Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160147 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Veren Natalera
"Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan berdampak langsung pada peningkatan permintaan terhadap barang thrift di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Barang thrift merupakan barang bekas pakai maupun barang cacat produksi yang tidak lolos standar pabrik. Daripada dibuang dan berujung menjadi sampah, barang thrift yang dinilai masih layak pakai kemudian dijual dengan harga yang lebih murah. Hal ini tentu menarik di mata konsumen karena dapat memperoleh barang dengan lebih ramah lingkungan dan harga yang lebih murah. Akan tetapi, pemerintah telah menetapkan larangan untuk impor barang bekas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Larangan ini dibuat karena barang bekas dianggap sampah dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Ditambah lagi, muncul permasalahan baru karena barang thrift yang dijual seringkali dibawah standar yang berlaku di masyarakat sehingga kemudian merugikan konsumen. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena adanya hak konsumen yang dilanggar dalam peristiwa ini. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sanksi bagi pelaku usaha yang merugikan konsumen barang thrift. Akan tetapi, masih terdapat kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait standarisasi penjualan barang bekas sehingga kemudian menjadi celah bagi pelaku usaha untuk melarikan diri dari kewajibannya bertanggung jawab.

The increasing awareness towards environmentally friendly sustainable development has a direct impact on increasing demand for thrift goods throughout the world, including in Indonesia. Thrift goods are used goods or rejected goods that do not pass factory standards. Instead of being thrown away and ending up as trash, thrift goods that are considered fit for use are then sold at a lower price. This is certainly attractive in the eyes of consumers because they can obtain goods that are more environmentally friendly and at lower prices. However, the government has stipulated a ban on the import of used goods in the Regulation of the Minister of Trade of the Republic of Indonesia Number 40 of 2022 concerning Amendments to the Regulation of the Minister of Trade Number 18 of 2021 concerning Export Prohibited Goods and Import Prohibited Goods. This ban was made because used goods are considered trash and dangerous to public health. In addition, new problems arise because thrift goods sold are often below the standards prevailing in society, which then harm consumers. Therefore, it is important to know about consumer protection arrangements in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection because consumer rights were violated in this event. Based on the research results, there are sanctions for business actors who harm consumers of thrift goods. However, there is still a legal vacuum in the laws and regulations in Indonesia regarding the standardization of the sale of used goods so that it becomes a loophole for business actors to escape from their responsibilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Notohamijoyo
"ABSTRAK
Ekolabel perikanan tumbuh dan berkembang sebagai instrumen pasar bagi makanan laut yang berkelanjutan dengan sertifikat yang paling populer adalah Marine Stewardship Council MSC . Perkembangan sertifikasi MSC yang agresif menyisakan sejumlah persoalan khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia antara lain tingginya biaya sertifikasi dan persyaratan yang sangat berat. MSC dianggap tidak mempertimbangkan dukungan dan opini dari pemangku kepentingan di Indonesia khususnya nelayan skala kecil. Beberapa pihak melihat bahwa MSC tidak bisa dilaksanakan di Indonesia karena MSC tidak mematuhi salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu secar sosial dapat diterima dan mulai mengusulkan alternatif lain seperti ekolabel nasional. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana tingkat penerimaan para pemangku kepentingan di Indonesia terhadap sertifikat MSC serta pilihan skema ekolabel perikanan yang terbaik bagi Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method. Metode Analytical Hierarchy Process AHP digunakan untuk menentukan prioritas model ekolabel perikanan yang dipilih oleh responden pakar. Hasil dari metode AHP ini kemudian dikonfirmasi melalui panel responden dengan menggunakan metode Delphi. Variabel yang digunakan adalah: kesiapan regulasi, dukungan pemerintah, dukungan swasta, dukungan lembaga swadaya masyarakat LSM dan dukungan dari nelayan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa aspek sosial dipilih oleh responden sebagai aspek terpenting dan skema ekolabel nasional dipilih sebagai pilihan responden untuk kasus Indonesia.

