Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123428 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faris Basalamah
"Pendahuluan : Disfungsi endotel terjadi sejak fase awal dari aterosklerosis yaitu pada pasien-pasien hipertensi, diabetes, hiperhomosisteinemia, perokok maupun pada fase lanjut dari aterosklerosis. Kegagalan fungsi endotel pada respons dilatasinya akibat aktifasi eNOS yang menurun. Teh hijau terbukti mampu memperbaiki disfungsi endotel dinilai dari perbaikan forearm blood flow perokok sehat yang belum mengalami PJK.
Tujuan Penelitian : Untuk membuktikan bahwa pemberian teh hijau sekali asupan dapat memperbaiki flow mediated dilatation pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, yang berarti ada perbaikan disfungsi endotel.
Metode : Penelitian dilakukan pada 23 pasien yang terbukti penyakit jantung koroner dari basil kateterisasi, bail( yang sudah menjalani revaskularisasi maupun yang belum. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama mendapatkan teh hijau setelah sebelumnya diperiksa FMDnya serta FMD pasca perlakuan 1,5jam sesudah pemberian teh, kelompok kedua mendapatkan placebo (air putih). Kemudian dilakukan crossover setelah 3-5 hari periode washout, kelompok pertama ganti mendapatkan placebo dengan diperiksa FMD sebelum dan sesudah perlakuan dan kelompok kedua mendapatkan teh hijau. Dilakukan pemeriksaan FMD pada orangorang yang sehat usia kurang dari 25 tahun sebagai kontrol populasi sehat.
Hasil : Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik dasar antara kelompok yang mendapatkan teh hijau dahulu dibandingkan yang mendapatkan placebo dahulu. Sedangkan FMD kelompok baseline kelompok teh 4,80±5,37 berbeda bermakna dibandingkan kontrol sehat 9,15±3,65 (p=0,047) sedangkan FMD baseline sebelum mendapatkan placebo 5,87±3,89 tidak ada perbedaan bermakna dibandingkan FMD baseline pre teh hijau (p=0,398) maupun dibandingkan kelompok kontrol sehat (p=0,082). FMD pasca perlakuan menunjukan perubahan perbaikan yang bermakna pada kelompok teh hijau bila dibandingkan baseline (4,80±5,37 vs 8,68±6,00 p=0.026) sedangkan kelompok placebo menunjukan perubahan perburukan FMD bila dibandingkan pre dan pasca placebo (5,87±3,89 vs 3,34±3,66 p=0,026)_ FMD pasca teh hijau berbeda bermakna bila dibandingkan pasca placebo (8,68±6,00 vs 3,35±3,66 p=0,002). Tidak ada perubahan diameter arteri brachialis kelompok teh hijau maupun placebo (4,60-0,36 vs 4,57±0,41 ; p=0,800 dan 4,57±0,41 vs 4,61±0,36 p=0,601). Tidak ada perubahan tekanan darah sistolik kelompok teh hijau dan placebo (144,78±25,69 vs 146,91±24,76 ; p=0,502 dan 141,30±25,46 vs 139,78±22,99 ; p=0,632). Tekanan darah diastolik kelompok teh hijau dan placebo juga tidak ada perubahan bermakna (86,82±10,55 vs 87,27±9,84; p0,549 dan 83,63±9,24 vs 81,81±8,73; p=0,510). Demikian juga nadi kelompok teh hijau dan kelompok placebo. (67,174±12,492 vs 66,609±11,900; p=0,236 dan 68,043±9,028 vs 66,739±8,247; p=0,127)
Kesimpulan : Teh hijau mampu memperbaiki fungsi endotel dinilai dari perbaikan flow mediated dilatation jangka pendek pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, dimana efek yang berlawanan justru diperlihatkan air putih, pada penelitian eksperimental dengan design crossover.

Background : Endothelial dysfunction begins when atherosclerosis developed as what go through on hypertension, diabetes, hyperhomocysteinemia, and also what go through among smoker who hasn't have CAD until end phase of atherosclerosis. Impairment of endothelial function depends on vasodilatation due to the decreasing of eNOS activity. Green tea has been proved to have positive effect in reversing endothelial dysfunction among healthy smoker.
