Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Kartika Nursyahbani
"Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) adalah pemeriksaan fungsi organ otolith yang dinilai cukup nyaman bagi usia lanjut karena dilakukan dalam posisi duduk. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara nilai rerata SVV metode bucket dengan oVEMP dan cVEMP. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 41 subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan di poliklinik geriatri dan neurotologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek menjalani pemeriksaan SVV metode bucket dan VEMP dengan stimulus tone burst pada intensitas 95 dB dan 100 dB. Hasil penelitian: Nilai median SVV adalah 1,8° (0,8°–3,8°). Rerata masa laten awal dan akhir oVEMP adalah 11,7±2,6 ms dan 16,5±3,8 ms. Rerata masa laten awal dan akhir cVEMP adalah 16,4±3,9 ms dan 25,0±4,2 ms. Terdapat korelasi antara pemeriksaan SVV dengan asimetri cVEMP pada intensitas 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) dan 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). Tidak ditemukan korelasi SVV dengan pemeriksaan oVEMP. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara rerata SVV dengan cVEMP pada subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan.

Introduction: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations evaluated otolith organ function which were considered comfortable for the elderly because they were carried out in a sitting position. This research aims to determine the correlation between the SVV value of the bucket method with oVEMP and cVEMP. Methods: A cross-sectional study on 41 geriatric subjects without complaints of balance disorders at the geriatrics and neurotology clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects underwent bucket method SVV and VEMP examinations with tone burst stimuli at 95 dB and 100 dB intensity. Results: The median SVV value was 1,8° (0,8°–3,8°). The mean n1 and p1 of oVEMP were 11,7 ± 2,6 ms and 16,5 ± 3,8 ms. The mean p1 and n1 of cVEMP were 16,4 ± 3,9 ms and 25,0 ± 4,2 ms. There was a correlation between SVV and cVEMP asymmetry at intensities of 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) and 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). No correlation was found between SVV and oVEMP examination. Conclusion: There was a correlation between the mean SVV value and cVEMP in geriatric subjects without complaints of balance disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggri Murtia
"Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) merupakan pemeriksaan keseimbangan yang dapat dilakukan dalan keadaan duduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesesuaian antara nilai SVV dengan cVEMP.
Metode penelitian: Penelitian ini pada bulan September-November 2020, menggunakan disain potong lintang dilakukan pada 37 orang orang dewasa, orang perempuan dan 13 laki-laki dan 24 perempuan tanpa gangguan keseimbangan yang diperiksa dengan alat SVV dan VEMP di Poliklinik THT Neurotologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo untuk menilai kesesuaian hasil pemeriksaan SVV dan VEMP menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil penelitian: Pada orang tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata SVV ≤2,5ᵒ. Hasil pemeriksaan cVEMP pada orang dewasa tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata p13 terkecil dan terbesar yaitu 16,58±0,95 dan 18,69±2,54 dan untuk nilai rata-rata n23 terkecil dan terbesar yaitu 25,50±1,50 dan 27,69±2,75. Nilai rata-rata amplitudo cVEMP terkecil dan terbesar yaitu 46,96±25,20 dan 69,76±34,2 mV serta didapatkan nilai rata-rata rasio asimetri untuk terkecil dan terbesar perempuan yaitu 0,09±0,11dan 0,18±0,14. Pada uji korelasi Spearman didapatkan r < 0,2 sehingga penilaian SVV dengan nilai asimetri cVEMP tidak memiliki kesesuaian.
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian nilai pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dengan cervical Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) pada orang tanpa gangguan keseimbangan

Background: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations are balance examination that can be performed while sitting. This study aims to describe the comformity between SVV with cVEMP.
Methods: This study was conducted in September-November 2020, using a cross-sectional design carried out on 37 adults, 13 men and 24 women without balance disorders who were examined with the SVV and VEMP tools at the ENT Neurotology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital for assess the conformity of the SVV and VEMP results using the Spearman correlation test.
