Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149547 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mamoto, Retno Sukardan
"Bangsa Indian Amerika memiliki suatu pandangan yang utuh mengenai dunianya walaupun dominasia orang kulit putih di negerinya merupakan suatu kekuatan yang tidak dapat dihindarkan. Identitas bangsa Indian tetap ada walaupun eksistensinya secara bangsa yang berdauluit tidak ada lagi. Novel karangan James Feminoen Cooper The last of the Mohicans mengetengahkan hubungan bangsa Indian dengan orang kulit putih. Karya fiksi ini dikonstruksi dari dua segi kebenaran ideologi orang Indian dan orang kulit putih."
2003
SSUP-Sept2003-31
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murniati
"Pada abad ke-19, semangat romantisisme sangat berpengaruh terhadap sebagian besar penulis Amerika. Unsur-unsur primitivisme yang berhubungan dengan konsep 'natural goodness' nampak banyak terlihat dalam karya-karya mereka. Pemikiran Rousseau tentang pentingnya manusia kembali ke tengah-tengah alam berpengaruh sangat kuat dalam mengangkat citra orang Indian sebagai 'noble savage'. Citra 'noble savage' Indian kemudian banyak mengilhami penulis Amerika untuk mengangkat karya sastra dengan menggali sumber dari negeri sendiri, yaitu yang berciri khusus Amerika, Mereka menampilkan orang Indian yang ideal, yang luhur dan agung. Di antara sebagian besar karya-karya tersebut adalah The Last of The Mohicans yang ditulis oleh James F.Cooper dan Hobomok yang ditulis oleh Maria Lydia Child yang dibahas dalam tesis ini.
Dari hasil penelitian yang dilakukan atas kedua novel ini, pengidealan orang Indian tidak hanya terbatas pada penggambaran bentuk fisik, perilaku dan kehidupan moral mereka, namun juga bagaimana orang Indian bersikap terhadap orang kulit putih. Semakin ia (orang Indian) loyal, mau menerima kerangka pola pikir orang kulit putih, dan banyak membantu mereka, semakin ia (orang Indian tersebut) diidealkan. Namun demikian, nampak bahwa keluhuran yang disandangkan kepadanya, tidak bisa membantu mengangkat kehidupan orang Indian. Orang Indian tetap saja bernasib tragis. Dalam The Last of The Mohicans kedua tokoh 'noble savage' Chingachgook dan Uncas mengalami nasib yang mengenaskan. Chingachgook harus hidup sendirian sebatang kara setelah anak satu-satunya yang diharapkan sebagai pewaris terakhir sukunya harus tewas dalam perkelaian dengan Maguwa, seorang Indian dari suku yang lain, dalam membela kepentingan orang kulit putih. Demikian pula halnya dengan Hobomok, tokoh 'noble savage' dalam Hobomok. Setelah kehidupannya dicurahkan untuk kebahagiaan Mary, tokoh kulit putih dalam novel ini, ia harus memupus begitu saja cintanya yang telah melekat pada gadis kulit putih tersebut hanya karena tunangan Mary, seorang pria kulit putih yang telah dikabarkan meninggal dunia, ternyata masih hidup. Hobomok menghilang ke tengah hutan, mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan kedua orang kulit putih. Nasibnya tidak diketahui.
Secara garis besar kedua novel memberikan gambaran, bagaimana kebudayaan, untuk segala kebesaran dan kebaikan yang dimilikinya, dengan tak dapat dihindarkan telah merusak kehidupan orang Indian. Sekalipun orang Indian tersebut sebagai orang Indian yang 'noble' ia hancur, tak mampu menahan arus kebudayaan orang kulit putih.

In the nineteenth century the spirit of romanticism deeply influenced American writers. The elements of primitivism which related to the concept of natural goodness could be perceived in their works. The thought of Rosseau concerning the necessity of men coming back to the nature deeply influenced the improvement of Indian image as noble savage. This noble savage Indian image then inspirited American writers for the publication of the American stylist literatures. They performed the ideal, noble and glorious Indian. Among the literature which presented the Indian was The Last of the Mohicans that was written by James F.Cooper and Hobomok that was written by Maria Lydia Child, which this thesis discusses.
The research taken on these two novels shows that the Indian idealization was not only shown by the illustration of their physical, behavior and moral acts, but also shown by the Indian behavior toward White people. The more loyalty they (the Indians) were, by accepting the frame of thinking of the White people and by very much helping them, the more they (the Indians) were idealized. Even then, it seemed that the solemnity which was put on them did not help improving the Indians livings.