Objectives : to determine the short term effect of green tea on flow mediated dilatation among coronary artery disease patients which repaired the dysfunction of endothelial cells.
Methods : 23 coronary artery disease patients which had been confirmed by coronary angiography joined the study. The sample was divided into two groups, first was the group who took green tea, and the 2nd was the group who took placebo (mineral water). Before treatment, the FMD of both two groups were measured and one hour and half after treatment. After 3-5 days of treatment, both groups were crossover. FMD among healthy group of age Iess than 25 years old was also measured as control group.
Results : There was no significant differences in baseline characteristic between the first group and the 2"d (both received green tea but in different time). FMD after treatment was increased among group who took green tea (4.8015.37 vs 8.6816.00, p=0.026), while FMD among placebo group was decreased (5.8713.89 vs 3.3413.66 p=0.026). There was significant differences of FMD after treatment with green tea and after treatment with placebo (8.68±6.00 vs 3.3513.66 p = 0.002). There was no differences of brachialis artery diameter in both groups (4.6010.36 vs 4.5710.41, p=0.8 and 4.5710.4I vs 4.61±0.36, ptl.601). There was no differences od systolic pressure in both group (144.78 125.69 vs 146.91124.76, p=0.502 and 141.30±25.46 vs 139.78122.99, p=0.632). Also there was no differences of diastolic pressure in both groups (86.82110.55 vs 87.2719.84, p= 0.549 and 83.6319.24 vs 81.8118.73, p=0.510). No differences of heart rate in both groups (67.174112.492 vs 66.609111.900, p=0.236 and 68.043 ±9.028 vs 6633918.247, p=0.127)
Conclusion : From this study we conclude that green tea had positive effect in reversing endothelial dysfunction among coronary artery disease patient by assessing flow mediated dilatation in short time. The group who took placebo showed the paradoxical effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Pramesti
"Pendahuluan : Disfungsi endotel merupakan awal timbutnya aterosklerosis yang pada kondisi lanjut akan menychabkan penyakit jantung koroner (PJK). Teh hijau dilaporkan mampu memperbaiki disfungsi endotel karena kandungan katekin yang ada di dalamnya. Penelitian menunjukkan teh hijau mampu meningkatkan produksi prostasiklin pada kultur sel aorta babi.
Tujuan penelitian : Untuk mcmbuktikan hahwa pemberian teh hijau sekali minum dapat memberi efek terhadap peningkatan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolic prostasiklin dan penurunan kadar tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 pada penderita PJK.
Metode : Penelitian dilakukan pada 25 penderita yang terhukti PJK dari pemeriksaan angiografi koroner. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 mendapat teh hijau terlebih dahulu dan Kelompok l1 mendapat plasebolair putih terlebih dahulu. Setelah masa wash-Put selama 1 minggu, dilakukan cross-over. Dihitung kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a sebagai metabolit prostasiklin don tromboksan B2 sebagai metabolit tromboksan A2 sebelum dan sesudah pemberian teh hijau dan plasebo. Dllakukan pemeriksaan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a dan tromboksan B2 pada 20 orang sehat usia 18-25 tabula sebagai acuan nilai normal.
Hasil : Didapatkan peningkatan kadar 6-ketoprostaglandin Fl-a yang bermakna pada kedua kelompok. Pada kelompok I sebeiuni pemberian tab hijau kadar 6-ketoprostaglandin Fl -a 5.126 (2.808-6.237) menjadi 6.575 (4.788-7.638) ng/ml (p= 0.012). Pada kelompok plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.328). Pada kelompok II kadar 6-ketoprostaglandin Fl-ct sebelum teh hijau 6.044 (2.804-11.693) menjadi 7.212 (4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). Pada plasebo tidak didapatkan peningkatan yang bermakna (p= 0.325). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 tidak didapatkan penurunan yang bermakna balk pada kelompok I maupun pada kelompok II. Pada kelompok I sebelum pemberian teh hijau 0.472 (0.122-0.630) menjadi 0.092 (0.056-0.135) ng/ml (p= 0.68). Pada kelompok l1 sebelum pemberian teh hijau 0.1 11 (0.029-0.630) meningkat menjadi 0.660 (0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). Hadar 6-ketoprostaglandin F1-u pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding orang sehat (p<0.001). Pada pemeriksaan kadar tromboksan B2 pada penderita PJK lehih rendah secara bermakna dibanding prang sehat (p<0.001)
Kesimpulan : pemberian teh hijau sekali minum mampu meningkatkan produksi 6-ketoprostaglandin Fl-a yang merupakan metabolit aktif prostasiklin pada penderita penyakit jantung koroner, akan tctapi tidak memberikan efek penurunan kadar tromboksan B2 yang merupakan metabolit aktiFdari tromboksan A2.

