Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37399 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alexandra Herninda Permadi
"Tulisan ini memahami bagaimana komponen-komponen heterogen pada suatu ruang membentuk assemblage yang berkontribusi dalam proses teritorialisasi, deteritorialisasi, dan reteritorialisasi identitas teritori melalui repetisi, pergerakan, dan habit. Tulisan ini bertujuan mengetahui bagaimana identitas dalam suatu ruang terbentuk secara dinamis dan terus dinegosiasikan oleh aspek dalam ruang spasial yang terus berubah. Di dalam proses ini, pembentukan identitas hadir melalui repetisi pergerakan yang menstabilkan peran komponen di dalam ruang melalui proses teritorialisasi. Akan tetapi, ketika kestabilan terganggu, proses deteritorialisasi dapat terjadi yang kemudian dapat distabilkan kembali melalui proses reteritorialisasi. Repetisi pergerakan dapat terinternalisasi dalam diri individu menghadirkan habit sebagai proyeksi pengalaman yang membawa proses teritorialisasi ke ruang dengan konteks serupa. Penulisan ini menganalisis permainan Valorant sebagai kasus. Analisis dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) pergerakan sebagai pembentuk identitas melalui repetisi dan (2) identifikasi komponen dalam transformasi identitas ruang. Pendekatan pertama menganalisis bagaimana rangkaian repetisi pergerakan dalam ruang dapat membentuk identitas melalui pola dan ritme yang menghadirkan proses teritorialisasi. Pendekatan kedua mengidentifikasi komponen yang terlibat dalam transformasi identitas melalui proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi. Hasil dari studi menunjukkan bahwa proses pembentukan identitas ruang terjadi secara dinamis melalui repetisi pergerakan yang menuntun variasi relasi antar komponen heterogen yang perannya dapat terus dinegosiasikan di dalam ruang.

This paper explores how heterogeneous components within space form an assemblage that contributes to the processes of territorialization, deterritorialization, and reterritorialization of territorial identity through repetition, movement, and habit. This paper aims to understand how spatial identity is dynamically formed and negotiated through the changing aspects of the spatial environment. Identity formation emerges through repetitive movement that stabilizes the roles of components within space through territorialization. However, when this stability is disrupted, deterritorialization may occur and can be restabilized through reterritorialization. Repetitive movement can be internalized and manifested as habit within individuals, projecting the territorialization process into similar spatial contexts. This paper analyzes Valorant as a case. The analysis is conducted through two approaches: (1) movement as a spatial process that forms identity through repetition and (2) identification of components in the transformation of spatial identity. The first approach explores how movement repetition within space forms identity through patterns and rhythms that present the territorialization process. The second approach identifies components involved in the identity transformation through deterritorialization and reterritorialization processes. This study indicates that the spatial identity formation process occurs dynamically through repetitive movements, guiding variations in relation between heterogeneous components whose roles can continuously be negotiated within space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Nabilla Putri
"Skripsi ini membahas temporal framing sebagai strategi dalam mengidentifikasi dan mengekspos identitas place melalui urutan stimulus yang direspon indera saat subjek bergerak dan beraktivitas dalam ruang. Rangkaian stimulus di- frame untuk membentuk narasi spasial yang terfragmentasi namun saling terhubung. Kerangka analisis pada studi kasus ini menelusuri pengalaman ruang sebagai susunan layer yang tersembunyi dan terekspos, visibilitasnya diatur oleh temporal framing sebagai mekanisme filtrasi dalam membaca place. Temporal framing yang terjadi pada kasus restoran open kitchen menjadi strategi menyusun multi identitas agar area-area dalam dapur dapat dibaca secara runut. Dengan mengaitkan Chain of Sensation, Spatial performativity, dan layering. Analisis studi kasus menunjukkan bagaimana pengalaman multisensoris disusun secara spasial dan temporal untuk menghasilkan pengalaman ruang dengan identitas tertentu. Manipulasi persepsi ruang melalui pengaturan visibilitas, dan intensitas stimulus menjadi kunci dalam menciptakan pengalaman interior pada area open kitchen. Hasil analisis menegaskan bahwa pembacaan identitas ruang merupakan hasil dari respon tubuh terhadap rangkaian stimulus yang di -framing secara temporal, sehingga persepsi dan identitas place terbentuk melalui bekerjanya temporal framing yang memunculkan dinamika kehadiran identitas layer antara yang tersembunyi dan terekspos.

