dilakukan secara potong lintang dengan menyebarkan kuesioner Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), dan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) kepada seluruh mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) secara daring dengan menggunakan Google Forms. Setelah itu, dilakukan uji statistik dengan SPSS edisi 25 untuk menemukan hubungan antara masalah emosi, depresi, dan adiksi internet. Hasil Penelitian: Didapatkan 153 responden penelitian dari mahasiswa preklinik FKUI. Prevalensi adiksi internet pada mahasiswa FKUI adalah 20,26%, sedangkan prevalensi masalah emosi adalah 26,79%. Ditemukan bahwa tingkat kejadian masalah emosi lebih tinggi secara signifikan pada populasi adiksi (61,3%) dibandingkan tidak adiksi (18,0%) dan terdapat hubungan signifikan antara masalah emosi dan adiksi internet (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)). Depresi juga lebih banyak ditemukan pada kelompok adiksi (58,1%) dibandingkan yang tidak adiksi dan ditemukan hubungan yang signifikan antara keduanya (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Kesimpulan: Masalah emosi dan depresi ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan adiksi internet.
Introduction: Internet addiction is an ever increasing health problem. Teenagers and young adults, which are the age groups of medical students, are populations most prone to internet addiction. Emotional problems and depression are often found alongside internet addiction. Methods: This cross-sectional study was done with the Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), and Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) given out to preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia online via Google Forms. Statistical tests were done with SPSS 25th edition to assess the relationship between emotional problems, depression, and internet addiction. Results: A total of 153 preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia were involved in this study. The prevalance of internet addiction was found to be 20,26%, while the prevalance of emotional problems was 26,8%. The prevalance of emotional problem was found to be greater in students with internet addiction (61,3%) than students without internet addiction (18,0%) and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)).  The prevalance of depression was also found to be greater in students with internet addiction (58,1%) than students without internet addiction and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Conclusion: Emotional problems and depression was found to be significantly associated with internet addiction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livana Ph
"Gangguan jiwa merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik didunia maupun di Indonesia. Jumlah gangguan jiwa di kabupaten Kendal meningkat sehingga meningkatnya stres pada keluarga. Penelitian bertujuan untuk menilai efektifitas relaksasi otot progresif dalam menurunkan stres keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa. Desain penilitian quasi eksperiment pre-post test with control group dengan 96 sampel secara purposive sampling, 48 kelompok intervensi dan 48 kelompok kontrol. Hasil penelitian relaksasi otot progresif sangat efektif menurunkan stres keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa dibanding kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan (p= 0,001). Rekomendasi penelitian relaksasi otot progresif diberikan pada keluarga pasien gangguan jiwa untuk mengatasi stres keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
610 JKI 21:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bing Wantoro
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Untuk mengetahui hubungan stresor kerja dengan gejala gangguan kesehatan jiwa, serta faktor risiko yang mempengaruhinya telah dilakukan penelitian Cross Sectional pada 410 orang karyawan di Urusan Pengawasan Perbankan sebuah bank di Jakarta. Instrumen yang digunakan ialah Kuesioner Diagnosis Sires untuk mengukur stresor kerja konflik peran, ketaksaan peran, beban kerja kualitatif, beban kerja kuantitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain dan Kuesioner Symptoms Check List 90 (SCL 90) untuk mengukur adanya gejala gangguan kesehatan jiwa atau psikopatologi. Kedua instrumen ini sudah divalidasi dan dinilai cukup akurat untuk digunakan pada orang Indonesia. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, dilanjutkan dengan matrik korelasi dan linear multivariate regression.
Hasil dan Kesimpulan : Didapatkan persentase tertinggi pada ke enam stresor kerja yaitu pada derajat stres sedang. Prevalensi gejala gangguan kesehatan jiwa pada populasi ini 27.5% ( lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum perkotaan ). Keenam stresor kerja menunjukkan hubungan sangat bermakna dengan gejala gangguan kesehatan jiwa yang timbul, kecuali stresor kerja tanggung jawab terhadap orang lain untuk kelompok derajat stres tinggi. Kecendrungan untuk timbulnya gejala gangguan kesehatan jiwa berkisar 2.3 - 6.7 x lebih besar untuk kelompok derajat stres sedang dan 7.8 - 36.7 x lebih besar untuk kelompok derajat stres tinggi dibandingkan kelompok derajat stres rendah. Ke enam stresor kerja juga menunjukkan korelasi positif bermakna dengan gejala gangguan kesehatan jiwa dengan koefisien korelasi terendah pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (r = 0.30) dan tertinggi pada stresor kerja beban kerja berlebih kualitatif ( r = 053 ). Yang paling berperan terhadap timbulnya gejala gangguan jiwa yaitu stresor beban kerja kualitatif, dan yang terkecil perannya ialah stresor tanggung jawab terhadap orang lain. Juga didapat hasil bahwa masih ada faktor-faktor lain yang cukup berperan tetapi tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Adapun kumpulan gejala gangguan kesehatan jiwa yang menonjol pada populasi ini ialah somatisasi ( 46.3 % ), obsesi-kompulsi ( 45.6 %) dan psikotisisme ( 43.9%). Faktor sosio-demografi (umur, sex, pendidikan, status perkawinan, jabatan, dan lama bekerja ) tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap gejala gangguan kesehatan jiwa. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya gejala gangguan kesehatan jiwa.

