Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39362 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayi Fatma Pratiwi
"Saat menjalani kehidupan pernikahan, dua individu tidak hanya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya tetapi juga menyesuaikan diri dengan berbagai macam situasi, sangat penting untuk individu memiliki kesiapan sebelum ia memutuskan untuk menikah. Ketidaksiapan dalam menghadapi pernikahan dapat memunculkan berbagai konflik, seperti keputusan penundaan pernikahan,  perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesiapan menikah perempuan usia dewasa awal yang bekerja. Desain penelitian cross sectional dengan sampel sebanyak 427 perempuan berusia 20-40 tahun yang dipilih berdasarkan teknik quota sampling. Alat ukur berupa kuesioner karakteristik responden, kuesioner kepribadian IPIP-BFM-25 (International Personality Item Pool-Big Five Factor Marker 25), serta kuesioner modifikasi inventori kesiapan menikah. Analisis data dilakukan secara univariat. Penelitian ini kemudian menghasilkan gambaran kesiapan menikah perempuan usia dewasa awal paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 50.6%. Hasil penelitian ini merekomendasikan perlunya pendekatan dan bimbingan khususnya kepada para perempuan yang bekerja baik yang sudah memiliki rencana untuk menikah, ataupun belum memiliki rencana untuk menikah,  untuk dapat memenuhi setiap aspek kesiapan menikah yang dimiliki.

In marriage, two individuals are not only required to adjust to their partner but also to various situations. It is very important for individuals to be prepared before deciding to marry. Lack of readiness in facing marriage can lead to various conflicts, such as marriage postponement, divorce, domestic violence, and more. This study aims to explore the marital readiness of working women in early adulthood. A cross-sectional research design was used with a sample of 427 women aged 20-40, selected through quota sampling technique. The measurement tools included a respondent characteristic questionnaire, the IPIP-BFM-25. International Personality Item Pool-Big Five Factor Marker 25) personality questionnaire, and a modified version of the marital readiness inventory questionnaire. Data analysis was conducted univariately. The study found that the majority of early adulthood women were in the moderate marital readiness category, with 50.6%. The results recommend the need for specific guidance, especially for working women, whether they have plans to marry or not, to ensure they are prepared in every aspect of marital readiness. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neysa Oktanina
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Pengukuran komitmen kerja dilakukan menggunakan alat ukur Occupational Commitment, sedangkan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 96 orang yang merupakan wanita dewasa muda yang bekerja.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen kerja dengan kesiapan menikah (r = 0.387, p < 0.01). Artinya, semakin tinggi komitmen kerja, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen kerja, yaitu keuangan, anak dan pengasuhan, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, lama berpacaran, dan rencana pelaksanaan pernikahan tidak memberikan pengaruh terhadap komitmen kerja dan kesiapan menikah.

This study examined the relationship between occupational commitment and readiness for marriage in young adult working women. Occupational commitment was measured by Occupational Commitment Scale, whereas the readiness for marriage was measured by Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. The respondents of this study were 96 young adult working women.
The result of this study shows that there is a significant, positive relationship between occupational commitment and readiness for marriage (r = 0.387, p < 0.01). It indicates that the higher occupational commitment, the higher the readiness for marriage, and vice versa. In this study, there are three areas of readiness for marriage which are found to have positive relationship with occupational commitment. Those are finance, children and parenting, also changes in partner and lifestyle.
Based on this result, age, educational level, organizational tenure, length of dating, and years of the implementation of marriage do not give impact to occupational commitment and readiness for marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46494
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charina Septyandari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Pengukuran perencanaan karir menggunakan alat ukur Career Planning Scale (CPS) yang dikembangkan oleh Gould (1979) dan pengukuran kesiapan menikah menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang merupakan wanita dewasa muda yang bekerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja (r = 0.241, (p < 0.05). Artinya, semakin baik perencanaan karir individu, maka semakin baik pula kesiapan menikahnya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat dua area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan perencanaan karir, yaitu keuangan dan pembagian peran suami-istri. Diketahui pula bahwa area minat dan pemanfaatan waktu luang merupakan area yang menjadi prioritas utama sampel dalam penelitian ini. Aspek demografis seperti usia, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, lama berpacaran, dan rencana menikah diketahui tidak berkorelasi secara signifikan terhadap perencanaan karir dan kesiapan menikah.