Introduction : Endothelial dysfunction is an early process of atherosclerosis that in long term will cause coronary artery disease. Green tea has been reported to improve endothelial function because of catechin substance in green tea. Study had showed that green tea could increase the prostacyclin production in bovine aorta cell culture.
Objective :To gain evidence that one time consuming of green tea may increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as a metabolite of prostacyclin and decrease thromboxane B2 production as a metabolite of thromboxane A2 in coronary artery disease patients.
Method : Study has been conducted to 25 patients proven to have coronary artery disease by coronary angiography. Sample was grouped into two groups. Groups I firstly receive green tea and Group II firstly receive placebo (mineral water). After washout period for one week, sample was being cross-overed. The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a as a metabolite of prostacyclin and thromboxane B2 as a metabolite of thromboxane A2 were measured before and after green tea and water consumption. We also measure the level of 6-ketoprostaglandin Fl -a and thromboxane B2 in 20 healthy persons aged 18 -25 years old as a normal value.
Result : There were significant increasing level of 6-ketoprostaglandin Fl-a of both groups. In Group I, the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 5.126(2.808-6.237) and raised up to 6.575(4.788-7.638) ng/ml(p= 0.012). Meanwhile in placebo group there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin Fl-a (p= 0.328). In group II the level of 6-ketoprostaglandin Fl-a before green tea consumption was 6.044(2.804-11.693) and raised up to 7.212(4.028-11.175) ng/ml (p= 0.011). As for placebo group, there were no significant increase level of 6-ketoprostaglandin F l -a (p= 0.325). Thromboxane B2 measurement result shows no significant decrease both in group I and group H. In group I, thromboxan B2 level before green tea consumption was 0.472(0.122-0.630) and raised up to 0.092(0.056-0_l35) ng/ml(p= 0.68). As for group H, thromboxane B2 level before green tea consumption was 0.111(0.029-0.630) and raised up to 0.660(0.018-0.958) ng/ml (p= 0.055). The level of 6-ketoprostaglandin Fl-a in coronary artery disease patients was significantly bellow healthy persons (p<0.001). The level of thromboxane B2 in coronary atery disease patients were also significantly bellows healthy persons (p<0.001).
Conclusion : One time green tea consumption can increase 6-ketoprostaglandin Fl-a production as an active metabolite of prostacyclin in coronary artery disease patients but does not decrease thromboxan B2 level, an active metabolite of thromboxan A2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Mulyaharti
"ABSTRAK
Teh adalah minuman yang sangat digemari oleh masyarakat. Teh mempunyai aroma yang wangi dan rasa yang khas. Dikatakan; bahwa penggunaan yang berlebihan, dari teh dapat mengganggu kesehatan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Jurusan Farmakologi FK-UI, menyatakan bahwa ekstrak teh hijau dapat menyebabkan. keiainan kimroskopis hati pada mencit. Untuk melihat lebih jelas efek toksik dari ekstrak. teh hijau. ini maka dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh ekstrak teh hijau terhadap fungsi hati, degan meggunakan tikus sebagai hewan. percobaan. Pada penelitian ini tikus diberikan ekstrak teh hijau dengan dosis yang berbeda-beda. Kelompok pecobaan. di berikan ekstrak teh hijau setiap hari, dengan dosis 150 mg/ kg berat badan, 750 , mg/kg berat badan dan 3750 mg/kg berat badan, selama 90 hari. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pemberian ekstrak teh hijau dengan dosis rendah dan sedang tidak memengaruhi berat badan sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan berat badan. Demikian pula dengan kenaikan aktivitas SGPT dan SGOT, hanya terjadi pada pemberian ekstrak teh hijau dengan dosis tinggi."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Mertha
"Tesis ini membahas pengaruh latihan aktifitas rehabilitasi jantung fase I terhadap efikasi diri dan kecemasan pasien PJK di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilakukan berdasarkan kenyataan PJK sebagai penyakit kardiovaskuler dan pembuluh darah dengan angka kematian yang terus meningkat. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kuasi eksprimen tanpa kelompok kontrol. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling dengan jumlah sampel 30 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner efikasi diri dengan 17 item pertanyaan dan kuesioner kecemasan dengan 18 item pertanyaan.Hasil uji validitas dan realibilitas menggunakan Alpha Cronbach dengan hasil baik.