This study discusses temporal framing as a strategy for identifying and exposing the identity of a place through a sequence of stimuli perceived by the senses as the subject moves and engages within space. These stimuli are framed to form a spatial narrative that is fragmented yet interconnected. The analytical framework of this case study traces spatial experience as a composition of layered elements, both hidden and exposed, with their regulated visibility through temporal framing as a filtering mechanism in perceiving ‘place’. In the context of the open kitchen restaurant, temporal framing becomes a strategy to arrange multi identity so that the areas within the kitchen can be read sequentially. Through the integration of the Chain of Sensation, Spatial Performativity, and Layering. The case study analysis demonstrates how multisensory experiences are spatially and temporally arranged to produce a space with more specific identity. Manipulation of spatial perception through the control of visibility and the intensity of stimuli becomes essential in creating interior experience of the open kitchen. The analysis results reveal that the perception of spatial identity is the result of the body’s response to a sequence or a series of stimuli that are temporally framed, so that perception and place identity are formed through the operation of temporal framing, which brings about the dynamic presence of identity layers between the hidden and the exposed."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febbiyanti Satyabudhi
"Program televisi berkontribusi dalam memberikan penggambaran terkait segala aspek realitas mengenai suatu ruang. Pada program Indonesia Bagus Episode Kehidupan di Atas Rawa, semua penggambaran terkait kehidupan pada Rawa Paminggir didasarkan pada persepsi pembuat dan masyarakat dalam mempersepsikan Rawa Paminggir sebagai suatu entitas ruang menggunakan metode hermeneutika. Fokus dalam penelitian ini menggunakan konsep representational of space yang mana ruang dinyatakan sebagai sesuatu yang ‘dibayangkan’ hasil ciptaan kelompok dominan. Melalui konsep representational of space, sebuah media dalam bentuk program televisi dianggap mampu menciptakan suatu citra ruang yang terbentuk oleh persepsi atau bayangan dan imajinasi si pembuatnya.. Konteks besar penelitian ini adalah mata pencaharian masyarakat.
Hasil intepretasi dalam Program Indonesia Bagus Episode Kehidupan di Atas Rawa menghasilkan 6 nilai lanskap yang tersebar di tujuh tempat pada Desa Bararawa dan Desa Sapala. 6 nilai lanskap tersebut diantaranya nilai kebudayaan, nilai rekreasi, nilai sosial, nilai subsisten, nilai ekonomi, dan nilai lingkungan. Nilai kebudayaan tersebar di seluruh elemen intangible dan tangible. Nilai rekreasi dan nilai sosial muncul di elemen intangible seperti pacuan kerbau, dan sebagian elemen tangible yakni kalang & tempat penumbuk purun. Nilai subsisten tersebar di seluruh elemen vernakular. Nilai ekonomi muncul sebagian besar pada elemen vernakular seperti sungai & rawa, padang purun, dan hutan dan sebagian pada elemen tangible yakni kalang. Nilai lingkungan muncul pada sebagian elemen vernakular yakni padang purun, sungai & rawa serta hutan. Identitas Rawa Paminggir dalam konteks nilai lanskap dimaknai sebagai suatu tempat menyambung hidup yang sarat tradisi, unik dan menarik, memiliki sumber daya yang makmur, namun secara bersamaan juga terbatas karena sifatnya yang rentan.

