Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182580 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aluf Ra`Syiah Rabah
"Bank digital telah menjadi inovasi signifikan dalam industri keuangan, menghadirkan tantangan baru dalam pengaturan dan pengawasan. Di Indonesia, regulasi bank digital diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/POJK.03/2021 yang memberikan kerangka hukum untuk tata kelola, manajemen risiko, dan penggunaan teknologi. Namun, regulasi ini tidak secara khusus membedakan bank digital dari bank umum, terutama dalam perlindungan konsumen dan mekanisme operasional berbasis teknologi. Pendekatan ini serupa dengan Amerika Serikat yang menggunakan regulasi umum seperti National Bank Act (NBA). NBA memberi kewenangan kepada Office of the Comptroller of the Currency (OCC) untuk menerbitkan piagam bank nasional, memungkinkan bank digital menerima simpanan dan memberikan pinjaman. Berbeda dengan Indonesia dan AS, Singapura memiliki kerangka hukum khusus untuk bank digital. Otoritas Moneter Singapura (MAS) mengeluarkan lisensi seperti Digital Full Bank License dan Digital Wholesale Bank License, mencakup standar keamanan siber dan perlindungan konsumen. Proses lisensi bertahap di Singapura, termasuk tahap restricted, memitigasi risiko dan memastikan kesiapan operasional. Studi ini membandingkan regulasi bank digital di Indonesia, Amerika Serikat, dan Singapura, memberikan rekomendasi adaptif bagi regulasi perbankan digital Indonesia dengan menganalisis keunggulan pendekatan Singapura.

Digital banks have emerged as significant innovations in the financial industry, posing new regulatory and supervisory challenges. In Indonesia, digital banking regulations are governed by Financial Services Authority Regulation (POJK) No. 12/POJK.03/2021, which provides a legal framework for governance, risk management, and technology usage. However, this regulation does not distinctly treat digital banks as unique entities compared to traditional banks, particularly regarding consumer protection and technology-based operational mechanisms. This approach mirrors the United States, where general regulations like the National Bank Act (NBA) apply. The NBA grants the Office of the Comptroller of the Currency (OCC) authority to issue national bank charters, allowing chartered digital banks to accept deposits and extend loans. In contrast, Singapore has developed a specialized legal framework for digital banks. The Monetary Authority of Singapore (MAS) issues detailed licenses such as the Digital Full Bank License and Digital Wholesale Bank License, covering cybersecurity standards and consumer protection. Singapore’s phased licensing process, including a restricted phase, mitigates risks and ensures operational readiness before granting full licenses. This study compares digital banking regulations in Indonesia, the United States, and Singapore to identify adaptive regulatory recommendations for Indonesia by analyzing Singapore’s advantages."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwina Alyssa Matindas
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi niat untuk menggunakan dan kepuasan produk perbankan digital, yang pada akhirnya mempengaruhi penggunaan aktualnya. Penelitian ini secara luas bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia, untuk mengatasi jutaan orang yang tidak memiliki rekening bank di negara tersebut dan tidak memiliki akses ke produk keuangan. Studi ini diadaptasi dari model penelitian studi oleh Sharma dan Sharma (2019). Model riset ini terdiri dari 11 hipotesis dimana faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan produk perbankan digital dianalisis. Variabel dependen adalah penggunaan aktual produk perbankan digital. Sedangkan variabel independen yang mempengaruhi penggunaan aktual adalah dimensi kualitas dan kepercayaan. Berdasarkan hasil penelitian, kualitas layanan berpengaruh positif terhadap niat untuk menggunakan, dan niat untuk menggunakan terhadap penggunaan aktual. Kualitas sistem berpengaruh positif terhadap kepuasan serta niat untuk menggunakan produk perbankan digital. Kepercayaan memiliki hubungan positif terhadap kepuasan menggunakan produk perbankan digital.