The Scope and Method of Study : In order to study the relationship between work stressors and mental disorder symptoms together with the influencing risk factors, a cross sectional study has been done on 410 Bank Monitoring Department employees of a bank in Jakarta. The instruments used were Stress Diagnostic Questionnaire which measured the work stressors, i.e. role conflict, role ambiguity, work overload (both quantitative and qualitative), career development and personal responsibility and Symptom Check List 90 Questionnaire (SCL-90) to measure the existence of mental disorder symptoms or psychopathology. Both instruments have been validated and regarded to be accurate enough to be applied on Indonesian people. Collected data have been analyzed using bivariate analysis, continued with correlation matrix and linear multivariate regression.
Results and Conclusion : The highest percentage found in the six work stressors is on moderate stress level. The prevalence of mental disorder symptoms in this population is 27.5% ( higher compared to most people in urban cities ). There are significantly relationship between the six work stressors and mental disorder symptoms, except for the personal responsibility stressor for the high level stress group. The tendency of mental disorder symptoms occurrence was 2.3 - 6.7 X higher for the moderate stress level group and 7.8 - 36.7 X higher for high Ievel stress group compared with low level stress group. The six work stressors also show a significantly positive correlation with mental disorder symptoms and the lowest correlation coefficient on personal responsibility stressor ( r = 0.30 ), the highest on qualitative work overload stressor ( r = 0.53 ). Among the six stressors, the most dominant in causing mental disorder symptoms is qualitative work overload stressor and the least dominant is personal responsibility. There are other important influencing variables but not included in this research. The dominant mental disorder symptoms in this population are somatisation ( 46.3% ), obsessi-kompulsive ( 45.6% ) and psychotisism ( 43.9% ). There are no significantly relationship between socio-demography factors ( age, sex, education, marital status, title and number of years in the job) and mental disorder symptoms. A further research will have to be conducted by including the other mental disorder influencing factors.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasanto Wibisono
"Dengan memilih judul tersebut di atas, saya mencoba membahas peran psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa dalam berbagai segi kehidupan, termasuk juga perannya bagi pendekatan integratif di bidang kedokteran.
Dengan memahami peran psikiatri dalam berbagai segi kehidupan, diharapkan bahwa dasar-dasar pengetahuan dan pengamalan bidang psikiatri dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dalam upaya meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup.
Meskipun sudah lebih dari satu abad psikiatri menjadi bagian bidang ilmu kedokteran, ternyata masih banyak yang tidak mengetahui lingkup peran psikiatri secara benar, baik di kalangan awam maupun lingkup kedokteran sendiri. Peran psikiatri masih selalu dikaitkan dengan gangguan jiwa saja, padahal cakupan peran psikiatri sebagian besar justru di dalam berbagai aspek kehidupan yang menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kesehatan jiwa individu maupun masyarakat. Perkembangannya di Indonesia tidak terlepas dari bayangan stigma yang masih kuat terhadap gangguan jiwa.
Psikiatri dan Kesehatan Mental (Psychiatry and Mental Health)
Saat ini masih ada beberapa kerancuan pada makna istilah, yang dapat menghambat usaha memasyarakatkan psikiatri.
Istilah psikiatri (inggris: psychiatry) diangkat dari bahasa Yunani, yaitu psyche (soul, mind - kehidupan mental, baik yang sadar maupun bawah sadar dalam bahasa Indonesia: roh, jiwa, mental) dan iatreia (healing- penyembuhan). Sesuai dengan kedudukannya sebagai bidang ilmu, maka di dalam bidang psikiatri, psyche berarti mind atau mental dan bukan berarti soul atau roh.
