Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144735 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Made Diah Lestari
"Pembangunan kesehatan di Indonesia membutuhkan perhatian yang sangat besar. Masih banyak hal- hal yang harus diperbaiki, seperti misalnya pelayanan kesehatan yang tidak merata, tren penduduk dengan usia tua, gaya hidup tidak sehat, lingkungan yang tidak memenuhi standar, dan meningkatnya penyakit-penyakit yang bersifat degeneratif. Untuk itu peran pelayanan kesehatan sangat diperlukan, seperti ketersediaan lembaga kesehatan dan pelaksana di bidang kesehatan. Salah satunya adalah peran seorang perawat.
Dalam sebuah lembaga kesehatan, perawat memegang peranan yang besar dalam gerak kegiatan rumah sakit untuk menolong pasien. Perannya seringkali menentukan dalam proses penyembuhan pasien karena perawat adalah pekerja kesehatan yang berfungsi memberikan asuhan keperawatan selama 24 jam dan mempunyai kontak yang konstan dengan pasien. Selain itu, perawat merupakan jumlah tenaga yang dominan yaitu 50-60% dari seluruh tenaga yang ada di rumah sakit (Axles, Nurachman & Notoatmojo, 2002). Profesi perawat bertujuan untuk menolong orang lain dalam mencapai dan mempertahankan kondisi yang sehat, baik melalui pemberian nutrisi sehat, lingkungan aman, maupun memberikan perasaan yang nyaman secara psikologis.
Di lain sisi, berhadapan setiap hari dengan pasien sakit bukanlah suatu hal yang mudah. Pekerja pelayanan sosial- kesehatan, salah satunya perawat adalah profesi yang sangat rentan terhadap burnout. Hal ini dikarenakan para pekerjanya memiliki keterlibatan langsung dengan pasien (Cherniss dalam NingDyah, 1999). Dalam tugasnya memberikan pelayanan, perawat sering dihadapkan pada tuntutan untuk selalu memberikan yang terbaik, harus selalu sabar, tenang, dan memiliki pengertian yang baik, bahkan di saatsaat tertentu merata tidak berdaya lagi untuk menyembuhkan pasien terminal, mengontrol keadaan sehingga menimbulkan perasaan frustasi.
Beban kerja yang berlebihan juga seringkali menimbulkan tekanan, kelelahan fisik, mental, dan emosional pada perawat. Sumber burnout yang lain adalah konflik peran seperti memilih antara prinsip professional yang dipegang dengan kebijakan- kebijakan yang berlaku dalam institusi tempat perawat bekerja. Dengan kompleksnya tugas serta di sisi lain rentan terhadap burnout, maka seorang perawat dituntut untuk memiliki inner resources atau kualitas- kualitas dalam diri yang positif agar dapat berfungsi secara professional. Hal ini sejalan dengan pendekatan Positive Psychology yang mencoba untuk menemukan kekuatan tidak hanya kelemahan individu agar dapat mencapai hidup yang berarti dan tegar menghadapi stressor (Peterson & Seligman, 2004). Manuel D dan Rhoda Mayerson Foundation telah melakukan sebuah studi mengenai sifat- sifat positif dari individu. Mereka telah mengembangkan suatu alat ukur yang mampu melihat profil character strengths individu. Alat ukur tersebut diberi nama Values In Action Inventory of Strengths (VIA- IS)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhityawarman Menaldi
"Bagi orang-orang yang menderita penyakit tertentu, menjalani kehidupan sehari-hari seperti layalmya orang nomml bukanlah sesuatu yang mudah. [ni dapat discbabkan karena penyakit yang mengganggu fungsi tubuh, atau bisa juga adanya stigrnatisasi terhadap suatu penyakit yang membuat si penderita tidak dapat berfungsi optimal di masyarakat (Anderson, etal, 1997). Salah satu penyakit yang hingga saat ini masih memiliki stigma ”berbahaya” di masyarakat adalah kusta (Finlay, etal, 1996, dan Bainson & Van Den Bome, 1998). Halim & Kurdi (dalam Sjamsoe Daili, dkk,, 2003) menyebutkan bahwa dampak dari adanya penyakit kusta ini adalah kecacatan Cacat ini sendiri kernudian dibagi menjadi dua jenis yaitu cacat Esik dan cacat psikososial. Bayangan cacat ini seringkali membuat penderitanya tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia. mendexita kusta, akibatnya akan ada perubahan mendasar pads. kepribadian dan tingkah lakunya. Tekanan psikis inilah yang rnembuat para penderita atau mantan penderita lebih memilih untuk berada bersama orang-orang yang menumtnya "senasib”. Meskipun demikian, tidak sedikit juga dari penderita kusta yang masih berusaha untuk bertahan hidup dan bekerja dengan segaja usaha yang dapat dilalcukml Bagi mereka yang mwih berusaha, sudah tentu memiliki kekuatan atau srreng1h yang menonjol dan diri mereka.
