Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115706 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arieska Felicia
"Infeksi pada pasien sakit kritis umum terjadi. Hal ini menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien ICU. Peran mikronutrien terutama vitamin D pada sistem imun terus berkembang, penelitian yang ada menghubungkan defisiensi vitamin D dengan tingginya kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara defisiensi vitamin D saat masuk ICU dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis. Rancangan penelitian menggunakan kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Pada penelitian ini dilakukan analisis interim, diperoleh 31 subjek dengan rerata usia 50,52±15,79, jumlah laki-laki 61,3%, sebesar 45,1% subjek mengalami malnutrisi dan diagnosis pembedahan sebesar 46,2%. Diperoleh hasil pasien dengan defisiensi vitamin D sebanyak 62,5% mengalami infeksi ditandai dengan peningkatan kadar leukosit ≥ 12.000/µL. Pada penelitian ini secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan kejadian infeksi pada pasien sakit kritis (P=0,17, CI 95% 3,12(1,06 – 9,12)). Diperlukan penelitian lanjutan hingga jumlah sampel terpenuhi, menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian infeksi dan dapat menggunakan modalitas pemeriksaan laboratorium yang lebih sensitive seperti CRP dan PCT.

Infection in critically ill patients is common, leading to high morbidity and mortality in ICU patients. The role of micronutrients, especially vitamin D, in the immune system is evolving. Existing research links vitamin D deficiency with higher infection rates in critically ill patients. This study examines the relationship between vitamin D deficiency at ICU admission and infection in critically ill patients. The study design involves a prospective cohort of subjects aged ≥18 years treated at RSCM and RSUI ICUs.  An interim analysis involved 31 subjects with a mean age of 50.52 ± 15.79 years. Of these, 61,3% were male, 45,1% were malnourished and 46,2% had surgical diagnoses. Results showed that 62,5% of patients with vitamin D deficiency experienced infection, indicated by leukocyte counts ≥ 12,000/µL. Statistically, there was no significant association between vitamin D levels and infection incidence in critically ill patients (P = 0.17, 95% CI 3.12 (1.06 – 9.12)). Further research with a sufficient sample size is needed to analyze other factors influencing infection incidence. More sensitive laboratory tests such as CRP and PCT could also be utilized."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Hunter Design
"Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh.
Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685).
Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis.

Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator.
Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day.
Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685)
Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shandy Iskandar
"Pendahuluan: Pasien sakit kritis umumnya mengalami penyusutan otot, pemberian asupan energi yang tidak memadai, dan hipoalbuminemia, yang semuanya dikaitkan dengan luaran yang buruk. Ketebalan otot adduktor pollicis (KOAP) dapat digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian status gizi tidak dapat mengabaikan pentingnya menilai proses inflamasi. Rasio neutrofil terhadap limfosit (neutrophil-to-lymphocyte ratio atau NLR) baru-baru ini diperkenalkan sebagai pananda inflamasi. Penelitian ini menganalisis hubungan KOAP, asupan energi, albumin serum, dan NLR dengan mortalitas 28 hari.
Metode: Studi kohort prospektif dilakukan di unit perawatan intensif (intensive care unit atau ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dari Februari hingga Maret 2020. KOAP diukur dengan alat caliper. Asupan energi dihitung berdasarkan jumlah kalori yang diterima pasien. Hitung jenis sel darah putih dan albumin serum diperiksa saat masuk ICU. Luaran utama adalah mortalitas 28 hari.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 49 pasien dengan angka kematian 20,4%. Rerata asupan energi hari pertama adalah 552,2 ± 235,6 kkal atau 47,0% dari target. Nilai median NLR pada semua subjek adalah 13,28 (minimal 3,50 - maksimal 59,56). Ada hubungan yang bermakna antara kelompok subjek dengan NLR tinggi (≥13,28) dan kelompok NLR rendah (<13,28) terhadap mortalitas (p = 0,031), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara APMT (24,25 ± 4,65 vs. 24,97 ± 3,59 mm, p = 0,596), asupan energi (kategori asupan energi kurang sebagai pembanding), dan rerata albumin serum (2,67 ± 0,54 vs. 2,64 ± 0,80 g/dl, p = 0,928). Analisis multivariat untuk menilai kemampuan gabungan variabel independen diperoleh nilai area under curve (AUC) sebesar 78,7%.