Dalam bahasa Indonesia, jiwa dapat berarti: (1) roh, nyawa, atau (2) seluruh kehidupan batin manusia yang terdiri dari perasaan, pikiran, angan-angan, dsb. Dalam hubungan dengan psikiatri, diambil pengertian yang kedua, bukan roh. Penggunaan istilah jiwa juga dapat menimbulkan salah pengertian, karena sering dikaitkan dengan segi spiritual.
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Psikiatri merupakan istilah bahasa Indonesia untuk Psychiatry, dan Kesehatan Jiwa untuk Mental Health. Meskipun sudah lama digunakan, masih sering terjadi kerancuan pengertian antara Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa tersebut.
Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) adalah cabang spesialistik Ilmu Kedokteran, yang mempelajari patogenesis, diagnosis, terapi, rehabilitasi, pencegahan gangguan jiwa dan peningkatan ikhtiar peningkatan taraf kesehatan jiwa. Penyandang profesi keahliannya adalah psikiater atau spesialis kedokteran jiwa.
Kesehatan Jiwa (Mental Health) merupakan bidang yang luas, yang menggambarkan segi kualitas taraf kesehatan di bidang kejiwaan. Meskipun psikiatri mempunyai peran sangat penting dalam bidang kesehatan jiwa, sebenarnya kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab semua pihak, bersifat multidisiplin dan multisektor (berbagai pihak/bidang disiplin baik dalam lingkup kedokteran maupun lainnya - misalnya psikologi, ilmu sosial, keluarga, masyarakat, segi budaya, segi agama/spiritual, sosio-ekonomi, dsb.) Untuk menghindari kerancuan, akan lebih jelas kiranya bila psychiatry diterjemahkan menjadi psikiatri dan mental health dengan kesehatan mental."
Jakarta: UI-Press, 1998
PGB 0147
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Janto Thomarius
"ABSTRAK
Sejak dahulu kala infertilitas sudah merupakan masalah. Kisah-kisah tersebut juga bisa didapatkan dalam Al Qur'an dan Alkitab. Hippocrates (460 SM) sebagai bapak kedakteran telah menaruh minat dalam masalah infertilitas dan telah menulis "On Sterile". (IQ) Pada tahun-tahun akhir ini cukup banyak kepustakaan yang menuliskan timbulnya gangguan mental emosional dan ganngguan disfungsi psikoseksual pada pasangan infertil. Menurut Elstein (1975) pasangan infertil secara potensiil mudah mengalami abnormalitas dalam fungsi seksual mereka dan dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Infertilitas sebagai penyebab masalah psikoseksual.
2. Masalah psikoseksual yang mendasari infertilitas, seperti vaginismus, impotensi, ketidak sanggupan ejakulasi, ketakutan dan kecemasan.
3. Secara kebetulan sudah mengalami abnormalitas seksual, seperti ketidak mampuan orgasme (anorgasmia) dan ejakulasi prematur. (30)
Juga oleh Berger. (I976) dikatakan bahwa cara yang paling sederhana dan mudah dimengerti adalah adanya konflik psikologik yang dapat menyebabkan infertilitas dan kemudian berakibat pada penampilan seksual (sexual performance) (5). Masalah seksual sering diklasifikasi menurut gangguan penampilan. Pada laki-laki seringkali dijumpai adanya impotensi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retarda, serta frekuensi hubungan seks yang berubah. Kekurangan atau kelebihan hubungan seks mungkin berpengaruh terhadap terjadinya infertilitas. Sedangkan pada wanita seringkali mengalami tidak adanya libido (frigiditas), hambatan orgasme dan vaginismus. Baik pada laki-laki maupun pada wanita maka gangguan psikoseksual dapat bersifat primer atau sekunder. (5)
Seibel dan Taymor (1982) menyatakan bahwa pengobatan dan evaluasi dari infertilitas membutuhkan sejumlah besar perhatian terhadap hubungan seks. (30) : Sedangkan Sandler (1959) menyatakan bahwa bukti jelas hubungan antara stres dan infertilitas dapat ditemukan pada pasien yang mengalami dispareunia, ketidak mampuan orgasme dan lain-lain gangguan seksual. (29) Kaplan (1982) menyatakan bahwa pasangan infertil memerlukan evaluasi psikiatrik. Disharmoni perkawinan atau konflik emosional bisa mempengaruhi keintiman hubungan seks, peran suami atau isteri dan dapat secara langsung mempengaruhi fungsi endokrin dan proses fisiologik seperti ereksi, eyakulasi dan ovulasi.(11)?
"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>