Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89987 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Nugraha
"Perlindungan indikasi geografis diatur dalam Persetujuan TRIPs Pasal 22, 23, dan 24 yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis guna memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk indikasi geografis dari praktek atau tindakan persaingan curang. Semenjak Indonesia meratifikasi Persetujuan TRIPs tersebut maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Ketentuan Indikasi Geografis di Indonesia belum berlaku efektif karena adanya pemahaman yang keliru mengenai indikasi Geografis dan Indikasi Asal dalam Undang-undang Merek di Indonesia dengan Persetujuan TRIPs dan WIPO, sehingga mengakibatkan sistem yang digunakan dalam mengatur indikasi geografis sama dengan sistem merek baik dari segi pemahaman maupun pendaftaran serta pengumuman.
Kekeliruan pemahaman ini pula yang mengakibatkan sulitnya membuat Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana undang-undang. Bahwa kebutuhan akan perlindungan indikasi geografis di Indonesia sangat mendesak mengingat Indonesia mempunyai potensi penghasil produk-produk indikasi geografis seperti kopi Toraja, Marquisan Medan dan Iainnya. Dan karena belum efektifnya pengaturan tentang Indikasi Geografis di Indonesia, maka permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan indikasi geografis tidak dapat ditangani secara baik yaitu seperti kopi toraja didaftarkan sebagai merek di Amerika oleh Key Coffee dengan menggunakan logo rumah toraja. Kasus ini tidak dapat diselesaikan karena pengaturan indikasi geografis belum berlaku efektif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanti Eka Marthani
"One Village One Product (OVOP) merupakan program unggulan yang digagas oleh Pemerintah Jepang sebagai proyek untuk memajukan perekonomian suatu desa dengan menonjolkan produk lokalnya yang khas. Program ini sudah banyak diadopsi oleh beberapa negara dengan tujuan yang sama, termasuk Indonesia. Pengembangan program OVOP di Indonesia tidak terlepas dari peranan Hak Kekayaan Intelektual. Pengembangan program OVOP difokuskan bagi para pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah (UKM) yang banyak tersebar di Indonesia, dimana mereka perlu memperoleh perlindungan hukum terkait HKI, terutama dalam hal penggunaan merek sebagai identitas produknya. Namun temuan di lapangan mengindikasikan bahwa masih banyaknya kendala yang dihadapi UKM dalam pendaftaran merek, dengan demikian UKM perlu disosialisasikan mengenai penggunaan merek kolektif sebagai salah satu jalan keluar permasalahan.

One Village One Product (OVOP) is a flagship program, initiated by the Government of Japan, as a project to promote the economy of a village with a distinctive feature local products. This program has been widely adopted by several countries with the same purpose, including Indonesia. Development of OVOP program in Indonesia cannot be separated from the role of Intellectual Property Rights. OVOP program development focused for business on small and medium scale enterprises (SMEs) throughoutIndonesia, where they need to obtain IPR-related legal protections, especially in terms of the use of the brand identity products. However, findings from the reak activities indicate that there are still many obstacles faced by SMEs in the registration of the brand, so SMEs need to be disseminated on the use of collective brand as one way out of the problem.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Permelia Fabyanne
"Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual, merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait dengan perlindungan konsumen, pelanggaran hak merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Hal tersebut disebabkan karena konsumen merupakan penggunan suatu produk, dimana suatu produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu, di mana dalam prakteknya sering terjadi pemalsuan dan menimpa konsumen maka sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia konsumsi. Sehinga di dalam penulisan tesis ini permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana Undang-Undang Merek memberikan perlindungan terhadap konsumen, upaya dan langkah hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila kepentingannya dirugikan serta bagaimana putusan pengadilan niaga dalam hal perlindungan terhadap konsumen.
Sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen maka di dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dirumuskan mengenai tanggung jawab produk yang menyatakan bahwa "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan".
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sanksi bagi pelanggar tindak pidana di bidang merek yang tentunya pasti akan merugikan pihak konsumen sebagai pengguna ataupun pemakai suatu produk atau barang, dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana tercatat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang tercantum dalam Pasal 90, 91, 92 ayat (1), 92 ayat (2), 92 ayat (3), 93, 94 ayat (I), 94 ayat (2), dan Pasal 95.
