Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67126 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Srie Agustina
"Penelitian ini bertujuan mencari jawaban mengenal kemandirian konsumen sebagai salah satu ukuran kinerja pelaksanaan kebijakan Pemerintah, yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemandirian konsumen tersebut, dilihat dari 2 pendekatan, yaitu pertama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandiran konsumen; kedua, kondisi kemandirian yang dilihat dari rata-rata tingkat kemandirian (%) dan klasiflkasi kemandirian. Kondisi tersebut, membawa implikasi kepada analisis lebih lanjut, yaitu upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kemandirian konsumen sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa tujuan diterbitkannya Undang-Undang ini antara lain adalah untuk: meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Tujuan ini terkait erat dengan upaya membentuk konsumen yang mandiri. Konsumen mandiri tersirat dalam Undang-Undang dimaksud yaitu konsumen yang mengerti hak dan kewajibannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari selaku konsumen. Dalam Undang-Undang ini terdapat 9 hak dan 4 kewajiban konsumen, yang bila diterapkan dapat diindikasikan sebagai bentuk kemandirian seorang konsumen .
Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah berjalan kurang lebih 5 tahun, selama ini berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah terutama oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengimplementasikannya. Secara umum langkah tersebut dapat dikelompokkan: penyiapan dan penerbitan berbagai aturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut; peningkatan pengetahuan dan pendidikan kepada konsumen, pemasyarakatan kebijakan dan informasi perlindungan konsumen; peningkatan peran dan kualitas kelembagaan perlindungan konsumen dalam memberikan pelayanan kepada konsumen; upaya pembinaan dan pengawasan terhadap produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Namun sampai saat ini belum ada yang mengevaluasi dan meneliti secara komprehensif sejauhmana dampaknya dapat membentuk konsumen menjadi mandiri.
Untuk mengevaluasinya, faktor peran peningkatan pengetahuan konsumen melalui sosialisasi serta peran kelembagaan konsumen, memegang peranan penting, karena merupakan bentuk kegiatan yang dapat berinteraksi langsung dengan konsumen. Faktor-faktor tersebut tentu terkait juga dengan kondisi yang secara inherent ada pada konsumen itu sendiri antara lain tingkat pendidikan konsumen, pekerjaan konsumen serta tingkat pengeluaran konsumsi konsumen.
Faktor-faktor inilah yang kemudian penulis jadikan variabel untuk menguji hubungannya dengan kemandirian konsumen.
Hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan kemandirian konsumen, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik regresi logistik. Beberapa faktor berpengaruh secara signifikan yaitu pengeluaran konsumsi, peran sosialisasi Pemerintah dan peran lembaga perlindungan konsumen. Sedangkan pendidikan dan jenis pekerjaan tidak.
Selanjutnya, didasari pemikiran bahwa ternyata variabel pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemandirian konsumen. Ditambah dengan argumentasi bahwa variabel ini telah terwakili dalarn variabel pengeluaran konsumsi, maka model kemudian dimodifikasi tanpa variabel pendidikan.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi, sosialisasi pemerintah dan peran kelembagaan secara signifikan masih berpengaruh terhadap kemandirian konsumen.
Tingkat kemandirian konsumen relatif baik, yaitu rata-rata 60,4% diatas batas klasifikasi kemandirian yang ditetapkan, dengan tingkat kemampuan prediksi sebesar 78,2 %.