Analisis data didapatkan bahwa terdapat pengaruh bermakna latihan aktifitas terhadap peningkatan efikasi diri (p=0,001), dan terhadap penurunan kecemasan responden (p=0,001) setelah dilakukan intervensi latihan aktifitas. Hasil penelitian merekomendasikan bahwa pengambil kebijakan di RSUP Sanglah Denpasar menyusun dan menetapkan protap program rehabilitasi jantung fase I bagi pasien PJK selama dirawat.

This study investigated the effect of Phase-1 heart rehabilitation activity exercise on self-efficacy and anxiety of patients with coronary heart disease (CHD) at Sanglah General Central Hospital. The study was undergone based on the fact that mortality rate due to CHD the increased progressively. This study was a quantitative research using a quasi experimental design without control group. A number of 30 samples were involved and approached using consecutive sampling. A validated questionnaire including 17 questions to explore self-efficacy and 18 questions to measure anxiety, were used.
Statistical analysis indicated that there was a significant effect of the exercise on increased self-efficacy (p=0.001) and patients? activity (p=0.001). It was recommended that the hospital?s decision maker need to develop and to authorize a standardized operational procedure containing Phase-1 heart rehabilitation for hospitalized CHD patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28435
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Rina
"Latarbelakang. Enhanced External Counterpulsation (EECP) dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat meningkatkan aliran darah perifer yang selanjutnya menimbulkan shear stress tinggi dan pada gilirannya mempengaruhi fungsi sel sel endotel yang berperan langsung didalam penurunan resistensi pembuluh darah, melalui peningkatan pembentukan substrat vasodilatasi NO (nitrogen monoksida). Secara teori peningkatan NO menginduksi terjadinya dilatasi pembuluh darah, dikenal sebagai flow mediated dilation (FMD). Sampai saat ini belum ada laporan tentang perubahan FMD pasca EECP. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah FMD arteri brakhialis mengalami perubahan pada penderita PJK yang menjalani EECP. Metodologi. Dilakukan penelitian prospektif eksperimental dengan desain pra pasca pada 20 penderita PJK laki-laki, umur 42 - 71 th di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Semua penderita telah menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Lima penderita dengan satu penyempitan pembuluh koroner utama (1-VD), 5 penderita dengan 2-VD, 9 penderita dengan 3-VD. Satu penderita dikeluarkan dari penelitian karena operasi tumor paru Seluruh penderita mendapat perlakuan EECP selama 1 jam sekali perhari selama 36 kali, minimal 5 kali seminggu. Pada semua penderita dilakukan pengukuran diameter arteri brakhialis memakai scan Duplex ultrasonografi perifer, sebelum dan sesudah perlakuan EECP. Untuk menilai FMD, diukur diameter (mm) baseline arteri dan saat hiperemia. FMD adalah persentase perubahan diameter akibat induksi peningkatan aliran darah. Analisa statistik Data disajikan dalam nilai rerata + SD. FMD pra dan pasca disajikan dalam satuan persen (%). Analisa perubahan variabel pra dan pasca EECP dilakukan dengan pair-t test. Nilai bermakna bila p<0,05.