Pembahasan mengenai strength dari manusia merupakan bagian dari kajian Positive Psychology Penerapan dari strength dan virtue setiap individu pada berbagai aspek kehidupatmya sehari-hari akan menghmilkan kebahagiaan yang sejati (Seligman, 2002). Berangkat dan penjelasan di alas peneliti tertarik untuk melalcukan peneliiian yang dilandasi tclaah positive psychology terhadap penderita penyakit kronis khususnya kusla Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun alat ukur character strengths penyandang kusta dengan mengadaptasi VIA-IS dan menguji validitas dan reliabilitasnya pada kelompok sampcl.
Hasil adaptasi alat ukur VIA-IS pada sampcl panyandang kusta adalah dari 240 item pada VIA-IS, 63 item memiliki koefisien korelasi yang rendah terhadap skor total. Koeisien reliabilitas masing-musing strengths dalam VIA-IS cukup beragam, berkisar antara 0,509 - 0,787 . Reliabilitas tertinggi ada pada pengukuran Playyitlness dan terendah pada Equity. Pembuatan norma pada alat ukur VIA-IS dilakukan pada 24 strengths clan kemudian ditetapkan klasifikasi dari sangat kuat, kuat, sedang, lemah, sangat lemzxh. Prom VIA-IS pada pcnyandang kusta menunjukkan bahwa lima strengths yang menonjol dengan rata-rata tertinggi adalah Gratitude, Kindness, Spirituality, Capacity to Love, dan Equity.

For people who suffer from a certain disease living life like normal people is not easy. Reason being is because certain disease can alfect body function or because of stereotypes against certain disease which make the person unable function fully in society (Anderson, et.al., 1997). One disease which still has a “dangerous” stereotype in society is leprosy (Finlay, et.al, 1996 and Bainson and Van Den Bome, 1998). The effect of leprosy is retardation (Halim and Kurdi in Daili, et.al., 2003). Retardation itself is divided into two types, namely physical retardation and psychosocial retardation. The thought of retardation olien makes people atfected with leprosy unable to time reality that they suffer from leprosy which impacts on a change in personality and behavior. This psychological pressure makes the leprosy or former leprosy patients decide to also live with leprosy patients. On the other hand, a lot of them try to survive living and working with every effort they can. Those who are still trying have a certain strength which stands up in them.
The study of strength in human is part of positive psychology. The application of strength and virtue in each individual in every aspect of daily life can outcome in true happiness (Seligman, 2002). Based onthat, researcher is interested in conducting a research based on positive psychology towards people alfected with chronic leprosy. Thus, the first step is designing an inventory for “character strength” in people affected with leprosy by adapting Values In Action-Inventory ofStrengrh (VIA-IS) and testing the validity and reliability of the sample group.
Result of the adapted VIA-IS of the sample group is that from 240 items on VIA-IS, 63 items have a low correlation coelicient against the total score. The reliability coetticient of each strength in VIA-IS are quite the same, namely between 0.509-0.787. The highest reliability score is on (dimention) “Playfulness” and the lowest on “Equity”. The nonns of VIA-IS was conducted on 24 strengths and four classifications are made ranging &om very strong, strong, weak and very weak. The VIA-IS profile on people a.E`ected with leprosy shows that five strengths have the highest score which are Gratitude, Kindness, Spirituality, Capacity to Love and Equiw.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34074
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu jenis alat kontrasepsi mekanik yaitu Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
AKDR banyak dipilih oleh pasangan usia subur karena penggunaannya yang hanya perlu
dipasang sekali saja untuk suatu jangka waktu tertentu dan karena keefektifannya yang
mencapai 94%-95% serta mudah dilepas jika mereka menginginkan kehamilan (reversibel).
