Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yopi Pebri
"Dalam rangka mendorong investasi di berbagai kegiatan pembangunan yang sedang gencar dilakukan, kepastian akan perlindungan hukum terhadap investor yang menanamkan modalnya di Indonesia, penting untuk diwujudkan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kepastian akan perlindungan hukum bagi investor yang hendak menanamkan modalnya adalah melalui pembuatan akta autentik di hadapan notaris. Namun dalam kenyataannya ditemukan akta autentik (dalam hal ini adalah Akta Pengakuan Utang) yang memuat unsur tindak pidana penipuan, sebagaimana yang terjadi di Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur. Kasus yang berkaitan dengan Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 395K/Pid.Sus/2018. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum dari Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan. Selain itu juga menganalisis peran notaris guna meminimalisir risiko adanya tindak pidana penipuan dalam pembuatan akta. Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi dokumen yang berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif terhadap data tersebut. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa akibat hukum dari Akta Pengakuan Utang yang memuat unsur tindak pidana penipuan adalah aktanya tetap sah sehingga dapat digunakan dalam pembuktian, meskipun pembuatan akta diawali dengan perjanjian investasi, bukan dengan perjanjian utang piutang murni. Namun semestinya Akta Pengakuan Utang dibuat khusus untuk utang piutang karena apabila dibuat selain utang piutang murni rentan disalahgunakan. Adapun terkait peran notaris guna meminimalisir risiko adanya tindak pidana penipuan dalam pembuatan aktanya adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, menerapkan standar pelayanan prosedur operasional tersendiri dalam pembuatan akta dan ikut serta secara aktif dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI). Keterlibatan notaris dalam organisasi profesi sangat diperlukan karena keikutsertaannya dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada notaris untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang ketentuan perundang- undangan di bidang kenotariatan, selain juga mendapatkan advokasi, pada saat diperlukan.

In order to encourage investment in various development activities that are being intensively carried out, certainty of legal protection for investors who invest in Indonesia is important to be realized. One of the efforts made to realize the certainty of legal protection for investors who want to invest their capital is through the making of authentic deeds before a notary. However, in reality, there is an authentic deed (in this case is Deed of Acknowledgment of Debt) which contains elements of criminal offense of fraud, as happened in Balikpapan City, East Kalimantan Province. The case related to Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal offense of fraud is found in Supreme Court Decision Number 395K/Pid.Sus/2018. The purpose of this research is to analyze the legal consequences of Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal act of fraud. In addition, it also analyzes the role of notaries to minimize the risk of criminal fraud in making deeds. This doctrinal research collects secondary data through document studies in the form of legal materials relevant to the research problem. Furthermore, qualitative analysis of the data is carried out. From the results of the analysis, it can be explained that the legal consequences of a Deed of Acknowledgment of Debt containing elements of criminal fraud are that the deed remains valid so that it can be used in evidence, even though the making of the deed begins with an investment agreement, not with a pure debt and credit agreement. However, the Deed of Acknowledgment of Debt should be made specifically for debt and credit because if it is made other than pure debt and credit, it is vulnerable to misuse. As for the role of notaries in minimizing the risk of criminal acts of fraud in the making of deeds, it is by applying the principle of prudence, implementing its own operational procedure service standards in making deeds and of course actively participating in the Indonesian Notary Association (Ikatan Notaris Indonesia/INI). The involvement of notaries in professional organizations is very necessary because their participation can provide greater opportunities for notaries to get a correct understanding of the statutory provisions in the field of notarial affairs, as well as getting advocacy, when needed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumbel, Cindy Valencya
"Dalam membuat suatu perjanjian harus memperhatikan terkait kesepakatan, cakap, mengenai suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. Objek dari perjanjian yang harus jelas, nyata, dan memang terbukti ada sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akta pengakuan hutang salah satu bentuk perjanjian yang dimana akta pengakuan hutang memuat pernyataan dari debitur bahwa telah meminjam dan menerima uang dari kreditur. Namun dalam kenyataannya ditemukan suatu akta pengakuan hutang memuat keterangan palsu dan unsur kekhilafan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 835/Pdt.G/2020/PN.Dps. Penelitian ini membahas permasalahan tersebut dengan menganalisis kewajiban notaris untuk meminta bukti telah terjadi transaksi pada saat pembuatan akta pengakuan hutang apabila dikaitkan dengan tugas dan wewenangnya berdasarkan UUJN dan bentuk tanggung jawab notaris  dalam pembuatan akta pengakuan hutang yang memuat keterangan palsu dan unsur kekhilafan. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi eksplanatoir analitis kemudian mengumpulkan data menggunakan data sekunder yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh, UUJN tidak mengatur mengenai notaris wajib meminta bukti telah terjadi transaksi tetapi dalam Pasal 16 Ayat 1 UUJN diatur kewajiban notaris yang harus bertanggung jawab dan saksama sehingga yang dapat dilakukan notaris adalah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan bersikap cermat dan teliti dengan meminta bukti telah terjadi transaksi sebagai upaya memastikan akta yang dibuatnya telah benar dan adil. Terkait tanggung jawab maka notaris tidak dapat bertanggung jawab terhadap akta pengakuan hutang yang dinyatakan cacat hukum dikarenakan unsur kekhilafan berasal dari salah satu pihak dan notaris dapat bertanggung jawab atas kelalaiannya yang melanggar Pasal 16 Ayat 1 huruf m terkait kewajiban pembacaan akta sehingga notaris dapat menerima sanksi teguran agar lebih berhati-hati dalam menjalankan jabatannya.

