Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97670 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iswari Setianingsih
"LATAR BELAKANG
Asma pada anak merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai dengan angka kejadian kira-kira 5-10 % (Godfrey, 1983). Di Indonesia belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak, namun diperkirakan berkisar antara 5-10 % dari seluruh anak. Lebih dari 50 % kunjungan di Poliklinik Sub Bagian Paru Anak FKUI-RSCM merupakan pasien asma (Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 1985).
Sebagian besar pasien asma anak (70-75 %) tergolong ringan (Phelan dkk., 1982), tetapi penyakit ini seringkali merupakan penyebab ketidakhadiran anak di sekolah, meningkatkan frekuensi kunjungan ke dokter, dan bahkan meningkatkan angka perawatan di rumah sakit.
Prognosis penyakit ini bergantung pada perjalanan penyakit (Phelan dkk., 1982) dan penatalaksanaannya. Pada golongan pasien asma anak yang berat, 50 % di antaranya akan menetap sampai dewasa .
Walaupun pengaruh penatalaksanaan terhadap prognosis asma masih belum jelas (Phelan dkk., 1982; Gerritsen, 1989; Warner dkk, 1989), penanganan asma yang tidak adekuat diduga dapat menyebabkan kerusakan paru yang menetap. Penatalaksanaan asma pada anak bergantung pada ketepatan diagnosis dan penentuan derajat klinis asma. Kedua hal tersebut sangat berperan dalam pemilihan strategi penanganan asma pada anak.
Diagnosis asma pada anak kadang-kadang sulit, karena sering dijumpai pasien asma dengan gejala klinis tidak khas yaitu hanya batuk kronis dan berulang tanpa mengi. Selain itu anamnesis yang didapat sering tidak dapat menunjang diagnosis asma. Di luar serangan asma.sebagian besar pasien tampak normal.
Penentuan derajat klinis asma juga tidak mudah, karena anamnesis yang didapat seringkali tidak dapat memberikan informasi mengenai saat terjadinya serangan pertama kali, kekerapan serangan asma, dan perjalanan penyakitnya. Selain itu keadaan klinis serangan asma yang berat belum tentu menggambarkan berat ringannya derajat klinis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Pahala
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kekerapan yang meningkat baik di negara sedang berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju.1-3 Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 asma,bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema merupakan penyebab kematian nomor tujuh di indonesia.
Konsensus internasional yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronis saluran napas yang didalamnya terlibat berbagai sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil dan limfosit T. Asma dalam derajat apapun sudah terjadi inflamasi kronis saluran napas. inflamasi ini sudah terdapat pada asma yang sangat ringan sekalipun. Inflamasi saluran napas kronis memberikan gambaran kiinik khas yaitu obstruksi saluran napas yang reversibel dan hipereaktiviti bronkus. Inflamasi saluran napas merupakan mekanisme utama yang menyebabkan obstruksi saluran napas dan hipereaktiviti bronkus terhadap berbagai stimuli pada asma. Tetapi kiasifikasi berat asma didasarkan pada gejala klinis dan nilai faal pare, bukan berdasarkan penilaian sel inflamasi di saluran napas sesuai dengan definisi asma yaitu inflamasi kronik saluran napas.
Sel inflamasi yang berperan pada patogenesis asma terutama sel limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbulkan kerusakan sel epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan utama dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas asma. Pengerahan eosinofil yang terektivasi dan mediatornya di dalam saluran napas sangat behubungan dengan berat hipereaktiviti bronkus. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil dan eosinophy/iic cationic protein (ECP) atau secara tidak langsung dengan mengukur eosinofil darah. Jumlah eosinofil sputum meningkat sering berhubungan dengan berat derajat asma. Pemeriksaan eosinofil sputum dan hipereaktiviti bronkus dengan metakolin merupakan pemeriksaan objektif yang berguna untuk menilai inflamasi saluran napas penderita asma. Penilaian proses inflamasi pada diagnosis asma saat ini hanya menggunakan uji provokasi bronkus untuk mengukur hipereaktiviti bronkus dan pemeriksaan eosinofil darah, sedangkan eosinofil sputum dan uji kulit jarang dilakukan.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan bahan pemeriksaan sel inflamasi saluran napas yaitu secara invasif dan noninvasif. Cara invasif meliputi kurasan bronkus, bilasan bronkus dan biopsi bronkus. Sedangkan cara noninvasif adalah dengan induksi sputum dan sputum spontan. 1nduksi sputum dengan garam hipertonik dapat merangsang peningkatkan produksi sputum dengan risiko yang Iebih kecii, aman, reproduksibel, valid dan efektif.