This study was conducted to determine the relationship between career planning and readiness for marriage among young adults working women. This research is quantitative study with correlational design. The measurement of career planning use Career Planning Scale (CPS) which developed by Gould in 1979, and the measurement of readiness for marriage use Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). The sample of this study are 100 young adults working women. The result of this study indicate that there is a significant positive correlation between career planning and readiness for marriage among young adults working women (r = 0.241, (p < 0.05). It means that the better individual career planning, the higher readiness for marriage too. Based on the result of this study, it is known that there are two areas of readiness for marriage which had a significant positive correlation with career planning. Those are finances and spousal roles. It is also known that the area of interest and the use of leisure time is a priority area for the sample in this study. The demographic aspects such as age, education, occupation, duration of work, duration of dating, and marriage plan are known to be not significantly correlated to career planning and readiness for marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Zulkifli
"Pola asuh ayah dan ibu dalam mengasuh anak menjadi salah satu faktor yang berperan penting dalam membangun kesiapan menikah sang anak saat di usia dewasa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pola asuh ayah dan ibu yang berperan secara signifikan dalam memprediksi kesiapan menikah pada dewasa awal. Sejumlah 483 partisipan berusia 19-29 tahun diuji dengan Parental Authority Questionnaire (PAQ) dan Inventori Kesiapan Menikah untuk melihat nilai persepsi pola asuh orang tua dan kesiapan menikah. Analisis multiple regression menunjukkan bahwa pola asuh ayah otoriter dan permisif serta pola asuh ibu demokratis secara signifikan memprediksi kesiapan menikah dewasa awal. Berdasarkan temuan tersebut, disimpulkan bahwa semakin cenderung pola asuh otoriter dan permisif pada ayah, semakin rendah tingkat kesiapan menikah pada dewasa awal. Sementara, semakin cenderung pola asuh demokratis pada ibu, semakin tinggi tingkat kesiapan menikah pada dewasa awal.

Parenting styles from father and mother in growing children up are one of the factors that has an important role to develop marriage readiness when their children be an adult. Therefore, this study aims to determine whether there are differences between parenting styless of father and mother that has a significant role in predicting marriage readiness in early adulthood. 483 participants aged 19-29 years were tested using Parental Authority Questionnaire (PAQ) and Inventori Kesiapan Menikah to see perceived parenting styles and marriage readinessscore. Multiple regression analysis shows that authoritarian and permissive parenting style of father and authoritative parenting style of mother significantly predict readiness for early adulthood. Based on these findings, it can be concluded that the more authoritarian and permissive parenting styles of fathers, the lower level of marriage readiness in early adulthood. Meanwhile, the more authoritative parenting style of mother, the higher level of marriage readiness in early adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Nada Fatharani
"Dewasa awal merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Di Indonesia ditemukan data bahwa tingkat pernikahan sekaligus perceraian didominasi oleh pasangan dari kelompok dewasa awal. Untuk mengurangi perceraian, dibutuhkan kesiapan menikah. Salah satu aspek dalam kesiapan menikah adalah agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religiusitas berhubungan dengan kesiapan menikah pada dewasa awal di Indonesia. Sebanyak 610 dewasa awal berusia 19-30 tahun di Indonesia menjadi partisipan pada penelitian ini. Perhitungan menggunakan Spearman Correlation dan ditemukan koefisien korelasi sebesar r=0.0373, N=610, P<0.00. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Hal tersebut menandakan bahwa semakin religius seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah yang dimilikinya.