Hasil penelitian. Usia rerata 58,1±7,72 thn. Peningkatan FMD pra (4.57±7,72%) dan pasca EECP (5,96±5,49%) pada penderita PJK secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Uji statistik yang dilakukan pada 3 subkelompok VD dan 2 subkelompok umur (dibawah 60 th dan > 60 th), secara statistik tidak bermakna. Pada kelompok pra EECP (6 penderita) yang dengan kegagalan FMD (0%), pasca EECP terjadi peningkatan bermakna (p<0,05). Pada 2 penderita subkelompok usia lanjut (umur 60 th) FMD pasca EECP masih tetap menunjukkan penurunan, hal ini mungkin terjadi disfungsi endotel berat. Pembahasan. FMD adalah salah satu parameter untuk menilai perubahan biologis fungsi endotel pembuluh darah. Semakin tinggi respon FMD menunjukkan fungsi endotel semakin baik. Pada penelitian ini, FMD menunjukan peningkatan tidak bermakna, mungkin shear stress yang dihasilkan EECP secara mekano hemodinamik tidak cukup untuk merangsang pelepasan NO, walaupun D/S ratio yang optimal. Penderita dengan gangguan fungsi endotel berat, pelepasan NO kedalam darah sangat menurun, sehingga sehingga terjadi peningkatan rasio ET-1/NO atau terjadi pelepasan ET-1 dari smooth muscle cell (SMC) yang selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
1. Peningkatan FMD pada penderita lelaki dengan PJK yang menjalani EECP secara statistik tidak bermakna.
2. Subkelompok penderita lelaki usia lanjut dengan PJK kemungkinan EECP menyebabkan kecendrungan penurunan FMD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Todung Donald Aposan
"Intervensi koroner perkutan (IKP) terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit jantung koroner (PJK). Cedera pembuluh darah akibat IKP dapat menyebabkan timbulnya inflamasi dan stress oksidatif. Studi ini menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek menekan inflamasi dan antioksidan pada penderita PJK stabil pasca-IKP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas suplementasi kurkumin per oral dalam menurunkan kadar inflamasi dan stres oksidatif pasca-IKP pasien PJK stabil.
Pasien dewasa PJK stabil dilakukan IKP, dirandomisasi secara acak tersamar ganda ke dalam kelompok kurkumin atau plasebo. Kurkumin (45 mg/hari) atau plasebo diberikan selama 7 hari sebelum IKP hingga 2 hari setelah IKP. Kadar marker inflamasi (hsCRP dan sCD40L) dan marker oksidatif (MDA dan GSH) dalam serum dinilai dalam 3 fase, 7 hari pra-IKP, 24 jam pasca-IKP, dan 48 jam pasca-IKP.
Selama periode April–Juni 2015, terdapat 50 pasien yang direkrut (25 kurkumin dan 25 plasebo) di RSUP Cipto Mangunkusumo dan RS Jantung Jakarta. Konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada kelompok kurkumin dalam 3 fase cendrung menurun (p < 0,05) dibanding kelompok plasebo, tetapi konsentrasi hsCRP dan sCD40L pada tiap fase tidak berbedaan bermakna, sedang kadar MDA dan GSH tidak berbeda bermakna setiap fase, namun menunjukkan kecenderungan penurunan kadar MDA (p = 0,6) dan GSH (p = 0,3).
Pemberian kurkumin mempunyai kecenderungan menurunkan respons inflamasi pasca-IKP dan cenderung menghambat pembentukan stress oksidatif yaitu MDA serum melalui mekanisme peningkatan penggunaan antioksidan internal yaitu GSH serum.

Background: Percutaneous coronary intervention (PCI) has been proven to improve morbidities and mortalities in stable coronary heart disease (CHD). However, ischemia-reperfusion injury resulted from PCI might induce inflammation and oxidative stress. Several studies suggested that curcumin exerts anti-inflammatory and antioxidant properties that may be beneficial in post-PCI stable CHD patients.
Objectives: To determine the efficacy of orally administered curcumin in reducing inflammatory response and oxidative stress in post-PCI of stable CHD patients.