Kesimpulan: Kombinasi KOAP, asupan energi, albumin serum, dan NLR mempunyai kemampuan yang cukup memuaskan dalam memprediksi mortalitas pada pasien sakit kritis.

Introduction: Critically ill patients usually experience muscle wasting, inadequate energy intake and hypoalbuminemia, all of which were associated with poor outcomes. Adductor pollicis muscle thickness (APMT) can be used to assess nutritional status. Assessment of nutritional status cannot ignore the importance of inflammatory process. Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) was recently introduced as an inflammatory biomarker. This study analyze the relationship between APMT, energy intake, serum albumin, and NLR with 28-day mortality.
Methods: A prospective study was conducted in intensive care unit (ICU)’s of a tertiary care hospital, Indonesia, from February to March 2020. APMT was measured at admission with a caliper. Energy intake was calculated based on the number of calories received by the patient. Albumin serum and leukocyte differential count were checked at ICU admission. The primary outcome was 28-day mortality.
Results: This study involved 49 patients with mortality rate of 20.4%. Mean energy intake at first day was 552.2±235.6 kcal or 47.0% of the target. Median value of NLR of all subjects was 13.28 (minimum 3.50 – maximum 59.56). There was statistically significant relationship between non-survivor and survivor group with high NLR (≥13.28) and low NLR group (<13.28) for mortality (p=0.031), but there was no statistically significant difference between APMT (24.25±4.65 vs. 24.97±3.59 mm, p=0.596), energy intake (less energy intake category as a comparison), and mean serum albumin (2.67±0.54 vs. 2.64±0.80 g/dl, p=0.928). Multivariate analysis to assess combined ability of independent variables to predict mortality obtained a satisfactory area under curve (AUC) value of 78.7%.
Conclusion: The combination of APMT, energy intake, serum albumin, and NLR has a satisfactory ability in predicting mortality in critically ill patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardine Godong
"AKI disebabkan oleh pengaruh gangguan sistemik atau lokal hemodinamik yang menyebabkan terjadinya stres atau kerusakan pada sel tubular yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Pasien yang mengalami malnutrisi dengan peningkatan prevalensi kejadian AKI sebanyak 2,25 kali. Skrining pasien malnutrisi dilakukan dalam 24 hingga 48 jam pertama saat pasien masuk ke rumah sakit menggunakan alat skrining, salah satunya adalah NRS-2002. Penelitian menggunakan desain kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUPN dr. CIpto Mangunkusumo dan RSUI. Diperoleh 64 subjek dengan kelompok skor NRS-2002 ≥ 3 sebanyak 36 subjek dan kelompok skor NRS < 3 sebanyak 28 subjek. Jumlah pasien laki-laki sebanyak 40 (62,5%) subjek, dan perempuan sebanyak 24 (37,5%) subjek, dengan usia rerata 50,95 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh, kelompok IMT dengan malnutrisi adalah kelompok terbanyak dengan jumlah 21 (32,8%) subjek. Pasien dengan faktor risiko hipertensi sebanyak 18 (28,1%) subjek. Subjek dengan Skor NRS ≥ 3 didapatkan 36 subjek dengan 10 orang yang mengalami AKI. Subjek dengan skor NRS <3 didapatkan sebanyak 28 orang dengan 1 orang mengalami AKI. Hasil uji statistik menggunakan uji fischer’s exact test diperoleh nilai p 0,017 ( RR 7,78, CI 95% 1,06-57,20). Hal ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan bermakna antara skor Nutritional Risk Screening – 2002 dengan kejadian acute kidney injury pada pasien sakit kritis