In making an agreement, you must be considered to agreement, capacity, regarding a certain matter, and a halal cause. The object of the agreement must be clear, real, and proven to exist as stipulated in Article 1320 of the Civil Code. Acknowledgment of Indebtedness is a form of agreement contains a statement from the debtor that he has borrowed and received money from the creditor. However, in reality, acknowledgment of Indebtedness was found to contain element of mistake, as happened in the case of Denpasar District Court Decision Number 835/Pdt.G/2020/PN.Dps. This legal research discusses the problem by analyzing the notary's obligation to ask proof of a transaction at the time of making acknowledgment of indebtedness if it is related to his duties and authority under the UUJN and the form of notary's responsibility in making Acknowledgment of Indebtedness that contains elements of mistake. This legal research used doctrinal research method with analytical explanatory typology then collecting data using secondary data which is then analyzed qualitatively. The results of this study notary public law in Indonesia does not regulate that a notary is obliged to request proof of a transaction, but Article 16 Paragraph 1 of the notary public law regulates the obligations of a notary who must be responsible and careful so that what a notary can do is apply the precautionary principle by being careful and thorough by requesting proof of a transaction as an effort to ensure that the deed he makes is correct and fair. Regarding responsibility, the notary cannot be responsible for the Acknowledgment of Indebtedness that is declared legally defective due to the element of mistake originating from one of the parties and the notary can be responsible for his negligence in violating Article 16 Paragraph 1 letter m regarding the obligation to read the deed so that the notary can receive a reprimand to be more careful in carrying out his position."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Maria Oktaviana
"ABSTRAK
Tindakan Pidana Pemalsuan Surat Yang Dituduhkan Kepada Seorang Notaris Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 28 Maret 2016 Nomor 71K/Pid/2016 Tesis ini membahas mengenai salah satu kasus tindak pidana yang dituduhkan kepada seorang notaris. Fokus utama analisis Penulis dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 71K/Pid/2016 adalah mengenai kewenangan Notaris saat meneruskan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 3, tanggal 09 Juni 2010 menjadi Akta Jual Beli Nomor 2, tanggal 12 Februari 2012, dan tanggung jawab Notaris atas surat-surat yang dibuatnya. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli menjadi Akta Jual Beli yang dibuat sudah dilaksanakan sesuai dengan kewajibannya dalam pembuatannya sudah memperhatikan keharusan pemenuhan persyaratan dalam membuat Akta Jual Beli yaitu melakukan pengecekan setipikat atau pemeriksaan ke Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat aslinya, serta melakukan pembayaran pajak atas tanah dan validasi pajak, sehingga pada akhirnya dikabulkan permohonan balik nama tersebut oleh Kantor Pertanahan BPN dan dapat dibuatkannya Akta Jual Beli. Namun, Notaris harus mempunyai prinsip dan berani untuk menolak jika permintaan dari klien dirasakan tidak sesuai dengan koridor atau ketentuan hukum yang berlaku. Mengenai tanggungjawab Notaris terhadap surat yang dibuatkannya tidak terdapat masalah yang signifikan karena surat-surat yang dibuatkannya sudah sesuai dengan proses yang sebagaimana mestinya dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Dari penelitian ini menyarankan perlunya kegiatan pelatihan berkala yang diselenggarakan dari Organisasi Notaris INI terutama materi-materi yang berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris untuk selalu mempertahankan kinerja dan pengetahuan Notaris yang semakin mutakhir dan mengikuti perkembangan dalam masyarakat.Kata kunci : Tindak Pidana, Pemalsuan Surat, Notaris.