The objective of this research is to analyze variables that affect the intention to use and satisfaction of digital banking products, which in turn affects its actual usage. This research broadly aims for the betterment of financial inclusion in Indonesia, to solve for the millions of unbanked people in the country that do not have access to financial products.This study is adapted from the research model of the study by Sharma and Sharma (2019). This model portrays 11 hypotheses where factors that influence usage of digital banking products are analyzed. The dependent variable is the actual usage of digital banking products. Meanwhile, the independent variables affecting the actual usage are quality dimensions and trust. Based on the results, the Service quality has a positive effect on intention to use, and intention to use to actual usage. System quality has a positive effect on satisfaction as well as intention to use digital banking products. Trust has a positive relationship on the satisfaction of using digital banking products."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muntia Andhi Nutrilon
"Munculnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan memberi pengaruh pada penerapan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan khususnya pergadaian yang salah satunya adalah PT. Pegadaian (Persero). Sebagai ilustrasi tentang adanya permasalahan mengenai pemberlakuan larangan klausula baku adalah dengan adanya kasus sengketa PT Pegadaian (Persero) dengan Martha Sitorus dan Imelda Marina Sibuea merupakan salah satu korban dari ketidakpahaman mengenai perjanjian baku yang telah disetujuinya di dalam Surat Bukti Kredit, Barang jaminan nasabah tersebut dilelang oleh PT Pegadaian (Persero) tanpa sepengetahuan nasabah pemilik barang jaminan. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa akses informasi tidak didapatkan oleh nasabah Pegadaian. Dengan dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, jika kemudian hari terjadi kasus seperti itu maka banyak pembaharuanpembaharuan yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha termasuk didalamnya usaha Gadai yang dilaksanakan oleh PT. Pegadaian (Persero) untuk menjamin pelaksanaan perlindungan konsumen/nasabah. Diantaranya pelaku usaha diwajibkan untuk menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan, melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen yang sebelumnya dilaksanakan oleh BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) selanjutnya dapat ditangani oleh LAPS (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa), dan mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki unit kerja yang berfungsi untuk menangani pengaduan yang diajukan konsumen.

The emergence of the Financial Services Regulatory Authority to give effect to the application of consumer protection in the financial services sector in particular mortgages, one of which is PT. Pegadaian (Persero). As an illustration of the problem of the existence of the ban is a standard clause in cases of dispute PT Pegadaian (Persero) with Martha Sitorus and Imelda Sibuea Marina is one of the victims of misunderstanding about the standard contract that has been approved in the Proof of credit, guarantees the customer's goods auctioned PT Pegadaian (Persero) without the knowledge of the owner of customer collateral. From these cases it can be seen that access to information is not obtained by the customer Pawn. With the enactment of the Financial Services Authority which regulates the protection of Consumer Financial Services Sector, if later on in cases like that then a lot of the reforms that must be implemented by business actors including Pawn effort undertaken by PT. Pegadaian (Persero) to ensure the implementation of the protection of the consumer / customer. Among business operators are required to hold in order to improve the education of financial literacy, implementing mechanisms and resolution service for consumers who previously carried out by the BPSK (Consumer Dispute Settlement Body) can be addressed by LAPS (Alternative Dispute Resolution Institute), and requires businesses to have work units that serve to handle consumer complaints filed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Sonny Wisaksono
