Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83413 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nixon
"Peaky Blinders Season 5 (2019) merupakan musim kelima dari serial "Peaky Blinders", yang merupakan serial Netflix yang mengisahkan tentang sebuah kelompok kriminal di kota Birmingham, Inggris, pada masa Perang Dunia pertama. Artikel ini akan menganalisis tindakan Thomas Shelby, penjahat dan karakter utama dalam serial Netflix Peaky Blinders musim ke-5 (2019), menggunakan teori Psikoanalisis Freud. Thomas Shelby adalah seorang penjahat, tetapi dia juga dianggap pahlawan oleh karakter lain di Peaky Blinders musim ke-5. Saya menemukan bahwa kondisi psikologis Thomas Shelby dapat digunakan untuk menjelaskan setiap tindakan agresifnya dan dapat mengubah cara pandang orang-orang di sekitarnya terhadap kejahatannya menggunakan metode yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Saya menyimpulkan bahwa alasan psikologis di balik tindakan agresif Thomas Shelby dapat mengubahnya dari penjahat menjadi pahlawan bagi orang-orang yang terpinggirkan di sekitarnya karena Id dan Superego yang muncul secara seimbang dan bersamaan. Situasi ini dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam “Mekanisme Pertahanan” yang masih menjadi bagian dari teori Psikoanalisis. Kemunculan Id dan Superego secara bersamaan dapat menimbulkan pembenaran tindak pidana bagi pelaku kejahatan dan memperoleh simpati dari masyarakat.

Peaky Blinders Season 5 (2019) is the fifth season of "Peaky Blinders" series, which is a Netflix series that tells the story of a criminal group in the city of Birmingham, England, during the first World War. This article will analyze the actions of Thomas Shelby, a criminal and main character in Netflix series Peaky Blinders Season 5 (2019), using Freud’s Psychoanalysis theory. Thomas Shelby is a criminal, but he is also considered a hero by other characters in Peaky Blinders season 5. I find that the psychological condition of Thomas Shelby could be used to explain each of his aggressive actions and it could change the perspective of people surrounding him towards his crime using the method developed by Sigmund Freud. I conclude that the psychological reasons behind the aggressive acts of Thomas Shelby could turn him from a criminal into a hero for marginalized people surrounding him because the Id and Superego that appear in balance and simultaneously. This situation is described by Sigmund Freud in “Defense Mechanism,” which is still a part of Psychoanalysis theory. The simultaneous appearance of Id and Superego can lead to justification of criminal acts for criminals and gain sympathy from people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrah Adhitama
"Kelahiran De Vijftigers pada pertengahan abad ke-20 memunculkan beberapa nama penulis baru, salah satunya adalah Remco Campert. Sebagai salah satu penulis besar Belanda, sudah banyak karya Remco Campert yang melegenda, salah satunya roman Een Liefde in Parijs 2004 . Roman tersebut bercerita tentang perjalanan Richard Sanders ke Paris, pertemuannya dengan seorang perempuan membuat dirinya terjebak dalam pencarian ingatan masa lalu yang telah terhapus. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan perkembangan karakter dalam roman Een Liefde in Parijs. Dalam penelitian ini dibahas mengenai tokoh dan penokohan yang hadir dalam cerita ini yang kemudian difokuskan pada analisis kepribadian yang dimiliki oleh tokoh utama, Richard Sanders. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara ayah Richard dengan Richard memiliki banyak sumbangsih terhadap kepribadiannya.

The birth of De Vijftigers in the middle of 20th century has brought a few new authors, one of them is Remco Campert. As one of the greatest authors in the Netherlands, some of Campert rsquo;s work are already have the legendary status, including a novel called Een Liefde in Parijs 2004 . This roman tells about Richard Sanders rsquo; journey in Paris. A meeting with a girl makes him trapped in a situation where he had to find his old forgotten memory. This research is qualitative research with literary study. It aims to explain the character development in Een Liefde in Parijs. In this research the characterization of the main character that is presented in the text will be examined using personality analysis. The result shows that the relationship between the main character and his father has a significant influence in his personality development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaeni Fajar
"Subjektivitas telah menjadi salah satu isu yang diperhatikan banyak orang, termasuk orang-orang industri musik folk. Hasilnya, subjektivitas sebagai tema dalam sebagian besar lagu musik folk. Sebagai genre musik yang ideologi awalnya adalah untuk melawan pemerintah, musik folk mengabaikan ideologinya sendiri dengan membuat lagu-lagu narsistik. Salah satu lagu tersebut adalah Helplessness Blues oleh Fleet Foxes, yang cukup kuat mengangkat subjektivitas sebagai tema. Jurnal ini akan menganalisa subjektivitas dalam lagu Helplessness Blues oleh Fleet Foxes. Dengan menggunakan teori subjektivitas Lacan, lagu ini akan diamati dengan menggunakan fase triadik Lacanian; the Imaginary, the Symbolic, and the Real. Dengan menghubungkan analisa lagu dengan wawancara dengan Robin Pecknold mengenai masyarakat, akan dibuktikan bahwa subjektivitas sebenarnya telah menjadi isu yang muncul dewasa ini.