ABSTRACT
Criminal Act of Letter Forgery alleged towards a Notary Case Study of Supreme Court of the Republic of Indonesia on 28th March 2016 Verdict Number 71K Pid 2016 . This thesis will discuss on a case where a notary has been alleged for criminal act. The main focus of the author 39 s analysis of the Supreme Court Decision Number 71K Pid 2016 is regarding the authority of a Notary in forwarding the Sale and Purchase Agreement No. 3 dated June 9, 2010 to the Deed of Sale and Purchase Number 2 dated February 12, 2012, the letter he made. The research method used is juridical normative which is analytical and descriptive and uses a qualitative approach. The result of the research shows that the making of Sale and Purchase Agreement into the Sale and Purchase Deed that has been made in accordance with its obligation in its manufacture has been paying attention the requirement of fulfillment of requirement in making Deed of Sale that is checking the certificate or inspection to Land Office concerning conformity of certificate of land right with list existing at local Land Office by showing original certificate, the requirement of making the Deed of Sale and is to make the payment and validation of the tax, so in the end it is granted the request behind the name by the Office Land. However, a Notary must have a principle and dare to refuse if the request from the client if it is not aligned with the principles or provisions of the applicable law. Regarding the responsibility of Notary to the letter he made there is no significant problem because the letters he made are in accordance with the process as should be done by a Notary in carrying out his duties and positions. Ultimately, there is a need for thoroughly organized regular training activities by Notary Organization INI , specifically on materials related to the duties and positions of Notaries and how they must strive on improving their performance and knowledge in harmony to the many developments taking place within the society. Keywords Criminal act, Letter Forgery, Notary "
2018
T50749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dondang Kristine
"Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Pada umumnya korban dirumuskan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, maupun ekonomi. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Namun, korban tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, tentu saja mengakibatkan ketidakseimbangan dalam diri korban atau keluarganya. Misalnya dari aspek finansial (materiel), yaitu bila korban merupakan tumpuan hidup keluarga, aspek psikis (immateriel) berwujud pada munculnya kegoncangan pada diri korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban tersebut, maka harus ditempuh upaya pemulihan baik materiel dan/atau immateriel, yaitu melalui hak restitusi korban. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang, dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor 1633/PID.B/2009/PN.TK, atas nama Fitriyani Binti Muradi yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian tersebut membahas mengenai peranan penegak hukum dalam melaksanakan hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil penelitian tersebut, peranan penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan tidak maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu sebatas menanyakan besarnya kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel. Kurangnya upaya yang maksimal dari penegak hukum menyebabkan dikabulkannya hak restitusi korban hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Hal ini dikarenakan terdapat kendala-kendala, diantaranya: kendala dari perundang-undangan yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan dan dimuatnya pidana kurungan sebagai pengganti dari restitusi, sehingga memberikan pengaruh pada upaya pemenuhan restitusi yang pelaksanaannya tidak secara total, kemudian kendala dari kurangnya kesadaran penegak hukum dan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Selanjutnya, kendala dari kesadaran hukum korban, yang mana korban beranggapan seandainya melakukan tuntutan ganti rugi hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan yang ia alami (tidak bisa mengembalikan keadaan semula) bahkan ia juga beranggapan jika melakukan tuntutan ganti rugi justru akan menambah penderitaan dan mengalami kerugian lain sehingga mereka menjadi apatis.