AKI is caused by systemic or local hemodynamic disturbances that result in stress or damage to tubular cells, which can progress to chronic kidney failure. Patients experiencing malnutrition have a 2.25 times higher prevalence of AKI. Screening for malnutrition is conducted within the first 24 to 48 hours of hospital admission using screening tools such as the NRS-2002. This study used a prospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. A total of 64 subjects were obtained, with 36 subjects having an NRS-2002 score ≥ 3 and 28 subjects having an NRS score < 3. There were 40 male subjects (62.5%) and 24 female subjects (37.5%), with an average age of 50.95 years. Based on body mass index, the group with malnutrition was the largest group, with 21 subjects (32.8%). There were 18 subjects (28.1%) with hypertension as a risk factor. Subjects with an NRS score ≥ 3 included 36 subjects, with 10 of them experiencing AKI. Subjects with an NRS score <3 included 28 people, with 1 person experiencing AKI. The results of the statistical test using Fischer's exact test obtained a p-value of 0.017 (RR 7.78, CI 95% 1.06-57.20). This indicates a significant relationship between the Nutritional Risk Screening - 2002 score and the incidence of acute kidney injury in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Darma Putra
"Penggunaan ventilasi mekanis pada pasien kritis tidak dapat dihindarkan namun dapat menyebabkan ventilator-induced lung injury (VILI) dan ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara volume tidal rendah (6 ml/kgBB) dan tinggi (10 ml/kgBB) terhadap disfungsi diafragma. Penelitian ini merupakan sebuah randomized controlled trial yang dilakukan di ruang perawatan intensif, RS Cipto Mangunkusumo. Pasien secara random masuk ke kelompok volume tidal 6 ml/kgBB dan 10 ml/kgBB, dan diikuti selama 72 jam (3 hari) untuk dinilai adanya disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma dinilai menggunakan alat ultrasonografi, menggunakan kriteria ekskursi dan fraksi ketebalan diafragma. Variabel lain yang dinilai dalam penelitian ini ialah kadar interleukin-6.Sebanyak 52 pasien dilakukan randomisasi. Sebanyak total 45 pasien menyelesaikan studi. Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar sampel pasien pada kedua kelompok volume tidal. Sebanyak 37.8% pasien mengalami disfungsi diafragma pada hari ketiga. Tidak terdapat perbedaan proporsi disfungsi diafragma pada kedua kelompok volume tidal baik menggunakan kriteria ekskursi, fraksi ketebalan, maupun salah satunya. Terdapat perbedaan rerata interleukin-6 hari nol antara kelompok dengan dan tanpa disfungsi diafragma hari ketiga sebesar 332.29 pg/mL (p=0.024). Sebagai kesimpulan, volume tidal 6 ml/kgbb dan 10 ml/kgbb tidak berbeda dalam mencegah disfungsi diafragma pada pasien kritis. Interleukin-6 memiliki pengaruh terhadap disfungsi diafragma.