In The Last of the Mohicans the two noble savage characters, Chingachgook and Uncas experienced bad fates. Chingachgook must live by himself after his only son who was expected to be his tribe's last inheritance died in his fighting with Magua, the Indian from another tribe. in defending the White people's interests. The same happened with Hobomok, the noble character of the Hobomok. After he bestowed his life for the well-being of Mary, the white character in this novel, he had to exterminate his love stuck to this White girl just because Mary's fiancee, a White man who had been reported dead, was actually still alive. Hobomok disappeared in the jungle, sacrificed his life for the sake of two White people's happiness. His fate was unknown.
The idealization of the Indians in these two novels is seemed not for the interest of the Indians, but more to fulfill the interest of the White men in that New World. Noble savage was presented as the medium of the White people in entering the wilderness world of America. After all knowledge's, skills, and their way of livings were absorbed, the Indian were then thrown, left without etiquette.
These novels' mainstream presented the picture on how culture, in all its glory and goodness, has unavoidably destroyed the livings of the Indians. Even though the Indians had been presented as noble Indians, they were destroyed, without the ability to stop the White people's stream of culture which physically had more power.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Modern Library, 1929
813.2 DEE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vera V. Syamsi
"Ketika The Beatles mulai dikenal Iuas dan menjadi idola banyak kaum muda di Inggris, kaum mapan di sana mengecamnya dan melarang pemutaran lagu dari kelompok tersebut. Larangan itu terjadi karena kaum mapan merasa adanya ancaman atas otoritas dan wibawa mereka, sementara -sebaliknya- bagi kaum marjinal (dalam hal ini kaum muda dan kelas pekerja) The Beatles merupakan tempat menaruh harapan untuk mendapat kebebasan dan kesempatan yang pada akhirnya adalah perhaikan taraf hidup. Tetapi ternyata sikap `permusuhan' clari kaum mapan itu tidak berlangsung lama dan bahkan pada akhirnya The Beatles di kooptasi dan dipergunakan oleh mereka (dalam hal ini pemerintah) sebagai identitas budaya bangsa tersebut. Selain itu, kelompok musik rock 'n roll itu menimbulkan banyak perubahan dan mengilhami banyak hal Baru tidak saja di Inggris tetapi juga di banyak negara lain di dunia. Karena itu menjadi sangat menarik untuk dianalisa dan diteliti lebih lanjut ideologi apa saja yang berkontestasi dibalik perubahan yang terjadi. Untuk itu penelitian ini dilakukan melalui perspektif kajian budaya dengan pusat perhatian pada momen representasi dan produksi budaya / budaya produksi serta konsumsi. Sedangkan perangkat yang dipergunakan adalah Semiotik yang termuat dalam konsep Mitos yang dikemukakan oleh Roland Barthes.

At the time of its emergence, The Beatles was received with two different reactions; a very enthusiastic and warm welcome by the youth and a very strong objection by parents, teachers and government. The Beatles brought to the surface many things that people didn't realize before and caused many changes. To the youth, it symbolizes freedom, an outlet of expression, a time to be the center of the attention; to the working class people The Beatles was a hope for the eradication of the invisible restriction wrapping them (known as class division) and a medium to go to the higher plane in the society; and to the Establishment The Beatles was an alarm of threat to the power and authority they possessed. With so many interests and ideologies took part behind the sky rocketing popularity of the band, it is very interesting to observe further the phenomenon which later involved many people in the United Kingdom and also the world. More interestingly, the attitudes first showed by the elite group of people called the Establishment has eventually changed. Not only did they accept the group but also now they co-opt the group as nation's cultural identity. Clearly there has been a big change in the society, and this thesis would like to investigate the contesting ideologies behind the change and the circumstance in Britain's present society through cultural studies approach with the focus on moments of Representation and Production / Consumption using Semiotics theory in the concept of Mythology set forward by Roland Barthes."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swasti Istika
"For Him Magazine atau lebih populer disingkat dengan FHM adalah salah satu bentuk produk budaya populer di Inggris. FHM adalah rnajalah gaya hidup khusus pria yang pertama kali diterbitkan di Inggris pada tahun 1994. Hingga saat ini FHM telah berhasil menempati posisi majalah gaya hidup khusus pria kedua terbesar di dunia dengan total pembaca setia FHM di seluruh dunia sebanyak 1022.000 terhitung dalam kurun waktu sejak Januari hingga Juni 2004. FHM juga telah beredar di 27 negara di dunia termasuk Amerika Serikat, Afrika Selatan, Rusia, dan Indonesia. Popularitasnya mengalahkan majalah-majalah sejenis yang telah lebih dulu terbit di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat. Skripsi ini bertujuan untuk mencari tahu maskulinitas seperti apa yang ingin ditawarkan oleh FHM serta adakah ideologi tertentu di balik maskulinitas tersebut, terutama jika mengingat usaha FHM untuk mengangkat wacana yang kontroversial, seperti seksualitas serta upayanya untuk mencapai berbagai kalangan. Untuk menganalisis, akan digunakan teori representasi, teori semiologi, teori ideologi dan teori maskulinitas. Sumber data yang digunakan adalah For Him Magazine Inggris edisi Juli 2004. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data demi merumuskan kode_kode dominan yang muncul di dalam majalah tersebut yaitu kode romance atau percintaan, kode.fashion, belongings dan beauty, kode entertainments atau hiburan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S14014