Victims of crime is basically a party that suffered most in a crime. In the most cases the victim is defined as a person who suffers physical harm, mental, emotional, and economic. Issues of justice and respect for human rights does not only apply to offenders but also victims of crime. However, victims do not get much protection as provided by law the perpetrators. In the event of a violation of law, of course, lead to an imbalance in the victim or his family. Example of the financial aspects (material), that is when the victim is the foundation of family life, psychological aspects (immaterial) tangible to the emergence of shock on the victim. To balance the condition of the victim, then the remedy should be taken both the material and / or immateriel, namely through the restitution rights of victims. In this thesis the author discusses about the restitution rights of victims of trafficking in persons, by analyzing the decision of the Court of Tanjung Karang number 1633/PID.B/2009/PN.TK , in the name of Fitriyani Binti Muradi which is the only decision that sentenced the offender to pay restitution to victims. Restitution rights of victims of trafficking in persons has been regulated in Article 48 of Act Number 21 / 2007 on Combating the Crime of Trafficking in Persons. The study discusses the role of law enforcement agencies in carrying out the restitution rights of victims of trafficking. From this research, the role of law enforcement both at the level of investigation, prosecution, court proceedings are not up to the maximum in the fight for the rights of victims restitution, which is limited to asking the amount of loss suffered by the victims of both material and immaterial. Lack of a maximal effort of law enforcement led to the granting of the rights of the victim restitution was limited to ruling only, or only on paper. This is because there are constraints, including: the constraints of legislation that does not have implementing regulations and publishing imprisonment in lieu of restitution, thereby giving effect to the implementation of restitution compliance efforts are not in total, then the constraint of lack of awareness of law enforcement and human resources are trained and skilled in fighting for the restitution rights of victims. Furthermore, the constraints of the legal consciousness of the victim, where the victim thinks that if their demands compensation she has received the results not comparable to those he experienced (can not restore the original state) even if it is also assumed to compensation claims will only add to the suffering and loss other so that they become apathetic.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29881
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hakim Harismawan Mubarak
"Tesis ini membahas mengenai status dan kedudukan debitor yang sudah memperoleh akta perdamaian melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan Niaga terhadap dilaporkannya debitor atas dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana termuat dalam ketentuan yang ditentukan pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan sangkaan sudah menipu salah seorang kreditor untuk mengeluarkan sejumlah uang sebagai investasi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan kasus dengan menelaah putusan Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. serta laporan dugaan tindak pidana penipuan Nomor LP-B/21/RES1.11/2021/RESKRIM/SPKT dengan menggunakan data sekunder disertai tipologi penelitian silogisme. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ditetapkannya debitor menjadi tersangka merupakan suatu kesalahan penerapan hukum, karena diantara mereka yaitu debitor dan kreditor sudah terdapat suatu perjanjian baru yang memuat ketentuan mengenai utang piutang diantara mereka sehingga terjalin suatu hubungan hukum yang baru juga mengenai utang piutang serta kedudukan hukum yang baru, dan oleh karenanya tidak ada pemenuhan unsur-unsur tindak pidana penipuan, dan oleh karena tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana maka ditetapkannya debitor sebagai tersangka tidaklah tepat untuk dilakukan. Selain itu dengan adanya akta perdamaian yang merupakan perjanjian maka hal tersebut merupakan kompetensi hukum perdata bukan merupakan kompetensi hukum pidana.

This thesis discusses the status and position of debtors who have obtained a deed of peace through the Debt Payment Obligation Postponement process in the Commercial Court against the reporting of debtors for alleged criminal acts of fraud as contained in the provisions specified in Article 378 of the Criminal Code with the suspicion of having deceived one of the creditors to spend some money as an investment. To answer these problems, this research uses a normative juridical research method using a statutory approach and a case approach by examining decision Number 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. as well as a report on the alleged crime of fraud Number LP-B/21/RES1.11/2021/RESKRIM/SPKT using secondary data with a syllogism research typology. In this study it was found that the results of the study revealed that the determination of the debtor as a suspect was a misapplication of the law, because between them, namely the debtor and the creditor, there was a new agreement containing provisions regarding the debt and credit between them so that a new legal relationship was established regarding debt and credit as well as a new legal position, and therefore there was no fulfillment of the elements of the crime of fraud, and because the elements of the crime were not fulfilled, the determination of the debtor as a suspect was not appropriate. In addition, with the existence of a deed of peace which is an agreement, it is the competence of civil law, not the competence of criminal law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2021
345.023 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Alamsyah
"Hingga saat ini, masih dikatakan belum adanya kepastian hukum bagi pelaku kejahatan yang membantu ataupun berkolaborasi dengan aparat penegak hukum, yang mana hal tersebut bisa membantu dalam penuntasan suatu kasus tindak pidana. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan definisi dari Justice Collaborator adalah saksi pelaku merujuk pada individu yang berstatus tersangka, terdakwa, atau narapidana yang berkolaborasi dengan aparat penegak hukum guna membongkar suatu tindak kejahatan dalam perkara yang sama, yang memiliki peran sebagai saksi dalam memberikan keterangan terkait suatu peristiwa tindak pidana, serta menjadi peranan penting atau kunci dalam penegakan hukum yang mana dapat mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi. Dalam tulisan ini, ingin mendalami Bagaimana implementasi peran Justice Collaborator pada pelaku tindak pidana pembunuhan ditinjau dari kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 798/Pid.b/2022/PN JKT.SEL. atau kasus Richard Eliezer yang mana Majelis Hakim menentukan pelaku utama pembunuhan untuk dijadikan Justice Collaborator. Dalam penelitian ini akan menuangkan beberapa pendapat-pendapat mengenai kasus pembunuhan ini dari berbagai sisi, menganalisis undang-undang yang diterapkan dari Majelis Hakim, serta kasus sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara hukum, dan kasus yang dipakai dalam penelitian harus memiliki kesamaan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Temuan dari tulisan ini adalah masih banyaknya pihak yang berpendapat bertentangan mengenai kasus Richard Eliezer, dan juga ditemukan bahwa Majelis hakim tidak menguraikan secara jelas mengenai peran masing-masing pihak yang juga merupakan terdakwa. Selain itu, setelah menelaah lebih dalam penulis tidak meneukan tercerminnya pelaku utama dalam pertimbangan Majelis hakim dalam peristiwa tindak pidana pembunuhan kasus ini. Serta, menemukan dan mengurai juga mengenai adanya relasi kuasa dalam kasus Richard Eliezer. Sehingga, Implementasi regulasi harus juga lebih diperjelas terkait dari makna “pelaku utama” dalam peraturan Justice Collaborator.