Subjectivity has become one of the issues of which people are aware. People in the contemporary folk music industry are also concerned about this issue, resulting in the use of subjectivity as the theme in most of the songs. As a music genre whose initial ideology was to go against the government, folk music neglects its own ideology by making narcissistic songs. One of those songs is Fleet Foxes’ Helplessness Blues, in which subjectivity emerges as a theme rather strongly. This article will analyze the subjectivity in Fleet Foxes’ Helplessness Blues. By applying Lacan’s theory of subjectivity, this song will be scrutinized by using Lacanian triadic phase; the Imaginary, the Symbolic, and the Real. Relating the analysis of the song with the interview of Robin Pecknold about society, it will be proven that subjectivity actually has become an issue which occurs in this day.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Brenner, Charles
New York: Anchor Book, 1973
616.89 BRE e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Freud, Sigmund, 1856-1939
New York : Washington Square Press, 1960
131.34 FRE g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi ?manusia? dan ?negara?, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign, but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan?s Psychoanalysis and Michel Foucault?s Genealogy, the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis, which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called ?lingusticizing? the ?human? and ?state?, which is by construing that the two is just an effect of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa 12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings? anxiety at that moment toward a sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as history testifies, the fantasy is always the kings? fantasy, and not the people?s. That one can say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings? fantastic desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of sovereignty. This is the very logic of sovereignty?that is that the sovereign will always commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Salsabila
"Secara umum, psikoanalisis memegang peranan penting dalam pengkajian film karena komposisi narasi dan tokoh dalam sebuah film tidak dapat terlepas dari aspek psikologis. Maka dari itu, psikoanalisis menjadi salah satu cara untuk memahami lebih dalam kompleksitas dari kepribadian tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam film. Hal ini dapat ditemukan dalam film C’est pas moi, je le jure ! (2008) karya Philippe Falardeau yang menggambarkan bagaimana lingkungan keluarga dapat memengaruhi kepribadian anak, khususnya melalui tokoh utamanya, Leon Dore. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh dari id, ego, dan superego, serta kaitannya dengan prinsip kenikmatan dan prinsip kematian terhadap kebebasan bertindak tokoh Leon sebagaimana ditunjukkan dalam film. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif yang berlandaskan studi kajian sinema menurut Joseph M. Boggs dan Dennis W. Petrie (2018), didukung dengan kerangka teori psikoanalisis Sigmund Freud, yaitu struktur kepribadian (2018) serta dorongan Eros dan Thanatos (2014). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan bertindak Leon dapat dimaknai sebagai ketidakseimbangan ego akibat adanya pertentangan antara id dan tekanan superego dari struktur kepribadiannya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Selain itu, kebebasan bertindak yang juga berakar dari prinsip kenikmatan dan prinsip kematian menjadi cara bagi Leon untuk menyalurkan dorongan id yang mendominasi kepribadiannya.