Saat ini hubungan antara inflamasi dan hipereaktiviti bronkus banyak diteliti dan diperdebatkan. Beberapa peneliti menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara hipereaktiviti bronkus dan inflamasi saluran napas, sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan korelasi yang bermakna. Tetapi korelasi antara inflamasi saluran napas dengan hipereaktiviti bronkus tidak selalu ada.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah eosinofil sputum dengan hipereaktiviti bronkus pada penderita asma alergi persisten sedang yang stabil dengan jumlah eosinofil sputum orang sehat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aprilicia
"ABSTRAK
Asma merupakan penyakit inflamasi saluran pernapasan yang sering
dijumpai pada anak-anak dengan insiden kejadian yang lebih tinggi dibanding
kelompok umur lainnya. Diperkirakan, sekitar 300 juta penduduk dunia saat ini
menderita asma dan akan meningkat menjadi 400 kasus pada tahun 2025. Selain
dari faktor pejamu yang tidak dapat dimodifikasi, peningkatan prevalens asma
diduga juga berhubungan dengan adanya peran dari faktor lingkungan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
asma dan pencetus serangan asma anak usia 0-11 tahun di Indonesia pada tahun
2013. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskedas tahun 2013 dengan
desain cross sectional deskriptif. Responden terdiri dari 237.992 anak usia 0-11
tahun di Indonesia. Analisis data dilakukan dengan analisis chi square. Hasil
analisis univariat diperoleh prevalensi asma pada anak usia 0-11 tahun di Indonesia
pada tahun 2013 sebesar 3,6% dengan faktor pencetus yang paling sering adalah flu
atau infeksi sebesar 56,2%. Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa kejadian asma
pada anak usia 0-11 tahun berhubungan dengan umur, jenis kelamin, wilayah
tinggal, keadaan sosioekonomi, asap dapur, paparan pestisida dalam rumah, jenis
lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis plafon rumah, kebersihan ruang tidur,
kebersihan ruang masak, dan kebersihan ruang keluarga. Penelitian ini menemukan
bahwa peluang mendapatkan asma lebih tinggi ditemukan pada anak laki-laki,
berumur 2 tahun, tinggal di wilayah pedesaan, mempunyai keadaan sosioekonomi
rendah, terdapat asap dapur dalam rumah, terdapat paparan pestisida dalam rumah,
mempunyai lantai rumah berjenis tanah, dinding berjenis bambu, plafon berjenis
bambu, serta kebersihan ruang tidur, ruang masak, dan ruang keluarga yang tidak
bersih.

ABSTRACT
Asthma is an inflammatory disease of respiratory tract are often found in children
with a higher incidence of events than other age groups. It is estimated that around
300 million people worldwide currently suffer from asthma and will increase to 400
cases in 2025. Due to a host factors can?t be modified, there are a role of
environmental factors which contributed to increase the prevalence of asthma. This
study aims to determine the factors associated with asthma and trigger asthma attack
among children aged 0-11 years in Indonesia on 2013. This study using secondary
data from National Basic Health Research 2013 with a study design descriptive
cross-sectional. The respondents are 237.992 children aged 0-11 years in Indonesia.