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina
"Artikel ini membahas afirmasi identitas dan ideologi tokoh utama dalam novel The Reluctant Fundamentalist karya Mohsin Hamid melalui analisis strategi narasi dan fokalisasi teks. Novel tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Mieke Bal 1999 dan Shlomith Rimmon-Kenan 2003 . Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh utama, sebagai narator primer-fokalisator, menunjukkan proses perubahan kesadaran identitas dan kecenderungan ideologi oksidentalisme tokoh utama. Lewat narasi dan fokalisasinya, tokoh utama yang merupakan seorang Pakistan menunjukkan usaha untuk menghapus dominasi Amerika yang menyebabkan munculnya kompleks inferioritas, alienasi, dan perubahan kesadaran identitasnya. Kesimpulannya, narasi dan fokalisasi tunggal teks merupakan penjabaran ideologi oksidentalisme yang dapat membalik posisi tokoh utama dari objek fundamentalis ekonomi menjadi subjek fundamentalis humanis yang mampu menilai dan mengkritik Amerika Serikat.

This article discusses the affirmation of identity and ideology of the main character in Mohsin Hamid 39 s The Reluctant Fundamentalist by analyzing the strategy of narrative and focalization of the text. The novel is analyzed by using the theory of Mieke Bal 1999 and Shlomith Rimmon Kenan 2003 . The result of the analysis shows that the main character, as the primary narrator focalisator, indicates the alteration process of identity consciousness and the main character rsquo s ideological tendency of oxidentalism. Through his narration and focalization, the main character that is a Pakistani demonstrates an attempt to wipe out American domination that leads to his inferiority complex, alienation, and unconsciousness of his identity. To sum up, the narrative and single focalization of the texts is an elaboration of the ideology of oxidentalism that can reverse the position of the main character from the object of economic fundamentalist to be the subject of humanist fundamentalist who is able to assess and criticize the United States."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
T48307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marda Yuantika Haninggarjati
"Tesis ini membahas tentang pembentukan identitas dan ideologi anak muda melalui representasi laptop dalam iklan. Teori yang digunakan adalah teori Semiotika Barthes dengan didukung oleh model analisis dari Rose. Iklan adalah salah satu media yang membentuk identitas melalui representasi-representasinya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa laptop membentuk identitas anak muda yang berkaitan dengan gaya hidup moderen anak muda perkotaan masa kini. Selain itu, penggunaan laptop dalam iklan menunjukkan bahwa secara ideologis, laptop merupakan representasi dari teknologi yang menjadi ciri masyarakat moderen yang dinamis.

This thesis analyzes the identity and the ideology which are represented by laptop as the representation of technology in ads. This research is a qualitative research using three types of ads, as the data. The theories which are used to analyze the data are the semiotic theory by Roland Barthes and the visual analysis model by Gillian Rose. The result of this research shows that the use of laptop in ads represent certain identities of young people, especially the urban young people. Beside that, the use of laptop in ads, ideologically, shows that technology becomes the character of the modern people nowadays.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25897
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi R. Mosmarth
"Indonesia tidak berkembang sedemokratis yang digembar-gemborkan oleh reformasi. Sebuah pertanyaan, yang sudah saatnya menjadi pemyataan karena terlalu sering muncul tanpa ada jawabannya muncuI, apa yang salah dengan bangsa ini? Pertanyaan ini pula yang menjadi titik berangkat penulis untuk mengangkat masalah ini. Inilah heuristic tool yang sangat awal untuk tulisan ini: Ada yang salah dengan bangsa ini, dimana salahnya? Reforrnasi yang dimaksudkan menggantikan orde baru ternyata hanya meneruskan orde baru, artinya, masih ada pola anomaly yang sama pada demokrasi di era reformasi. Lingkaran kuasa/pengetahuan sudah terlanjur eksklusif, sudah terbiasa meletakkan masyarakat sebagai penonton, penggembira, atau pemandu sorak. Sejarah tidak memperbaiki dirinya sendiri, selama diskursus yang beredar masih tidak berimbang, masih didominasi, maka kejadian yang sama akan terulang, dan memang demikian adanya. Hanya saja, pada masa reformasi, krisis identitas, ideology, dan komunikasi ini diperparah dengan instabilitas politik dan ketidakpercayaan publik. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pengusung doktrin-doktrin komprehensif untuk menguasai diksursus dalam masyarakat sekaligus menguasai kursi politik. Sejak awal, permasalahan demokrasi Indonesia dapat penulis rangkum dalam Identitas, Ideologi, dan Komunikasi di ruang publik Indonesia adalah akar permasalahan yang mengerucut dalam relasi-relasi diantara ketiganya. Masalah-masalah inilah yang kemudian kita lihat terwujud dalam sejarah politik Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherien Sabbah
"Tesis ini membahas permasalahan nama dan identitas budaya dalam konteks keberagaman budaya. Masalah identitas dalam konteks keberagaman budaya terjadi karena adanya perbedaan budaya dan benturan antara budaya imigran dengan budaya dominan. Krisis identitas terjadi akibat konflik dalam memaknai identitas di tengah perbedaan budaya. Novel ini menunjukkan bagaimana di tengah keberagaman budaya, setiap tokoh pada akhirnya dapat melakukan negosiasi, mengalami perubahan dan pembentukan identitas baru serta melakukan perpindahan secara dinamis.