In general, psychoanalysis takes a significant role in film studies because the composition of narrative and characters in a film cannot be separated from psychological aspects. Therefore, psychoanalysis is a way to understand more deeply the complexities of characters’ personalities presented in films. This can be found in the film C’est pas moi, je le jure ! (2008) by Philippe Falardeau which describes how family environment can influence a child's personality, especially through its main character, Leon Dore. This research aims to reveal the influence of the id, ego, and superego, and their relation to the pleasure principle and the death principle on Leon's freedom of action as shown in the film. The method used in this research is qualitative methodology based on film studies according to Joseph M. Boggs and Dennis W. Petrie (2018), supported by Sigmund Freud's psychoanalytic theoretical framework, which consists of the personality structure (2018) and the drive theory of Eros and Thanatos (2014). The results of this study indicate that Leon's freedom of action can be interpreted as an imbalanced ego due to the conflict between the id and the superego from his personality structure that was strongly influenced by his family environment. In addition, freedom of action, which is also rooted in the pleasure principle and the death principle, is a way for Leon to channel the drives of the id that dominate his personality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Friska
"Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan transformasi karakter yang membawa kepada perubahan kepribadian tokoh utama dari novel Norwegian Wood (2005) ke film dan menampilkan kaitan tiga perempuan sebagai pembentuk struktur kepribadian Watanabe Toru dalam film Norwegian Wood (2010). Metode deskriptif analisis dengan teori psikoanalisis sastra dan analisis film melalui aspek narasi dan sinematografi digunakan untuk melihat bagaimana tokoh Watanabe Toru mengalami transformasi karakter sehingga tercipta kecemasan dan metode pertahanan diri yang diikuti dengan kaitan tiga perempuan sebagai struktur kepribadian Watanabe Toru. Dari hasil analisis tampak bahwa transformasi karakter terjadi untuk memberikan tempat bagi ketiga perempuan untuk menjadi visualisasi dari Id, Ego dan Superego (konflik batin) dari tokoh Watanabe Toru.

This analysis aims to show the transformation character that lead to personality changes of Watnabe Toru, the main character from novel Norwegian Wood (2005) into film. The changes show the connection between three women as the personality structure of Watanabe Toru in the film of Norwegian Wood (2010). Descriptive analytical method and theory of pshycoanalysis from Sigmund Freud as well as movie analysis through narrative and cinematic techniques from Joseph M Boggs is used to reveal that the characterization of Watanabe Toru in the film is based on the anxieties and self-defense methods. This analysis shows that the film adaptation gives role the three women to become a visualization of Id, Ego and Superego of the Watanabe Toru character."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T35867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihana Salsabela Agustin
"Berbicara tentang seks seringkali dihindari oleh masyarakat karena dianggap tabu, kotor, dsb. Padahal, seks merupakan fitrah manusia sebagai mahluk hidup untuk berkembang biak. Minimnya pendidikan seks, yang hanya terbatas pada sudut pandang sistem biologis membuat kondisi semakin parah. Akibatnya, remaja tumbuh dengan pengetahuan yang terbatas atau berpotensi menyesatkan yang mereka dapatkan dari Internet. Karena kepolosan mereka, mereka berada di posisi yang rentan untuk menjadi korban pelecehan seksual. Fokus pada penelitian ini adalah TV serial produksi Netflix, Sex Education 2019. Penelitian ini bertujuan untuk berkontribusi pada bidang pendidikan di Indonesia dengan menganalisis kepuasan dan harapan remaja Indonesia kepada pemerintah mengenai kurikulum seks edukasi di Indonesia dengan merefleksikan pengetahuan mereka terhadap serial Sex Education 2019 dari sudut pandang budaya Timur. Pembahasannya akan meliputi dua gagasan utama: bagaimana anak muda Indonesia bereaksi terhadap konten eksplisit dan metode pendidikan dalam Sex Education 2019 dan apa yang penonton harapkan setelah menonton serial tersebut untuk diterapkan pada pendidikan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanggapan khayalak (audience resoponse). Penelitian ini menemukan bahwa anak muda Indonesia menganggap bahwa series ini menggambarkan pendidikan seks dengan cara yang menakjubkan, namun mereka menyadari bahwa metode yang diterapkan di dalam serial tersebut mungkin tidak dapat diterapkan pada program edukasi dan kondisi di Indonesia.