Methods: A double-blind randomized controlled trial consisting of 50 adult patients of both sexes with stable CHD who underwent PCI were treated with curcumin or placebo. Either curcumin (45 mg/day) or placebo was given 7 days prior to PCI until 2 days after PCI. Inflammatory markers (hsCRP and sCD40L) and oxidative stress assessment (MDA and GSH) were measured in 3 phases (7 days pre-PCI, 24 hours post-PCI, and 48 hours post-PCI).
Results: During April–June 2015, 50 patients were recruited (25 curcumin and 25 placebo) from Cipto Mangunkusumo General Hospital and Jakarta Heart Center. The serum concentrations of hsCRP and sCD40L in curcumin group (p < 0.05) in all observation phases were significantly lower compared with placebo group; however, there were no significant differences between groups. No significant difference was observed among phases in MDA and GSH, but there was a trend of decreasing MDA and GSH levels (p = 0.6 and p = 0.3, respectively) in curcumin group.
Conclusion: Curcumin tends to reduce inflammatory response following PCI by decreasing oxidative stress (MDA) through the increase of internal antioxidant utilization (GSH).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"ABSTRAK
Program rehabilitasi jantung fase 1 merupakan salah satu upaya mencapai tingkat fungsional yang memungkinkan pasien melakukan sendiri aktifitas awal dalam rangka persiapan melaksanakan kegiatan sehari-hari di rumah dan sebagai pencegahan efek yang kurang menguntungkan dari tirah baring yang lama.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh rehabilitasi jantung fase I terhadap peningkatan toleransi aktifitas pada pasien PJK. Desain penelitian ini menggunakan desain quasi experiment with post test-only non equivalent control group. Jumlah sampel sebanyak 24 responden.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan melakukan ADL (p value=0.004), dimana kelompok intervensi lebih tinggi dari pada kelompok kontrol, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan VO2 maksimal (p value=0.220) dimana nilai VO2 maksimal kelompok intervensi menunjukan nilai yang lebih baik dari kelompok kontrol. Nilai tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, SpO2 dan frekuensi nadi pada kedua kelompok menunjukkan nilai yang hampir sama dan dalam batas toleransi normal. Kesimpulan menunjukkan rehabilitasi jantung fase I berpengaruh terhadap toleransi aktivitas pasien PJK. Oleh karena itu perawat sebagai bagian dari tim program rehabilitasi jantung diharapkan memfasilitasi pasien untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap toleransi aktivitas.

ABSTRACT
Phase 1 cardiac rehabilitation program is one of the efforts to achieve a functional level that allows the patient to perform early activity in preparation to carry out daily activities at home and to prevent unfavorable effects of prolonged bed rest.
The purpose of this study was to identify the effect of phase I cardiac rehabilitation toward activity tolerance in patients with Coronary Heart Disease (CHD). This research design was a quasi experimental research design with post test only non-equivalent control group. The total sample was 24 respondents.
The result shows a significant difference between the ability to perform ADL (p value=0.004), in which the intervention group was higher than the control group, but there is no significant difference on VO2 maximum (p value = 0.220), that the intervention group has a better value than the control group. The value of systolic blood pressure, diastolic blood pressure, SpO2 and pulse rate in both groups show similar values and in the tolerance limit of normal. It can be concluded that phase I cardiac rehabilitation exercise has an effect on the activity tolerance in patients with CHD. Therefore, nurses as part of a cardiac rehabilitation program team are expected to assist patients in improving their adaptability on activity tolerance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verawati
"Latar belakang : CT jantung merupakan modalitas screening pada pasien resiko tinggi penyakit kardiovaskular. Fungsi diastolik ventrikel kiri kurang umum dinilai dibandingkan fungsi kontraksi sistolik ventrikel kiri (ejection fraction, EF). Pasien gagal jantung menunjukkan nilai EF yang baik meskipun pada kondisi stenosis arteri koronaria berat. Mortalitas gagal jantung sama besarnya pada pasien dengan nilai EF normal dan EF menurun, sehingga penilaian dini disfungsi diastolik menjadi hal penting untuk strategi pengobatan yang tepat. Lemak perikardial merupakan faktor prediktor bebas disfungsi diastolik. Penilaian volume lemak perikardial mudah dilakukan, tidak memberikan radiasi dan biaya tambahan, namun tidak rutin dilakukan pada pemeriksaan CT toraks. Penelitian ini melihat hubungan volume lemak perikardial dengan derajat disfungsi diastolik melalui pemeriksaan CT jantung.