Berdasarkan hasil analisis efektifitas pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen, diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya optimal. Tingkat kemandirian sebesar 60,4% belum dapat mengindikasikan konsumen Indonesia mayoritas telah mandiri, mengingat penelitian ini masih terbatas pada responders di wilayah DKI Jakarta. Responden di wilayah ini dianggap memiliki pengetahuan dan akses informasi yang lebih memadai dibandingkan dengan konsumen di wilayah lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen masih perlu ditingkatkan, baik melalui intensitas sosialisasi, penguatan peran kelembagaan konsumen, maupun upaya-upaya lainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Sere Saghranie
"Kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya menjadi kesadaran masyarakat. Peredaran barang dan/atau jasa yang ditawarkan seringkali merugikan konsumen. Kedudukan konsumen yang lemah, membuat pelaku usaha leluasa melakukan praktek niaga yang tidak jujur dan bertanggung jawab. Sejalan dengan upaya sosialisasi kebijakan, meningkatnya kesadaran masyarakat, muiai mendatangkan pengaduan konsumen. namun kebijakan-kebijakan terkait guna mendukung penanganan masalah perlindungan konsumen belum sepenuhnya tersedia.
Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan perlindungan konsumen oleh pemerintah dalam penanganan pengaduan konsumen, mengidentifikasi faktor faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan perlindungan konsumen dalam menghadapi serbuan barang-barang impor maupun produk lokal yang tidak memenuhi standar yang menimbulkan pengaduan konsumen dan mendeskripsikan persepsi dan harapan konsumen terhadap pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan pemerintah dalam memberikan rasa nyaman, aman dan keselamatan kepada konsumen. Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian eksploratif dan deskriptif dengan 5 (lima) variabel penelitian implementasi kebijakan dan 50 (limapuluh) responden persepsi dan harapan konsumen.
Hasil penelitian menemukan bahwa dari sisi isi kebijakan, pada penjelasan umum undang-undang ditemukan adanya pengecualian pemberlakuan undang-undang yang dapat menyulitkan penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Ditemukan adanya sistem perlindungan konsumen yang tidak memberikan penjelasan, mengenai sistem yang dimaksud. Ditemukan adanya isi pasal yang saling bertentangan, pada bab XI. Ditemukan pula beberapa perangkat kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang belum terbantuk hingga penelitian ini dilakukan. Dari sisi birokrasi, mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen belum baku, kewenangan dan tanggung jawab belum mempunyai batas yang jelas, belum adanya peraturan teknis operasional yang dapat dijadikan acuan, telah menimbulkan dampak keraguan aparat dalam bertindak melaksanakan implementasi kebijakan perlindungan konsumen. Dari sisi karakteristik lembaga, peran dan tugas dijalankan menurut kebiasaan dengan jumlah pelaksana terbatas, membuat penyelesaian pengaduan konsumen beium sepenuhnya mampu ditangani. Dari sisi sumber daya, dana yang tersedia sangat terbatas dibanding kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan, kemampuan sumber daya manusia untuk menangani pengaduan konsumen juga sangat terbatas. Dari sisi kondisi lingkungan, kondisi sosial dan sikap masyarakat pada umumnya memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan hak sebagai konsumen. Kondisi ekonomi dengan tingkat pendapatan dan daya beli yang rendah akibat dampak krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda pulih, membuat masyarakat masih lebih mengutamakan dapat memperoleh atau membeli barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang cukup dan murah dan belum menghiraukan mutu barang danlatau jasa yang dibeli. Kondisi politik menunjukkan belum memadainya keberpihakan pemerintah kepada konsumen, misalnya kesulitan dalam penerapan ketentual label Halal pada produk makanan, minuman dan kosmetik bagi perlindungan konsumen muslim di Indonesia, dan kesulitan dalam penerapan ketentuan standar barang dan/atau jasa. Keamanan yang rawan pada beberapa waktu yang lalu serta penegakan hukum yang lemah, membuat implementasi kebijakan perlindungan konsumen tidak mudah diserap masyarakat.
Dari sisi persepsi dan harapan konsumen, sekalipun konsumen puas atas pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen, ditinjau dan karakteristik responder, hasil penelitian tidak dapat mewakili persepsi dan harapan masyarakat pada umumnya, terutama tingkat pendidikan responden penelitian dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara keseluruhan. Temuan persepsi konsumen terhadap penanganan pengaduan konsumen yang kontras sangat dimungkinkan karena konsumen yang tidak memahami/tidak memiliki typologi pelayanan ideal, bisa jadi karena konsumen tidak lagi memfokuskan diri pada penyelesaian kasus, tetapi lebih kepada merasa puas atas pelayanan yang diterima, dapat pula terjadi karena jumlah pengaduan yang relatif masih kecil sehingga setiap pengaduan konsumen dapat dilayani dengan baik dan memuaskan.