Emerging adulthood is a period of transition from adolescence to adulthood. In Indonesia, it was found that the rate of marriage and divorce is dominated by couples from emerging adulthood. To reduce divorce, it takes readiness to marry. One of the aspect that can influence marriage readiness is religion. This study aims to determine whether religiosity is related to readiness for marriage in emerging adulthood in Indonesia. A total of 610 early adults aged 19-30 years in Indonesia were participants in this study. Calculations using Spearman Correlation and found a correlation coefficient r=0.0373, N=610, P<0.00. Based on these findings, it can be concluded that there is a significant and positive relationship between religiosity and marriage readiness. This indicates that the more religious a person is, the higher his marriage readiness will be."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Octharina Nur Rakhmawati
"Salah satu hal yang mempengaruhi marital satisfaction adalah work family conflict. Keberhasilan seseorang dalam mengatasi work family conflict bergantung pada work family conflict self-efficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction dengan menggunakan metode kuantitatif dan korelasional.
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES) untuk mengukur work family conflict self-efficacy dan Couples Satisfaction Index (CSI) untuk mengukur marital satisfaction.
Hasil analisis data yang diperoleh dari 60 responden menunjukkan koefisien korelasi 0,1 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara work family conflict self-efficacy dan marital satisfaction.

One of the factors that influence marital satisfaction is work family conflict. People who success to solve their work family conflict is depended on work family conflict self-efficacy. The purpose of this research is to find correlation between work family conflict self-efficacy and marital satisfaction by using quantitative and correlational methods.
Work family conflict self-efficacy are measured by Work Family Conflict Self-Efficacy Scale (WFC-SES) and marital satisfaction are measured by Couples Satisfaction Index (CSI).
The result from 60 subjects show that there is no significant correlation between work family conflict self-efficacy and marital satisfaction with coefficient correlation 0,1.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Rahmah Fajriyah
"Fenomena perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Salah satu hal yang dapat menyebabkan meningkatnya angka perceraian adalah ketidaksiapan dewasa awal untuk menikah dan menjalani kehidupan pernikahan. Adanya dukungan sosial yang dipersepsikan dari orang lain dapat menjadi faktor penting bagi kesiapan menikah dewasa awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesiapan menikah pada dewasa awal dan dukungan sosial yang dipersepsikan dari keluarga, teman, dan significant other selama pandemi Covid-19. Partisipan penelitian ini adalah 174 dewasa awal Indonesia berusia 19-26 tahun yang telah memiliki pasangan dan belum menikah. Alat ukur yang digunakan adalah Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dan Inventori Kesiapan Menikah. Analisis regresi berganda dilakukan dengan mengontrol variabel jenis kelamin, usia, dan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dipersepsikan dari significant other berhubungan secara signifikan dan positif dengan kesiapan menikah pada dewasa awal, namun tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dari keluarga dan teman dengan kesiapan menikah dewasa awal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang dipersepsikan dari significant other, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah dewasa awal selama pandemi Covid-19.

The phenomenon of divorce in Indonesia has increased from year to year. One point that can cause the divorce rate is the individual's unpreparedness to marry and face challenges in married life. Perceived social support from others can be one of the important factors for marriage readiness among emerging adult. This study aims to find out the relationship between marriage readiness among emerging adults and perceived social support from family, friends, and significant other during Covid-19 pandemic. Participants involved in this study were 174 Indonesian emerging adults aged 19-26 years, who is currently in a relationship, and unmarried yet. The measurement applied in this study is using the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) and the Marriage Readiness Inventory. Multiple regression analysis conducted with gender, age, and income as control variable. The results showed that there is positive and significant relationship between perceived social support from significant other and marriage readiness among emerging adults, but there is no significant relationship between perceived social support from family and friends and marriage readiness. Therefore, it can be concluded that the higher perceived social support from significant other, the higher marriage readiness among emerging adults during Covid-19 pandemic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Rahmah Fajriyah
"Fenomena perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Salah satu hal yang dapat menyebabkan meningkatnya angka perceraian adalah ketidaksiapan dewasa awal untuk menikah dan menjalani kehidupan pernikahan. Adanya dukungan sosial yang dipersepsikan dari orang lain dapat menjadi faktor penting bagi kesiapan menikah dewasa awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesiapan menikah pada dewasa awal dan dukungan sosial yang dipersepsikan dari keluarga, teman, dan significant other selama pandemi Covid-19. Partisipan penelitian ini adalah 174 dewasa awal Indonesia berusia 19-26 tahun yang telah memiliki pasangan dan belum menikah. Alat ukur yang digunakan adalah Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dan Inventori Kesiapan Menikah. Analisis regresi berganda dilakukan dengan mengontrol variabel jenis kelamin, usia, dan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dipersepsikan dari significant other berhubungan secara signifikan dan positif dengan kesiapan menikah pada dewasa awal, namun tidak ditemukan hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dari keluarga dan teman dengan kesiapan menikah dewasa awal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang dipersepsikan dari significant other, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah dewasa awal selama pandemi Covid-19.

