Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127053 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Eugenia Mardanugraha
"Konsolidasi perbankan yang dilakukan untuk memperkuat industri perbankan di Indonesia, membuat merger dan akuisisi menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan konsolidasi tersebut. Adanya resiko yang harus ditanggung oleh bank hasil merger dan proses konsolidasi yang membutuhkan biaya tinggi, antara lain merupakan penyebab dan menurunnya tingkat efisiensi bank hasil merger. Dalam paper ini ditunjukkan bahwa proses merger menurunkan efisiensi tetapi meningkatkan stabililas dan keefisienan bank merger. Kestabitan ini menunjukkan terbentuknya manajemen yang lebih baik dari bank hasil merger. Skala ekonomi bank setelah merger mengalami peningkatan.
Sebelum melakukan merger, bank secara internal harus terlebih dahulu meningkatkan efisiensinya, yang dapat dilakukan misalnya dengan meningkatkan produktivitas dari karyawan dan peningkatan penggunaan teknologi. Dalam paper ini ditunjukkan bahwa apabila skor efisiensi DFA-nya sudah mencapai 0,7, maka bank baru merasakan manfaat dan economies of scale, economies of scope dan kemajuan teknis unuk meningkatkan efisiensinya.
Tulisan ini memberikan beberapa rekomendasi: pertama, Bank Indonesia harus mengupayakan agar manajemen dari bank tetap baik, sehingga bank dapat menggunakan dan mengalokasikan biaya-biaya operasionalnya secara optimal. Kedua, harus adanya upaya untuk mempercepat pulihnya efisiensi bank setelah merger, sehingga tingkat efisiensinya kembali ke level semula. Ketiga, Bank Indonesia harus mendorong perbankan untuk dapat memanfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin. Keempat, efisiensi internal dari sebuah bank penting dilakukan sebelum bank melakukan merger."
2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Mardanugraha
"Dalam disertasi ini, akan ditemukan berbagai ukuran yang menjelaskan efisiensi perbankan yang diperoleh dengan mengestimasi fungsi biaya perbankan. Secara teoritis, fungsi biaya mengukur biaya minimum yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu tingkat output tertentu dengan menggunakan tingkat harga input tertentu. Sedangkan fungsi biaya yang diestimasi secara ekonometris digunakan sebagai frontier, untuk mengetahui efisiensi suatu bank, melalui ukuran-ukuran tertentu yang diturunkan dari fungsi biaya tersebut.
Skor efisiensi suatu bank pada suatu waktu tertentu diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu Distribution Free Approach dan Stochastic Frontier Approach. Kedua metode ini membandingkan error term dari bank yang paling efisien dalam sampel dengan error term dari suatu bank. Perbedaan asumsi distribusi error term menyebabkan perbedaan metode perhitungan keduanya. Dari hasil pengukuran efisiensi perbankan diperoleh kesimpulan bahwa kelompok Bank Campuran merupakan kelompok bank yang paling efisien dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu Bank Persero, Bank Swasta Nasional Devisa, Bank Swasta Nasional Non Devisa, Bank Asing, Bank Pembangunan Daerah, Bank Tutup dan Bank Merger. Paling efisiennya Bank Campuran disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan oleh bank campuran dan alokasi input nya lebih optimal dibandingkan dengan kelompok bank lainnya.
Proses merger menurunkan efisiensi tetapi meningkatkan stabilitas dari keefisienan bank merger. Kestabilan ini menunjukkan terbentuknya manajemen yang lebih kokoh dari bank basil merger. Adanya resiko yang harus ditanggung oleh bank hasil merger dan proses konsolidasi yang membutuhkan biaya tinggi, antara lain merupakan penyebab dari menurunnya tingkat efisiensi bank basil merger. Skala ekonomi bank setelah merger mengalami peningkatan.
Secara rata-rata, perbankan di Indonesia sudah mencapai economies of scale dan economies of scope. Namun, perbankan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan teknis. Economies of scale, economies of scope dan kemajuan teknis baru dapat dirasakan oleh perbankan apabila bank sudah cult-up efisien. Dalam disertasi ini ditunjukkan bahwa apabila skor efisiensi DFA nya sudah mencapai 0,7, maka bank baru merasakan manfaat dari economies of scale, economies of scope dan kemajuan teknis untuk meningkatkan efisiensinya. Sementara rata-rata skor efisiensi DFA untuk periode 1994 - 2003 adalah 0,152. Hal ini berarti bahwa bank secara internal harus melakukan efisiensi terlebih dahulu, seperti meningkatkan produktivitas dan karyawan dan penggunakan teknologi, sebelum melakukan upaya-upaya external, seperti merger dan meluncurkan produk-produk baru, agar efisiensinya lebih meningkat lagi.