Results: People without balance disorders the average value of SVV ≤2.5. The results of cVEMP examination in adults without balance disorders, the smallest and largest average p13 values are 16.58±0.95 and 18.69±2.54 and for the smallest and largest average values of n23 are 25.50± 1.50 and 27.69±2.75. The average values of the smallest and largest cVEMP amplitudes are 46.96±25.20 and 69.76±34.2 mV and the average asymmetry ratio values for the smallest and largest women are 0.09±0.11 and 0.18 ±0.14 In the Spearman correlation test, it was found that r <0.2, so that the SVV assessment with the asymmetry cVEMP was not corralated.
Conclusion: There is no comformity between the Subjective Visual Vertical (SVV) examination scores with Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) in people without balance disorders
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Kurniawan
"Latar belakang: Migren vestibular (MV) merupakan salah satu penyebab tersering vertigo berulang. Beberapa penelitian telah melaporkan karakteristik klinis dan hasil abnormal pemeriksaan cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) pada pasien MV. Indonesia belum memiliki penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan pemahaman MV dan pemeriksaan cVEMP di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang melibatkan 18 subyek MV dan 25 subyek normal. Fungsi vestibular dinilai secara klinis dan menggunakan cVEMP. Seluruh subyek dengan MV menjalani pemeriksaan selama periode bebas serangan/interiktal.
Hasil: Keluhan utama migren atau gejala vestibular terbagi merata (50%). Karakteristik sakit kepala lebih banyak dengan intensitas berat (66,7%), berdenyut (100%), unilateral (61,1%), fotofobia (83%), fonofobia (94,4%), mual dan/atau muntah (88,9%), dan diperberat aktivitas (100%). Karakteristik gejala vestibular lebih banyak non-spinning vertigo (50%). Hasil pemeriksaan cVEMP didapatkan amplitudo yang lebih rendah pada MV (128,84µV [55,01-623,52]). Proporsi absennya gelombang cVEMP lebih tinggi pada MV (55,6%). Terdapat korelasi positif kuat antara frekuensi serangan MV dengan latensi n1 cVEMP.
Kesimpulan: Abnormalitas pemeriksaan cVEMP didapatkan pada pasien MV. Absennya gelombang cVEMP dan penurunan amplitudo merupakan hal yang dapat ditemukan pada pasien MV.

Background: Vestibular migraine (MV) is one of the most common cause of recurrent vertigo. Several studies have reported clinical characteristics and abnormal results of cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) in VM. Indonesia does not have research on this matter. Therefore this research is expected to be a reference for developing VM understanding and cVEMP examination in Indonesia.
Methods: This research is a cross-sectional study involving 18 VM subjects and 25 healthy subjects. Vestibular function is assessed clinically and by using cVEMP. All VM subjects underwent examination during the interictal period.
Results: The chief complaint either migraine nor vestibular symptoms were evenly distributed (50%). More headache with severe intensity (66,7%), throbbing (100%), unilateral (61,1%), photophobia (83%), phonophobia (94,4%), nausea and/or vomiting (88,9%), and aggravation by routine physical activity (100%). Characteristics of vestibular symptoms are more non-spinning vertigo (50%). cVEMP revealed lower amplitudes in VM (128,84µV [55,01-623,52]). The proportion of absence of cVEMP waves is higher in VM (55,6%). There is a strong positive correlation between the frequency of VM attacks with cVEMP n1 latency.
Conclusions: Abnormality of cVEMP are found in VM patients. The absence of cVEMP waves and decreases in amplitude can be found in VM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rommel Aleddin
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui perubahan nilai latensi dan amplitudo VEP pada berbagai tingkat tajam penglihatan subjektif. Metode: Dilakukan pengukuran nilai latensi dan amplitudo menggunaan pattern reversal visual evoked potential berdasarkan tajam penglihatan normal dan tajam penglihatan yang dilakukan induksi defocus sehingga menghasilkan visus 6/18, 6/30, dan 6/60 menggunakan checkerboard berukuran kecil dan besar. Hasil Terdapat pemanjangan nilai latensi dan penurunan nilai amplitudo pada kelompok pria dan wanita seiring dengan perburukan visus. Penggunaan checkerboard 18 min arc dan 48 min arc memberikan hasil yang paling mendekati nilai rujukan. Simpulan: Perbedaan nilai VEP berdasarkan jenis kelamin didapatkan pada nilai amplitudo, namun tidak pada nilai latensi.