Television program can contribute to create an image of the space. In Indonesia Bagus Program Episode Kehidupan di Atas Rawa. All the image of the space related Rawa Paminggir’s livelihood are formed through author’s perception and people’s perceptions in interpreting Rawa Paminggir as a spatial entity. This research examines how place identity produced through those perceptions use representation of space concept used hermeneutics methods. This research always based on context, which the big context is about livelihoods. Intepretation of the narrations on Indonesia Bagus produced 6 landscape values that spread on 7 segment places in Desa Bararawa and Desa Sapala. There are 6 landscape values, it consists cultural value, recreation value, social value, economic value, subsistent value, and cultural value. Cultural value is spread all over intangible and tangible elements. Recreation value and social value are appearing on intangible element such as kerbau rawa races, and tangible elements such as kalang dan tempat penumbuk purun. Subsistent value is spread on vernacular elements. Economic value appears on tangible element such as kalang and vernacular elements such as padang purun, forest, river, and swamp. Cultural value appears on vernacular element such as padang purun, river, swamp, and forst. The identity of Rawa Paminggir produced based on those values are place to live in, full of tradition, unique, interested, prosperous but at the same time limited because the susceptibility to environments.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Putri Palanungkai Nayar
"Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana identitas diri perempuan Indonesia penggemar K-Pop dinegosiasikan dalam konteks relasi intim yang termediasi media sosial antara penggemar dan figur idola. Studi-studi terdahulu menjelaskan bahwa ekspresi identitas diri penggemar berkaitan dengan konsumsi sebagai manifestasi dari bentuk ekspresi dan loyalitas terhadap idola, motivasi dalam diri, hingga pengaruh dari komunitas dan figur idola. Namun, belum banyak studi yang mengkritisi media sosial turut berkontribusi terhadap relasi penggemar dengan idola dan cara penggemar K-Pop merepresentasikan identitas mereka. Peneliti berargumen bahwa representasi identitas penggemar K-Pop berkaitan dengan aktivitas digital yang dilakukan dan dinegosiasi dalam konteks relasi khas antara penggemar-idola. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam terhadap penggemar perempuan, serta didukung oleh observasi media sosial dan tinjauan literatur untuk memahami dinamika konstruksi intimacy dan identitas dalam konteks penggemar K-Pop. Penelitian ini menyoroti bahwa representasi diri dan identitas sebagai penggemar sangat berkaitan dengan aktivitas digital dalam konteks fandom, termasuk produksi konten, keterlibatan dalam komunitas, serta konsumsi terhadap segala sesuatu terkait figur idola. Lebih jauh, studi ini menemukan bahwa intimacy yang dimediasi media tidak hanya menjadi pengalaman personal, tetapi juga memunculkan adanya elitisme di kalangan penggemar serta diproduksi melalui logika platform dan algoritma yang bekerja dalam ruang digital.

This research explores how the self-identity of Indonesian women K-Pop fans is negotiated in the context of intimate relationships mediated by social media between fans and idols. Previous studies explain that the expression of fans' self-identity is related to consumption as a manifestation of forms of expression and loyalty towards idols, intrinsic motivation, and the influence of the community and idol figures. However, there have not been many studies that critique how social media contributes to the relationship between fans and idols and how K-Pop fans represent their identities. The researchers argue that the representation of K-Pop fans' identities is related to the digital activities they engage in and negotiate within the unique fan-idol relationship context. This research employs a qualitative approach with in-depth interviews of female fans, supported by social media observation and literature review to understand the dynamics of intimacy and identity construction in the context of K-Pop fandom. The study highlights that self-representation and identity as fans are closely related to digital activities within the fandom context, including content production, community engagement, and consumption of everything related to the idol figure. Furthermore, this study found that media-mediated intimacy not only becomes a personal experience but also gives rise to elitism among fans and is produced through the logic of platforms and algorithms operating in the digital space."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Larasati
"ABSTRAK
Pengamen jalanan lekat dengan pandangan negatif dari warga sekitar dan aturan hukum yang membatasi praktik mengamen mereka. Dalam kasus Indonesia, di Depok, Jawa Barat, sebuah kelompok pengamen jalanan bernama Institut Musik Jalanan IMJ menemukan jalan keluar dengan membuat album musik sendiri. Penelitian ini berfokus pada bagaimana pengamen jalanan IMJ berupaya menegaskan identitas dengan menunjukkan kemampuan dan kompetensi mereka bermain musik di jalur komersial. Menerapkan logika struktur dan agensi Margaret Archer 1996 mdash;siklus morfogenesis mdash;penelitian ini menemukan bahwa identitas personal dan kelompok pengamen jalanan IMJ tidak terbentuk dalam satu waktu. Lebih mendalam lagi, pengamen jalanan IMJ melawan kondisi struktur dengan membentuk struktur baru dan senantiasa bertindak refleksif. Proses tersebut menunjukkan bahwa pembentukan identitas pengamen jalanan IMJ terjadi melalui pengulangan struktur dan agensi.