"Kedudukan khusus yang dimiliki bank sebagai financial intermediary menjadikan bank sebagai suatu lembaga kepercayaan dan hubungan hukum antara bank dan nasabahnya dilandasi oleh asas kepercayaan (fiduciary relations). Dalam hubungan tersebut, bank menanggung risiko reputasi yang berasal dari publikasi negatif terkait kegiatan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank sehingga bank harus memiliki mekanisme pengaduan nasabah. Apabila pengaduan tidak dapat diselesaikan, hal tersebut dapat menimbulkan sengketa. Penelitian dalam skripsi ini akan membahas mengenai pengaturan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah sejak berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa tersebut berdasarkan Peraturan OJK. Berdasarkan peraturan tersebut terdapat mekanisme penyelesaian sengketa dalam tahap internal oleh bank dan tahap eksternal oleh OJK, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), dan Pengadilan. Adapun ditemukan bahwa penyelesaian sengketa oleh LAPSPI belum efektif karena lembaga tersebut baru memiliki izin beroperasi pada tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan penelitian kepustakaan. Sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data digunakan dengan wawancara dengan pihak-pihak terkait yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

Bank as a financial intermediary create an exceptional position for bank as an institution of trust and the relationship between bank and its customers is based on the principle of trust (fiduciary relations). Therefore, bank bears the risk of reputational damage from negative publicity related to the business or negative perception of the bank so that bank shall have a mechanism for customer complaints. If the complaints could not be resolved, it will rise to disputes. This thesis will discuss the dispute resolution regulations between bank and its customers since the Financial Service Authority (FSA) is established as well as how the implementation of the dispute resolution based on the FSA Regulations. Based on those rules, there are stages of dispute resolution which are internal stage by the bank and external stage by FSA, Alternative Dispute Resolution Institution of Indonesian Banking (ADR Institution of Indonesian Banking), and Court. As it was found that the dispute resolution by ADR Institution of Indonesian Banking has not been effective because the institution just had its operating license in 2016. This research is a normative judicial research with literature approach. The research sources which are used are primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collections used by interviews with related parties which analyzed by qualitative methods.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Priliana
"Dengan berkembangnya modus kejahatan atau tindak pidana, terutama dengan ikut berkembangnya kejahatan siber atau cyber-crime yang semakin meningkat, sangat penting untuk melihat bagaimana keberhasilan dari upaya pemerintah dalam menekan angka kejahatan siber, mencegah penyalahgunaan nomor pelanggan dan sebagai komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada konsumen serta untuk kepentingan Nasional Single Identity. Maka, mengingat hal tersebut, harus ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan jasa layanan telekomunikasi kartu prabayar untuk menekan angka kejahatan siber, Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Permenkominfo No. 12/2016 dan No. 14/2017 tentang aturan registrasi kartu prabayar. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan post-positivis, dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam karena analisis yang digunakan dalam penelitian ini membutuhkan pandangan dari para narasumber yang berkaitan dengan kebijakan Pelaksanaan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi pada Perusahaan Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi melalui pertanyaan terbuka seputar masalah mengenai pelaksanaan kebijakan registrasi pelanggan jasa telekomunikasi. Lalu, diperoleh hasil bahwa indikator penerapan kebijakan publik menggunakan model Edwards III yang sudah dicapai dalam implementasi kebijakan diantaranya: adanya sosialisasi sebagai bentuk komunikasi; sumber daya yang memadai; struktur birokrasi yang kuat; dan sikap atau disposisi yang baik. Disamping itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yang pertama adalah perawatan sistem karena banyak terjadinya gangguan teknis dan yang kedua adalah resiko penyalahgunaan data, walaupun sudah tersertifikasi namun masih ada terjadi beberapa kasus penyalahgunaan seperti tersebarnya informasi sensitif yang dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggungjawab. Simpulannya, kebijakan mengenai registrasi pelanggan jasa telekomunikasi sudah berjalan dengan cukup baik, namun masih ada beberapa kendala teknis seperti; gagal dalam melakukan registrasi, sehingga harus menjadi bahan perhatian agar kedepannya hal-hal tersebut tidak menghambat proses registrasi.