Undang Undang Perlindungan Konsumen tetap dibutuhkan termasuk sebagai "payung? dan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan konsumen yang tersebar dalam berbagai undang undang dan peraturan yang ada.
Agar tujuan pembuatan Undang Undang Perlindungan Konsumen dapat benar-benar tercapai, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap isi kebijakan, terutama terhadap isi pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan, isi pasal yang tidak jelas dan isi pasal yang saling bertentangan. Badan Penyelesaian Konsumen Nasional sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Perlindungan Konsumen perlu segera dibentuk, pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Perlindungan Kosumen Swadaya Masyarakat pada daerah-daerah yang belum terbentuk, perlu mendapat percepatan. Agar keterbukaan informasi dan akses terhadap informasi perlindungan konsumen dapat tercipta, maka mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen pada Direktorat Perlindungan Konsumen yang selama ini telah berjalan, perlu dibakukan dan dituangkan dalam ketetapan tertulis serta dipublikasikan. Peningkatan kesadaran konsumen akan meningkatkan jumlah pengaduan, maka perlu penambahan jumlah petugas pelayanan pengaduan konsumen dengan minat, kemampuan dan keterampilan yang memadai. Guna mempercepat peningkatan kesadaran konsumen, sosialisasi kebijakan perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan terhadap konsumen, tetapi juga terhadap pelaku usaha."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Umi Kulthum
"Pertumbuhan industri iklan yang terjadi dewasa ini dirasakan cukup pesat. Periklanan merupakan salah satu metode promosi yang mempunyai hubungan dengan pemasaran barang. Keberadaan iklan berdasarkan atas daya kreatif seseorang yang mampu mempersuasi konsumen untuk membelinya. Daya kreativitas dalam mengkomunikasikan pesan, opini, atau apapun bentuknya untuk kepentingan produsen, maupun pihak lain haruslah selalu dilandasi prinsip jujur dan bertanggung jawab sehingga tidak berbenturan tatanan hukum, sosial, dan budaya yang ada. Iklan kosmetika yang bermunculan saat ini, seakan menjawab kebutuhan konsumen akan kecantikan dan penampilan yang sempurna seperti yang digambarkan oleh sosok seorang model dalam iklan tersebut. Namun, seringkali terjadi iklan kosmetika itu malah menjerumuskan konsumen yang menggunakan produk tersebut. Banyak keluhan yang datang dari konsumen mengenai efek yang ditimbulkan akibat penggunaan produk kosmetika itu, hal ini terjadi karena iklan kosmetika itu menyesatkan, baik ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun dari kode etik periklanan itu sendiri. Apabila dikaitkan dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia(TKTCPI), tampaknya ketentuan-ketentuan periklanan kosmetik yang ada dalam kode etik periklanan ini belum sepenuhnya diterapkan, khususnya ketentuan mengenai iklan kosmetika yang diatur dalam Bab IIC No. 13a TKTCPT, di mana disebutkan bahwa iklan kosmetika harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Departemen Kesehatan RI. Tetapi pada kenyataannya iklan dan produk kosmetik yang beredar di masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Badan POM, sebagai Badan yang berkoordinasi dengan Depkes, karena mengandung bahan yang dilarang selain tidak terdaftar di Radan POM sehingga tidak memiliki izin edar. Hal ini juga bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Kepala Badan POM tentang Kosmetik, khususnya Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur tentang Periklanan Kosmetika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yuniar
"Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka hak-hak konsumen dapat tercover, namun walaupun demikian masih ada saja penyimpangan dari pelaku usaha untuk tetap mencari keuntungan dari ketidakwaspadaan konsumen. Dalam kasus Asuransi Prudential yang dijatuhi putusan pailit dimana putusan pailit tersebut sudah dapat dilaksanakan walaupun belum mempunyai kekuatan hukum tetap, jadi apabila putusan pailit menimpa suatu perusahaan maka apapun kebijakan yang diambil oleh para kurator terhadap harta pailit dan apabila sudah berpindah kepada pihak lain harus dihormati dan dilaksanakan namun sayangnya yang terjadi dengan Prudential tidaklah demikian dimana tindakan kurator tersebut ditentang oleh berbagai pihak bahkan dari pemerintah sendiri, sehinga putusan pailit tersebut tidak terlaksanakan sebagai mestinya ini terbukti dengan adanya keputusan Hakim Pengawas yang menyatakan bahwa Prudential tetap bisa beroperasi sebagaimana layaknya perusahaan yang tidak pailit yang pada akhirnya putusan pailit tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dari penelitian terhadap kasus tersebut diperoleh hasil bahwa, Prudential belum memberikan perlindungan yang semestinya diperoleh konsumen sebagaimana yang diamanatkan di dalam UUPK.
Berdasarkan uraian diatas penulisan ini mengkaji bagaimana perlindungan yang diterapkan terhadap konsumen dalam hal klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian yang tertera dalam polis pada perusahaan asuransi pada umumnya dan Prudential pada khususnya baik perusahan dalam keadaan beroperasi maupun dalam keadaan pailit.
Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan yaitu pendekatan yuridis normatif melalui deskriptip analitis adapun tehnik pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan wawancara dengan pihak yang dianggap mengetahui dan berperan serta terhadap kasus/permasalahan yang dikaji.
Ketentuan perlindungan terhadap hak-hak konsumen konsumen diatur dalam pasal 18 UUPK yang menyatakan klausula baku yang ada dalam perjanjian tidak diperkenakan melanggar hak-hak konsumen,sedangkan apabila terjadi kepailitan,walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap namun sudah dapat dilaksanakan hal ini sesuai dengan pasal 12 UUK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T15527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengga Damayanti
"Penelitian berjudul Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini berisi tentang kondisi pra dan pasca kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak tahun 2005. Penulis ingin mengetahui bagaimana keterlibatan konsumen dalam perumusan kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini. Keterlibatan konsumen ini dinilai penting berkait dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen DaIam PasaI 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Selain itu penulis juga ingin mengetahui landasan hukum yang dijadikan pegangan pemerintah dalam menaikan harga Bahan Bakar Minyak tahun 2005.
Terakhir, penulis hanya berharap agar di kemudian hari pemerintah dapat melibatkan konsumen dalam setiap pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, khususnya kebutuhan harga pokok seperti kenaikan harga bahan bakar minyak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan_ yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narisqa
"ABSTRAK
Aspek terpenting dalam kegiatan perdagangan adalah kegiatan promosi yang maksimal, dengan promosi yang dikelola dengan baik maka suatu usaha dapat tetap eksis di tengah sengitnya persaingan. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha dalam melakukan promosi, agar barang atau jasa yang diperdagangkannya bisa dikenal dan disambut dengan baik oleh konsumen, tak jarang promosi dagang ini menjurus kepada promosi yang berlebihan yang tidak sesuai kenyataan. Ketika janji dalam promosi tidak dipenuhi dan konsumen menuntut pada pelaku usaha untuk mempertanggungjawabkan janji dalam promosinya itu, pelaku usaha menolak untuk bertanggungjawab dengan dalil bahwa janji dalam promosi tidak mengikat karena tidak secara tegas diperjanjikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Implied Warranty tidak diatur secara implisit dalam UU No. 8 