ABSTRAK
Street buskers are attached with negative views from people around and laws that limit their busking practice. In Indonesia case, located in Depok, West Java, a street buskers group named Institut Musik Jalanan IMJ finds a way out by making their own music album. This research focuses on how IMJ street buskers define identity by showing their capability and competency of playing music in commercial way. Using Margaret Archer rsquo s logic of structure and agency 1996 mdash the morphogenetic cycle mdash this research finds that IMJ street buskers rsquo personal and group identity are not formed in one time. Furthermore, IMJ street buskers resist the structural condition with elaborate a new one and always act reflexively. The process shows their identity is formed through the recursiveness of structure and agency."
2017
S68046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Amelia
"Musik mampu menjadi penguat identitas suatu ruang melalui atmosfer yang dibangun. Salah satu ruang yang memanfaatkan musik sebagai penguat identitas spasial adalah toko buku Gramedia dan Ak.'sa.ra. Kedua toko buku tersebut menjadikan musik sebagai pendukung identitas ruang melewati beberapa proses yaitu melalui pendengaran, disimpan dalam memori, lalu berpeluang membentuk perceptual schemata yang mampu merepresentasikan identitas kedua toko buku tersebut.
Skripsi ini akan menelusuri bagaimana elemen-elemen musik mampu membentuk atmosfer dan memperkuat identitas toko buku dengan mengusung pendekatan secara kualitatif menggunakan metodologi literature review, mencari teori yang berkaitan sebagai dasar melakukan observasi dan juga wawancara guna memahami keberhasilan musik dalam menyampaikan identitas spasial melalui metode komparatif Gramedia dan Ak.'sa.ra. 

Music is able to be an enhancer of space’s identity through the built atmosphere. One of the spaces that utilizes music as an enhancer of its spatial identity is Gramedia and Ak.'sa.ra bookstores. The two bookstores use music to supporter its spatial identity through several processes, that is listening to the music, stored it in memory, then have the opportunity to make a perceptual schema capable of representing the identity of the two bookstores.
This thesis will explore how musical elements are able to form the atmosphere and strengthen the identity of a bookstore by carrying out a qualitative approach using literature review methodology, seeking related theories as a basis for conducting observations and interviews to understand the success of music in conveying spatial identity through the comparative method on Gramedia and Ak.’sa.ra.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emiliani Febrina Dewi
"ABSTRAK
Konsep triad Lefebvre mengandung penjelasan bahwa karya seni mampu berperan dalam menciptakan citra suatu ruang yang terwujud melalui persepsi pembuatnya terhadap ruang tersebut. Penelitian ini menjelaskan bagaimana suatu ruang terwujud melalui representasi sebuah novel. Penekanan dalam penelitian ini adalah persepsi penulis dan tokoh dalam novel 5 cm terhadap suatu ruang (Gunung Semeru). Persepsi manusia terhadap suatu ruang menghasilkan nilai lanskap yang dapat menjadi ciri dari ruang tersebut dan pada tahap selanjutnya, dapat melekat sebagai identitas ruang. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metode hermeneutika, yang menjadikan penelitian ini selalu bergerak dalam sebuah konteks. Konteks besar dalam penelitian ini adalah pendakian. Ruang yang akan dibahas adalah ruang yang berkaitan dengan kegiatan pendakian Gunung Semeru, yaitu jalur pendakian.
Interpretasi narasi dan dialog dalam 5 cm menghasilkan 3 kelompok besar ruang dalam pendakian Gunung Semeru, yaitu ruang profan, ruang medium, dan ruang sakral. Terdapat 4 nilai lanskap yang tersebar dalam 3 kelompok ruang tersebut. Keempat nilai tersebut yaitu nilai estetik, nilai historis, nilai religi, dan therapeutic value. Ruang profan yang estetik berada pada kaki Gunung Semeru. Ruang medium yang historis berada pada bagian pertengahan jalur pendakian. Sedangkan ruang sakral yang historis dan religi berada pada bagian akhir jalur pendakian atau merupakan dua tempat tertinggi pada jalur. Adapun identitas Gunung Semeru yang terbentuk berdasarkan konteks nilai-nilai tersebut yaitu
indah, mistis, dan sakral.