ABSTRACT
Seafood Ecolabels have grown and developed as a market measurement for sustainable seafood with the most popular one is Marine Stewardship Council MSC . Nevertheless, MSC faces immense challenges in developing countries such as Indonesia because of some issues such as high costs and high requirement. MSC also did not consider the support from stakeholders in Indonesia particularly small scale fishermen. Some parties view that MSC could not being implemented in Indonesia because MSC are disobey one principle of sustainable development which is socially acceptable. They start to propose for national ecolabels. This research aims to find how the level of acceptance of the MSC in Indonesia including the most acceptable certificates from the stakeholder rsquo s perspective. This study uses a mixed method approach. Analytical Hierarchy Process AHP is used to determine the priority of seafood ecolabels chosen by the expert respondents. The results of AHP confirmed by a panel of respondents using the Delphi method. The variables employed include support from government, private sector, fishermen and national NGO. The result shows that MSC could not be implemented in Indonesia. The result also provides that national seafood ecolabels is the best option for Indonesia from the stakeholders rsquo perspective "
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aprihandini
"Angkutan antarkota antarprovinsi merupakan salah satu angkutan umum darat yang sering digunakan sebagai moda transportasi oleh masyarakat di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan pada penyelenggaraannya, seperti peristiwa hilangnya barang penumpang di dalam kabin angkutan. Maka dari itu, penelitian ini menganalisis bagaimana pelindungan terhadap penumpang yang mengalami kehilangan barang di dalam kabin angkutan antarkota antarprovinsi, serta bagaima upaya hukum penyelesaian masalah tersebut. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Penumpang yang merupakan seorang konsumen memiliki hak untuk merasa aman, nyaman, dan selamat ketika menggunakan jasa angkutan umum. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga mengatur bahwa Perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian penumpang yang timbul akibat kelalaian Perusahaan. Penumpang yang merasa dirugikan tersebut berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari Perusahaan angkutan umum apabila perusahaan lalai dalam menjalankan pelayanan angkutan. Apabila perusahaan angkutan umum menolak untuk memberikan ganti rugi, maka penumpang yang dirugikan dapat mengajukan permohonan ke Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) atau gugatan ke Pengadilan Negeri.

Intercity and interprovincial transportation is a commonly used mode of land public transportation in Indonesia. However, there are still several shortcomings in its implementation, such as incidents of passengers' belongings being lost in the vehicle cabin. Therefore, this research analyzes the protection of passengers who experience the loss of their belongings in intercity and interprovincial transportation cabins, as well as the legal remedies for resolving such issues. This research employs a doctrinal research method. Passengers, who are consumers, have the right to feel safe, comfortable, and secure when using public transportation services. The Consumer Protection Law stipulates that consumers are entitled to compensation if the goods and/or services received are not as expected. The Road Traffic and Transportation Law also states that public transportation companies must compensate passengers for losses resulting from the company's negligence. Passengers who feel aggrieved have the right to receive compensation from the public transportation company if the company is negligent in providing transportation services. If the public transportation company refuses to provide compensation, the aggrieved passenger may submit a claim to the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) or file a lawsuit in the District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Kent Satria Sitindaon
"Skripsi ini membahas mengenai pelindungan hukum terhadap hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta tanggung jawab pelaku usaha atas penipuan dalam kegiatan di Indonesia. Pada bab terakhir, skripsi ini akan menganalisis kasus penipuan yang dilakukan Yudha Manggala lewat Grab Toko pada Putusan Nomor 465/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL. Penelitian pada skripsi ini dilakukan dengan metode penelitian berbentuk yuridis normatif dan tipe penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen dengan didukung oleh peraturan-perundang-undangan lainnya seperti UU ITE dan PP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Terkait tanggung jawab pelaku usaha atas penipuan yang dilakukan dalam kegiatan maka pelaku usaha dapat bertanggung jawab secara pidana, secara perdata, maupun secara administratif. Lalu, mengenai analisis Putusan Nomor 465/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL, hakim telah tepat dalam memutus bahwa Yudha Manggala bersalah atas penipuan yang ia lakukan lewat Grab Toko. Hakim telah tepat menggunakan Pasal 28 ayat (1) Jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE dalam putusan ini. Sayangnya, hakim tidak menguraikan pasal tersebut dengan baik dalam putusannya. Tidak digunakannya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen oleh jaksa penuntut umum dalam dakwaannya juga menjadi hal yang disayangkan, sebab perbuatan Yudha Manggala lewat Grab Toko melanggar banyak ketentuan UU Perlindungan Konsumen.