Until now, it is still said that there is no legal certainty for criminals who help or collaborate with law enforcement officials, which can help in solving a criminal case. Article 1 point 2 of Law Number 31 of 2014 concerning Amendments to Law Number 13 of 2006 concerning Witness and Victim Protection states the definition of a Justice Collaborator is a witness who refers to an individual who has the status of a suspect, defendant, or convict who collaborates with law enforcement officials to uncover a crime in the same case, who has a role as a witness in providing information related to a criminal event, and becomes an important or key role in law enforcement which can reveal a crime that occurred. In this paper, we want to explore how the implementation of the role of Justice Collaborator on the perpetrator of the crime of murder is reviewed from the South Jakarta District Court Decision Number 798/Pid.b/2022/PN JKT.SEL. or the Richard Eliezer case where the Panel of Judges determined the main perpetrator of the murder to be a Justice Collaborator. This study will present several opinions regarding this murder case from various sides, analyze the laws applied by the Panel of Judges, and cases as guidelines for resolving legal cases, and cases used in research must have similarities that have permanent legal force. The findings of this paper are that there are still many conflicting opinions regarding the Richard Eliezer case, and it was also found that the judges did not clearly outline the role of each party who was also a defendant. In addition, after examining more deeply, the author did not find the main perpetrator reflected in the considerations of the Panel of Judges in the criminal act of murder in this case. As well as, finding and analyzing the existence of power relations in the Richard Eliezer case. Thus, the implementation of regulations must also be clarified regarding the meaning of the “main perpetrator” in the Justice Collaborator regulation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Qanita
"Skripsi ini membahas mengenai makna unsur menerbitkan keonaran dalam Tindak Pidana Ketertiban Umum di Indonesia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menimbulkan keonaran atau dalam bahasa Belanda nya “Onrust Verwekken” artinya mengakibatkan keresahan atau kegelisahan di dalam masyarakat. Namun, mengenai batasan dari makna keonaran belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat di Indonesia, keonaran tidak dapat dimaknai secara sempit. Keonaran yang timbul dalam masyarakat tidak hanya dapat ditandai dengan perbuatan masyarakat secara fisik, seperti unjuk rasa, kekerasan terhadap barang atau orang, dan perbuatan fisik lainnya, melainkan juga perbuatan masyarakat secara non-fisik seperti di media sosial. Oleh karenanya diperlukan pengaturan atau penjelasan yang lebih jelas mengenai makna dari keonaran, sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran hukum.

This thesis mainly discusses the meaning of causing riot element under criminal act of public order in Indonesia which is regulated in Indonesia Criminal Code (Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP”) and other relevant laws and regulations.  Causing riot or in Dutch, "Onrust Verwekken" means to cause anxiety or discomfort in the community.  However, the clear boundaries for the meaning of riot has not been clearly regulated by the laws and regulations.  The research method used in this thesis is a juridical-empirical research method.  Along with the advance of technology and the development of society in Indonesia, riot shall not be narrowly interpreted.  Causing riot in the community could not only be limitedly defined as physical actions of the community, such as demonstrations, violence against goods or people, and/or other physical actions, but also the actions of the community in a non-physical way such as on their expressions in social media.  Therefore a clearer explanation or deeper meaning is urgently needed to elaborate the meaning of the riot in order to avoid misinterpretation of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Bandung: Eresco, 1974
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>