Data was analyzed using chi square analysis. Result of univariate analysis shows
prevalence of asthma in children aged 0-11 years in Indonesia on 2013 amounted
to 3,6% with a trigger factor that most often is cold or infection by 56,2%. Results
of bivariate analysis shows that the prevalence of asthma among children aged 0-
11 years are associated with age, sex, region of residence, socioeconomic status,
kitchen smoke, exposure to pesticides in the home, the type of floor of the house,
the type of house wall, ceiling type of house, cleanliness of the bedroom, cleanliness
of cooking space, and cleanliness of the living room. This study found that the risk
chances of getting asthma was found higher in boys, 2 years old, live in rural areas,
have socioeconomic status is low, there is a kitchen smoke in the house, there is
exposure to pesticides in the house, has a house floor manifold earthen, wall
manifold bamboo, ceiling manifold bamboo, and the cleanliness of the bedroom,
kitchen, and family rooms are not clean.;;;"
2016
S65579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Amira Putri
"Latar Belakang Asma persisten banyak terjadi pada anak di bawah usia tiga hingga enam tahun. Karakteristik pada anak dengan asma persisten cukup bervariasi sehingga menyebabkan anak rentan mengalami kondisi yang tidak terkendali jika tidak segera ditangani. Di Indonesia, belum ada data yang menggambarkan karakteristik anak dengan asma persisten dan faktor-faktor yang memengaruhi derajat kendalinya. Metode Desain penelitian potong lintang dilakukan terhadap 81 anak berusia 6-18 tahun dengan asma persisten yang melakukan kontrol ke RSCM dalam rentang tahun 2019-2023. Pemilihan sampel dan pengambilan data dilakukan menggunakan rekam medis milik RSCM Kiara dengan metode total sampling. Hasil Asma persisten yang tidak terkendali terjadi pada 53 subjek (65.4%). Sebagian besar subjek berada dalam rentang usia 6-11 tahun (61.7%), berjenis kelamin laki-laki (55.6%), terpapar oleh alergen (72.8%), faktor lingkungan (34.6%), memiliki komorbiditas (88.9%), berada dalam kelompok gizi baik (43.2%), patuh terhadap pengobatan (74.1%), dan menggunakan terapi pengendali jenis metered dose inhaler (84.0%). Dari hasil analisis bivariat dan regresi logistik, tidak ada karakteristik yang menunjukkan hubungan signifikan terhadap derajat kendali asma. Kesimpulan Terdapat 65.4% anak dengan asma persisten yang tidak terkendali. Tidak ada karakteristik yang berhubungan signifikan dan berperan sebagai prediktor independen dengan derajat kendali asma.

Introduction Persistent asthma often occurs in children under the age of three to six years. The characteristics of children with persistent asthma are quite varied, making children vulnerable to experiencing uncontrollable conditions if not treated immediately. In Indonesia, there is no data that describes the characteristics of children with persistent asthma and the factors that influence the level of control. Method A cross-sectional research design was carried out on 81 children aged 6-18 years with persistent asthma who underwent control at RSCM in the period 2019-2023. Sample selection and data collection were carried out using medical records belonging to RSCM Kiara using the total sampling method. Results Persistent uncontrolled asthma occurred in 53 subjects (65.4%). Most of the subjects were in the age range of 6-11 years (61.7%), male (55.6%), exposed to allergens (72.8%), environmental factors (34.6%), had comorbidities (88.9%), were in the healthy weight group (43.2%), adherent to treatment (74.1%), and used metered dose inhaler control therapy (84.0%). From the results of bivariate analysis and logistic regression, there were no characteristics that showed a significant relationship to the level of asthma control. Conclusion There are 65.4% of children with persistent uncontrolled asthma. There were no characteristics that were significantly related and acted as independent predictors with the level of asthma control."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasna Pramita
"Latar Belakang
Prevalensi asma meningkat dalam 30 tahun terakhir dan bervariasi di berbagai negara, komunitas, etnis yang berbeda. Penelitian di Indonesia melaporkan prevalensi asma pada anak dan orang dewasa 6-7 %. identifikasi faktor-faktor risiko seperti faktor keturunan, atopi, urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, gizi, pola makanan, obesitas dengan kejadian asma perlu untuk menjelaskan variasi tersebut. Sampai saat ini studi prevalensi asma dan identifikasi faktor risiko di daerah pantai dengan jumlah sampel yang besar belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan
Mencari faktor-faktor risiko asma pada anak sekolah usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu.
Metodologi
Uji potong lintang dilanjutkan dengan disain kasus kontrol bersarang. Pada responden dibagikan kuesioner yang dikelompokkan berdasar diagnosis asma, pernah asma dan bukan asma. Untuk kelompok asma dalam 12 bulan terakhir, pernah asma dan tidak asma (keiompok kontrol) dipilih secara acak untuk dilakukan uji tusuk kulitlskin prick test.