This thesis discusses the legal protection of the consumer rights and the responsibility of business actors for fraud committed in e-commerce activities in Indonesia. In the last chapter, this thesis will analyze the fraud case committed by Yudha Manggala through Grab Toko in Decision Number 465/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL. The research in this thesis was carried out using a normative juridical research method and descriptive research types. Based on the research, it is known that the rights and obligations of consumers and business actors are protected by the Consumer Protection Act supported by other laws and regulations such as the Electronic Information and Transaction Law and Government Regulations on Trading Through Electronic Systems. Regarding the responsibility of business actors for fraud committed in e-commerce activities, business actors can be held criminally, civilly or administratively responsible. Regarding the analysis of Decision Number 465/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL, the judge was right in deciding that Yudha Manggala was guilty of the fraud he committed through the Grab Toko. The judge has correctly used Article 28 paragraph (1) Jo. Article 45A paragraph (1) of the Electronic Information and Transaction Law in this decision. Unfortunately, the judge did not elaborate on the article properly in his decision. The public prosecutor's failure to use the provisions of the Consumer Protection Act in his indictment is also unfortunate, because Yudha Manggala's actions through Grab Toko violated many provisions of the Consumer Protection Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setio Aryasuta Priono
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengaturan penyelenggaraan, pengaturan pelindungan konsumen, dan peran pemerintah pada sektor pendidikan nonformal khususnya kursus dan pelatihan daring. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal berperan dalam memberikan keterampilan praktis, pengetahuan khusus, dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan individu dan masyarakat. Di era digital saat ini, perkembangan teknologi pendidikan (educational technology) semakin pesat. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan metode pembelajaran yang lebih interaktif, menarik, dan efektif bagi peserta didik. Kemendikbud bertanggung jawab atas pengawasan seluruh pendidikan nonformal, namun dalam praktiknya tidak demikian. Hal ini menimbulkan ketidakpastian akan pelindungan hukum terhadap peserta didik sebagai
konsumen lembaga pendidikan kursus dan pelatihan daring.

This paper analyses the implementation arrangements, consumer protection arrangements, and the role of the government in the non-formal education sector, especially online courses and training. This paper is prepared using doctrinal research method. Non-formal education is an education path outside formal education that is structured and tiered. Non-formal education plays a role in providing practical skills, specialised knowledge, and training relevant to the needs of individuals and society. In today's digital era, the development of educational technology is accelerating. This technology can be utilised to create more interactive, interesting and effective learning methods for learners. The Ministry of Education and Culture is responsible for the supervision of all non-formal education, but in practice this is not the case. This creates uncertainty over the legal protection of learners as consumers of online courses and training institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Amru
"Skripsi ini membahas mengenai peraturan-peraturan terkait perlindungan hukum bagi konsumen terhadap jaminan produk makanan halal di Indonesia dan keberlangsungan pelaksanaan dari peraturan-perturan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, penelitian kepustakaan dengan cara menelaah norma hukum tertulis berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kesimpulan penelitian menunjukan bahwa pemerintah telah berupaya melalui peraturan-peraturan terkait perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap produk makanan halal di Indonesia meskipun memiliki kekurangan dalam pelaksanaannya, berupa penerapan sanksi bagi produsen yang melanggar peraturan label produk makanan halal belum cukup tegas.

His Thesis is focusing on regulations regarding legal protection for the consumers about Halal Edibles Certainty in Indonesia, about the application of the regulations, and about Institutions focusing on legal protection for muslim consumer rsquo s right regarding Halal Edibles. The method used in this research is Juridical Normative which uses Primary Data through interview, and also Secondary Data by using Literature Studies. This research concludes that regulations on legal protection for muslim consumer rsquo s right regarding Halal Edibles in Indonesia are finely tuned, although there are some weaknesses. That is found the imposition of legal and sanctions enforcement for the Edible Producers whom broke the law of label for Halal Edibles is not firm enough."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aura Lu Lu Tazkiya Aham
"Kemajuan teknologi telah membuat perilaku manusia lebih efisien, menciptakan inovasi seperti Deepfake, yang menggunakan data dan algoritma untuk menggantikan wajah seseorang secara realistis daam konten yang dihasilkan. Meskipun Deepfake menimbulkan kekhawatiran etis dan hukum yang signifikan karena penyalahgunaannya, sering kali menciptakan konten tanpa izin yang pada akhirnya merusak reputasi, teknologi ini juga menawarkan solusi hemat biaya, seperti dalam perikalanan, karena dapat digunakan untuk membuat iklan imersif untuk demografi tertentu. Namun, penggunaan Deepfake dalam periklanan menantang prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, karena regulasi saat ini tidak secara eksplisit mengatur praktik AI atau Deepfake. Hak konsumen atas keamanan dan informasi yang benar dikompromikan oleh ikah yang menyesatkan. Oleh karena itu, transparasi dalam penggunaan Deepfake sangat penting untuk memastikan keamanan konsumen dan menegakkan hak-hak mereka.

