Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mauluna Salsabila
"Konsep bahasa cinta menguraikan bagaimana kita mengekspresikan cinta dan memperoleh perasaan dicintai melalui lima bahasa cinta utama yaitu: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gift, dan physical touch. Mengenali perbedaan dalam bahasa cinta dapat berdampak signifikan pada keberhasilan suatu hubungan romantis karena dapat memenuhi kebutuhan emosional pasangan dengan tepat. Sementara itu, tingkat kebutuhan emosional seseorang untuk dicintai berasal dari pola kelekatan di masa kecil. Eksplorasi dari kemungkinan hubungan keduanya berkontribusi pada pemahaman hubungan romantis dan dapat meningkatkan kemampuan untuk menavigasi hubungan intim. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta dewasa awal di Indonesia. 142 peserta yang pernah atau sedang berada dalam hubungan romantis dengan rentang usia 18-25 tahun dan tinggal di Indonesia (N=142) mengikuti penelitian ini. Pola kelekatan diukur menggunakan Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) dan bahasa cinta diukur menggunakan Five Love Languages Scale (FLLS). Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara pola kelekatan dan bahasa cinta sehingga hipotesis penelitian terbukti dan dapat diterima. Penelitian ini dapat digunakan sebagai preliminary study dalam menyelidiki dinamika hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta.

One aspect of romantic relationships that is currently becoming a topic of conversation is the concept of love languages introduced by Chapman. His theory outlines how we express love and get the feeling of being loved through five main love languages: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gifts, and physical touch. Recognizing the differences in love languages can significantly impact the success of a relationship because it can properly address the emotional needs of a partner. Meanwhile, the level of one's emotional need to be loved comes from attachment patterns in childhood. Further exploration of the two's possible relationships contributes to a more comprehensive understanding of romantic love and ultimately enhances our ability to navigate intimate relationships. This research aims to explore the relationship between love language and attachment style. 142 participants who had or were in a romantic relationship aged 18-25 years and lived in Indonesia (N=142) participated in this study. Attachment styles were measured using Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) and love language was measured using the Five Love Languages Scale (FLLS). In this study, a significant relationship was found between attachment patterns and love language so that the research hypothesis was proven and accepted. This research can be used as a preliminary study in investigating the dynamics of the relationship between attachment patterns and love language."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Athaya Rachman
"Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi.

Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kyla Kansa
"Kepuasan hubungan dapat memberikan berbagai dampak positif untuk hubungan itu sendiri dan kehidupan individu yang terlibat di dalamnya. Mengekspresikan cinta melalui bahasa cinta dapat dipertimbangkan untuk memperoleh kepuasan hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kaitan antara konsep bahasa cinta oleh Gary Chapman (2004) dengan kepuasan hubungan pada partisipan berusia 19-30 tahun yang sedang menjalani hubungan romantis; berpacaran atau bertunangan atau menikah. Bahasa cinta diukur dengan The Five Love Languages (FLL) Scale dan kepuasan hubungan diukur dengan Relationship Assessment Scale (RAS). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta dan kepuasan hubungan. Artinya semakin tinggi bahasa cinta, maka akan semakin tinggi pula kepuasan hubungan. Hasil korelasi setiap dimensi bahasa cinta menunjukkan dimensi waktu berkualitas berkorelasi paling tinggi dengan kepuasan hubungan, diikuti dengan perkataan afirmasi, pemberian hadiah, sentuhan fisik, dan tindakan melayani. Penelitian ini mengeksplorasi teori Bahasa Cinta dan dapat menjadi referensi untuk program intervensi terkait kepuasan hubungan terutama pada dewasa muda.