The Focus of this study is about naming and cultural identity in a cultural diversity context. Identity problem occurs in a cultural diversity world because of differences that exist and cultural clashes that happens between the imigrant culture and the dominant culture in a multicultural world. Conflict in defining identity in the midst of cultural difference causes identity crisis. In the end, this novel shows how each character can negotiate differences, reinvent identity and move dynamically between spaces."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25305
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Shuri Mariasih Gietty
"Sebagai seorang penulis wanita di Amerika pada akhir abad 19, Louisa May Alcott yang sebelumnya hanya dikenal sebagai penulis karya-karya domestik ternyata juga menghasilkan karya-karya gothic. Dengan menghasilkan dua karya dengan genre yang bertolak belakang ini, ternyata terdapat persamaan dan perbedaan perihal ideologi gender yang berusaha disampaikan. Dua korpus yang dipilih yaitu, Little Women dan Behind A Mask; or A Woman's Power merepresentasikan pemikiran gender yang berbeda tersebut dengan mempertimbangkan latar belakang konstruksi gender pada masa itu yaitu the true cult of womanhood.
Dengan melihat konstruksi gender yang ada, ideologi gender yang ditampilkan kedua karya ternyata sudah mulai mengangkat nilai-nilai feminisme walaupun pada dasarnya keduanya tidak bisa terhindar dari pemikiran patriarki. Persamaan yang ada terdapat pada identitas gender yang muncul pada kedua tokoh utama, yaitu Jo March dalam Little Women dan Jean Muir dalam Behind A Mask.
Dengan bentuk yang berbeda, kedua tokoh ini berusaha mengatasi konstruksi gender yang ada supaya dapat terhindar dari segala macam bentuk opresi terhadap wanita. Jo March berusaha keluar dari konstruksi tersebut dan bahkan menyeberang dari sisi feminin ke sisi maskulin. Hal ini menjadi mencolok terutama bila dibandingkan dengan karya domestik pada umumnya yang cenderung mengacu pada konstruksi gender yang ada dan menempatkan tokohnya pada sisi yang feminin. Di lain pihak, dalarn Behind A Mask, Jean Muir berusaha melakukan negosiasi dengan memanipulasi konstruksi feminitas dan justru menempatkan diri dalam sisi yang feminin.
Dua Cara yang berbeda ini sebenarnya sudah merupakan bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai patriarki dalam konstruksi gender the true cult of womanhood. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan adalah kegagalan Behind A Mask sebagai sebuah karya gothic yang seharusnya bisa lebih memberontak terhadap konstruksi gender masyarakat apabila dibandingkan dengan karya domestik seperti Little Women.
Pada akhir cerita, Jean Muir terjebak dalam feminitasnya yaitu dalarn institusi pernikahan ketika sang tokoh harus mempertahankan topeng feminitasnya supaya tidak diketahui identitas aslinya oleh sang suami. Menempatkan Jean dalam feminin pada akhir cerita meruntuhkan kekuatan manipulasi yang dilakukannya sebelumnya, terutama bila dibandingkan dengan Jo March yang berhasil keluar dari feminitasnya dan menyebrang ke sisi maskulin sebagai sebuah bentuk pemberontakan. Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa karya Little Women bisa menampilkan idoeologi gender yang lebih feminis apabila dibandingkan dengan Behind A Mask yang pada akhirnya justru 'menjebak' tokoh utamanya dalam konstruksi gender tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13926
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>