Potensial komplikasi penggunaan AKDR terdiri dari waktu menstruasi yang memanjang,
perdarahan saat menstruasi, nyeri abdomen, paparan infeksi, perasaan tidak nyaman, demam,
menggigil, dan kehilangan benang pengikat. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi
hubungan antara penggunaan AKDR dan perubahan pola menstruasi yang terjadi pada
perawat di rumah sakit. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
korelatif deskriptif. Pengambilan data dilakukan tanggal 1 dan 17 Mei 2008 dengan cara
menyebar kuesioner kepada 70 responden yaitu perawat yang menggunakan AKDR dan
sudah menstruasi minimal 3 bulan dan bekerja shift di rumah sakit yang diambil secara
random simple sampling. Penelitian ini dilakukan di dua rumah sakit, yaitu Rumah Sakit
Agung Manggarai dan Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Data hasil penelitian dianalisa
secara univariat dan bivariat dengan mcnggunakan uji statistik uji Pearson Chi Square
dengan n= 0,05. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada hubungan lama
penggunaan AKDR dengan perubahan siklus menstruasi, perubahan durasi menstruasi,
perubahan jumlah menstruasi dan nyeri saat menstruasi. Tidak ada hubungan jenis AKDR
yang digunakan dengan perubahan siklus menstruasi, perubahan durasi, perubahan jumlah
menstruasi dan nyeri saat menstruasi. Saran yang dapat dipertimbangkan dari penelitian ini
antara lain untuk penelitian selanjutnya agar memperbesar jumlah responden dan
memperbaiki alat pengumpul data yang digunakan."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5810
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rena Latifa
"Humor sebagai bagian dari kualitas insani memiliki dampak positif bagi kesehatan fisik dan mental manusia. Banyak temuan penelitian yang membuktikan manfaat humor. Humor dapat mengurangi tingkat kecemasan dan sores individu, meningkatkan kesehatan mental, serta berkaitan erat dengan kreativitas dan kepribadian matang. Perhatian ahli-ahli ilmu sosial, khususnya psikologi, terhadap fenomena humor ternyata juga cukup besar. Terlihat dan adanya berbagai teori dan penelitian tentang humor dalam kaitannya dengan kehidupan manusia. Termasuk penelitian mengenai pengembangan alat ukur rasa humor guna menelusuri tingkat dan jenis rasa humor yang terdapat pada individu.
Salah satu penelitian yang berkaitan dengan alat ukur rasa humor ini adalah penelitian Thorson & Powell (1991) yang mencoba menggabungkan berbagai konsep dan definisi rasa humor dari penelitian terdahulu, sehingga dihasilkan konsep yang multidimensional dalam memaknai rasa humor. Konsep Thorson & Powell ini dituangkan pada sebuah alat ukur rasa humor yang diberi nama Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS). Dalam perjalanannya, alat ukur ini sudah digunakan secara Iuas oleh banyak peneliti di seluruh dunia serta menunjukkan angka reliabilitas dan validitas yang sangat baik.
Penelitian ini ingin mengetahui: (1) Koefisien reliabilitas dan validitas hasil adaptasi item-item Multidimensional Sense of Humor Scale pada kelompok sampel masyarakat umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. (2) Gambaran tingkat sense of humor pada kelompok sampel masyarakat umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi berdasarkan kategori penormaan yang dibuat.
Sampel diambil dengan cara accidental pada beragarn responden yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi sejumlah 210 orang.
Hasil pengujian reliabilitas didapatkan nilai alpha sebesar 0.8674 (N of cases = 210, N of items = 24). Hasil uji validitas per item didapatkan skor validitas di atas 0.2 pada tiap item. Hanya terdapat 2 item yang memiliki skor < 0.2 yakni item nomor 19 dan 20.
Berkaitan dengan kategori penormaan, terdapat sejumlah 27 orang subyek yang skornya berada antara 28 - 53 dikategorikan pada kelompok yang memiliki tingkat rasa humor yang rendah, 124 responden yang rasa humomya berada pada taraf sedang (rentang skor 54-70), 59 responden dikategorikan memiliki tingkat rasa humor yang tinggi dengan rentang skor antara 71 sampai 96.