Hasil
Telah dilakukan di 15 sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang tersebar di Kepulauan Seribu sebanyak 1505 responden terdiri atas 713 laki-laki dan 792 perempuan. Distribusi responden menurut jenis kelamin pada kasus asma dan kontrol tidak terdapat hubungan yang bermakna (IK 95%; 0,54-1,47, p=0,66). Hubungan orang tua menyandang asma dengan kejadian asma pada responden menunjukkan hubungan bermakna. Pada ayah (IK 95%; 6,09-59,9, p=0,001). Pada ibu (IK 95%; 1,23-7,95, p=4,001), Berdasarkan hasil uji tusuk kulit pada kelompok mengi dan kontrol menunjukkan hubungan yang bermakna (D. Pteronyssinus) dengan kejadian asma (p 0,0001). Sedangkan faktor risiko asma lainnya (urutan kelahiran dalam keluarga, rokok, hewan piaraan, dan obesitas) tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.
Simpulan
PrevaIensi gejala asma pads anak usia 13 hingga 18 tahun di Kepulauan Seribu berdasarkan riwayat mengi = 11,8%, mengi 12 bulan terakhir = 5,4 %. Didapat hubungan bermakna pada orang tua menyandang asma terhadap kejadian asma pada anak. Hasil uji tusuk kulit (D. pteronyssinus) menunjukkan hubungan bermakna dengan kejadian asma.

Background
The prevalence of asthma has been increasing in the last 30 years and varied among different countries, communities and ethnic groups. Study in Indonesia had reported that the prevalence of asthma in children and adults was 6-7%. Identification of risk factors, atopy, smoking, pet, nutrition, dietary pattern, obesity and incidence of asthma are necessary to explain the variation. Up to now, study on the prevalence of asthma and risk factors identification with big sample size in maritime region has never been conducted in Indonesia.
Objectives
The aim of the study is to determine risk factors of asthma in school children aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu.
Methods
A cross sectional study continued by nested case control was conducted in Kepulauan Seribu in June 2005. All respondents have to fill out questionnaire forms and were grouped based on diagnosis of asthma, history of asthma and no asthma. For the asthma group in last 12 months, history of asthma and no asthma (control group) were selected randomly for skin prick test.
Results
Data was obtained from 1505 subjects in 15 schools (elementary school, junior high school, senior high school) consisted of 713 boys and 792 girls. The prevalence of asthma in adolescents aged 13 - 18 years old in Kepulauan Seribu based on symptom of wheezing (11.8%), wheezing in the last 12 months (5.4%). Distribution of respondents based on gender found no significant relation between asthma and control group (CI 95%; 0.54-1.47, p=4.66). Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma (fathers CI 95%; 6.09-59.9, p=0.04I and mothers CI 95%; 1.23-7.95, p=0.001). Based on skin prick test, we found there was significant relation between alergen (D. Pteronyssinus) with incidence of asthma (p=4.0001), while other risk factors (family size, smoking, obesity, pet) had not showed significant relation with asthma.
Conclusions
The prevalence of asthma in adolescent aged 13-18 years old in Kepulauan Seribu based on history of wheezing was 11.8%, while symptom of wheezing in 12 month was 5.4%. Subjects with asthma associated significantly with their parents who also had asthma. Skin prick test (D. pteronyssinus) had significant relation with incidence of asthma.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Utami
"ABSTRAK
Latar belakang: Fokus terapi asma adalah mencapai terkendalinya asma secara
adekuat. Childhood Asthma Control Test (CACT) merupakan kuesioner
penilaian terkendalinya asma pada anak yang cepat dan mudah digunakan.
Penggunaan CACT di Indonesia masih terbatas karena kendala bahasa dan
budaya. Sampai saat ini belum ada kuesioner CACT versi Indonesia (terjemahan
CACT ke dalam bahasa Indonesia) yang terbukti sahih dan andal.
Tujuan: Mengetahui kesahihan (validity) dan keandalan (reliability) kuesioner
CACT versi Indonesia.