ABSTRACT
Purpose To study changes in VEP latency and amplitude value according to various subjective visual acuity levels. Methods Latency and amplitude values were measured with pattern reversal visual evoked potential. Measurement was performed on normal visual acuity and defocus induced visual acuity to the value of 6 18, 6 30, and 6 60, using small and large sized checkerboard stimuli. Results Prolonged latency and decreased amplitude were found on both male and female subject groups, which corresponded with decreasing visual acuity levels. Usage of 18 min arc and 48 min arc sized checkerboards gave results approximating to reference value. Conclusions Difference in VEP value according to subjects 39 gender was found in amplitude, but not on latency."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sevi Aristya Sudarwin
"Vestibulo Ocular Reflex VOR merupakan salah satu refleks keseimbangan vestibuler perifer yang berfungsi menjaga stabilitas visual saat bergerak sehingga VOR dapat menggambarkan keadaan vestibular perifer pada seseorang. Video Head Impulse Test VHIT merupakan pemeriksaan fungsi keseimbangan yang menilai fungsi VOR sehingga dapat menilai fungsi vestibuler perifer. Rentang nilai VOR yang dijadikan acuan pada pemeriksaan VHIT saat ini merupakan hasil penelitian di luar negeri, belum ada nilai VOR berdasarkan pengukuran di dalam negeri yang dapat dijadikan acuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemeriksaan VHIT dan nilai VOR gain pada orang dewasa tanpa gangguan keseimbangan. Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan desain deskriptif pada 65 percontoh yang diambil secara konsekutif.
Hasil penelitian ini didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna rerata VOR gain berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia 18 60 tahun. Rerata VOR gain lateral sebesar 1,11 dengan standar deviasi 13,5 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 1,08 1,14. Rerata VOR gain anterior sebesar 1,11 dengan standar deviasi 0,28 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 1,05 1,15. Rerata VOR gain posterior sebesar 1,01 dengan standar deviasi 0,26 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 0,97 1,06. Pemeriksaan VHIT dapat melengkapi pemeriksaan keseimbangan yang sudah ada sehingga tatalaksana gangguan keseimbangan menjadi lebih baik.

Vestibulo Ocular Reflex VOR is one of the peripheral vestibular balance reflexes that serves to maintain visual stability while moving with the result VOR can describe the state of a peripheral vestibular system in a person. The Video Head Impulse Test VHIT is an examination of the balance function that assesses the function of the VOR in order to assess peripheral vestibular function. The range of VOR scores referenced that used in the current VHIT examination is the result of research abroad, there is no VOR value based on the domestic measurements that can be used as reference for VHIT examination. This study aims to determine the VHIT overview and know the value of VOR gain in adults without disturbance of balance. This study is a cross sectional study with descriptive design on 65 samples taken consecutively.