Tujuan : Meningkatkan manfaat CT toraks dalam menilai volume lemak perikardial sebagai faktor prediktor disfungsi diastolik.
Metode : Comparative cross-sectional dengan menggunakan data sekunder dari 82 pasien penyakit jantung koroner yang menjalani pemeriksaan DSCT jantung.
Hasil : Terdapat hubungan positif antara volume lemak perikardial dengan disfungsi diastolik derajat sedang pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani DSCT jantung. Titik potong volume lemak perikardial pada disfungsi diastolik derajat berat adalah 220.26cm3, dengan nilai sensitivitas 81.8% dan spesifisitas 74,1%.
Kesimpulan: Volume lemak perikardial dapat digunakan untuk menentukan disfungsi diastolik derajat sedang, dan dapat dipakai sebagai suatu acuan deteksi dini.

Background: Cardiac CT is a modality used for screening patients with high risk of cardiovascular disease by assessing left ventricular systolic contraction function (ejection fraction, EF). It’s still uncommon to assess left ventricular diastolic function. Patients with heart failure showed good EF value despite the severity of coronary artery stenosis. Early assessment of diastolic dysfunction become essential for treatment strategies since there’s equal mortality rate in heart failure patients with normal or decrease EF. Pericardial fat is an independent predictor factor of diastolic dysfunction. Eventhough pericardial fat volume easily assessed and there’s no additional radiation and cost, it still not routinely done in thoracic CT examination. This study looked at the relationship of pericardial fat volume with a degree of diastolic dysfunction through cardiac CT examination.
Purpose: Increase the benefits of thoracic CT to assess pericardial fat volume as a predictor factor of diastolic dysfunction.
Method : Comparativecross-sectional study using secondary data from 82 patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT.
Result : There is a positive relationship between pericardial fat volume with moderate degree of diastolic dysfunction in patients with coronary artery disease who underwent cardiac DSCT. A cut off value of220.26cm3, determined a sensitivity 81.8% and specivicity 74,1% to detect moderate diastolic dysfunction.
Conclusion: Pericardial fat volume can be used to determine moderate diastolic dysfunction and can be used as a reference for the early detection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Ida Yuniarti
"Proporsi PJK menurut SKRT 1995 adalah 26 %, tidak saja menempati urutan pertama pada penyakit Cardin vasculer disease tapi juga meningkat dari tahun ke tahun, hal ini sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh rasio total kolesterol/HDL, HDL, trigliserida terhadap timbulnya PJK. Manfaat aplikatif dari penelitian ini untuk dapat melakukan pencegahan terhadap timbulnya PJK terutama bagi orang orang yang mempunyai risiko tinggi.
Metode : Desain penelitian adalah kasus kontrol dengan populasi kasus penderita PJK di RSPP Januari ski Desember 1997 Jakarta Selatan sebanyak 60 kasus yang di diagnosis DSPD atau DSJP, untuk kontrol diambil dari bagian Bedah umum sebanyak 60 orang yang di nyatakan tidak menderita PJK oleh DSPD dan atau DSJP Dengan kekuatan 80 %, dan derajat kepercayaan 95 %. Penentuan cut off point memakai Cara ROC, serta data di analisis dengan analisis logistik regresi.