Metode: Menerjemahkan tujuh pertanyaaan kuesioner CACT menjadi kuesioner
CACT versi Indonesia. Studi potong lintang dilakukan terhadap 66 subjek usia
4-11 tahun yang dipilih secara konsekutif. Semua subjek menjalani uji fungsi paru
dan pemeriksaan peak expiratory flow berkala. Analisis statistik menggunakan
uji Cronbach?s  dan uji korelasi Pearson/ Spearman.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 7,89 tahun (5,25 -11,83 tahun) dengan
proporsi jenis kelamin lelaki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Sebagian
besar subjek penelitian yaitu 60,4% memiliki status asma tidak terkendali (nilai
kuesioner CACT ≤19). Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai keandalan
(Cronbach?s  0,762) dan kesahihan konstruksi (r= 0,384-0,545) yang baik.Tidak
terdapat korelasi bermakna antara kuesioner CACT versi Indonesia dengan nilai
FEV1 (r =-0,024; p=0,846) dan nilai variabilitas mingguan PEF (r=-0,218;
p=0,079).
Simpulan: Kuesioner CACT versi Indonesia mempunyai kesahihan dan
keandalan yang baik untuk menilai terkendalinya asma. Kuesioner ini tidak
mempunyai korelasi dengan uji fungsi paru sehingga CACT tidak dapat
menggantikan peran uji fungsi paru sebagai salah satu komponen penilaian
terkendalinya asma.

ABSTRACT
Background: The goal of asthma treatment is to achieve control over the asthma
adequately. The Childhood Asthma Control Test (CACT) is a quick and easy-touse
questionnaire for assessing asthma control on children. The usage of CACT in
Indonesia is limited due to the language and culture barrier. To date, there is no
Indonesian version of CACT questionnaire that is proven to be reliable and valid.
The aim of this study was to validate the Indonesian version of this test.
Objectives: To learn the validity and reliability of the Indonesian version of
Childhood Asthma Control Test (I-CACT).
Methods: Translation of the established seven-item questionnaire into the ICACT.
Cross-sectional study was conducted among 66 participants aged 4-11
years old which were recruited consecutively. All patient undergone pulmonary
function test and measured peak expiratory flow (PEF) regularly. The reliability
of I-CACT was assessed using the internal consistency (Cronbach?s ) and the
validity was assesed by the Pearson/Spearman correlation test.
Results: The mean age was 7.89 years (5.25-11.83y) with predominantly boys.
Sixty percent of participants had uncontrollable asthma (score I-CACT ≤19). Both
the internal consistency reliability (Cronbach?s  0.762) and the constructed
validity (r= 0.384-0.545 ) of the I-CACT were good. No significant correlation
was found between the I-CACT score with the FEV1 (r =-0.024; p=0.846) and the
variability of PEF (r=-0.218; p=0.079) respectively.
Conclusions: I-CACT is a valid and reliable test for assessing asthma control.
However, I-CACT does not correlate well with the pulmonary function test and
therefore is not a substitute to the role of pulmonary function in assessing asthma
control."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Maurits
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan dengan kekerapan yang meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 asma, bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia.
Proses inflamasi pada asma sangat kompleks karena melibatkan banyak komponen set inflamasi pada asma. Sel inflamasi yang utama berperan pada patogenesis asma adalah set limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbukan kerrasakan epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas pada penderita asma termasuk pada saat eksaserbasi. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil bronkus maupun melalui eosinofil darah.