The result of this study were there was no significant differences of average VOR gain between age and sex group. Average of lateral VOR gain was 1.11 with the standard deviation of 13.5 and the 95 confidence interval ranged from 1.08 to 1.14. The average of anterior VOR gain was 1.11 with the standard deviation of 0.28 and the 95 confidence interval ranged from 1.05 to 1.15. The average of posterior VOR gain is 1.01 with the standard deviation of 0.26 and the 95 confidence interval ranges from 0.97 to 1.06. VHIT examination complement the existing balance test so that the management of balance disorder is better.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
"ABSTRAK
Latar Belakang. Visual Evoked Potentials VEP digunakan untuk menilai jaras visual dari nervus optikus hingga korteks visual. Respon VEP normal terhadap stimulus adalah munculnya gelombang defleksi positif pada latensi sekitar 100 milidetik. Gelombang VEP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis dan non-fisiologis yang sebagian dapat dikontrol sebagian lagi tidak, sehingga diperlukan referensi nilai normal latensi dan amplitudo gelombang VEP untuk di setiap laboratorium.Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 110 subyek sehat yang terdiri dari 55 subyek laki-laki dan 55 subyek perempuan berusia antara 18 hingga 55 tahun.Hasil. Pada perekaman dengan ukuran kotak 32 rsquo;, nilai batas atas latensi gelombang P100 pada adalah 117 milidetik pada laki-laki dan 119 milidetik pada perempuan. Nilai batas atas perbedaan latensi interokular pada perekaman dengan ukuran kotak yang sama adalah 10,96 milidetik untuk laki-laki dan 10,2 milidetik untuk perempuan. Tidak ada perbedaan bermakna antara latensi gelombang P100 pada kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi terdapat perbedaan amplitudo P100 yang bermakna antara kelompok laki-laki dan perempuan.Kesimpulan. Pada penelitian ini, jenis kelamin mempengaruhi amplitudo gelombang P100 tetapi tidak mempengaruhi latensi. Kata kunci: Visual Evoked Potentials, P100, latensi, amplitudo

ABSTRACT
Background. Visual Evoked Potentials VEP are used to assess the visual pathways through the optic nerves and brain. A normal VEP response to a stimulus is a positive occipital peak that occurs at a mean latency of 100 ms. The value of VEP parameters can be affected by physiological and non physiological factors that some can be controlled, some others not. Thus, every laboratory need its own normative values.Methods. The study was a cross sectional study involving 110 normal healthy subjects consist of 55 males and 55 females which age ranging from 18 to 55.Results. Upper normal limit of P100 latencies values in recording at checker size of 32 rsquo are 117 ms in male and 119 ms in female. Upper normal limit of interocular latencies difference values in recording at checker size of 32 rsquo are 10,96 ms in male and 10,2 ms in female. No significant differences of P100 latencies between male and female but there is significant differences in amplitudes.Conclusions. In our population, gender is an important factor affecting P100 amplitudes but not P100 latencies. Keywords Visual Evoked Potensials, P100, latency, amplitude "
2016
T55591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Rista Machdalena
"Lansia seringkali mengalami imobilisasi, terutama lansia yang mengalami perawatan di rumah sakit. Konsekuensi negative dari imobilisasi yang menjalani perawatan di rumah sakit adalah penuruanan dalam melakukan aktivitas, dan memperburuk kondisi kognitifnya. penelitian dengan menggunakan desain cross sectional dangan purposive sampel dengan dengan melibatkan 61 responden lansia. Hasil penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara status mobilisasi dengan status fungsional. Status mobilisasi dan status nutrisi juga berperan besar mempengaruhi status fungsional individu lansia. Oleh karena itu, diperlukan adanya diagnosis dini terhadap status mobilisasi dan status nutrisi untuk mencegah menurunnya kemampuan status fungsional lansia sehingga kualitas hidup lansia selama dirawat di rumah sakit meningkat. Selain itu, tersusunnya program mobilisasi secara teratur dan simultan akan meningkatkan kemampuan fungsional lansia selama dirawat di rumah sakit.