Relationship satisfaction brought out positive consequences for the relationship itself and the individuals that are involved in the relationships. Expressing love through love languages given due consideration to obtain relationship satisfaction. This study explored the relationship between love languages by Gary Chapman (2004) and relationship satisfaction in the participants with the range of age 19-30 years old and being in the romantic relationship; dating or engaged or married. The Five Love Languages Scale is used for assessing love languages and Relationship Assessment Scale (RAS) is used for assessing relationship satisfaction.The result indicates the positive correlation between love languages and relationship satisfaction significantly. It means that the higher love languages, the higher relationship satisfaction. This study also correlated each of dimensions of the love languages with relationship satisfaction, and the highest correlation was quality time, followed by words of affirmation, receiving gifts, physical touch, and acts of service. This study explored theory of Love Languages and could be used as reference for interventions program that related to relationship satisfaction, especially in young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffanah Zahira Hermawan
"Bahasa cinta dianggap sebagai popular psychology karena kurang memiliki bukti ilmiah. Meskipun begitu, Chapman (2010) mengklaim bahwa pasangan yang memiliki bahasa cinta yang sama lebih cocok sehingga mendapatkan rasa puas dalam hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menambahkan bukti ilmiah bagi konsep bahasa cinta dan melihat perbedaan tingkat kepuasan pernikahan pasangan suami istri di Indonesia yang memiliki bahasa cinta yang sama dan pasangan suami istri yang tidak memiliki bahasa cinta yang sama. 494 pasangan menikah yang berusia 20-40 tahun dan tinggal di Indonesia (N=988) mengikuti penelitian ini. Kepuasan pernikahan diukur menggunakan Satisfaction with Married Life (SWML) dan bahasa cinta diukur menggunakan Five Love Languages Scale (FLLS). Hasil uji komparatif menunjukkan adanya perbedaan tingkat kepuasan pernikahan yang signifikan antara pasangan suami istri yang memiliki bahasa cinta yang sama dan pasangan suami istri yang memiliki bahasa cinta yang berbeda (U = 8336.00, z = -2.710, p < 0.05). Effect size untuk analisis ini sebesar d = 0,4 dan tergolong small effect (d < 0,5) Hasil penelitian menyatakan bahwa pasangan suami istri yang memiliki bahasa cinta yang sama mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan suami istri yang memiliki bahasa cinta yang berbeda. Hal tersebut menyatakan bahwa kesamaan bahasa cinta memiliki kaitan dengan tingkat kepuasan pernikahan.

Love Language are considered popular psychology because it lacks scientific evidence. Even so, Chapman (2010) claims that couples who share the same love language are more compatible and they feel satisfied in their relationship. This study aims to add scientific evidence to the concept of love language and to see the difference in the level of marital satisfaction of married couples in Indonesia who have the same love language and married couples who don’t share the same love language. 494 married couples aged 20 - 40 years old and lives in Indonesia (N=988) participated in this study. Marital satisfaction was measured using Satisfaction with Married Life (SWML) and love language was measured using Five Love Languages Scale (FLLS). Comparative test results show that there is a significant difference in the level of marital satisfaction between married couples who have the same love language and married couples who have different love languages (U = 8336.00, z = -2.710, p < 0.05). The effect size for this analysis is d = 0,4 and it is classified as small effect (d< 0,5). The results of this study stated that married couples who have the same love language have a higher level of satisfaction than married couples who have different love language. This suggests that the similarity of love languages is related to the level of marital satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Andini
"Hubungan romantis jarak jauh sering dialami oleh banyak individu khususnya populasi Gen Z. Generasi ini dikenal cakap teknologi dan sangat bergantung dengan dunia digital termasuk dalam menjaga hubungan romantis jarak jauh. Keharmonisan hubungan jarak jauh tercapai jika  pasangan dapat menunjukkan bahasa cinta yang tepat yang erat kaitannya dengan kepuasan hubungan. Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi hubungan antara bahasa cinta pada hubungan romantis jarak jauh dengan kepuasan hubungan pada Gen Z yang berusia 18-28 tahun di Indonesia. Dengan analisis pearson correlation, hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif antara bahasa cinta dan kepuasan hubungan. Nilai bahasa cinta yang paling dominan adalah quality time dengan kepuasan hubungan yaitu r = 0,35, p < 0,01. Pasangan Gen Z yang menjalani hubungan romantis jarak jauh direkomendasikan untuk memahami bahasa cinta masing-masing pasangannya untuk meningkatkan kepuasan hubungan.

