Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174371 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan
pemakaian infiltrasi antara lidokain 1% dengan campuran
lidokain 1% dan klonidin untuk mencegah nyeri pasca apendektomi
di instalasi bedah gawat darurat dan instalasi bedah
elektif Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusurao Jakarta.
Penderita yang diteliti berjumlah 40 orang yang dibagi
menjadi 2 kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang.
Kelompok A : mendapatkan infiltrasi 5 cc lidokain 1% (100 mg)
disekeliling luka insisi apendektomi yang panj ang insisi
antara 5 6 cm. Kelompok B : mendapatkan infiltrasi campuran
5 cc lidokain 1% dan klonidin 1 cc ( 150 ugr ) di sekeliling
luka apendektomi yang panjang insisi antara 5 6 cm.
Penelitian dilakukan secara acak tersamar, dan penilaian
statistik mempergunakan uji student t test dan chi square
P< 0,05 adalah perbedaan bermakna secara statistik. Penelit
ian bertujuan untuk membandingkan infiltrasi lidokain 1%
dengan campuran lidokain 1% dan klonidin, menilai keefektifan
klonidin dalam hal memperpanjang efek analgesia lidokain dan.
pengaruh campuran ini terhadap sistem kard iovaskular dan
respirasi.
Hasil penelitian menunjukkan kelompok yang mendapat
campuran lidokain 1% dan klonidin dapat memperpanj ang efek
analgesia lidokain 1% minimal sampai 8 jam, sedangkan kelompok
lidokain 1% efek analgesianya hanya 4 jam.
Efek campuran lidokain 1% dan klonidin terhadap kardiovaskular
dan respirasi minimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T58798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisma A. Albandjar-Oemardi
"Latar Belakang: Laringoskopi dan intubasi dapat mengakibatkan perubahan kardiovaskular yang merugikan. Pada studi ini dibandingkan keefektifan premedikasi clonidine 4 mcg/kgbb dengan fentanyl 2 mcg/kgbb untuk menekan tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi orotrakca.
Metode: Sembilan puluh pasien ASA I-II yang akan menjalani pembedahan elektif dalam anestesia umum dan menjalani prosedur intubasi orotrakea secara acak tersamar ganda dibagi menjadi dua kelompok: 45 pasien mendapatkan premedikasi clonidine 4 mcg/kgbb dan 45 pasien lainnya mendapatkan fentanyl 2 mcg/kgbb. Parameter yang diamati, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tekanan arterti rata-rata, dan laju nadi, diukur secara berkala hingga 5 menit pasca intubasi.
Hasil: Clonidine secara bermakna lebih dapat menekan kenaikan tekanan darah sistolik, diastolil, dan tekanan arteri rata-rata dibandingkan fentanyl. Tidak ada perbedaan yang bermakna efek premedikasi clonidine dan fentanyl dalam menekan laju nadi. Efek samping yang didapatkan pada kelompok clonidinc adalah 1 pasien menglami hipotensi, sedangkan pada kelompok fentanyl 12 pasien mengalami depresi pemapasan.
Kesimpulan: Preredikasi clonidine 4 mcg/kgbb lebih baik dalam menekan tanggapan kardiovaskular dibandingkan fentanyl 2 mcg/kgbb

Background: Laringoscopy and intubation can alter cardiovascular response. The purpose of our study was to investigate, whether premdication clonidine 4mcg/kg or fentanyl 2 mcg/kg is more efficient to attenuate stress response due-to intubation
Method: This is a randomized double blind study. Ninty patients ASA I-II undergo elective surgery under general anesthesia and intubation were treated with clonidine (n=45) or fentanyl (n=45) prior to induction of anesthesia. Systolic blood pressure, diastolic blood pressure, mean arterial pressure, and heart rate were measured at predefined intervals until 5 minutes after intubation.
Result: Clonidine significantly attenuated systolic, diastolyc pressure, and mean arterial pressure compared to fentanyl. There was no significant difference in heart rate. During observation there was 1 patient in clonidine group that suffered hypotension, and 12 patients in fentanyl group had respiratory depression.