Technological advancements have made human behavior more efficient, creating innovations like Deepfake, which uses data and algorithms to realistically replace an individual’s face in the generated content. While Deepfake raises significant ethical and legal concerns due to its misuse, often creating content without consent, eventually damaging reputations, it also offers cost-effective solutions like in advertising as it can be used to create immersive advertisements for specific demographics. However, the use of Deepfakes in advertising challenges consumer protection principles that are outlined in Law Number 8 of 1999, as current regulations do not explicitly address AI or Deepfake practices. Consumers’ rights to security and truthful information are compromised by misleading advertisements. Therefore, transparency in using Deepfakes is crucial to ensure consumer safety and uphold their rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Sevira Rachmah
"Tesis ini menganalisis kerangka hukum seputar kegiatan pariwisata berisiko tinggi di Indonesia, membandingkannya dengan kerangka hukum di Tiongkok, dan menentukan sejauh mana tanggung jawab yang ditanggung oleh pengusaha pariwisata Indonesia dan Cina dalam insiden kegiatan pariwisata berisiko tinggi. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dalam praktiknya, Indonesia masih belum memiliki kategorisasi dan standarisasi yang akurat mengenai kegiatan pariwisata berisiko tinggi serta ketentuan mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengusaha pariwisata yang membuat mereka dapat sepenuhnya bertanggung jawab dalam insiden kegiatan pariwisata berisiko tinggi. Dengan berkaca pada LPCRI dan UU Kepariwisataan Cina, untuk menjunjung tinggi keselamatan wisatawan, Indonesia hendaknya tidak terlalu bergantung pada peraturan pelaksana, melainkan menyediakan ketentuan keselamatan yang bersifat teknis terkait kegiatan pariwisata berisiko tinggi di UU No. 10 tahun 2009. Kemudian, di kedua negara, sanksi yang diberikan kepada pengusaha pariwisata dapat berupa kompensasi atau ganti rugi, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi administratif.

This thesis analyzes the legal framework surrounding high-risk tourism activities in Indonesia, compares them with those of China, and determines the extent of liabilities that tourism entrepreneurs of Indonesia and China bear in high-risk tourism activity incidents. This study employs normative juridical research. In practice, Indonesia still lacks accurate categorization and standardization of high-risk tourism activities as well as provisions on tourism entrepreneurs’ obligations and liabilities that can hold them fully accountable for high-risk tourism activity incidents. By reflecting on China’s LPCRI and Tourism Law, in regard to upholding the safety of tourists, Indonesia should not heavily rely on implementing regulations but instead provide technical safety provisions related to high-risk tourism activities in the primary governing law, which is Law No. 10 of 2009. Lastly, in both countries, tourism entrepreneurs’ can be in the form of compensation or indemnity, criminal liability, and administrative sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Puspita
"abstrak
Perlindungan hukum bagi konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, yang
melahirkan suatu benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Pengenaan service charge dianggap sebagai aktivitas bisnis yang dilakukan oleh
pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan lainnya, dengan konsumen selaku
subjek pajak sebagai objeknya. Dalam kaitannya dengan Pajak, pengenaan service
charge dianggap sebagai pungutan pajak karena bersifat memaksa. Peneilitan ini
membahas terkait perlindungan hukum atas pengenaan service charge (uang servis)
pada usaha restoran terhadap konsumen, yang dimana belum terdapatnya aturan
mengenai pengenaan service charge yang diterapkan kepada konsumen selaku
subjek pajak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Kesimpulan yang didapatkan yaitu terkait dengan pengenaan
service charge dianggap sebagai pungutan pajak karena bersifat memaksa,
sedangkan diketahui bahwa service charge bukan merupakan pungutan pajak,
karena service charge diatur bukan oleh Undang-Undang. sebagaimana diketahui
bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur oleh undangundang.
Saat ini yang ada hanya aturan mengenai uang servis yang merupakan
pendapatan non upah, yang dibagikan kepada Pekerja/Buruh guna mensejahterakan
Pekerja/Buruh. Dalam hal yang demikian, konsumen dibenarkan untuk menolak
atau meminta keringanan pembayaran service charge, dan melakukan upaya-upya
hukum atas pembebanan service charge yang dibebankan kepadanya.