Currently, long distance romantic relationships are common, especially among the Gen Z population. Gen Z are the most digital natives and heavily relies on technology including to maintain their long-distance romantic relationships. Harmony in a long-distance relationship is achieved when partners can express the appropriate love language, which is closely related to relationship satisfaction. Therefore, the author have explored the relationship between love language and relationship satisfaction in Gen Z who are aged 18-28 years in Indonesia. By used the Pearson correlation method, this research showed that there a positive relationship between love language and relationship satisfaction. Highest value of love language was Quality Time with relationship satisfaction r = 0.35, p < 0.01. Gen Z couples with a long-distance romantic relationship should understand their partner's love languages to increase relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Rahma Sari
"Perubahan, tuntutan, dan tantangan yang terjadi merupakan ciri khas yang akan dihadapi oleh individu ketika memasuki usia dewasa muda. Memiliki harga diri yang tinggi sangat diperlukan bagi individu untuk mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi dengan baik. Salah satu faktor yang berperan pada keberlangsungan harga diri adalah bahasa cinta yang ditunjukkan oleh orang tua. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat keterkaitan antara masing-masing dimensi bahasa cinta orang tua dengan harga diri pada dewasa muda. Partisipan merupakan 241 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di Indonesia. Variabel harga diri diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) dan variabel bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Languages Scale (PLLS). Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua words of affirmation (r = .30, p < .001), quality time (r = .32, p < .001), acts of service (r = .29, p < .001), giving gift (r = .24, p < .001), dan physical touch (r = .18, p < .01) dengan tingkat harga diri. Penelitian ini merupakan eksplorasi lebih lanjut terkait teori Lima Bahasa Cinta dan dapat dijadikan sebagai dasar intervensi terkait peningkatan harga diri pada dewasa muda.

The emergence of changes, demands, and challenges is a characteristic that will be faced by someone when entering the phase of emerging adulthood. Having high self-esteem is necessary for individuals to be able to deal with the changes that occur. One of the factors that play a role in the continuity of self-esteem is the love languages shown by parents. In this study, researcher investigated the relationship between each dimension of parental love language and self-esteem in emerging adulthood. Participants were 241 emerging adults aged 18-25 years. The variable of self-esteem was measured using Rosenberg Self- Esteem Scale (RSES) and the parental love language was measured using the Parental Love Languages Scale (PLLS). The results showed that there was a positive and significant relationship between words of affirmation (r = .30, p < .001), quality time (r = .32, p < .001), acts of service (r = .29, p < .001), giving gift (r = .24, p < .001), and physical touch (r = .18, p < .01) with self-esteem. This research is a further exploration of the theory of the Five Love Languages and can be used as a basis for interventions related to self-esteem in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Mahardhika Pangestuti
"Menjalin hubungan romantis dengan orang lain merupakan salah satu pemenuhan tugas perkembangan psikososial pada tahap emerging adulthood. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara attachment styles dan self disclosure pada emerging adulthood yang menjalankan hubungan romantis jarak jauh. Partisipan penelitian (N=292) merupakan emerging adulthood yang sedang atau pernah menjalin hubungan romantis jarak jauh. Pada penelitian ini, attachment styles diukur menggunakan Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R) sedangkan self disclosure diukur menggunakan Self Disclosure Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara attachment styles dan self disclosure.

Having a romantic relationships with others is one of the psychosocial developmental tasks in emerging adulthood. This study aims to invistigate a relationships between attachment styles and self disclosure in emerging adulthood whom in a long distance relationships. The participants of this research (N=292) were emerging adulthood who are currently or had previously involved in a long distance relationships. In this study, attachment styles were measured by Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R) meanwhile self disclosure was measured by Self Disclosure Scale. Result of this study showed a negative relationship that significant between attachment styles and self disclosure."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Retnoati Rozano Prakoeswa
"Di Indonesia, sebuah negara dengan 17.491 pulau dan 1.340 suku bangsa berbeda
memungkinkan terdapat banyak individu multikultural dan terjadinya akulturasi dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Berry (2005), akulturasi adalah proses dari perubahan
budaya dan psikologis yang berlangsung sebagai hasil kontak antara dua atau lebih
kelompok budaya dan anggotanya. Di sisi lain, menurut Huynh et al. (2018) pengalaman
individu yang terpapar dan menginternalisasi lebih dari satu budaya, dianggap bikultural
atau multikultural. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara akulturasi dan
multikulturalisme pada dewasa muda di Indonesia. Partisipan terdiri dari 479 Warga
Negara Indonesia, memiliki minimal dua kebudayaan, usia 20-35 tahun, yang terdiri dari
1 agender, 201 laki-laki, dan 277 perempuan. Data dikumpulkan dengan Mutual
Intercultural Relations In Plural Societies (MIRIPS) dan Bicultural Identity Integration
Scale (BIIS-2) Pancultural Version 2.4.0. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi
positif antara integrasi dan harmoni (r(479) = 0,226, p<0,01), korelasi positif antara
integrasi dengan blendedness (r(479) = 0,125, p<0,01), namun juga ditemukan korelasi
positif antara marginalisasi dengan harmoni (r(479) = 0,207, p<0,01) dan korelasi positif
antara marginalisasi dengan blendedness (r(479) = 0,135, p<0,01).