Hasil penelitian : Pada analisis bivariat rasio total kollesterol ? 4,19 mempakan faktor risiko untuk terkena PJK 1,23 kali 95 % CI ( 0,5023-3,0218 ) di bandingkan mereka dengan kadar rasio total kolesterolJHDL kurang dari 4,19 walaupun secara statistik tidak bermakna 1-IDL pada kadar >36 mg/dl meznpunyai risiko rendah untuk terkena PJK yaitu 0,40 kali 95% CI (0,1683-0,9505) secara statistik bermakna, demikian juga trigliserid pada kadar ≥ 106 mg/dl merupakan faktor risiko terkena PJK sebesar 2,63 kali 95% CI ( 1,0748-6,4159 ) secara statistik bermakna. Dari hasil analisis multivariat permodelan akhir rasio total kolesterol/HDL merupakan faktor risiko 1,53 kali untuk terjadinya PJK, 95% Cl ( 0,5407 - 4,3490 ), HDL tinggi merupakan faktor proteksi sehingga risiko untuk terkena PJK rendah yaitu 0,23 kali, 95% CI ( 0,0761- 0,8719 ), hipertrigliserid mempunyai risiko 2,85 kali untuk terkena PJK, 95% C1 ( 1,0352 -7,8240 ), umur mempunyai risiko 1,09 kali untuk terkena PJK, 95% Cl (1,7128-64,3385) body mass index tinggi mempunyai risiko 3,54 kali untuk terkena PJK.
Kesimpulan : Rasio total kolesterol/HDL yang tinggi merupakan faktor risiko untuk terkena PJK dengan di kontrol oleh variabel lain walaupun secara statistik tidak bermakna, pada kadar HDL rendah merupakan faktor risiko untuk terkena PJK baik( berdiri sendiri maupun di kontrol oleh variabel lain, demikian juga trigliserid tinggi merupakan faktor risiko untuk terkena PJK baik berdiri sendiri maupun setelah di kontrol oleh variabel lain.

Proportion of cardio vascular diseases according to SKRT 1995 is 26 %, this not only occupies the top of the list of cardio vascular diseases, but also has been increasing over the years, which is highly influenced by life style. Purpose of this research is to study the ratio effect of total cholesterol/NDL, HDL, triglyceride against emergence of cardio vascular disease. The applicative benefit of this research is in order to be able to carry out preventive measures against emergence of cardio vascular disease, particularly for persons with high risk.
Method : Design of research is case control with a population case of cardio vascular disease in Pertarnina hospital centre from January to December 1997 in South Jakarta, totalling 60 cases which were diagnozed by internist or cardiologist. Based on a strength of 80 % and 95 % confidence interval, determination of the cut point was done by using the ROC method, and data being furher analyzed by logistic regression analysis.
Research Result : In bivariate analysis, the cholesterol total ratio Z 4.19 constitutes a risk factor to be subjected to cardio vascular disease L23 times 95% Cl ( 0.5023 - 3.0218) compared with those with a total ratio content of chloresterolfHDL of less than 4.19, even though statistically it has no significance_ NDL at the content of z 36 mg/dl has a lower risk to be affected by radio vascular disease, notably 0.40 times 95% Cl ( 0.1683 -- 0.9505 ) by way of reliable statistics, the same goes for triglyceride at the content of z 106 mg/dl constitutes an risk factor 163 times to be affected by cardio vascular disease 95% CI ( 1.0748 - 6,4159 ) by reliable statistics. From results of multivariate analysis of latest total ratio models cholesterolll4DL constitutes a risk factors of 1.53 times to be affected by cardio vascular disease, 95% CI ( 0.5408 - 4.3490 ), high HDL constitutes a protective factor thus resulting the risk to be affected by cardio vascular disease is low, notably 0.23 times, 95% Cl ( 0.0761- 0,8719 ), hypertriglyceride has the risk of 2.85 times to be affected by cardio vascular disease 95% CI ( L0352 -- 7.8240 ), age has the risk factor of 1.09 times to be affected by cardio vascular disease 95% Cl ( 1.0356 --L1643 ), hyperglycemia has the risk of 10.49 times to be affected by cardio vascular disease 95% Cl ( L7128 - 64.3385 ), high body mass index the risk of 154 times to be affected by cardio vascular disease.
Conclusion : Total ratio of high CholesterolLHDL constitutes a risk factor to be affected by cardio vascular disease with the control of other variables, even though statistically this is not significant, while a low HDL content constitutes a risk factor to be affevted by cardio vascular disease, both individually as well as under control by other variables, the same is valid for high tiglyceride also constitues a risk factor to be affected by cardio vascular disease, both individually as well after being controlled by other variables.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>