Efisiensi perbankan juga akan meningkatkan kinerja makroekonomi Indonesia, terutama ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan dari total investasi dan total kredit pada bank komersial apabila terjadi perbaikan efisiensi dalam industri perbankan.
Penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi: pertama, Bank Indonesia harus mengupayakan agar manajemen dari bank tetap baik, sehingga bank dapat menggunakan dan mengalokasikan biaya-biaya operasionalnya secara optimal. Kedua, harus adanya upaya untuk mempercepat pulihnya efisiensi bank setelah merger, sehingga tingkat efisiensinya kembali ke level semula. Ketiga, Bank Indonesia harus mendorong perbankan untuk dapat memanfaatkan teknologi dengan sebaik mungkin.
Permasalahan-permasalahan yang sudah mengemuka namun belum sempat diuji dalam penelitian ini, antara lain resiko perbankan, akses informasi bank terhadap nasabah dan pemanfaatan teknologi dalam perbankan dapat menjadi topik-topik yang bermanfaat bagi penelitian yang akan datang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
D533
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Indira Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efisiensi biaya PDAM secara umum di Indonesia serta aspek mikroekonomi dalam hal ini kemajuan teknis dan skala ekonomi yang diduga memengaruhinya. Data yang digunakan adalah data PDAM yang dikelompokkan menurut provinsi, periode 2002-2006 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Metode pengukuran yang digunakan adalah pendekatan fungsi biaya parametrik dengan langkah-langkah meliputi; pertama, penentuan fungsi biaya, dalam penelitian ini digunakan model fungsi biaya translog; kedua, penentuan skor efisiensi, dalam penelitian ini digunakan metode Distribution Free Approach (DFA); ketiga perhitungan indikator kemajuan teknis dan skala ekonomi serta pengaruhnya terhadap skor efisiensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar PDAM belum berperilaku efisien pada biayanya, yang ditunjukkan dengan skor efisiensi rata-rata dalam setiap periode sampel belum mendekati nilai 1 (satu). Sementara dugaan keberadaan kemajuan teknis dan posisi Increasing Return To Scale (IRS) pada skala ekonomi berpengaruh terhadap skor efisiensi ternyata tidak terbukti, sehingga PDAM tetap harus melakukan penghematan biaya input untuk dapat
mencapai tingkat efisiensi biaya yang optimal. Namun karena keterbatasan data, maka penelitian ini tidak menganalisa faktor inefisiensi alokatif pada biaya-biaya input PDAM. Dari 32 provinsi, terdapat satu provinsi yang teramati mengalami peningkatan ranking sejak tahun 2004 sehingga pada akhir periode sampel (tahun 2006) dapat mencapai ranking tertinggi baik dalam skor efisiensi, indikator kemajuan teknis, maupun nilai skala ekonomi, yaitu Jawa Timur.

This study aims to measure the general cost efficiency of PDAMs in Indonesia as well as the microeconomic aspects, in this case technical progress and economies of scale, which are thought to affect it. The data used are PDAM data grouped by province, for the period 2002-2006 published by the Central Statistics Agency (BPS). The measurement method used is a parametric cost function approach with steps including; first, determining the cost function, in this study the translog cost function model is used; second, determining the efficiency score, in this study the Distribution Free Approach (DFA) method is used; the third calculation of
indicators of technical progress and economies of scale and their effect on the efficiency score. The results of the analysis show that most of the PDAMs have not behaved efficiently at their cost, which is indicated by the mean value of efficiency score in each sample period has not yet approached the value of 1 (one). Meanwhile, the presumption of technical progress and the position of Increasing Return To Scale (IRS) on economies of scale has an effect on the efficiency score, it is not proven. So the PDAM still has to make input cost savings to achieve an optimal level of cost efficiency. However, due to data limitations, this study does not analyze the allocative inefficiency factor of the PDAM input costs. Of the 32 provinces, one province was observed to have increased its ranking since 2004 so that at the end of the sample period (2006) it was able to achieve the highest ranking both in terms of efficiency scores, indicators of technical progress, and values of economies of scale, it is East Java.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruna Wirjolukito
"Kapitalisasi biaya bunga merupakan suatu topik yang banyak menimbulkan polemik di kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan kaum profesi. Pada tahun 1994, Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan suatu standar yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi, yang dianggap sesuai, terhadap biaya bunga. Sejauh ini Indonesia banyak mengadaptasi standar luar seperti misalnya IAS dan FASB. Khusus mengenai PSAK no.26 yang berjudul "Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi" diadaptasi dari SFAS no.34 dan bukan dari IAS no. 23.