Tahun 1999 akan tetapi apakah dengan demikian Implied Warranty yang diberikan pelaku usaha dalam promosi-nya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban ketika Implied Warranty itu tidak dipenuhi oleh pelaku usaha, penulis menemukan bahwa dalan hal Implied Warranty diberikan pada saat promosi dilakukan oleh pelaku usaha maka konsumen dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha dengan dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya mengenai janji dalam promosi yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f DU No. 8 Tahun 1999. Dalam tesis ini penulis melakukan studi kasus gugatan konsumen ruang usaha pada Sport and Trade Centre melawan PT. Mandiri Karya Indah Sejahtera sebagai pemilik dan pengelola ruang usaha, gugatan tersebut didasarkan pada tidak dipenuhinya janji dalam promosi pemasaran ruang usaha Sport and Trade Centre oleh pelaku usaha tentang adanya lahan parkir yang luas dan jembatan penghubung. Majelis hakim dalam melakukan perneriksaan perkara tersebut tidak mengacu pada prinsip pertanggungjawaban pelaku usaha yang diatur dalam DU No. 8 Tahun 1999 khususnya Pasal 8 ayat(1) huruf f dan menolak gugatan konsumen tersebut dengan pertimbangan bahwa hal-hal yang dituntut oleh konsumen tidak diatur dalam perjanjian sewa menyewa antara konsumen dan pelaku usaha."
2007
T19893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Wijayanti
"ABSTRAK
Layanan jasa premium call merupakan salah satu penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam bentuk jasa nilai tambah teleponi melalui jaringan tetap lokal milik Penyelenggara jaringan telekomunikasi yaitu PT. Telkom, yang disediakan Provider Layanan Jasa Premium Call dengan nomor akses 0-809-1-XXX-3 dan tarif layanannya lebih mahal daripada tarif pulsa telepon biasa, karena jasa premium call dapat memberikan berbagai manfaat bagi para peneleponnya, antara lain informasi, konsultasi, hiburan, dan permainan, dan tagihannya dibebankan bersamaan dengan tagihan telepon biasa. Namun, seringkali penyelenggaraan layanan jasa premium call disalahgunakan oleh Provider layanan jasa premium call, sehingga layanan jasa premium call tidak sesuai lagi dengan peruntukan (manfaat) nya. Konsumen PT. Telkom sebagai pemakai jasa telepon (sistem kabel) dapat menggunakan layanan jasa premium call dan berhak mendapatkan perlindungan hukum melalui pengaturan hak, kewajiban, larangan, dan sanksi yang berlaku bagi konsumen dan pelaku usaha berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu W Telekomunikasi dan W Perlindungan Konsumen. Jasa telepon yang ditawarkan secara bersamaan oleh PT. Telkom dengan jasa nilai tambah teleponi berupa layanan jasa premium call, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Provider layanan jasa premium call melalui kerjasama antara PT. Telkom sebagai Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal dengan Provider layanan jasa premium call sebagai Penyelenggara layanan jasa premium call yang memberikan layanan jasa premium call kepada Konsumen PT. Telkom, sehingga tercipta suatu hubungan hukum di antara para pihak. Penyelenggaraan layanan jasa premium call dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, ketika Provider layanan jasa premium call melakukan kegiatan usaha secara tidak jujur dengan menagih pernbayaran atas pemakaian jasa premium call melalui PT. Telkom kepada konsumen yang tidak menggunakan jasa premium call."
2007
T18764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Maria Susan
"Keterbatasan finansial selalu menghambat seseorang untuk memiliki barang konsumsi karena tingginya harga dari barang tersebut. Keadaan ini dapat ditanggulangi melalui perjanjian pembiayaan. Pihak dalam perjanjian ini terdiri dari konsumen, perusahaan pembiayaan dan penyedia barang (supplier). Konsumen akan mendapatkan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan yang dituangkan ke dalam perjanjian pembiayaan.