The use of mechanical ventilation is inevitable for critically ill patients yet it causes tremendous side effect of ventilator-induced lung injury (VILI) and ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). This study is aimed to examine the effect of low tidal volume (6 ml/kgBW) and high tidal volume (10 ml/kgBW) to diaphragm dysfunction. This is a randomized controlled trial conducted at intensive care unit (ICU) of Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients were randomly allocated to tidal volume of 6 ml/kgBW or 10 ml/kgBW and were followed for 72 hours (3 days). At the end of the 72 hours, patients were assessed for diaphragm dysfunction. Diaphragm dysfunction is assessed by ultrasonography with excursion and thickness fraction criteria. Interleukin-6 was also examined. Of 52 patients who were randomized, 25 were on 6 ml/kgBW group and 27 were on the other. There were 45 patients finishing the study. The baseline characteristics of the sample was not different among the two groups. We found 37.8% patients with diaphragm dysfunction on day-3 but no significant proportion difference among the two groups. Diaphragm dysfunction was assessed with excursion, fraction of thickness criteria. We found 332.29 pg/mL mean difference between interleukin-6 on patients with and without diaphragm dysfunction on day-3 (p=0.024). In conclusion, tidal volume of 6 ml/kgBW and 10 ml/kgBW is not different in preventing diaphragm dysfunction on critically ill."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Soka Rahmita
"Ventilator mekanik adalah salah satu alat bantuan hidup yang paling sering digunakan oleh pasien kritis, namun terdapat banyak komplikasi apabila digunakan dengan durasi yang memanjang yaitu lebih dari 14 hari (prolonged mechanical ventilation, PMV), dan dikatakan hanya 50% pasien dengan
Ventilator mekanik adalah salah satu alat bantuan hidup yang paling sering digunakan oleh pasien kritis, namun terdapat banyak komplikasi apabila digunakan dengan durasi yang memanjang yaitu lebih dari 14 hari (prolonged mechanical ventilation, PMV), dan dikatakan hanya 50% pasien dengan PMV yang dapat dilakukan ekstubasi. Peningkatan durasi pemakaian ventilator dan lama rawat pada pasien ICU disebabkan antara lain karena berkurangnya sintesis protein dan meningkatnya pemecahan protein otot, sehingga asupan protein dalam jumlah yang tepat dan diberikan sesuai dengan waktu rawat dapat mengurangi waktu lama rawat, durasi pemakaian ventilator dan angka kematian pada pasien kritis. Namun, saat ini prevalensi obesitas meningkat pada sakit kritis dan memengaruhi pemanjangan durasi pemakaian ventilator. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada subjek dengan indeks massa tubuh ≥25 kg/m2, berusia 18-70 tahun, menggunakan ventilator mekanik ≥72 jam, dan dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Diperoleh 23 subjek dengan proporsi 65,2% laki-laki dan 34,8% perempuan, dengan rerata usia 51 tahun. Mayoritas subjek penelitian memiliki IMT obesitas derajat 1 (91,3%) dan EOSS kelas 2 (56,5%). Berdasarkan diagnosis awal admisi ICU didominasi oleh sepsis dan pasca pembedahan (14,3%). Subjek penelitian sebagian besar belum dapat memenuhi kebutuhan energi berdasarkan rekomendasi (17,52±5,99 kkal/kgBB/hari). Rerata asupan protein pada penelitian ini masih kurang dari rekomendasi (0,833±0,264 g/kgBB/hari) dan rerata durasi pemakaian ventilator pada penelitian ini cukup panjang (245,35±125,16 jam). Hasil penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara rerata asupan protein dengan durasi pemakaian ventilator mekanik. Penelitian lanjutan diperlukan dengan kriteria subjek pada variabel dependen dan independen yang lebih bervariasi dan dengan mempertimbangkan analisis faktor perancu lain yang dapat memengaruhi durasi pemakaian ventilator mekanik.

Mechanical ventilators are one of the most frequent life-support used in critically ill patients. However, prolonged mechanical ventilation (more than 14 days) can lead to many complications and only 50% of PMV patients being able to be extubated. The increased duration of ventilator and length of ICU stay in patients is partly due to decreased protein synthesis and increased muscle protein breakdown. Therefore, adequate protein intake may reduce length of ICU stay, duration of ventilation, and mortality in critically ill patients. However, the prevalence of obesity in critically ill patients has been increasing and affecting the longer duration of ventilation. This study employed a prospective cohort design on subjects with a body mass index (BMI) of ≥25 kg/m², aged 18-70 years, who used mechanical ventilators for ≥72 hours, and were treated in the ICUs of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and University of Indonesia Hospital (RSUI). A total of 23 subjects were included, with 65.2% male and 34.8% female, and an average age of 51 years. The majority of study subjects had a BMI obesity grade 1 (91.3%) and EOSS class 2 (56.5%). The initial diagnosis at ICU admission was dominated by sepsis and post-surgery conditions (14.3%). Most subjects in the study could not meet their energy needs (17.52±5.99 kcal/kgBW/day). The average protein intake in this study was still below the recommendation (0.833±0.264 g/kgBW/day) and the average duration of mechanical ventilation was quite long (245.35±125.16 hours). The study did not find a relationship between protein intake and duration of mechanical ventilation. Further research is needed with more varied subject criteria fpr dependent and independent variables, while considering the analysis of other confounding factors that may influence the duration of mechanical ventilator use."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wijayanti