Sebagai akibat penegakan hukum yang lemah maka hasil dari kebijakan hukum merek untuk menanggulangi pelanggaran merek yang merugikan konsumen juga tidak akan mencapai hasil yang memadai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan penegakan hukum yang kuat atas merek untuk mencegah terjadinya pelanggaran di bidang merek yang akan merugikan konsumen dan juga dibutuhkan tanggung jawab yang kuat dari kalangan pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Anandita
"ABSTRAK
Menyisipkan merek dalam program televisi atau disebut dengan istilah program
hibrida merupakan strategi pemasaran yang dibuat untuk mengatasi jenuhnya
iklan televisi. Strategi ini dibuat dilandasi keyakinan bahwa seseorang akan lebih
mudah dipersuasi pada saat ia sedang tidak merasa dipersuasi. Skripsi ini
berusaha untuk meneliti bagaimana dampaknya terhadap reaksi pemirsa jika
merek disisipkan dalam program yang serius, netral, jujur, dan terikat kode etik
pers, yaltu program berita. Reaksi pemirsa yang diukur adalah reaksi pemirsa
terhadap program hibrida dan reaksi pemirsa terhadap iklan. Yaitu brand recall
(1), asosiasi merek (2), sikap terhadap program berita (3). kredibilitas program
berita (4), sikap terhadap bentuk pesan komersial (5). sikap terhadap merek (6),
dan intensi membeli merek (7). Disamping itu, skripsi ini juga mengukur belief
perseverance sikap terhadap program berita (8), belief perseverance kredibilitas
program berita (9), belief perseverance sikap terhadap merek (10), dan belief
perseverance intensi membeli merek (11). Penelitian dilakukan pada 124 orang
mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Partisipan dibagi dalam dua
kelompok, kelompok yang menyaksikan program berita dengan iklan, dan
kelompok yang menyaksikan program berita yang disisipl merek didalamnya.
Setelah tayangan, partisipan mengisi kuesioner secara bersama-sama. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam hal sikap
terhadap program berita, sikap terhadap bentuk pesan komersial, intensi
membeli merek, sikap akhir terhadap program berita, dan sikap akhir terhadap
merek. Sedangkan dalam hal brand recall, asosiasi merek, kredibilitas program
berita, sikap terhadap merek, kredibilitas akhir program berita, dan intensi akhir
membeli merek, tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa reaksi pemirsa terhadap program berita yang disisipi
merek bisa menjadi buruk meskipun motif komersialnya tidak disadari pemirsa.
Sedangkan reaksi pemirsa terhadap merek yang disisipkan dalam program berita
bisa efektif asalkan motif komersialnya tidak disadari pemirsa. Jika motif
komersialnya tertangkap, maka reaksi mereka bisa menjadi buruk. Untuk
penelitian selanjutnya, saran yang diberikan adalah agar stimulus tayangan
penelitian diperbaiki. Dari segi program yang disisipkan, peneliti menyarankan
agar penyisipan merek dilakukan dalam program berita yang sifatnya soft news.
Untuk implikasi praktis, peneliti menyarankan agar stasiun televisi dan produsen
mempertimbangkan resiko munculnya dampak negatif dari menyisipkan merek
dalam program berita terhadap program serta merek. "
2004
S2781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teofilus Edbert
"Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 41 ayat (8) yang dimaksud dengan pengalihan hak atas suatu Merek telah selesai hal ini dimungkinkan untuk dilakukan meskipun tanda tersebut masih ada dalam tahap pendaftaran. Ini menunjukkan bahwa pengalihan dapat terjadi meskipun hak atas merek belum ada, mengingat hak atas merek baru telah muncul setelah Merek yang bersangkutan didaftarkan dan disebut sebagai merek terdaftar. Padahal, menurut Pasal 584 KUHP Hukum perdata untuk mentransfer barang, seseorang harus memilikinya
kewenangan atas benda-benda tersebut terlebih dahulu, dan menurut Pasal 1320 salah satunya Keabsahan perjanjian adalah adanya "hal tertentu" atau objek yang jelas yang seharusnya tidak dipenuhi oleh merek yang masih dalam taraf Registrasi. Sekilas transfer seperti ini mirip dengan Preliminary Agreement Jual Beli atau PPJB yang dilakukan untuk jual beli rumah yang belum selesai dibangun dibangun di. Tesis ini membahas latar belakang berlakunya Pasal 41 ayat (8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan menganalisis bagaimana artikel ini dapat digunakan di Indonesia juga memberikan perbandingan antara pasal ini dengan PPJB yang sudah berlaku sejak lama di Indonesia.