Conclusion: Clonidine (4 mcg/kg) is more efficient than fentanyl (2 mcg/kg) in blunting cardiovascular response due to laryngoscopy and endotracheal intubation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Rosita Tantri
"Lidokain pada anestesia spinal dapat menimbulkan cedera saraf pasca anestesia berupa sindroma kauda equina atau neuropati lumbosakral persisten. Hipotermia ringan terapeutik adalah modalitas terapi yang dapat meningkatkan angka luaran dan kualitas hidup yang lebih baik pada pasien dengan cedera saraf. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran hipotermia ringan 35°C terhadap neurotoksisitas lidokain.
Metode
Peneiltian ini adalah penelitian eksperimental in vitro pada kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y. Kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y dipaparkan dengan lidokain berbagai konsentrasi pada keadaan hipotermia 35°C dan normotermia 37°C, dan dianalisis persentase viabilitas sel serta mekanisme kematian sel yang terjadi. Persentase viabilitas sel secara kuantitatif didapat dari hasil pemeriksaan MTT colorimetric assay. Image based cytometry digunakan untuk mengetahui persentase jumlah sel yang mengalami nekrosis, apoptosis dan hidup. Persentase jumlah sel dan morfologi sel yang mengalami apoptosis diamati dengan pewarnaan TUNEL. Konsentrasi Bcl-2 dan caspase 3 aktif dikuantifikasi dengan menggunakan sandwich ELISA assay.
Hasil
Lidokain mengakibatkan kematian sel yang bersifat dose dependent. Lebih dari 50% kematian sel diakibatkan oleh proses nekrosis. Persentase viabilitas sel dan konsentrasi caspase 3 aktif pada keadaan normotermia dan hipotermia tidak berbeda bermakna. Tidak dijumpai peningkatan bermakna nilai IC50 lidokain dan konsentrasi Bcl-2 pada keadaan hipotermia 35°C dibandingkan pada 37°C. Tidak dijumpai pengurangan bermakna persentase sel yang mengalami apoptosis pada keadaan hipotermia baik pada pemeriksaan image based cytometry maupun pada pewarnaan TUNEL.
Kesimpulan
Hipotermia 35°C tidak memperbaiki viabilitas dan nilai IC50 sel neuroblastoma SH-SY5Y yang diberi paparan lidokain. Hipotermia 35°C tidak menginhibisi proses apoptosis dan nekrosis pada sel neuroblastoma SH-SY5Y yang mendapat paparan lidokain. Neurotoksisitas lidokain tidak dihambat oleh hipotermia 35°C.

Lid°Caine in spinal anesthesia may cause nerve injury and has been related to increase incidence of cauda equina syndrome and persistent lumbosacral neuropathy after spinal anesthesia. Therapeutic mild hypothermia is a new treatment, which increases survival chances and quality of life in ischemic nerve injury patients. The aim of this study is to obtain information about the role of mild hypothermia (35°C) in lid°Caine-induced neurotoxicity.
Methods
In this experimental in vitro research, neuroblastoma SH-SY5Y cell culture was exposed to various lid°Caine concentrations in hypothermic 35°C and normothermic 37°C condition. Viability of cells after various concentrations of lid°Caine exposure at 37°C and 35°C was quantitatively determined by MTT colorimetric assay. Image based cytometer was also used to determine quantitatively percentage of necrotic, apoptotic and viable cells. Apoptotic cell percentage and apoptotic cell morphology was assessed with TUNEL staining. In addition, an anti apoptotic factor, Bcl-2 and apoptosis executioner active caspase 3 were assessed with sandwich ELISA assay.
Results
Lid°Caine induced cell death °Ccured in dose dependent manner. More than 50% cell death was caused by necrosis pr°Cess. Active Caspase 3 concentration and viability percentage in normothermic and hypothermic condition were not significantly different. There was no significant increase in IC50 value of lid°Caine, Bcl-2 concentration and cell viability after exposure to hypothermia 35°C compared with 37°C. There was no significant decreased in apoptotic and necrosis cells in hypothermia of 35°C compared with normothermia 37°C.
Conclusion.