Talking about sex is often avoided by people since it is considered taboo, dirty, etc. In fact, sex is one essential part of nature as human beings to breed. The lack of education, which is limited to only the perspective of a biological system, makes the condition even worse. Consequently, adolescents grow up with limited or potentially misleading knowledge that they get from the Internet. Because of their innocence, they are fragile to be victims of sexual harassment. The focus of the research is on a Netflix production series, Sex Education 2019. This research aims to contribute to the field of education in Indonesia by analyzing adolescents’ satisfaction with and expectations to the government regarding sex-education curriculum in Indonesia by reflecting their knowledge to Sex Education 2019 series from the perspective of Eastern culture. The discussion will cover two main ideas: how youths react towards explicit content and the method of education in the Sex Education 2019 Series’ and what is expected by the audience after watching the series to be applied to education in Indonesia. The method used in this research was audience responses. The study found that Indonesian youths agreed that the series portrays sex education marvellously, yet they are aware that the method on the series might not be applicable to the education program and conditions in Indonesia. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadi
"Perilaku-perilaku tak wajar seorang tokoh tertentu di dalam sebuah karya sastra atau film terkadang menimbulkan pertanyaan apakah perilaku-perilaku tersebut dapat dipercaya atau tidak. Terkadang memang tidak mudah untuk memahami alasan yang membuat tokoh tersebut berperilaku sebagaimana digambarkan dalam cerita di karya sastra atau film tersebut. Di sinilah pendekatan psikoanalisis bisa menjadi alat yang sesuai untuk memahami hal tersebut.
Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip psikoanalisis dapat digunakan untuk lebih memahami sebuah film yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, terutama tokoh utamanya, yaitu Adjeng. Secara lebih spesifik, tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menemukan bagaimana (1) unsur-unsur naratif dan sinematografis film ini mencerminkan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud, dan (2) bagaimana gejala-gejalan neurosis tokoh utama di dalam film ini ditunjukkan di dalam film, dan bagaimana gejala-gejala tersebut terkait dengan masa lalunya.
Dari hasil analisis unsur-unsur naratif film (tema, alur, penokohan, simbol, metafor, ironi, dan alegori) ditemukan bahwa semua unsur naratif tersebut sangat terkait dengan prinsip-prinsip psikoanalisis Freud. Keterkaitan yang sama juga ditemukan pada unsur-unsur sinematografisnya (gambar, gerakan, dan suara). Keterkaitan unsurunsur sinematografis ini mungkin tidak sejelas keterkaitan dengan unsur-unsur naratif. Meski begitu, unsur-unsur sinematografis tetap mempertegas keterkaitan antara struktur film ini dengan prinsip-prinsip psikoanalisis.
Sementara itu, analisis gejala-gejala neurosis pada tokoh utama film ini, Adjeng, menemukan adanya dua macam gejala neurosis yang diderita Adjeng, yaitu ketakutan akan keintiman dan ketakutan akan ditinggalkan (ditelantarkan). Gejala-gejala tersebut ditunjukkan oleh sekuen-sekuen yang menunjukkan hubungannya dengan orang-orang terdekatnya, seperti ibunya, kekasih-kekasihnya, dan teman-teman dekatnya. Gejala-gejala neurosis tersebut terkait erat dengan kejadian-kejadian traumatis yang dialami Adjeng ketika masih kecil dulu, khususnya saat ia mengalami kompleks Oedipus.

Uncommon behaviors of a certain character in a literary work or movie sometimes raise a question if such behaviors are really believable or not. In fact, it is sometimes difficult to understand why such character does the things s/he does in the story told by the literary work or movie. In this case, a psychoanalysis approach can be a very effective tool to understand such thing.
This study aims at showing how psychoanalysis principles can be used to get a better understanding of a movie entitled Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Say, I am a Monkey!), in general, and its character(s), in particular. To be more specific, the objective of this qualitative research is to find out (1) how the narrative and cinematographic elements of this movie reflect Freud's Psychoanalysis principles and (2) how the neurosis symptoms of the main character in this movie, Adjeng, which are related to her childhood memories, are shown in the movie.
The analysis of its narrative elements (theme, plot, characterization, symbolism, metaphor, irony, and allegory) shows that all the elements are closely related to Freud's Psychoanalysis principles. The same finding also goes to the analysis of its cinematographic elements (picture, motion, dan sounds). Such relation might not be as vivid as the one found in its narrative elements, but cinematographic elements certainly give strong emphasis on such principles.
As for the neurotic symptoms of the main character, Adjeng, it is found that there are basically 2 kinds of neurotic symptoms that she suffers from; fear of intimacy and fear of abandonment. Such symptoms are shown by the sequences that show her relationship with the people she is close to, including her mother, her lovers, and her close friends. These neurotic symptoms are deeply rooted to her traumatic experiences in her childhood when Oedipus Complex took place.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>