In the way of the cyber crime mode that is developing, especially the growth of the activities of the cyber crime, it is essential to recognize how the government handle and decrease the growth of the cyber crime activity and to prevent the user rights abuse as a commitment of the regulator to protect the rights and identity of the user as the goals of National Single Identity program. Therefore, the Ministry of Communciation and Informations Affairs employs the regulation No. 12/2016 and No. 14/2017 about the policy of sim card registration. Henceforth, this research uses the post-positivism approach to collect the data qualitatively through deep interview. Since the vary views of the data are needed regarding to the policy of the Implementation of The Ministry of Communication and Informations Affairs Regulations of Telecommunication Services for the Costumers Concern on The Provider of Telecommunication Companies through open-ended questions of the questions of the research. Furthermore, this research shows that the objective of this research is achieved. The analysis based on Edward III theory, which consists of several indicators that has been achieved that the indicators are: advertising the the policy to the customers; the adequate resources; strong bureaucracy structure; and well-built dispotition. However, there are several things to be concerned: first, maintenance of the system as there is technical interference occurred; and second, there is a risk of misappropriation of the data of the customers that there is still several crimes occured based on the private or sensitive information that casted and being used by the criminals. In short words, the implementation has been running well. However, there is still technical interferences occurred, for instance, registration process that is failed and several technical interferences occurred. Hence, this research is hoped to give specific information in order to fix the problems regarding to the topic of this research."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reina
"Kepastian hukum dalam upaya penyelesaian sengketa merupakan faktor terpenting dalam terciptanya perlindungan konsumen. Awal pergerakan perlindungan konsumen di dunia salah satunya berkaitan dengan adanya revolusi industri yang mengubah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang dalam menyelesaikan penyelesaian sengketa dilakukan dengan sengketa alternatif. Permasalahan dalam penelitian ini dimulai dari bagaimana perbandingan proses penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia dilaksanakan untuk memperoleh kepastian hukum bagi konsumen di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan komparatif. Hasil dalam penelitian ini adalah Perbandingan penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia, dalam hal penyelesaian sengketa melalui sengketa alternatif, baik di amerika dan di Indonesia tidak ditemukan perbedaan yang mendasar yang mengkhususkan terhadap konflik antara konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia khususnya penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif dilaksanakan oleh BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Secara kelembagaan BPSK dibentuk berdasarkan adopsi dari model small claim tribunal, seperti yang ada di Amerika Serikat namun pada akhirnya pembentukan BPSK didesain dengan memadukan kedua model small claim tribunal diadaptasikan dengan model pengadilan dan model penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution-ADR) yang menggunakan ciri khas penyelesaian sengketa alternatif khas Indonesia. Namun pada pelaksanaannya keputusan BPSK belum dapat mewujudkan kepastian hukum pada Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Putusan Majelis bersifat final dan mengikat”, yakni dengan menambahkan ketentuan bahwa Putusan BPSK wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan lain sebagainya

Legal certainty regarding dispute resolution is the most important factor in the creation of consumer protection. One of the early movements of consumer protection in the world was related to the industrial revolution which changed the position of consumers and business actors, the development of industrialization and globalization that occurred in the United States and Europe which in resolving dispute resolution carried out with alternative dispute. The problem in this research starts with how the consumer dispute resolution process in the United States and Indonesia compares and how the consumer dispute resolution process in Indonesia is implemented to obtain legal certainty for consumers in Indonesia. The research method used in this research is doctrinal research that uses a comparative approach. The results in this study are a comparison of consumer dispute resolution in the United States and in Indonesia, in terms of dispute resolution through the courts, both in America and Indonesia there are no fundamental differences that specialize in conflicts between consumers and business actors. In Indonesia, especially through alternative consumer dispute resolution implemented by BPSK as an alternative dispute resolution institution outside the court, it is given judicial authority to resolve small-scale and simple consumer disputes. Institutionally BPSK was formed based on the adoption of the small claim tribunal model, as in the United States but in the end the formation of BPSK was designed by combining the two small claim tribunal models adapted to the court model and the alternative dispute resolution (ADR) model which uses typical Indonesian alternative dispute resolution characteristics specifically in relation to the law assurance, Article 54, paragraph (3) of Law on Consumer Protection that reads “The decision of Assembly shall be final and binding”, and adding the provision that the decision of BPSK shall contain the heading “For the sake of Justice under the One Almighty God”, and others."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subarkah Syafruddin
"Ketergantungan warga negara Indonesia terhadap kartu kredit telah naik secara drastis dalam dekade terakhir ini. Hal ini mungkin menunjukan semakin bertambahnya masyarakat menengah di negara ini, tetapi sayangnya tidak semua pengguna kartu kredit sadar akan kewajiban utamanya untuk pembayaran. Di sisi yang lain, Bank-bank di Indonesia dihadapkan dengan banyaknya kendala untuk menyelesaikan pembayaran kartu kredit. Sehingga, bank-bank tersebut sering menggunakan debt-collector untuk secara efektif mendapatkan pembayaran.