The phenomenon of divorce in Indonesia has increased from year to year. One point that can cause the divorce rate is the individual's unpreparedness to marry and face challenges in married life. Perceived social support from others can be one of the important factors for marriage readiness among emerging adult. This study aims to find out the relationship between marriage readiness among emerging adults and perceived social support from family, friends, and significant other during Covid-19 pandemic. Participants involved in this study were 174 Indonesian emerging adults aged 19-26 years, who is currently in a relationship, and unmarried yet. The measurement applied in this study is using the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) and the Marriage Readiness Inventory. Multiple regression analysis conducted with gender, age, and income as control variable. The results showed that there is positive and significant relationship between perceived social support from significant other and marriage readiness among emerging adults, but there is no significant relationship between perceived social support from family and friends and marriage readiness. Therefore, it can be concluded that the higher perceived social support from significant other, the higher marriage readiness among emerging adults during Covid-19 pandemic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Tazkia Rafiq
"Adanya fenomena baby blues, individu yang menunda punya anak, serta individu yang tidak mau memiliki anak (childfree) menjadi fenomena kebelum siapan dewasa awal untuk menjadi orang tua. Individu dapat dikatakan sudah siap menjadi orang tua, salah satunya apabila sudah memiliki kesiapan menikah. Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara kesiapan menikah dengan kesiapan menjadi orang tua pada dewasa awal. Partisipan penelitian ini adalah 628 dewasa awal yang berusia 19-30 tahun dan belum menikah se- Indonesia. Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat ukur kesiapan menikah untuk mengukur kesiapan menikah dan Pre-parental Readiness Scale (PRS) untuk mengukur kesiapan menjadi orang tua. Analisis menggunakan Spearman menunjukkan bahwa kesiapan menikah berkorelasi positif dengan kesiapan menjadi orang tua dengan tingkat kekuatan moderat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kesiapan menikah pada seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menjadi orang tua pada individu dewasa awal.

Baby blues, individuals who delay having children, and individuals who do not want to have children (childfree) are phenomena that are not yet ready for early adults to become parents. Individuals can be said to be ready to become parents, one of which is when they are ready to marry. Therefore, this study aims to find out the relationship between marriage readiness and parental readiness among emerging adult. Participants of this study were 628 emerging adults in the age range 18 to 30 years old and have not married in Indonesia. The instruments of this study were marriage readiness scale to measure marriage readiness and Pre-parental readiness scale to measure parental readiness. Analysis using Spearman showed that marriage readiness was positively correlated with parental readiness, with a moderate level of strength. Thus, it can be concluded that the higher a person’s readiness for marriage, the higher readiness to become a parent in emerging adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Puji Lestari
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari sandwich generation terhadap keputusan perempuan menikah dalam pasar kerja dengan menggunakan data IFLS5. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan menikah yang berada dalam kondisi sandwich generation memiliki kecenderungan untuk tidak bekerja. Perempuan sandwich generation memiliki kemungkinan sebesar 4,7 persen untuk tidak bekerja. Di antara kedua elemen sandwich generation, yaitu anak dan orang tua, keberadaan anak khususnya anak usia balita masih menjadi pertimbangan utama bagi sandwich generation dalam pengambilan keputusan dalam pasar kerja. Selain itu, kondisi kesehatan orang tua yang tidak baik juga turut membuat perempuan memilih untuk tidak bekerja meskipun tidak signifikan secara statistik.

This study aims to examine the effect of sandwich generation on married women 39 s decisions in the labor market using IFLS5 data. The results of this study indicate that women who are in sandwich generation conditions have a tendency to not work. Female sandwich generation has a 4.7 percent chance of not working. Among the two elements of sandwich generation, children and parents, the existence of children, especially children under five years old is still a major consideration for sandwich generation women in decision making in the labor market. In addition, poor health conditions of parents also make women choose not to work even though not statistically significant."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S70082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>