Hypothermia of 35°C did not influence viability, nor inhibit apoptotic pr°Cess, nor reduce neurotoxicity induced by lid°Caine in neuroblastoma SH-SY5Y cells."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Nyeri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan bersifat sangat individual,
keluhannya sangat bervariasi dan tidak dapat diukur secara subyektif. Banyak faktor
yang mempengaruhi rasa nyeri pasien post operasi apendiktomi. Diantaranya faktor
internal (umur, jenis kelamin, ansietas, pengalaman masa lalu tentang nyeri, budaya
dan efek placebo) dan faktor eksternal (aktivitas, batuk, dukungan keluarga,
pemasangan drain). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi rasa nyeri pasien post operasi apendiktomi di RS. Graha Medika
Jakarta. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif korelasi yaitu untuk
mempelajari hubungan antara dua variabel. Jumlah responden yang diambil adalah 24
responden dan cara pengambilannya dengan metode acak sederhana. Instrumen yang
digunakan adalah lembar kuesioner dan lembax observasi. Dari 24 responden post
operasi apendiktomi, sebanyak 45,8% mengalami nyeri sedang, 37,5% mengalami
nyeri berat dan 16,7% mengalami nyeri ringan. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa
faktor yang mempengamhi rasa nyeri pasien post operasi adalah jenis kelamin,
dengan p value 0,009 pada alpha 0.05. Sedangkan variabel yang lainnya tidak
berpengaruh terhadap rasa nyeri pasien post operasi apendiktomi."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2003
TA5165
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lissa Florencia Putri Sutrisna
"Lidokain hidroklorida (LiH) merupakan agen anestesi lokal tipe amida yang umum digunakan pada prosedur dermatologi. LiH dikategorikan sebagai BCS (biopharmaceutics classification system) kelas III, yakni memiliki kelarutan yang tinggi dan permeabilitas yang buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasikan dan mengevaluasi sediaan dissolving microneedles (DMN) yang mengandung LiH dengan basis polimer berbeda, yaitu poli(vinil pirolidon) K30 (PVP-K30) dan asam hialuronat (AH), serta melakukan uji pelepasan obat secara in vitro dan in vivo. Evaluasi sediaan yang dilakukan adalah evaluasi fisik, karakterisasi kehilangan massa setelah pengeringan, karakteristik mekanis, simulasi penetrasi ke dalam kulit, pelarutan jarum dalam kulit, penetapan bobot teoritis, penetapan kadar menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi, dan stabilitas kimia. Kemudian, dipilih satu formula terbaik dari masing-masing kelompok polimer yang dilanjutkan dengan uji pelepasan obat secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dan uji permeasi secara in vivo menggunakan tikus galur Sprague-Dawley. Formula terpilih berdasarkan evaluasi sediaan adalah F3 (AH 10%) dan F5 (PVP-K30 25%). Berdasarkan uji pelepasan obat secara in vitro, jumlah obat terpermeasi dan terdeposisi di dalam kulit pada F3 adalah 247,1 ± 41,85 dan 98,35 ± 12,86 µg. Sedangkan, jumlah obat terpermeasi dan terdeposisi di dalam kulit pada F5 adalah 277,7 ± 55,88 µg dan 59,46 ± 9,25 µg. Berdasarkan uji permeasi obat secara in vivo, hanya satu tikus dari kelompok polimer PVP-K30 dengan konsentrasi 150,32 ng/mL terdeteksi pada plasma tikus. Oleh karena itu, LiH dapat diformulasikan ke dalam sediaan DMN dan mampu terdeposisi ke dalam kulit dengan kadar terpermeasi obat ke dalam sirkulasi sistemik yang masih tergolong aman.

Lidocaine hydrochloride (LiH) is an amide-type local anesthetic agent commonly used in dermatological procedures. LiH is categorized as BCS (biopharmaceutical classification system) class III, which has high solubility and poor permeability. This study aimed to formulate and evaluate lidocaine hydrochloride-loaded dissolving microneedles (LiH-DMN) with different polymers bases, namely poly(vinyl pyrrolidone) K30 (PVP-K30) and hyaluronic acid (HA), as well as conducting drug release test in vitro and in vivo. The evaluations consist of physical evaluation, characterization of loss on drying, mechanical strength characteristics, penetration into the skin, in-skin dissolution, determination of theoretical drug content, determination of drug content using high performance liquid chromatography, and chemical stability. Furthermore, the best formula was selected from each polymer group, followed by in vitro drug release using Franz diffusion cells and in vivo permeation test using Sprague-Dawley rats. The formulas selected based on the evaluation were F3 (HA 10%) and F5 (PVP-K30 25%). Based on the in vitro study, the amount of drug permeated and deposited in the skin at F3 was 247.1 ± 41.85 and 98.35 ± 12.86 µg, respectively. Meanwhile, the amount of drug permeated and deposited in the skin at F5 was 277.7 ± 55.88 and 59.46 ± 9.25 µg. In vivo drug permeation study showed that only one rat from PVP-K30 polymer group with a concentration of 150.32 ng/mL was detected on rat plasma. Therefore, LiH can be formulated into DMN and able to be deposited in the skin with a safe concentration of drug permeated into the systemic circulation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D784
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
2006
D844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iwan Kusuma
"Latar Belakang: Angka POST pascainsersi LMA masih tetap tinggi. Pemberian lidokain secara inhalasi akan memberikan efek analgetik dan mengurangi respon inflamasi terutama pada saluran napas dan dapat menjadi alternatif baru untuk menurunkan kekerapan POST pascainsersi LMA. Sebagai kelompok kontrol digunakan deksametason intravena.