ABSTRACT
Lefebvre’s triad concept contains an explanation that arts can make image of the space that formed through author’s perception about it. This research examine how space produced from a novel representation. The suppression is perception of the author and characters on 5 cm about the space (Mount Semeru). Human perception about space produces landscape values that can be its characteristics. Then, these characteristics may transform to its identity. This qualitative research used hermeneutics that makes this research always based on contexts, which the big context is about mountaineering. Space that discussed is
Mount Semeru’s track.
Interpretation of the narrations and dialogues on 5 cm produce 3 categories, these are profane space, medium space, and sacred space. There are 4 landscape
values spread on these, they are aesthetic, historic, religious, and therapeutic.
Aesthetic profane space is on foot of Mount Semeru. Historic medium space is on mid section of the track. Historic and religious sacred space is on the end of the track or the two highest place on it. The identity of Mount Semeru produced based on those values are beautiful, historical, and sacred."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia, 2015
S57294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrellita Tjahyadiguna
"Cermin... satu kata yang melukiskan sebuah benda, kita biasa memandangnya ketika kita merapikan wajah kita. Merapikan rambut atau melihat apakahada sesesuatu yang salah pada wajah kita. Apakah yang membuat kita membutuhkan alat ini? kita bisa melihat orang lain, semua benda di alam ini, tetapi apakah kita bisa melihat punggung belakang diri kita sendiri? Mata kita tidak mampu untuk melihat diri kita sendiri?
Cermin menampilkan benda persis sama seperti benda itu ada. Tak peduli cantik atau buruk, rapi atau berantakan, cermin adalah benda yang menampilkan kejujuran.
Arsitektur... ruang.... dan permasalahannya... tidak akan pernah habis selama manusia masih hidup dalam dunia. Permasalahan yang kadang kala terjadi di kota besar adalah terbatasnya lahan yang ada sehingga ruang yang tersediapun tidak memadai. Bila ruang sudah terasa sempit dan penambahan jumlah ruang atau besaran ruang sudah tidak memungkinkan, maka salah satu cara yang diambil adalah mengubah kesan ruang.
Dari berbagai macam cara mengubah kesan ruang, pemakaian cermin merupakan satu pilihan yang sering kali dipakai oleh sang arsitek untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sifatnya yang memantulkan setiap benda yang ada di depannya, dipergunakan untuk memantulkan ruang, cahaya dan juga warna. Hal yang menarik adalah cermin seringkali diletakkan pada ruang-ruang dalam yang semula hanya diperuntukkan sebagai pemanis ruang. Tetapi baik itu disengaja (dirancang) ataupun tidak, ternyata peletakan cermin tersebut mempengaruhi suasana dan memberikan nilai tersendiri bagi ruang tersebut.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S48337
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Telaumbanua, Irwan
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47941
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berlinda Adi Puspita
"Arsitektur hadir sebagai ruang yang dinikmati secara visual. Persepsi visual berkaitan dengan penglihatan yang memerlukan cahaya untuk melihat sempurna. Hal ini bertolak belakang dengan kegelapan yang merupakan keadaan kurang cahaya sehingga tidak mampu menstimulasi mata. Pembahasan dilakukan dengan mengkaji potensi kegelapan dan kemampuan adaptasi manusia dalam kegelapan melalui literatur dan kasus. Berdasarkan studi diperoleh bahwa mata tetap memperoleh informasi dalam kegelapan. Kemampuan benda menyimpan energi cahaya dan memancarkannya saat gelap memberikan informasi yang diterima setelah mata beradaptasi. Perubahan elemen ruang yang terjadi bertahap memberikan pengalaman ruang yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, kegelapan memiliki potensi untuk menghadirkan pengalaman ruang yang dinamis.

Architecture exists as space that can be enjoyed visually. Visual perception is related to sight that requires light to see perfectly. This is in contrast with the condition of darkness where there is less light to stimulate the eyes. The study is based on literature and cases that explore the potential of darkness and human visual adaptation in darkness. Based on the study, the eyes still get information in the dark. The ability of solid things to absorb energy from light and emit them in the dark gives information that can be accepted after the visual adaptation. The change of elements in the space gives a different experience. Thus, darkness has the potential to bring up a dynamic spatial experience. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S726
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>