Hasil adaptasi alat tes ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti aslinya (Thorson & Powell, 1993). Dan penelitian terhadap 426 orang di Nebrasaka didapatkan penyebaran skor dari nilai 31 hingga 96, sementara pada penelitian ini (N = 210) skornya terdistribusi secara normal dari angka 28 hingga 96. Sementara itu, berkaitan dengan data kontrol, Thorson & Powell juga tidak menemukan perbedaan siginfikan pada tingkat usia dan jenis kelamin (Thorson & Powell, 1993), sama halnya dengan hasil pada penelitian ini. Mengenai 2 item yang memiliki validitas rendah (item nomor 19 dan 20) yakni kemungkinan karena tidak dapat diterjemahkan secara baik dari bahasa aslinya (keterbatasan kosa kata Bahasa Indonesia). Keterbatasan sebuah hasil adaptasi skala memang banyak dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah dan jenis kosa kata dari masing-masing negara tempat suatu alat tes diadaptasikan. Hal ini pernah terjadi saat Thorson & Powell (1991) melakukan adaptasi skala Svebak's Sense of Humor Questionnaire. Hasilnya menunjukkan tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat rendah (0.512), yang menurut penelitian Thorson & Powell tak lain disebabkan karena alat ukut ini tidak dapat diterjemahkan secara baik dari bahasa aslinya Norwegia (Thorson & Powell, 1991). Salah satu dimensi dari alat ukur ini (uses of humor for coping) terbukti cukup baik untuk mengaitkan humor dengan kemampuan menghadapi situasi sulit dalam hidup dan selanjutnya dapat berperan untuk setting klinis (Thorson & Powell, 1991).
Untuk penelitian lebih lanjut dapat dicermati pengalihbahasaan secara lebih teliti dan menghindari ambiguitas makna pada tiap-tiap item, gunanya untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas skala. Pada data kontrol, ada baiknya jika pilihan rentang usia dipersempit guna melihat ragam karakteristik usia yang lebih spesifik. Saran praktis: skala ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi rasa humor pada klien dengan gangguan klinis. Rasa humor ada kaitannya dengan kepribadian matang, dan jika diketahui adanya rasa humor pada klien, maka dapat berguna bagi perkembangan kepribadian klien selanjutnya, terutama juga berguna dalam menangani masalah yang sedandihadapinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarsintorini
"ABSTRAK
Ditinjau dari perjalanan sejarah, perawat sebagai profesi, telah turut aktif dalam upaya menyejahterakan umat manusia, dan akan terus berkembang di masa yang akan datang.
Tujuan Pembangunan Kesehatan secara jelas telah dikemukakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Mengingat pentingnya kesehatan dalam segala segi kehidupan individu, keluarga dan masyarakat, maka upaya kesehatan diarahkan untuk seluruh masyarakat, dengan peran serta masyarakat, mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Upaya ini bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan.
Perawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dan salah satu faktor yang ikut menentukan tercapainya Tujuan Pembangunan Kesehatan Nasional. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, karena perawat harus siap 24 jam mendampingi pasien.
Maka peran, fungsi dan tanggung jawab perawat sangat panting, baik tanggung jawab hukumnya yaitu tanggung jawab hukum pidana, perdata, dan administrasi maupun tanggung jawab non hukumnya yaitu tanggung jawab terhadap sumpah, kode etik keperawatan, dan organisasi profesinya yaitu PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia).
Tanggung jawab perawat terhadap Sumpah dan Kode Etik Keperawatan adalah tanggung jawab moralnya, karena Sumpah dan Kode Etik merupakan aturan perilaku dan sikap seorang perawat yang baik. PPNI adalah satu-satunya organisasi yang legal dan eksistensinya diakui pejabat Pusat dan Daerah, yang bertujuan melindungi perawat, membina dan membimbing serta mengusahakan kesejahteraan perawat, tetapi juga memberikan sanksi terhadap pelanggaran Sumpah Perawat dan Kode Etik Keperawatan. Maka perawat mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan AD/ART dan program kerja PPNI dengan baik.
Tanggung jawab terhadap hukum, bahwa perawat tidak terlepas dari kekuatan hukum yang mengikat, artinya perawat seperti juga orang-orang lain terikat pada hukum perdata dan hukum administratif. Sedangkan kepada hukum pidana, perawat maupun orang-orang lain harus tunduk. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum pidana yang disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perawat dapat melakukan perbuatan pidana, sebagaimana orang-orang lain, tetapi apakah perawat yang melakukan perbuatan pidana kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan ini ia mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan harus ada unsur:
1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
3. mempunyai kesalahan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
4. tidak adanya alasan pemaaf.