Tujuan : Membandingkan kekerapan POST pascainsersi LMA pada pemberian inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dengan deksametason 10 mg intravena sebelum pemasangan LMA.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal. Seratus dua puluh delapan pasien yang akan menjalani operasi mata dengan anestesia umum dan insersi LMA dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok inhalasi lidokain dan kelompok deksametason intravena. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun, ASA 1 atau 2, mallampati class I atau II, tidak terdapat nyeri tenggorokan sebelum operasi, posisi operasi terlentang, Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent. Inhalasi lidokain atau deksametason intravena diberikan 10 menit sebelum insersi LMA. Insersi LMA dengan cara baku, dan penilaian POST dilakukan 2 jam pascaoperasi. Data yang terkumpul akan diverifikasi dan diolah menggunakan program SPSS dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan.
Hasil : Uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan chi-square, kelompok inhalasi lidokain didapatkan 10,9 pasien mengalami POST pasca insersi LMA sedangkan pada kelompok deksametason intravena didapatkan 9,4 pasien mengalami POST p>0,05 . Skala nyeri kelompok inhalasi lidokain dengan nilai median 0 0-1 dan deksametason intravena dengan nilai median 0 0-3 juga tidak berbeda bermakna. Penelitian ini tidak mendapatkan adanya efek samping pada kedua kelompok.
Simpulan : Pemberian inhalasi lidokain sebanding dengan pemberian deksametason 10 mg intravena dalam mengurangi kekerapan POST pascainsersi LMA"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astria Yuliastri Permana
"Latar belakang. Kombinasi anestesi spinal bupivakain dan fentanil dengan penambahan klonidin dosis tinggi diketahui dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik, namun prevalensi timbulnya efek samping cukup tinggi. Dalam studi ini, kami menggunakan klonidin dosis rendah secara intratekal (30 mcg) sebagai adjuvan  bupivakain dan fentanil. 
Tujuan. Penelitian dilakukan untuk membandingkan efektifitas serta efek samping pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dengan dan tanpa klonidin 30 mcg.
Metode. Penelitian studi potong lintang yang dilakukan pada 70 pasien seksio sesarea terbagi kedalam dua kelompok masing-masing 35 pasien yang mendapatkan kombinasi anestesi spinal dengan penambahan klonidin 30 mcg dan tanpa klonidin 30 mcg. Penelitian ini mengevaluasi kualitas blok sensorik dan motorik. Efek samping yang terjadi diamati selama 24 jam paska tindakan seksio sesarea meliputi pruritus, mual muntah, nyeri tungkai, nyeri punggung dan mata merah. 
Hasil Penelitian. Median durasi blok sensorik kelompok kombinasi anestesi bupivakain fentanil dengan klonidin 30 mcg dibandingkan tanpa klonidin 30 mcg (330 menit vs 220 menit), Median durasi blok motorik (193 menit vs 188 menit). Efek samping tertinggi adalah mual muntah terdapat pada kelompok kombinasi tanpa klonidin 30 mcg (42.85%). Perbedaan bermakna (p-value < 0.05) terdapat pada durasi blok sensorik, blok motorik dan efek samping mual muntah.
Kesimpulan. Penambahan klonidin 30 mcg pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik serta meminimalisir efek samping dibandingkan dengan tanpa klonidin 30 mcg.