With the enactment of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indication Article 41 paragraph (8), which means that the transfer of rights to a Mark has been completed, is possible to do this even though the sign is still in the registration stage. This indicates that the transfer can occur even though the right to a mark does not yet exist, considering that the right to a new mark has emerged after the Mark concerned has been registered and is called a registered mark. In fact, according to Article 584 of the Criminal Code Civil law to transfer goods, someone must own it authority over the said objects first, and according to Article 1320, one of the validity of the agreement is the existence of "certain things" or clear objects which should not have been fulfilled by a mark which is still in the registration stage. At first glance, a transfer like this is similar to a Preliminary Sale and Purchase Agreement or PPJB which is carried out to buy and sell a house that has not yet been built in. This thesis discusses the background to the enactment of Article 41 paragraph (8) of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications and analyzes how this article can be used in Indonesia and also provides a comparison between this article and the PPJB which has been in effect for a long time in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pingkan Ratna Melati Santosa
"Semakin tingginya arti dari sebuah merek menjadikan merek terutama merek terkenal rentan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga. Tindakan pihak ketiga cenderung akan merugikan pemilik merek terkenal yang sebenamya. Oleh karena itu, terhadap merek terkenal diperlukan perlindungan yang memadai.
Kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah kasus pelanggaran merek Davidoff milik Davidoff Cie S.A di mana pemilik merek Davidoff yang sesungguhnya harus mengalami merek bahwa yang dimilikinya telah didaftarkan terlebih dahulu oleh NV. Sumatra Tobacco Trading Company sejak tahun 1989."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Rahma Artanti
"Perkembangan konsep merek pada taraf internasional telah memperkenalkan beragam jenis objek yang dikategorikan sebagai merek non-konvensional salah satunya warna tunggal. Warna tunggal tidak memiliki daya pembeda secara inheren, akan tetapi warna tunggal dapat memperoleh daya pembeda melalui persyaratan tertentu. Warna tunggal dapat memperoleh daya pembeda dengan adanya makna sekunder atas merek tersebut. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini diantaranya mengenai perkembangan perlindungan merek warna tunggal dalam taraf internasional yang ditinjau dari pengaturan merek warna tunggal pada beberapa negara, tantangan yang berkemungkinan untuk timbul dalam pendaftaran merek warna tunggal ditinjau dari kasus yang berkaitan dengan merek warna tunggal dalam taraf internasional dan urgensi perlindungan merek warna tunggal di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti permasalahan mengenai topik terkait. Hasil penelitian terhadap permasalahan tersebut adalah terdapat sejumlah tantangan dalam pendaftaran merek warna tunggal dalam taraf internasional dan terdapat urgensi perlindungan merek warna tunggal di Indonesia dengan persyaratan yang ketat.

The development of trademark concept in international level has introduced various types of objects that are categorized as non-conventional trademark, one of them is single color. Single color is not inherently distinctive, but single color can acquired distinctiveness with certain conditions. Single color can acquired distinctiveness through secondary meaning. The problem analyzed in this thesis is development of single color trademark in international level by observing several laws regarding single color trademark protection, challenges that are likely to arise in the registration of single color trademarks based on single color trademark cases in international level, and the urgency of color trademark protection in Indonesia. This research will use normative legal method to seek answers based on presented research questions. The result of research questions is that there are number of challenges in registering single color trademark in international level and there is an urgency for protection of single color trademark in Indonesia with strict requirements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citrawinda Noerhadi
"ABSTRAK
Dengan semakin berkembangnya perdagangan antar negara, merek merupakan salah satu faktor yang penting yang dapat mempengaruhi kelancaran perdagangan tersebut. Dinegara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ada kecenderungan dari para usahawan dalam negeri untuk Sengaja memalsukan merek terkenal , biasanya merek luar negeri , yang dibubuhkan pada barang-barang produksi dalam negeri dengan mutu rendah . Suatu perbuatan melanggar hukum terhadap hak atas merek adalah suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain, dimana dengan perbuatan melanggar hukum terhadap merek tersebut, pelaku akan mendapatkan suatu keuntungan dari perbuatannya tersebut dan dipihak lain menimbulkan kerugian pada yang berhak atas merek itu. Selain itu konsumen juga dirugikan atas adanya perbuatan melanggar hukum terhadap hak atas merek itu karena konsumen akan mendapatkan barang tidak seperti yang diingininya, melainkan mendapat barang dengan merek yang sama atau sama pada pokoknya dengan merek yang diingininya. Pendaftaran atas suatu merek adalah penting walaupun tidak diwajibkan, karna dengan adanya pendaftaran ini dapat dicegah usaha-usaha dari orang lain yang tidak berhak yang akan mendaftarkan merek tersebut dan pula untuk mempermudah pembuktian dalam perkara merek yang mungkin saja terjadi. Disini dapat dilihat bahwa Indonesia menganut stelsel deklaratif. Hubungan antara perinohonan untuk pembatalan