Dalam hukum Indonesia, debt collector memang tidak dilarang. Tetapi, banyak kasus dimana debt collector menggunakan metode yang mengikutsertakan gangguan, penyiksaan, intimidasi, serangan verbal maupun fisik, blackmails dan cara-cara lainnya. Cara-cara ini mungkin efektif dalam mendapatkan pembayaran. Tetapi hal ini diduga keras melanggar hak-hak konsumen terhadap kenyamanan, keselamatan dan keamanan yang dilindungi dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.
Menyikapi kekhawatiran dari berbagai macam pihak tentang metode-metode yang digunakan oleh debt collector, Bank Indonesia telah memang membuat beberapa peraturan yang mengatur tentang penagihan hutang kartu kredit. Namun, dalam analisis yuridis normatif yang digunakan dalam skripsi ini, peraturan-peraturan ini Penulis rasa tidak cukup untuk melindungi hak-hak konsumen atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan.

Indonesian citizens' reliance on credit card has tremendously increased in the last decade. This fact may suggest the growing number of middle-class citizens in this country, but not all credit card users realize their primary obligation to repayment. On the other hand, Indonesian banks are confronted with a myriad of legal obstacles in securing repayment from their customers. Given such obstacles, banks often resort to hire debt collectors to effectively seek for remedy.
Under Indonesian law, debt collectors are indeed not prohibited. However, many debt collectors have used various methods involving "harassment, abuse, intimidation, verbal and physical attacks, constant blackmails and many others" to secure their clients' right to repayment. These methods might be effective to forcefully acquire the repayment, but they substantially violate the credit card users' rights to comfort, safety and security enshrined in Article 4 of Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection.
In response to various stakeholders' concern on the methods used by debt collectors, Bank Indonesia has indeed enacted some regulations governing debt collection practices. The most recent ones are Bank Indonesia Regulation No. 14/2/PBI/2012 and Bank Indonesia Circular Letter No. 14/17/DASP. However, as will be elaborated in this writing that employs legal normative analysis, these newly enacted regulations are slightly insufficient to protect the credit card users' right to comfort, safety and security.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S44157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Erlangga Kaurow
"Perjanjian baku merupakan perjanjian yang umum ditemukan, termasuk dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen termasuk dalam ranah sektor jasa keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tulisan ini meninjau tentang penerapan klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha terhadap UU Perlindungan Konsumen maupun peraturan dan surat edaran yang dikeluarkan OJK. Studi dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif. Dalam praktiknya, pelaku usaha belum sepenuhnya memenuhi pengaturan mengenai klausula baku sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Standard clause is a contract that is often found, including in the consumer financing agreement. Consumer financing institution is included in the financial service sector area that is regulated by Financial Service Authority (FSA). This thesis reviews on the implementation of standard clause made by entrepreneur towards Law on Consumer Protection as well regulation and circular letter issued by the FSA. This study is conducted with normative analysis method. In practice, the entrepreneur is not fully implementing the regulation regarding the standard clause as regulated in the Indonesian law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S66711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert
"Penelitian ini bertujuan untuk membahas tanggung jawab aplikasi informasi kesehatan terhadap konsumen maupun calon konsumen Alodokter yang mengalami kerugian akibat autodebet layanan asuransi. Penelitian ini menjawab pertanyaan tentang bagaimana mekanisme hukum, termasuk arbitrase, mediasi, gugatan perdata, dan proses pidana, dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengguna memiliki hak untuk menempuh mediasi atau arbitrase sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, atau melaporkan pelaku usaha secara pidana apabila terbukti mengandung unsur tindak pidana. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsumen memiliki jalur hukum yang kuat untuk menuntut haknya, sementara pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