Background. The combination of the spinal anesthesia bupivacaine and fentanyl with the addition of high doses of clonidine are known to prolong the duration of sensory and motor blocks, but the prevalence of side effects is high. In this study, we used an intrathecally low dose of clonidine (30 mcg) as an adjuvant to bupivacaine and fentanyl.
Aim. This study was conducted to compare the effectiveness and side effects of the combination spinal anesthesia bupivacaine fentanyl with and without clonidine 30 mcg.
Method. Cross-sectional study conducted on 70 patients with cesarean section divided into two groups of 35 patients each who received a combination of spinal anesthesia with the addition of clonidine 30 mcg and without clonidine 30 mcg. This study evaluates the quality of the sensory and motor blocks. Side effects observed for 24 hours after cesarean section included pruritus, nausea, vomiting, leg pain, back pain and red eyes.
Result. Median sensory block duration in the combination group of the anesthetic bupivacaine fentanyl with clonidine 30 mcg compared without clonidine 30 mcg (330 min vs 220 min), Median motor block duration (193 min vs 188 min). The highest side effect was nausea and vomiting in the combination group without clonidine 30 mcg (42.85%). Significant differences (p-value <0.05) were found in the duration of sensory blocks, motor blocks and side effects of nausea and vomiting.
Conclusion. The addition of clonidine 30 mcg to the combination of spinal anesthesia bupivacaine fentanyl can prolong the duration of sensory and motor blocks and minimize side effects compared to 30 mcg without clonidine.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ambar Lestari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent.
Metode: Studi eksperimental dengan kontrol dan desain buta acak ganda (triple blind study) dilakukan pada 12 subjek sehat yang diinjeksikan larutan one-per-mil tumescent mengandung lidocaine 0,2% pada satu tangan atau lidocaine 2% pada tangan kontralateral. Awitan dan durasi kerja lidocaine diukur berkala dengan uji sensoris Semmes-Weinstein dan diskriminasi dua titik. Tingkat nyeri diukur dengan visual analogue scale (VAS)
Hasil: Awitan tercepat pada grup lidocaine 2% tercatat pada menit ke 1 (rentang: menit ke 1 hingga 6). Awitan rata-rata pada grup larutan one-per-mil tumescent adalah 4.67 menit (± 2.53 menit). Durasi kerja lidocaine 2% adalah 95.58 menit (± 29.82 menit), sedangkan durasi kerja larutan one-per-mil tumescent adalah 168.5 menit (± 45.1 menit) dengan uji diskriminasi dua titik dan 186.83 menit (± 44.02 menit) dengan uji sensoris Semmes-Weinstein. Terdapat perbedaan awitan dan durasi kerja yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup pada saat sebelum dan sesudah intervensi.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan awitan dan durasi kerja lidocaine dalam larutan one-per-mil tumescent adalah rata-rata 4,67 dan 168,5 menit. Lidocaine 0,2% dalam larutan one-per-mil tumescent menghasilkan awitan yang lebih lambat dan durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine 2%.

ABSTRACT
Background: We aimed to profile the onset and duration of action of the lidocaine in one-per-mil tumescent solution.
Methods: A controlled, prospective, and randomized triple blind study was conducted on both hand of 12 healthy volunteers who were injected in two consecutive days in his ring finger with either one-per-mil tumescent solution containing 0.2% lidocaine (experimental finger) in one hand or 2% lidocaine (control finger) in the contralateral hand. The onset and duration of action of lidocaine were measured over time by Semmes-Weinstein and two-point discrimination test. The level of pain was evaluated using visual analogue scale (VAS).
Results: The fastest onset of action in 2% lidocaine group was in the first minute (range, minute 1 to 6). Average onset of action of one-per-mil tumescent solution was 4.67 minutes (± 2.53 minutes). Duration of action of 2% lidocaine was 95.58 minutes (± 29.82 minutes), meanwhile the duration of one per-mil tumescent solution was 168.5 minutes (± 46.4 minutes) by 2PD test and 186.83 minutes (± 44.02 minutes) by SW test. There were significant difference of the onset and duration of action of both groups. Fingertip sensibility before and after the intervention did not change significantly in both group.
Conclusion: This study shows that the onset and duration of action of lidocaine in the one-per-mil solution injected in the finger using tumescent technique subsequently at 4.67 and 168.5 minutes in average. 0.2% lidocaine in one-per-mil tumescent solution produced slower onset and longer duration of action compared to 2% lidocaine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>