In Indonesia, a country with 17,491 islands and 1,340 different ethnic groups, it becomes
possible to have many multicultural individuals and have acculturation happens in
everyday life. According to Berry (2005), acculturation is a process of cultural and
psychological change that takes place as a result of contact between two or more cultural
groups and their members. On the other hand, according to Huynh et al. (2018)
experiences of individuals who are exposed to and internalize more than one culture, is
considered as bicultural or multicultural. This study aims to see the relationship between
acculturation and multiculturalism in young adults in Indonesia. Participants consisted of
479 Indonesian citizens, having two cultures, aged 20-35 years, consisting of 1 agender,
201 men, and 277 women. Data were collected using the Mutual Intercultural Relations
In Plural Societies (MIRIPS) and the Bicultural Identity Integration Scale (BIIS-2)
Pancultural Version 2.4.0. The results showed positive evidence between integration and
harmony (r (479) = 0.226, p <0.01), indicating that integration with blendedness (r (479)
= 0.125, p <0.01), but also found positive between marginalization. with harmony (r (479)
= 0.207, p <0.01) and a positive connection between marginalization and blendedness (r
(479) = 0.135, p <0.01)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Nada Fatharani
"Dewasa awal merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Di Indonesia ditemukan data bahwa tingkat pernikahan sekaligus perceraian didominasi oleh pasangan dari kelompok dewasa awal. Untuk mengurangi perceraian, dibutuhkan kesiapan menikah. Salah satu aspek dalam kesiapan menikah adalah agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religiusitas berhubungan dengan kesiapan menikah pada dewasa awal di Indonesia. Sebanyak 610 dewasa awal berusia 19-30 tahun di Indonesia menjadi partisipan pada penelitian ini. Perhitungan menggunakan Spearman Correlation dan ditemukan koefisien korelasi sebesar r=0.0373, N=610, P<0.00. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Hal tersebut menandakan bahwa semakin religius seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah yang dimilikinya.

Emerging adulthood is a period of transition from adolescence to adulthood. In Indonesia, it was found that the rate of marriage and divorce is dominated by couples from emerging adulthood. To reduce divorce, it takes readiness to marry. One of the aspect that can influence marriage readiness is religion. This study aims to determine whether religiosity is related to readiness for marriage in emerging adulthood in Indonesia. A total of 610 early adults aged 19-30 years in Indonesia were participants in this study. Calculations using Spearman Correlation and found a correlation coefficient r=0.0373, N=610, P<0.00. Based on these findings, it can be concluded that there is a significant and positive relationship between religiosity and marriage readiness. This indicates that the more religious a person is, the higher his marriage readiness will be."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Shiny Frederika
"Kesepian umum terjadi pada individu dewasa awal, usia yang penuh perubahan dan instabilitas. Meski umum, kesepian berdampak buruk bagi kehidupan individu sehingga perlu diatasi. Penerapan mindfulness, salah satunya yaitu, interpersonal mindfulness, diusulkan dapat mengatasi kesepian dalam konteks relasi sosial. Penelitian ini melihat hubungan antara interpersonal mindfulness dan kesepian pada 149 individu berusia 18-25 tahun. Kesepian diukur dengan UCLA Loneliness Scale Revised Version 3 dan interpersonal mindfulness dengan Interpersonal Mindfulness Scale. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara interpersonal mindfulness dan kesepian. Temuan ini menunjukkan bahwa interpersonal mindfulness tidak berkaitan langsung dengan tingkat kesepian pada individu dewasa awal.

Loneliness commonly occurs in young adults, a period marked by change and instability. Despite its prevalence, loneliness adversely impacts individuals' lives and requires intervention. Mindfulness practices, such as interpersonal mindfulness, are suggested to address loneliness within social relationships. This study examines the relationship between interpersonal mindfulness and loneliness in 149 individuals aged 18-25 years. Loneliness was assessed using the UCLA Loneliness Scale Revised Version 3, while interpersonal mindfulness was measured using the Interpersonal Mindfulness Scale. The research findings indicate no significant relationship between interpersonal mindfulness and loneliness. These findings suggest that interpersonal mindfulness does not directly correlate with loneliness levels in young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>