This research aims to discuss the responsibility of business actors towards consumers and prospective Alodokter consumers who experience losses due to autodebit insurance services. This research answers the question of how legal mechanisms, including arbitration, mediation, civil suits, and criminal proceedings, can be used to resolve such disputes. The results show that users have the right to pursue mediation or arbitration in accordance with Article 45, paragraph (2), of the Consumer Protection Law, file a civil lawsuit under Article 1365 of the Civil Code, or report the business actor criminally if it is proven to contain elements of a criminal offense. This study concludes that consumers have strong legal channels to claim their rights, while business actors are obliged to be responsible for the losses incurred in accordance with applicable legal provisions. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Bill Clinton
"Aktivitas pembiayaan konsumen dapat mengalami kendala apabila salah satu pihak tidak mematuhi perjanjian pembiayaan yang telah dibuat sehingga terjadi sengketa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Para Pihak adalah menyelesaikan masalah tersebut di luar pengadilan seperti LAPS Sektor Jasa Keuangan dan BPSK.
POJK No. 61 Tahun 2020 membuat LAPS Sektor Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pembiayaan konsumen. Sedangkan, BPSK dapat menyelesaikan sengketa terkait konsumen berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adanya 2 (dua) lembaga ini dapat menimbulkan beberapa pandangan tentang kepastian hukum lembaga yang tepat demi menyelesaikan sengketa pembiayaan konsumen. Tujuan penulisan tesis ini adalah menganalisis kewenangan LAPS Sektor Jasa Keuangan, bagaimana pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen, dan bagaimana akibat hukum putusan LAPS Sektor Jasa Keuangan terhadap penyelesaian sengketa oleh BPSK di sektor pembiayaan konsumen.
Metode penerapan penulisan tesis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penulisan ini adalah kedudukan LAPS Sektor Jasa Keuangan tidak melanggar ketentuan UU Perlindungan Konsumen, pemilihan penyelesaian sengketa pembiayaan konsumen melalui LAPS Sektor Jasa Keuangan tidak melanggar UU Perlindungan Konsumen, dan kewenangan LAPS Sektor Jasa Keuangan tidak mengurangi efektivitas lembaga BPSK dalam menyelesaikan sengketa pembiayaan Konsumen

Consumer financing activities can face problems if one of the parties does not comply with the financing agreement that has been made, resulting in a dispute. One of the efforts that can be made by the Parties is to resolve the issue out of court, such as the LAPS Financial Services Sector and BPSK.
POJK No. 61 of 2020 makes the LAPS Financial Services Sector have the authority to resolve consumer financing disputes. While BPSK can resolve consumer disputes based on Law no. 8 of 1999 concerning Consumer Protection.
The existence of these 2 (two) institutions can give rise to several views about the legal certainty of the right institution to resolve consumer financing disputes. The purpose of writing this thesis is to analyze the authority of the LAPS Financial Services Sector, how to implement consumer financing agreements, and how the legal consequences of the LAPS Financial Services Sector decision on BPSK's dispute resolution in the consumer finance sector.
The method of applying this thesis is normative juridical with a statutory approach. The results of this thesis are that the position of the LAPS Financial Services Sector does not violate the provisions of the Consumer Protection Law, the selection of consumer financing dispute resolution through the LAPS Financial Services Sector does not violate the Consumer Protection Law, and the authority of the Financial Services Sector LAPS does not reduce the effectiveness of the BPSK institution in resolving consumer financing disputes.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>