Pada sejumlah kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan atopi atau alergi melalui mekanisme IgE dependent Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan hiperreaktiviti bronkus pada penderita asma. Jensen dkk menyimpulkan kadar IgE total serum tidak berhubungan dengan derajat hipereaktiviti bronkus. Peran infeksi saluran napas pada eksaserbasi asma sudah diketahui sejak lama terutama infeksi oleh virus yang diperkirakan sebesar 80% pasien. Infeksi bakteri beberapa tahun terakhir ini saja dianggap berperan pada asma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
"Pada pengobatan asma bronkial diperlukan penilaian derajat berat asma. Hal tersebut
biasanya dilakukan dengan mengukur hiperreakfrfitas bronkus. Tetapi oleh karena sarana tersebut di rumah sakit tipe C belum tersedia, maka salah satu cara yang digunakan adalah menghitung jumlah eosinofil total darah tepi. Hal ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara eosinofil dan hiperreaktifitas bronkus. Arus Puncak Ekspirasi berhubungan dengan derajat berat asma. Oleh karena itu diteliti apakah eosinofil total darah tepi berhubungan dengan Arus Puncak Ekspirasi. Sebagai langkah pendahuluan
dilakukan penelitian pada 60 penderita asma bronkial untuk melihat apakah eosinofil total darah tepi dapat menjadi tolok ukur derajat berat asma. Penelitian ini bersifat cross-sectional, dilakukan pada 30 penderita asma daiam serangan
yang datang ke Instalasi Gawat Darurat Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo dan 30 penderita asma yang tidak dalam serangan yang berobat
jalan ke Poliklinik Alergi-lmunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, untuk melihat hubungan antara eosinofil total darah tepi dan Arus
Puncak Ekspirasi. Pada kelompok penderita asma tidak dalam serangan dilakukan
pengamatan selama empat minggu dan pada kelompok penderita asma dalam serangan
hanya dilakukan satu kali pemeriksaan mengingat tingginya angka drop-out. Setiap
penderita diperiksa eosinofil total darah tepi dan Arus Puncak Ekspirasi. Jumlah eosinofil pada penderita asma dalam serangan berkisar antara 290-382/pl
(335,67+127,31) dan pada penderita asma tidak dalam serangan antara 162-182/pl
(172,65+27,79). Nilai Arus Puncak Ekspirasi pada penderita asma dalam serangan
berkisar antara 22-32% (27,35±13,18) dan pada penderita asma tidak dalam serangan
antara 68-71% (69,73±4,52). Terdapat hubungan terbalik antara eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi, tetapi korelasinya lemah (r=-0,53 , R2=0,28 dan p<0,001). Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meyakinkan hubungan eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi pada asma bronkial dengan sampel yang lebih besar dan diikuti secara longitudinal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zilfa Yenny
"Ruang lingkup dan metodologi : Telah banyak bukti yang menggambarkan dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa debu kayu mungkin berhubungan dengan timbulnya asma kerja di Mangan pekerja mebel sektor informal. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan melibatkan total populasi pekerja di tempat penelitian. Peserta penelitian adalah 135 dari 274 (49.27%) orang pekerja dengan rentang usia 18 - 60 tahun. Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru, dalam kurun waktu Juli sampai Augustus 2004. Dan selain itu, dilakukan juga pemeriksaan debu lingkungan kerja baik total maupun respirabel. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja.
Hasil dan Kesimpulan : Dan populasi penelitian, 24 orang (17.8%) adalah penderita asma, dengan asma kerja 11,11% dan asma yang diperburuk oleh kerja sebesar 6.67%. Setelah dilakukan analisis multivariat, diketahui faktor risiko maupun yang berpengaruh terhadap timbulnya asma kerja, yaitu indeks masa tubuh (OR : 26.625, 95% CI : 4.198-168.846, dan p < 0.001), riwayat atopi (DR : 14.250, 95% CI : 2.685-75.620, dan p < 0.002), keluhan hidung (OR : 5.714, 95% CI : 1.779-18.356, dan p = 0.003) serta lokasi kerja dengan debu tinggi (OR : 4.295, 95% CI : 1.195-15.439 dan p = 0.026). Dapat disimpulkan bahwa indek masa tubuh, riwayat alergi serta pajanan debu tinggi memainkan peranan penting dalam terjadinya asma akibat kerja.

Scope and methodology : Evidence was accumulated concerning the adverse effects of wood-dust. Studies have suggested that wood-dust may be associated with work related asthma among furniture workers at informal sector. This study was population-based and retrospective. The selected participants were 135 from 274 (49.27%) workers who ranged in age from 18 to 60 years. Data used were derived from interview, physical examinations, and lung function test during July up till Augustus 2004. Beside that, measuring if dust at working environtment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma.
Results and Conclusion : Study found that 24 workers (17.8 %) were suffering from asthma, were divided into occupational asthma 11.11% and work-aggravated asthma 6.67%. After conducting multivariate analyses - logistic regression, risk factors which related to work-related asthma, were body mass index (OR : 26.625, 95% CI : 4.198 - 168.846, with p < 0.001), atopic historical (OR : 14.250, 95% CI : 2.685 - 75.620, with p < 0.002), nose problem (OR : 5.714, 95% CI : 1.779 -18.356, with p = 0.003) and high dust-exposure (OR : 4.295, 95% CI : 1.195 - 15.439 with p = 0.026). The study concluded that body mass index, allergic historical and high dust-exposure might play significant role, in work-related asthma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>