abstract
Legal protection for consumers is the effort that guarantees legal certainty
to provide protection to consumers, which create a fortress to eliminate arbitrary
actions which are detrimental to businessmen only for the sake of consumer
protection. The imposition of a service charge is considere a business activity
carried out by a businessmen to gain other benefits, with the consumer as the
subject and tax as the object. The relation with taxes, the imposition of a service
charge is considered a tax levy because it is coercive. This research is related to
the legal protection of the imposition of service charges (service money) in the
restaurant towards consumers, for which there are no rules regarding the
imposition of service charges that are applied to consumers as tax subjects. This
study use a normative and empirical juridical approach. The conclusion is that
related to the imposition of service charges are considered as tax levies because
they are coercive, whereas it is known that the service charge is not a tax, because
service charges are regulated not by law. as it is known that taxes and other levies
that are coercive must be regulated by law. In this current time the rules is only
regarding service fees which constitute non-wage income, which is distributed to
Workers / Laborers to prosper Workers / Laborers. Therefore, the consumer is
justified in refusing or requesting the relief of the payment of the service charge,
and making legal efforts for the imposition of the service charge charged for them
"
2020
T54604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ronaldo Nazaronnie
"Skripsi ini menganalisis pengaturan mengenai standardisasi pusat kebugaran di Indonesia sebagai bentuk perlindungan konsumen dan perlindungan hukum atas cedera konsumen yang disebabkan oleh pusat kebugaran yang tidak memenuhi standardisasi. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Di Indonesia, belum terdapat pengaturan spesifik mengenai standardisasi pusat kebugaran, namun untuk suatu pusat kebugaran mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI), harus mengajukan melalui Online Single Submission untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). NIB tersebut berlaku sebagai SNI untuk pusat kebugaran. Di sisi lain, terkait standardisasi lebih detail terkait pusat kebugaran di Indonesia belum diatur jelas. Saat ini, standar yang ada lebih berfokus pada perizinan usaha melalui sistem OSS dan NIB, serta pedoman umum dari asosiasi seperti APKI dan PPKI. Ketiadaan standardisasi spesifik ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko bagi konsumen, sehingga diperlukan pengembangan dan implementasi standar yang lebih komprehensif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur tanggung jawab pelaku usaha pusat kebugaran terhadap cedera konsumen yang disebabkan oleh fasilitas yang tidak terstandarisasi. Pelaku usaha diwajibkan menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dengan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas, memberikan informasi yang akurat, dan menyediakan fasilitas yang memenuhi standar keamanan. Bila terjadi cedera, pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan pertama, kompensasi, dan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku. Konsumen memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban, baik melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan maupun melalui jalur pengadilan, dengan kemungkinan sanksi bagi pelaku usaha mulai dari tindakan administratif hingga pidana. Dengan demikian, UU ini memberikan perlindungan hak bagi konsumen dan menetapkan kewajiban yang jelas bagi pelaku usaha pusat kebugaran untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pengguna layanannya.

This thesis analyzes the regulations regarding the standardization of fitness centers in Indonesia as a form of consumer protection and legal protection against consumer injuries caused by fitness centers that do not meet standardization. This thesis is compiled using doctrinal research methods. In Indonesia, there are no specific regulations regarding the standardization of fitness centers. However, for a fitness center to obtain the Indonesian National Standard (SNI), it must apply through the Online Single Submission to obtain a Business Identification Number (NIB). The NIB serves as the SNI for fitness centers. On the other hand, more detailed standardization related to fitness centers in Indonesia is not clearly regulated. Currently, existing standards focus more on business licensing through the OSS and NIB systems, as well as general guidelines from associations such as APKI and PPKI. The absence of specific standardization potentially creates legal uncertainty and risks for consumers, thus requiring the development and implementation of more comprehensive standards. The Consumer Protection Act regulates the responsibility of fitness center business operators for consumer injuries caused by non-standardized facilities. Business operators are required to ensure consumer safety by implementing clear Standard Operating Procedures (SOP), providing accurate information, and offering facilities that meet safety standards. In case of injury, business operators are responsible for providing first aid, compensation, and indemnification as per the applicable regulations. Consumers have the right to seek accountability, either through out-of-court dispute resolution or through judicial channels, with possible sanctions for business operators ranging from administrative actions to criminal penalties. Thus, this law provides rights protection for consumers and establishes clear obligations for fitness center business operators to ensure the safety, security, and comfort of their service users."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>