Dalam perkembangannya terkemudian, penerapan kapitalisasi atas biaya bunga disinyalir justru mendatangkan banyak permasalahan di dunia bisnis dan dianggap tidak mampu memberikan kontribusi positif terhadap para pengguna laporan keuangan. Hal yang banyak disorot, terutama terkait dengan keputusan calon investor dalam memilih investasi yang menguntungkan apabila metode NPV dipakai. Dari segi karakteristik kualitatif laporan keuangan, terjadi permasalahan serius dimana laporan keuangan produk penerapan kapitalisasi biaya bunga, cenderung menyalahi beberapa karakteristik utama. Sehingga laporan keuangan tersebut dipandang tidak akurat untuk dijadikan dasar penting dalam pengambilan keputusan.
Penyebab utama permasalahan tersebut adalah karena [1] laporan keuangan yang menerapkan kapitalisasi cenderung menjadi tidak relevan, akibat tidak adanya rincian mengenai penyebab timbulnya biaya bunga yang dikapitalisir. Akibatnya pengguna laporan keuangan tidak mengetahui bagian biaya bunga mana yang boleh dikapitalisasi, mana yang tidak. Selain itu [2] laporan keuangan menjadi tidak andal, akibat terkontaminasi oleh praktek semacam earnings management dan window dressing. Walaupun penerapan kapitalisasi atas biaya bunga membuka banyak peluang terjadinya manipulasi atas laporan keuangan, akan tetapi di lain pihak, karena kurang ketatnya standar yang ada, secara de jure perusahaan-perusahaan yang disinyalir melakukan manipulasi temyata tidak cacat secara hukum.
Terkait dengan perusahaan properti yang pada masa booming (sebelum krisis) sempat menjadi primadona, ternyata penerapan kapitalisasi biaya bunga dijadikan fasilitas yang sangat menguntungkan untuk praktek penggelembungan nilai aset, nilai modal, bahkan untuk mendongkrak nilai laba bersih secara signifikan. Dari pengamatan 15 perusahaan properti yang listing di BEJ, yang menggunakan kapitalisasi, ternyata semuanya melaporkan laba bersih yang cukup tinggi dan rasio keuangan yang bagus. Tentu saja hal tersebut tidak berlaku apabila perlakuan expense atas biaya bunga dipilih.
Dengan diijinkannya pengungkapan penerapan kapitalisasi biaya bunga yang minim seperti sekarang ini, maka banyak perusahaan properti yang menjadi cepat berkembang karena mudahnya kucuran kredit dari perbankan. Dengan tibanya masa krisis, dimana daya beli masyarakat menurun, kegiatan sektor properti kontan menjadi sektor pertama yang tersendat. Perbankan sendiri akhirnya menderita banyak kerugian akibat kredit macet dan lebih rendahnya nilai aset yang diagunkan dibandingkan yang tertera. Tentu saja ini diakibatkan praktek mark-up atas aset, yang dalam pencatatannya menyertakan biaya bunga di dalamnya.
Sampai saat ini, kritik mengenai topik ini masih banyak dilontarkan baik dari kalangan FASB sendiri maupun dari IASC yang tegas-tegas menolak perlakuan kapitalisasi atas biaya bunga. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, melalui IAI, memilih untuk merevisi PSAK no.26 1994. Islam edisi revisi tersebut, ternyata justru ditambahkan suatu item baru yang dapat dikapitalisir yaitu rugi selisih kurs. Tentu saja hal ini kemudian dipandang sebagai suatu kemunduran, dibandingkan praktek akuntansi negara-negara tetangga yang tidak menerapkan hal tersebut.