Dalam KUHP kita, tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab. Dari pendapat para sarjana, maka untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Pada umumnya perawat mempunyai batin yang normal, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan jiwa tidak normal. Jiwa yang normal mampu bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana pada perawat terjadi bila perawat berbuat pidana ataupun berbuat malpraktik yaitu kelalaian dalam melaksanakan profesinya, dan tidak ada alasan pemaaf. Tetapi perawat melaksanakan pelayanan kesehatan bersama dokter, rumah sakit, lalu siapa yang bertanggung jawab jika ada perbuatan pidana?
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dengan penelitian ini diusahakan untuk mengungkapkan, pertama sejauh mana pertanggungjawaban pidana pada perawat, kedua sejauh mana perawat dapat berbuat malpraktik, ketiga sejauh mana tata nilai Sumpah dan Kode Etik mencapai tujuannya, dan keempat sejauh mana PPNI dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya.
Untuk mengungkapkan data tersebut di atas, dilakukan penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dengan cara wawancara, studi dokumentasi, observasi, dan analisis keputusan hukum pidana. Metode dan pendekatan yang dilakukan bersifat analitis, yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder, dilengkapi dengan pendekatan yuridis empiris.
Dari bermacam-macam hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran masyarakat bahwa kesehatan adalah penting dalam segala segi kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Orang yang tidak sehat tidak dapat berbuat apa-apa. Orang sakit berarti butuh biaya yang mahal.
2. Telah tampak peran serta masyarakat dalam upaya-upaya kesehatan, yang mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya adanya imunisasi, rawat mondok, dan lain-lain.
3. Profesi perawat sangat penting, karena tanpa perawat maka pelayanan keperawatan tidak mungkin terlaksana dan upaya kesehatan akan terganggu. Untuk pengadaan perawat telah didirikan Sekolah Perawat dan Akademi Perawat pada beberapa rumah sakit dan lulusannya menjadi perawat rumah sakit yang bersangkutan, atau dapat juga rumah sakit lain.
4. Adanya kerja sama yang baik antara perawat, dokter, dan rumah sakit sehingga tujuan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dapat tercapai, mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Perawat adalah mitra dokter, bukan pembantu dokter. Perawat mempunyai profesi keperawatan, dokter mempunyai profesi kedokteran.
5. Pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana pada perawat terlihat masih belum memadai, masih banyak yang belum mengetahui secara jelas, perlu peningkatan penyuluhan dan ceramah.
6. Demikian juga tentang malpraktik pada perawat, masih belum dipahami oleh perawat. Sedangkan pengetahuan tentang malpraktik sangat penting, karena akibat malpraktik ini, ada kemungkinan pemberatan pidana 1/3 nya.
7. Pada umumnya perawat mempunyai jiwa yang normal, artinya faktor akal (intelektual factor) dan faktor perasaan / kehendak (volitional factor) dapat bekerja dengan baik. Faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Faktor perasaan/kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan mana yang diperbolehkan, mana yang tidak.
8. Perawat yang melaksanakan perintah dokter tetapi keliru, pertanggung jawabannya dilihat per kasus, yaitu dengan melihat pada kesalahannya.
9. Sumpah perawat telah dilaksanakan dengan baik untuk setiap perawat yang telah lulus pendidikan, dan sumpah jabatan bila diangkat sebagai pegawai.
Sumpah dan Kode Etik Keperawatan pada umumnya para perawat masih mengingat isinya, tetapi masih banyak pula yang lupa isinya. Rumah Sakit sudah menyelenggarakan penyuluhan, ceramah tentang Sumpah dan Kode Etik Keperawatan ini dan memperbanyak dalam bentuk buku saku kecil. Dirasakan Kode Etik kurang berpengaruh pada sikap perawat, karena pelanggaran Kode Etik Keperawatan, sanksinya masih nampak belum jelas, hanya berupa tindakan persuasif, pendekatan nasehat, bimbingan dan pembinaan.
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Kode Etik Keperawatan yang bertugas mengadili pelanggaran Kode Etik, belum terbentuk karena berbagai kendala, antara lain karena terbatasnya waktu para pakar warga keperawatan yang menguasai masalah tersebut.
PPNI juga belum berhasil menjabarkan Kode Etik Keperawatan yang telah ditetapkan pada Kongres I PPNI karena terbatasnya waktu dan sumber daya, sedangkan hal ini sangat diperlukan untuk dikukuhkan dengan peraturan perundangan tentang berlakunya Kode Etik Keperawatan Indonesia tersebut.