The elderly are frequently immobilized, especially the elderly who experience hospitalization. The negative consequences of immobilization during hospitalization are a decrease in activity, and a decrease in cognitive condition. The study used a cross-sectional design with a purposive sample by involving 61 elderly respondents. The results showed a significant relationship between mobilization status and functional status. Mobilization status and nutritional status also have a major role in influencing the functional status of elderly individuals. Based on this, early diagnosis of mobilization status and nutritional status is needed to prevent the decline in the ability of the functional status of the elderly so that the quality of life of the elderly during hospitalization increases. In summary, the establishment of a regular and simultaneous mobilization program will improve the functional ability of the elderly during hospitalization."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Kurniawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Migren vestibular (MV) merupakan salah satu penyebab tersering vertigo berulang. Beberapa penelitian telah melaporkan karakteristik klinis dan hasil abnormal pemeriksaan cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) pada pasien MV. Indonesia belum memiliki penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan pemahaman MV dan pemeriksaan cVEMP di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang melibatkan 18 subyek MV dan 25 subyek normal. Fungsi vestibular dinilai secara klinis dan menggunakan cVEMP. Seluruh subyek dengan MV menjalani pemeriksaan selama periode bebas serangan/interiktal.
Hasil: Keluhan utama migren atau gejala vestibular terbagi merata (50%). Karakteristik sakit kepala lebih banyak dengan intensitas berat (66,7%), berdenyut (100%), unilateral (61,1%), fotofobia (83%), fonofobia (94,4%), mual dan/atau muntah (88,9%), dan diperberat aktivitas (100%). Karakteristik gejala vestibular lebih banyak non-spinning vertigo (50%). Hasil pemeriksaan cVEMP didapatkan amplitudo yang lebih rendah pada MV (128,84µV [55,01-623,52]). Proporsi absennya gelombang cVEMP lebih tinggi pada MV (55,6%). Terdapat korelasi positif kuat antara frekuensi serangan MV dengan latensi n1 cVEMP.
Kesimpulan: Abnormalitas pemeriksaan cVEMP didapatkan pada pasien MV. Absennya gelombang cVEMP dan penurunan amplitudo merupakan hal yang dapat ditemukan pada pasien MV.

ABSTRACT
Background: Vestibular migraine (MV) is one of the most common cause of recurrent vertigo. Several studies have reported clinical characteristics and abnormal results of cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) in VM. Indonesia does not have research on this matter. Therefore this research is expected to be a reference for
developing VM understanding and cVEMP examination in Indonesia.
Methods: This research is a cross-sectional study involving 18 VM subjects and 25 healthy subjects. Vestibular function is assessed clinically and by using cVEMP. All VM subjects underwent examination during the interictal period.
Results: The chief complaint either migraine nor vestibular symptoms were evenly distributed (50%). More headache with severe intensity (66,7%), throbbing (100%), unilateral (61,1%), photophobia (83%), phonophobia (94,4%), nausea and/or vomiting (88,9%), and aggravation by routine physical activity (100%). Characteristics of vestibular symptoms are more non-spinning vertigo (50%). cVEMP revealed lower
amplitudes in VM (128,84µV [55,01-623,52]). The proportion of absence of cVEMP waves is higher in VM (55,6%). There is a strong positive correlation between the frequency of VM attacks with cVEMP n1 latency.
Conclusions: Abnormality of cVEMP are found in VM patients. The absence of cVEMP waves and decreases in amplitude can be found in VM patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieza Femini Rissa
"Latar Belakang: Pada lansia, gangguan fungsi pendengaran ditandai dengan berkurangnya sensitivitas pendengaran dan pemahaman tutur pada suasana bising. Hal tersebut akibat gangguan pada penerimaan informasi akustik dan kemampuan melokalisir sumber suara pada proses pendengaran sentral.
Tujuan: Mengetahui nilai rerata ambang dengar, Speech Reception Threshold(SRT), Speech Discrimination Score(SDS), signal-to-noise ratio(SNR) dari audiometri nada murni, audiometri tutur, tutur dalam bising dan korelasinya, serta pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan sisi telinga.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, melibatkan 40 percontoh lansia di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri tutur dan tutur dalam bising.