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna dapat menurunkan kapasitas fungsional, terlihat dari penurunan kekuatan genggam tangan, yang berhubungan dengan malnutrisi dan inflamasi. Albumin adalah parameter nutrisi penting yang dapat memengaruhi kekuatan otot, tetapi hubungan antara perubahan kadar albumin dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna belum banyak diteliti.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort prospektif pada 52 pasien dewasa (19–65 tahun) yang menjalani pembedahan saluran cerna di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Kadar albumin serum diukur sebelum dan setelah operasi, sementara kekuatan genggam tangan dinilai menggunakan dinamometer digital. Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menilai hubungan antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Mayoritas subjek memiliki kekuatan genggam tangan praoperasi rendah, dengan rata-rata penurunan kekuatan genggam pascaoperasi sebesar 3,5 kg. Mayoritas pasien juga mengalami hipoalbuminemia pascaoperasi, dengan rerata penurunan kadar albumin 0,4 g/dL. Uji korelasi menunjukkan hubungan bermakna antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan pascaoperasi (r = 0,328; p = 0,018). Kesimpulan: Terdapat korelasi sedang yang signifikan antara perubahan kadar albumin dan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna.

Background: Gastrointestinal surgery can reduce functional capacity, evidenced by a decline in handgrip strength, which is associated with malnutrition and inflammation. Albumin is an essential nutritional parameter that can influence muscle strength, but the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients has not been extensively studied. Methods: This study is a prospective cohort involving 52 adult patients (aged 19–65 years) who underwent gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Serum albumin levels were measured preoperatively and postoperatively, while handgrip strength was assessed using a digital dynamometer. Spearman correlation analysis was used to evaluate the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength.
Results: The majority of subjects had low preoperative handgrip strength, with an average decrease in postoperative handgrip strength of 3.5 kg. Most patients also experienced postoperative hypoalbuminemia, with an average albumin level reduction of 0.4 g/dL. Correlation analysis revealed a significant moderate association between changes in serum albumin levels and handgrip strength (r = 0,328; p = 0,018). Conclusion: There is a significant moderate correlation between changes in serum albumin levels and changes in handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Thalya Alissya Rahma
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna memiliki risiko komplikasi tinggi yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penurunan albumin pascaoperasi terkait inflamasi sistemik menjadi indikator penting komplikasi. Comprehensive Complication Index (CCI) digunakan untuk menilai komplikasi lebih komprehensif dibanding Clavien-Dindo Classification.
Metode:Studi kohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Juli-November 2024. Subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani pembedahan saluran cerna. Dari 80 subjek awal, 78 memenuhi kriteria dengan 39 pada kelompok albumin dibawah rata-rata atau median dan 39 albumin diatas rata-rata atau median. Komplikasi pascaoperasi diukur menggunakan Comprehensive Complication Index (CCI), yang mencerminkan seluruh komplikasi pada skala kontinu 0-100, di mana skor lebih tinggi menunjukkan beban komplikasi yang lebih berat. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor CCI antara kedua kelompok albumin.
Hasil: Dari total 78 subjek penelitian, didapatkan nilai tengah albumin 2,85 g/dL. Kelompok dengan albumin <2,85 g/dL memiliki skor CCI lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan albumin ≥2,85 g/dL. Analisis menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan antara status albumin dan komplikasi pascaoperasi (p<0,05).
Kesimpulan: Status pascaoperasi berhubungan signifikan dengan komplikasi pasca pembedahan saluran cerna. Penilaian albumin dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi komplikasi dan merencanakan intervensi nutrisi guna mengurangi komplikasi.