10. Ada sistem kontrol dengan kontinuitas yang cukup baik terhadap tugas perawat, sehingga belum pernah terjadi malpraktik, di samping juga karena pengaruh Sumpah, Kode Etik dan fungsi PPNI serta kesadaran para perawat untuk bersikap hati-hati, bertanggung jawab dan sesuai peraturan yang ada.
11. Tidak ada perbedaan yang pokok perlakuan antara perawat wanita dan perawat pria, perbedaan itu hanya pada giliran kerja malam, perawat pria lebih sering mendapat giliran malam. Ada 3 shift, pada akhir tugas harus dioperkan, tidak bisa pergi kalau yang mengganti belum datang, alat/bahan dioperkan kepada penggantinya dengan Berita Acara.
12. Siaran Berkala Bina Sehat yang diterbitkan oleh PPNI merupakan upaya agar semua perawat mengerti, melaksanakan asuhan keperawatan yang aktual.
13. Menteri Kesehatan RI telah menetapkan "Standar Praktik Perawat Kesehatan" yang merupakan acuan dan alat untuk menilai secara obyektif keberhasilan upaya keperawatan. Sedang dipersiapkan dalam konsep adalah pola pelayanan keperawatan dan legislasi keperawatan.
14. Bidang pendidikan keperawatan yang telah dicapai adalah Para Penjenang atau Perawat Kesehatan yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan tambahan untuk memperoleh persamaan ijazah perawat kesehatan.
Perawat Kesehatan dan yang setingkat (Pengatur rawat, Perawat Bidan dll) serta memenuhi persyaratan dapat mengikuti pendidikan ke Akademi Perawatan atau DIII Keperawatan. Di samping itu dapat mengikuti pendidikan khusus untuk kebidanan atau training khusus untuk asuhan keperawatan penyakit jantung, ginjal, gawat darurat, perawat kesehatan masyarakat dll.
Lulusan Akademi Perawat dengan persyaratan tertentu dapat mengikuti pendidikan Sarjana strata 1 (S1) pada fakultas kesehatan masyarakat di UI, UNHAS, UNAIR, UNDIP dan Program Studi Ilmu Keperawatan FKUI yang diharapkan segera menjadi Fakultas Keperawatan mandiri.
Di samping itu kesempatan juga terbuka bagi tenaga keperawatan untuk belajar di luar negeri sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
15. Dalam upaya pengembangan profesi, yang paling lemah adalah penelitian di bidang keperawatan karena keterbatasan kemampuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
16. Dalam rangka pengembangan karier, upaya agar semua institut/lembaga keperawatan dipimpin oleh tenaga perawat, sudah ada persetujuan prinsipiil dari pimpinan Departemen Kesehatan, namun dalam pelaksanaannya belum berjalan disebabkan berbagai hambatan, termasuk ketidaksiapan PPNI sendiri, terutama dalam memenuhi persyaratan pimpinan suatu unit kerja.
17. PPNI provinsi Jateng telah mendirikan Yayasan dan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) PPNI, serta Koperasi namun masih perlu mawas diri agar tidak menyebabkan turunnya citra perawat.
18. Masalah ketidaklancaran kenaikan pangkat dan terbatasnya kesempatan untuk menjadi anggota Tim Kesehatan Haji Indonesia, disebabkan karena persyaratan-persyaratan yang dirasa berat, kesulitan untuk melaksanakannya.
19. Namun masih perlu diperhatikan anggapan bahwa profesi perawat belum setaraf dengan profesi kesehatan lainnya, baik dari masyarakat luas maupun dari anggota organisasi tertentu dan bahkan mungkin dari warga keperawatan sendiri karena tidak mengikuti perkembangan ilmu, teknologi dan organisasi keperawatan saat ini.
20. Semua provinsi di Indonesia sudah terbentuk pengurus PPNI, namun daerah Tingkat II baru mencapai sekitar 90 % .
21. Kebanyakan tenaga keperawatan adalah tenaga dengan pendidikan menengah ke bawah sehingga sulit untuk dikembangkan. "
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardani Arsyad
"Pendahuluan: Kesalahan pemberian obat merupakan isu kualitas pelayanan kesehatan yang melibatkan peran perawat. Perawat membutuhkan kemampuan kognitif untuk mengelola kegiatan asuhan keperawatan pasien.