Hasil: Didapatkan nilai rerata ambang dengar sebesar 30,7±9,4dB, SRT50%33,2±12,0dB, SDS100%62,1±13,8dB pada audiometri tutur, SRT50%68,6±2,9dB, dan SDS100%83,7±6,6dB pada tutur dalam bising. Median SNRSRT50% -2,0dBSL(-7–14dBSL) dan SNRSDS100% 15,0(0–30dBSL). Terdapat korelasi sedang dan bermakna antara SRT50%(r=0,67) dan SDS100%(r=0,59) dengan audiometri nada murni(p<0,05). Selain itu, korelasi lemah(r=0,3) namun bermakna pada SRT50% dalam bising dengan audiometri nada murni (p<0,05). Didapatkan perbedaan bermakna pada SDS100% dan SNRSDS100% antar kelompok usia 60-69 dan 70-80 tahun(p<0,05).
Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri nada murni, tutur dan tutur dalam bising sebaiknya menjadi pemeriksaan rutin pada lanjut usia, terutama yang mengalami gangguan pendengaran.

Background: In elderly, hearing impairment is characterized by reduced hearing sensitivity and speech recognition in noisy situations. 
Objectives: To determine the hearing threshold, SRT, SDS, and SNR from pure tone, speech and speech-in-noise audiometry and their respective correlation, also the influences of age, gender and ear side factors. 
Methods: A cross-sectional study involving 40 elderly samples in RSCM. Forty samples to meet the inclusion criteria were examined with speech audiometry and speech-in-noise audiometry. 
Results:  The mean hearing threshold is 30.7±9.4dB, SRT50% 33.2±12.0dB, SDS100% 62.1±13.8dB in speech audiometry and the SRT50% 68.6±2.9dB, and SDS100% 83.7±6.6dB in speech-in noise audiometry examination,. The median SNRSRT 50% in noise -2.0dBSL (-7 - 14dBSL) and SNRSDS100% in noise 15.0 (0-30 dB SL). There was moderate correlation between SRT50% (r=0.67) and SDS100% (r=0.59) with pure tone audiometry (p<0.05). In addition, a weak (r=0.3) but significant correlation was found at SRT50% in noise with pure tone audiometry (p<0.05). There were significant differences in SDS and SNRSDS in noise based on the age group (p<0.05). 
Conclusion: Examination of pure tone, speech and speech-in-noise audiometry should be a routine examination for the elderly, especially those with hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilah
"Dalam beberapa tahun terakhir, disfonia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Disfonia atau gangguan perubahan kualitas suara dapat mengganggu aktifitas dan kegiatan sosial bagi penderita. Pasien dengan disfonia memerlukan penilaian secara spesifik dan terarah. Pemeriksaan objektif penting untuk menilai disfonia, penilaian subjektif juga tidak kalah pentingnya. Gangguan kualitas hidup akibat disfonia dapat dinilai menggunakan kuesioner VHI (Voice Handicap Index) serta penilaian perseptual menggunakan metode GRBAS (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Penilaian objektif berupa pemeriksaan videostroboskopi dan MDVP (Multi dimenssion voice program) akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien dengan disfonia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penilaian subjektif dan objektif pada pasien dengan gangguan suara. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilakukan di poliklinik THT KL FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo periode bulan September 2019 sampai dengan Novemberi 2019 pada pasien disfonia usia 18-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi yang signifikan secara statistik antara penialian subjektif dan objektif pada pasien gangguan suara.
In recent years, dysphonia is one of most important public health problems in recent years. Dysphonia or voice quality changing can interfere patients daily life and social activities. Patients with dysfonia need specific and directed assessment. Subjective assessment is needed in addition to objective examination. Limitation due to dysphonia can be measured using the Voice Handicap Index questionnaire and perceptual evaluation using the GRBAS method (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Objective examination using video stroboscopy and MDVP (Multi-dimenssion voice program) will be very helpful in managing patients with dysphonia.. The purpose of this study was to determine the relationship between subjective and objective judgments in patients with voice disorders. This study uses a cross-sectional design, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo in September 2019 to November 2019 for dysphonia patients aged 18-60 years old. From this study there is a statistically significant correlation between subjective and objective assessment of sound impaired patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>