suatu merek (pasal 10 undang-undang No.21 tahun 1961) dengan perbuatan melanggar hukum terhadap ,hak atas merek (pasal 1365 kitab Undang Undang Hukum Perdata) adalah : - pasal 10 Undang Undang No.21 tahun 1961 adalah acara yang khusus yang terikat pada waktu sembilan bulan, tidak dapat banding melainkan langsung kasasi dan tidak dapat disertai ganti rugi ataupun suatu pelaksanaan lebih dahulu. - pasal 1365 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah menurut acara perdata biasa, tanpa terikat waktu, dapat banding dan dapat disertai dengan ganti rugi dan pelaksanaan lebih dahu lu. Adapun tujuan dari Undang Undang No.21 tahun 1961 ada lah : 1. Melindungi khalayak ramai terhadap barang-barang yang memakai merek yang sudah dikenalnya sebagai merek-merek yang bermutu baik, tujuan mana hendak dicapai dengan menertibkan kepatutan. didalam lalu lintas perdagangan. 2. Melindungi industrialis dan pedagang yang menjadi pemakai pertama dari mereknya, tidak perduli apakah merek itu sudah didaftarkan atau belum. 3. Menciptakan dan memelihara moral perdagangan yang baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Erikson
"Skripsi ini membahas mengenai perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek di Indonesia. Adanya Dilusi Merek merupakan perluasan perlindungan bagi merek Terkenal. Tidak adanya pengaturan secara tegas dan khusus mengenai Dilusi Merek di Indonesia membuat adanya ketidakpastian bagi hakim dalam memutus perkara pada sengketa merek terkenal terhadap barang yang tidak sejenis. Suatu sengketa merek yang seharusnya dapat diselesaikan melalui Dilusi Merek akhirnya diselesaikan melalui Pelanggaran Merek biasa. Padahal secara nyata bahwa Dilusi Merek berbeda dengan Pelanggaran Merek pada umumnya. Sejauh ini hakim dalam memutus sengketa merek tidak sejenis menggunakan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 6 ayat (2) sendiri masih perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Ketiadaan PP sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 membuat hakim tidak memiliki pedoman yang tetap dalam memutus sengketa merek terkenal tidak sejenis. Ketentuan mengenai merek terkenal juga belum diatur secara jelas dan utuh yang merupakan salah satu unsur utama agar suatu merek dapat dilindungi dari Dilusi Merek.

This thesis discusses the protection of Well-Known mark from Trademark Dilution in Indonesia. Trademark Dilution is an extension of protection for Well-Known Mark. The absence of forcefully and specifically regulation about Trademark Dilution in Indonesia cause the uncertainty for the judge in deciding the case of well-known mark dispute especially on dissimilar goods. A trademark dispute that should have been resolved in Trademark Dilution is resolved through trademark infringement instead. Whereas, it is obvious that Trademark Infringement and Trademark Dilution are different in general. So far the judge in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods use Article 4 and Article 6, paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 about Trademark. Article 6, paragraph (2) itself still needs to be further regulated in Government Regulation. The absence of Government Regulation as mandated in Article 6 paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 cause the judge does not have persistent guidelines in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods. The provision about well-known mark also has not clearly defined and intact, which is one of the main elements for a mark in order that a mark can be protected under Trademark Dilution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46576
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah
"ABSTRAK
Kekosongan hukum Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001
tentang Merek merupakan ketentuan yang rentan menimbulkan masalah
sehingga harus segera ditetapkan oleh pemerintah. Muculnya berbagai masalah
merek terkenal jauh sebelum undang-undang ini berlaku juga disebabkan oleh
kekosongan hukum Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1992 tentang Merek
karena Pasal tersebut mengamanatkan lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang perlindungan merek terkenal terhadap barang dan atau
jasa yang tidak sejenis. Akibatnya, pengertian dan kriteria merek terkenal serta
pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai barang dan jasa tidak sejenis
apakah mencakup barang-barang yang berbeda kelas barang belum dapat
diketahui secara pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya
karena untuk menentukan keterkenalan suatu merek sangat tergantung pada
penilaian Hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Padahal sistem Peradilan di
Indonesia tidak menganut azas precedent dimana Hakim tidak diharuskan untuk
mengikuti putusan-putusan Hakim sebelumnya bahkan untuk sengketa yang
sama atau mirip. Walaupun bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen
internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial
Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rghts, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs),
tetapi semua ketentuan yang terdapat didalamnya juga tidak memberikan
pengertian yang jelas dan lengkap mengenai perlindungan terhadap barang yang
tidak sejenis. Ketentuan ini juga memberikan kebebasan kepada setiap negara
anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya
masing-masingg. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada
akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim maupun Direktorat Jenderal
HKI. Ketentuan Pasal 16 ayat (3) TRIPs yang menerapkan Pasal 6 Bis Konvensi
Paris secara mutatis mutandis dapat diartikan sebagai perluasan perlindungan
hukum Hak Atas Merek Terkenal untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis."
2012
T30679
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>