Isi dari perjanjian pembiayaan memuat sebagian syaratsyarat dan hal-hal pokok yang ditetapkan sendiri secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan yang posisinya relatif lebih kuat, sedangkan konsumen secara yuridis mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan perusahaan pembiayaan tetapi tidak diikutsertakan di dalam menentukan isinya. Sehubungan dengan ditetapkannya UUPK, maka penulis mencoba menelaah apakah yang menjadi dasar dari pembentukkan perjanjian pada umumnya, apakah perjanjian pembiayaan sesuai dengan UUPK, bagaimana pelaksanaan dan penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan dalam prakteknya.
Perjanjian pembiayaan sendiri merupakan perjanjian baku yang memuat syarat-syarat yang memberatkan konsumen, yaitu berupa pembebasan tanggung jawab dari perusahaan pembiayaan dan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini terjadi akibat tidak adanya bargaining position yang seimbang, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Dalam Pasal 18 UUPK diberlakukan larangan pencantuman klausula baku bagi 8 (delapan) daftar negatif klausula baku yang pada prinsipnya dapat merugikan konsumen dan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti.
Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak perusahaan pembiayaan yang melakukan penyimpangan terhadap Pasal 18 tersebut.
Dalam era perlindungan konsumen ini diharapkan para pelaku usaha lebih mengkaji perjanjian pembiayaan yang dibuatnya. Di sisi lain juga diharapkan konsumen untuk membaca secara detail dan rinci perjanjian pembiayaan tersebut sebelum menandatanganinya."
2004
T36636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Anom Suwardi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum konsumen pengguna jasa
ATM dalam industri perbankan. Bahwa dalam prakteknya transaksi dengan
menggunakan mesin ATM sering bermasalah. Masalah yang biasa dialami
konsumen adalah mengenai kartu ATM yang tertelan mesin ATM, kemudian
terjadi penarikan tunai (cash advance) yang tidak dilakukan oleh konsumen,
namun transaksi tersebut tercatat dalam data bank. Dalam hal ini posisi konsumen
sangat lemah, karena pihak bank umumnya sulit dimintakan pertanggung jawaban
terhadap hilangnya dana tersebut. Hal ini terlihat dari hubungan hukum antara
konsumen dengan bank berdasarkan perjanjian dalam formulir pembukaan
rekening yang didalamnya berisikan klausula baku yang menghilangkan tanggung
jawab pelaku usaha. Untuk itulah pentingnya intervensi pemerintah untuk
melindungi konsumen dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi dalam prakteknya aturan-aturan tersebut belum dapat dikatakan
berlaku secara efisien dan efektif seperti dalam putusan Mahkamah Agung
No.769 K/Pdt.Sus/2011. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum
normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam analisis data. Hasil
penelitian ini menyarankan adanya evaluasi peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan konsumen agar lebih menjamin kepastian hukum bagi
konsumen dan pelaku usaha, kemudian juga perlu dilakukan upaya preventif baik
oleh bank maupun konsumen untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap
hak-hak konsumen.

ABSTRACT
This thesis examines the legal protection of ATM user in the banking industry. In
practice, a transaction with an ATM machine often causes problems. The common
problem is when an ATM machine swallows an ATM card, followed by an
unauthorized cash withdrawal/cash advance which is, however, recorded by the
bank. In this case, consumers’ position is very weak since It is generally difficult
to request for banks accountability of missing funds. This is evident from the legal
relationship between the consumer and the bank under the agreement reflected in
the opening account form that contains a standard clause. in which the
responsibility of business operators is removed. For this reason, there is an
important need for government’s intervention to protect consumers through laws
and regulations. However, in practice, these rules can not be said to have been
applied efficiently and effectively as with the case of Supreme Court's decision
No.769 K/Pdt.Sus/2011. The research in this thesis is a normative legal research
using qualitative approaches for the data analysis. The results of this study
suggests that there is an existence for a legislation evaluation in the field of
consumer protection. in order to ensure legal certainty for consumers and business
operators and to avoid the violation of the rights of consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ,
381.34 YAY p II
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>