Tujuan: Mengetahui hubungan kemampuan kognitif dan beban kerja perawat pelaksana dengan kesalahan pemberian obat di unit rawat inap RSUD Cengkareng Jakarta.
Desain: Deskriptif analitik menggunakan pendekatan cross sectional terhadap 61 perawat pelaksana, dipilih dengan cosecutive sampling. Pengukuran kesalahan pemberian obat dengan observasi, beban kerja menggunakan continous observation, selama 24 jam (3 shift), sedangkan kemampuan kognitif diukur dengan Raven standard progressive matrices test.
Hasil: Ada hubungan bermakna antara kemampuan kognitif dan beban kerja dengan kesalahan pemberian obat (p=0,027;OR=0,6; p=0,018;OR=0,6). Kesalahan pemberian obat lebih banyak terjadi dalam hal waktu dan dokumentasi obat (masing-masing 30,2%).
Kesimpulan: Perawat yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata dan beban kerja tinggi berpeluang lebih besar melakukan kesalahan pemberian obat.
Rekomendasi: Meningkatkan pemahaman perawat akan perannya dan menanamkan sikap disiplin waktu pemberian obat, yang bisa dimulai 30 menit sebelum jadwal yang tertulis pada daftar obat. Pengaturan jadwal dinas perawat mempertimbangkan kebutuhan akan pemulihan.

Introduction: The medication administration errors are one of the negative issues in the health care quality. Nurses should need a certain level of cognitive beside a condusive work load environment to secure the entire high quality patient nursing.
Objective: To analyze the correlation between nurse cognitive level and work load to the medication administration error in the in-patient unit of RSUD Cengkareng-Jakarta.
Methode: Analytical comparassion study with cross sectional design of 61 subjects, collected by consequtive sampling method. The measurement of medication administration error was done by disguised direct observation. The work load was measured by continous observation in 3 shift for 24 hours, while the cognitive level by Raven standard progressive matrices test.
Result: A significante correlation between cognitive level and work load to the medication administration error was found (p=0.027; OR=06 and p=0.018; OR=0.6). The medication administration error occured mostly in administration's timing and documentation (each 30,2%).
Conclusion: In the high work load circumstances, the nurses with an average level of cognitive had a bigger chance to make medication administration error than the nurses with an outstanding level of cognitive.
Recommendations: Improved the understanding of the nurses noble roles and the nurse's discipline in medication administration. The medication administration could be start 30 minutes before the instructed time. The setting of working time table must count the need of recovery time after duty.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T36088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Puspitasari
"California Marriage Readiness Evaluation (CMRE)merupakan tes psikologi untuk mengukur kesiapan perkawinan yang disusun oleh Morse P. Manson Ph.D, dan dipublikasikan oleh Western Psychological Services (WPS) di Amerika Serikat. Tes ini rnengukur kesiapan perkawinan dalam 8 subkategori yang tercakup kedalam 3 kategori yang paling relevan dengan kesiapan perkawinan. Kategori Kepribadian terdiri dari 3 subkategori yaitu struktur karakter, kematangan emosi, dan kesiapan menikah. Kategori Persiapan terdiri dari 3 subkabegori yaitu pengalaman keluarga, keuangan dan rencana masa depan. Kategori yang terakhir adalah kategori interpersonal yang terdiri dari 2 subkategori yaitumotivasi menikah dan kesesuaian.
Tujuan penelitian ini adalah mengadaptasi CMRE sehingga akhirnya dihasilkan alat ukur kesiapan perkawinan yang dapat digunakan di Indonesia. Dan agar CMRE dapat dianggap sebagai tes psikologi yang balk dan memenuhi syarat, perlu dilakukan uji reliabilitas, validitas, serta norma.
Penelitian ini melibatkan 64 orang sarnpel yang terdiri 32 wanita dan 32 pria dengan rentang usia antara 20-30 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemberian tes secara individual. Pengolahan reliabilitas, menggunakan metode tes u1ang (test-retest method) yaitu CMRE diberikan 2 kali kepada subyek yang sama dengan selang waktu antara pengambilan tes pertama dan tes kedua 1 bulan. Kedua distribusi skor tes ini dikorelasikan dengan rumus Pearson Product Moment. Pengolahan validitas menggunakan pendekatan construct validity dengan rnelihat konsistensi internal CMRE. Perhitungan validitas ini mengkorelasikan item dengan skor total tes itu sendiri.