Kontribusi solusi yang sejauh ini dipandang berarti ialah mengenai aspek pengungkapan penuh. Untuk mempertahankan konsep kapitalisasi, PSAK no.26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah ada sekarang. Walaupun ini bukan solusi yang paling akurat, tetapi setidaknya cukup mampu untuk membendung terjadinya asimetri informasi, antara penyaji dan pengguna laporan keuangan. Pendekatan teoretis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang lebar antara teori dan praktek di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS no.23 merupakan suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikan."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Evy Lasma
Depok: Universitas Indonesia, 1994
S22939
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2000
S23550
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Mayangsari
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surbakti, Mhd. Dahlan
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thia Jasmina
"Sektor keuangan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat terutama setelah deregulasi 1988. Deregulasi 1988 mendorong persaingan antarbank yang semakin ketat, sehingga perbankan dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. Skripsi ini mencoba mengukur tingkat efisiensi perbankan Indonesia dan menganalisa apakah deregulasi perbankan 1988 dapat mendorong peningkatan tingkat efisiensi tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan metode fungsi biaya frontier dengan mengambil model Bauer-Humphrey (1992). Pendekatan yang digunakan adalah thick frontier den frontier stokastik dengan menggunakan data panel. Tingkat efisiensi perbankan diukur dengan melihat tingkat inefisiensi teknisnya, yaitu mengukur seberapa jauh perbedaan kondisi perbankan Indonesia yang sebenarnya terhadap suatu kondisi optimum. Dalam pendekatan thick frontier fungsi biaya diestimAsi untuk kelompok sampel bank dengan biaya per aset rendah dan bank dengan biaya per aset tinggi. Diasumsikan bahwa bank dengan biaya rendah merupakan bank yang paling efisien dalam skala efisiensi thick frontier. Perbedaan antara dua fungsi biaya tersebut terdiri dari faktor struktur pasar (seperti perbedaan tingkat output, jenis output dan input, harga input dan aset lain-lain) dan faktor inefisiensi. Sedangkan dalam pendekatan frontier stokastik, fungsi biaya diestimpti dengan menggunakan composed error term yang terdiri dari faktor inefisiensi den random error. Berdasarkan pengukuran tingkat inefisiensi perbankan dengan thick frontier dan dengan frontier stokastik, terlihat bahwa efisiensi perbankan Indonesia meningkat setelah deregulasi 1988. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan rata-rata tingkat inefisiensi teknis perbankan; dari 38,47% menjadi 33,55% dengan pendekatan thick frontier dan dari 49,84% menjadi 39.84% dengan pendekatan frontier stokastik. Dari basil pengukuran dengan thick frontier dapat disimpulkan bahwa tingkat inefisiensi perbankan setelah deregulasi 1988 mengalami penurunan pada tahun 1989 dan 1990, dan kemudian terjadi peningkatan yang cukup tajam pada tahun 1991. Peningkatan ini diperkirakan sebagai dampak dari kondisi ekonomi yang overheated dan kebijakan tight money policy. Dari pengukuran dengan frontier stokastik dapat disimnpulkan bahwa sebelum deregulasi 1988, terdapat perbedaan rata-rata tingkat inefisiensi teknis yang mencolok antara kelompok bank pemerintah, bank swasta nasional dan bank asing. Bank pemerintah mempunyai rata-rata tingkat inefisiensi teknis tertinggi (63,47%), kemudian diikuti oleh bank swasta nasional (48,39%) dan bank asing (43,91%). Kondisi di atas terutama disebabkan oleh kebijakan perbankan sebelum deregulasi 1988 yang memberikan berbagai kelebihan dan fasilitas pada bank pemerintah (seperti subsidi kredit program dan KLBI, monopoli dana deposito BUNT), sehingga bank pemerintah memegang pangsa pasar terbesar dalam perbankan Indonesia. Kurangnya persaingan antarbank pada periode tersebut, menghambat peningkatan efisiensi perbankan dalam menjalankan kegiatannya. Pada periode setelah deregulasi 1988, terjadi penurunan tingkat inefisiensi untuk semua kelompok bank, dimana tingkat inefisiensi teknis bank pemerintah menjadi sebesar 38,31%, bank swasta nasional sebesar 40,30% dan bank acing sebesar 39,54%. Deregulasi 1988 membuka pasax perbankan Indonesia lebih luas. Suasana baru dengan persaingan yang lebih ketat memaksa bank-bank di Indonesia untuk beroperasi lebih efisien. Berdasarkan perhitungan nilai standar deviasi tingkat inefisiensi perbankan, dapat disimpulkan bahwa penyebaran tingkat inefisiensi perbankan Indonesia semakin kecil. Akan tetapi berdasarkan kelompok kepemilikan bank, terlihat bahwa standar deviasi bank pemerintah mengalami peningkatan, sedangkan untuk bank swasta relatif tetap den untuk bank asing mengalami penurunan standar deviasi. Dalam kondisi pasar perbankan yang semakin kompetitif, untuk dapat meningkatkan tingkat efisiensi perbankan Indonesia harus diciptakan suatu kondisi persaingan yang sehat. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah menghilangkan kebijakan yang masih membatasi gerak perbankan dan menguntungkan kelompok bank tertentu. Masalah restrukturisasi dan privatisasi bank pemerintah juga merupakan faktor yang patut dipertimbangkan. Di samping itu untuk kelompok bank pemerintah terdapat bank yang sangat efisien dan bank yang sangat tidak efisien. Suatu tindakan ekstrim dapat dilakukan dengan menggabungkan bank-bank pemerintah sehingga bankyang tidak efisien dapat "dibantu" oleh bank yang lebih efisien. Saran ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa setelah deregulasi 1988, spesialisasi togas bank pemerintah sudah tidak diperlukan. Di sisi lain, pihak perbankan diharapkan untuk lebih tanggap dalam menghadapi perubahan struktur pasar yang semakin kompetitif, antara lain dengan meningkatkan proses penambahan modal, memperbaharui kemampuan teknis, manajerial dan operasional."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1995
S18959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>