Background: Gastrointestinal surgery carries a high risk of complications, increasing morbidity, mortality, and healthcare costs. Postoperative albumin decline associated with systemic inflammation serves as an important indicator of complications. The Comprehensive Complication Index (CCI) is used to assess complications more comprehensively than the Clavien-Dindo Classification.
Methods: This prospective cohort study was conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from July to November 2024. The study subjects were adult patients undergoing gastrointestinal surgery. Out of 80 initial subjects, 78 met the inclusion criteria, with 39 in the <2.85 g/dL albumin group and 39 in the >2.85 g/dL albumin group. Postoperative complications were measured using the Comprehensive Complication Index (CCI), which reflects all complications on a continuous scale from 0 to 100, with higher scores indicating greater complication burden. Bivariate analysis was performed using the Mann-Whitney test to compare CCI scores between the two albumin groups.
Results: Among the 78 subjects, the median albumin level was 2.85 g/dL. CCI score in the <2.85 g/dL albumin group significantly higher than the >2.85 g/dL albumin group. These findings indicate a significant association between albumin levels and postoperative complication (p<0.05)..
Conclusion: Postoperative albumin status is significantly associated with gastrointestinal surgery complications. Albumin assessment can be used to identify high-risk patients and plan nutritional interventions to reduce complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Thalya Alissya Rahma
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna memiliki risiko komplikasi tinggi yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penurunan albumin pascaoperasi terkait inflamasi sistemik menjadi indikator penting komplikasi. Comprehensive Complication Index (CCI) digunakan untuk menilai komplikasi lebih komprehensif dibanding Clavien-Dindo Classification.
Metode:Studi kohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Juli-November 2024. Subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani pembedahan saluran cerna. Dari 80 subjek awal, 78 memenuhi kriteria dengan 39 pada kelompok albumin dibawah rata-rata atau median dan 39 albumin diatas rata-rata atau median. Komplikasi pascaoperasi diukur menggunakan Comprehensive Complication Index (CCI), yang mencerminkan seluruh komplikasi pada skala kontinu 0-100, di mana skor lebih tinggi menunjukkan beban komplikasi yang lebih berat. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor CCI antara kedua kelompok albumin.
Hasil: Dari total 78 subjek penelitian, didapatkan nilai tengah albumin 2,85 g/dL. Kelompok dengan albumin <2,85 g/dL memiliki skor CCI lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan albumin ≥2,85 g/dL. Analisis menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan antara status albumin dan komplikasi pascaoperasi (p<0,05).
Kesimpulan: Status pascaoperasi berhubungan signifikan dengan komplikasi pasca pembedahan saluran cerna. Penilaian albumin dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi komplikasi dan merencanakan intervensi nutrisi guna mengurangi komplikasi.

Background: Gastrointestinal surgery carries a high risk of complications, increasing morbidity, mortality, and healthcare costs. Postoperative albumin decline associated with systemic inflammation serves as an important indicator of complications. The Comprehensive Complication Index (CCI) is used to assess complications more comprehensively than the Clavien-Dindo Classification.
Methods: This prospective cohort study was conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from July to November 2024. The study subjects were adult patients undergoing gastrointestinal surgery. Out of 80 initial subjects, 78 met the inclusion criteria, with 39 in the <2.85 g/dL albumin group and 39 in the >2.85 g/dL albumin group. Postoperative complications were measured using the Comprehensive Complication Index (CCI), which reflects all complications on a continuous scale from 0 to 100, with higher scores indicating greater complication burden. Bivariate analysis was performed using the Mann-Whitney test to compare CCI scores between the two albumin groups.
Results: Among the 78 subjects, the median albumin level was 2.85 g/dL. CCI score in the <2.85 g/dL albumin group significantly higher than the >2.85 g/dL albumin group. These findings indicate a significant association between albumin levels and postoperative complication (p<0.05)..
Conclusion: Postoperative albumin status is significantly associated with gastrointestinal surgery complications. Albumin assessment can be used to identify high-risk patients and plan nutritional interventions to reduce complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>