Dari hasil analisis secara umum, koefisien korelasi reliabilitas CMRE pada setiap subkategori mencapai alpha Iebih dari 0,60. Koefisien reliabilitas terendah adalah subkategori pengalaman keluarga ( 0, 6542) dan koefisien reliabilitas tertinggi adalah total CMRE ( 0,9035). Hal ini berarti tes ini memiliki stabilitas dan konsistensi yang cukup baik. Pengujian validitas CMRE menunjukkan koefisien validitas antara 0, 2125 sampai O, 6743, Dalam pengujian validitas ini, peneliti melakukan pembuangan terhadap item-item CMRE yang tidak valid pada setiap subkategori. Pembuatan norma untuk kelompok sampel ini menggunakan perhitungan persentil, dan profil norma terbagi dalam 4 kelompok yaitu minimum readiness, fair readiness, good readiness, dan maximum readiness.
Berdasarkan apa yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini, baik yang berkenaan dengan pelaksanaan penelitian maupun hasilnya peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian ulang untuk mengembangkan CMRE sehingga lebih sesuai dengan kondisi sosial dan budaya di indonesia, dengan jumlah dan latar belakang subyek yang lebih bervariasi. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan terbuka kesadaran akan adanya kebutuhan pada suatu tes yang dapat mengukur dan mengevaluasi kesiapan perkawinan bagi pasangan-pasangan yang akan rnemasuki kehidupan perkawinan. Peneliti berharap dengan adanya alat ukur kesiapan perkawinan nantinya dapat membantu konseling-konseling perkawinan yang ada di Indonesia."
1997
S2490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Rutmauli Br
"Perilaku profesional di rumah sakit umum pusat rujukan di Jakarta dapat memenuhi harapan pasien sehingga memberikan kepuasan kepada pelanggan. Nilai menjadi landasan dalam mengarahkan perilaku seseorang sehingga mampu menampilkan sikap yang sesuai harapan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi nilainilai profesional perawat dalam mengarahkan perilaku perawat. Desain penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Sepuluh perawat sebagai partisipan telah dipilih dan dilakukan wawancara mendalam. Data dianalisis dengan menggunakan metode Colaizzi.
Hasil penelitian didapatkan enam tema yaitu 1) perasaan senang, bangga, dan semakin mengerti karakter pasien dalam menjalani profesi perawat; 2) banyaknya tantangan yang dihadapi dalam menjalani profesi perawat; 3) kompetensi manajer dalam menghadapi tantangan; 4) perawat memberikan pelayanan berdasarkan ilmu dan keterampilan, rasa ingin menolong dan welas kasih sebagai bentuk ibadah dan komitmen kepada profesi; 5) merasakan kepuasan dalam menajalani profesi perawat; dan 6) harapan terhadap pengembangan profesi.
Perawat yang profesional memiliki sikap yang positif dan memiliki harapan untuk pengembangan profesi. Rumah sakit tempat perawat bekerja dapat mengembangkan pendidikan dan penelitian keperawatan sehingga mampu memberikan praktik yang berbasis bukti. Manajer keperawatan dapat memberikan pelayanan yang didasari ilmu, keterampilan dan sikap sebagai bentuk ibadah dan komitmen terhadap profesi sehingga menjadi role model bagi perawat yang dipimpin.

Professional behavior at a public hospital referral center in Jakarta could meet the patients expectations, so it could provide the satisfaction to customers. Values are the basis for directing one`s behavior so that they are able to display attitudes as expected. The purpose of this study was to explore nurses professional values in directing nurse behavior. The design of this study used a phenomenological qualitative method with a purposive sampling method. Ten nurses were selected as participants and were involved in-depth interviews. Data were analyzed using the Colaizzi method.
The results obtained six themes: 1) felt happy, proud, and improved their understanding the character of patients in undergoing the nursing profession; 2) many challenges faced in undergoing the nursing profession; 3) the competency of manager in facing challenges; 4) nurses provided services based on knowledge and skills, a sense of helping and compassion, as a form of worship and commitment to the profession; 5) felt satisfaction in undergoing a nursing profession; 6) a hope of professional development.
Professional nurses have a positive attitude and have a hope for professional development. The hospitals where nurses work could develop nursing education and research so they are able to provide the evidence-based practices. The nursing managers could provide services based on knowledge, skills and attitudes as a form of worship and commitment to the profession, so the manager could be a role model for other nurses that they led.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
MDB 10(1-2)2011
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>