Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139961 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Amirullah A.S
"

Pendahuluan: Tujuan jangka panjang penatalaksanaan asma adalah mencapai status kontrol yang baik, mempertahankan aktivitas secara normal, mengurangi risiko eksaserbasi, mempertahankan fungsi paru mencapai normal atau mendekati normal dan menghindari efek samping obat. Penatalaksanaan secara farmakoterapi dan non farmakoterapi saling berkaitan. Salah satu penatalaksanaan non farmakologi yaitu menilai kepatuhan penggunaan obat pengontrol serta pendekatan kepada pasien terhadap penilaian pengetahuan dan sikap pasien mengenai penyakit asma

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap mengenai asma dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol pada asma tidak terkontrol di poli asma Rumah Sakit Pusat Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan Jakarta

Metode: Desain penelitian menggunakan metode desain potong lintang pada 96 subjek dengan status asma tidak terkontrol dan terkontrol sebagian yang berobat di poli asma RSUP Persahabatan Jakarta mulai Juli hingga Agustus 2019. Analisis deskriptif pada data menggunakan SPSS versi 20 dan uji Chi square untuk menilai kemaknaan (dikatakan bermakna bila p<0,05).

Hasil: Subjek perempuan, usia dewasa, tingkat pendidikan sedang, tidak bekerja dan IMT lebih merupakan karakteristik subjek yang terbanyak pada penelitian ini. Sebanyak 80 subjek memiliki tingkat kepatuhan yang baik terhadap penggunaan obat pengontrol. 80 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang baik, 11 subjek memiliki tingkat pengetahuan yang sangat baik, 5 subjek memiliki tingkat pengetahuan sedang. Sebanyak 84 subjek memiliki sikap yang baik mengenai asma. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,765) dan juga tidak terdapat hubungan antara sikap dengan kepatuhan penggunaan obat pengontrol (p=0,408).

Kesimpulan: Hubungan tingkat pengetahuan subjek dan sikap subjek mengenai asma tidak bermakna secara statistik terhadap kepatuhan penggunaan obat pengontrol. Walaupun demikian, tingkat pengetahuan asma yang sangat baik dan sikap yang baik mengenai asma menunjukkan proporsi kepatuhan penggunaan obat pengontrol yang lebih baik dibandingkan kategori lainnya.

 

Kata Kunci: Pengetahuan, sikap, kepatuhan, obat pengontrol, status 


Introduction:The long-term goals asthma management are achieve symptom control, maintain normal activity, risk reduction, maintain normal lung function and avoid medication side effect. Pharmacology and non-pharmacology management are related each other. Non-pharmacology management are asses the adherence controller medication and approach to the patient in evaluating the knowledge and attitude about asthma.

Aim:Asses the association of knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence of uncontrolled asthma patients in asthma clinic Persahabatan Hospital Jakarta.

Method:Cross sectional study of 96 adults with uncontrolled and partial controlled asthma attending asthma clinic at Persahabatan hospital Jakarta in July until August 2019. Descriptive analysis method with SPSS version 20 and Chi square test to asses significancy (p<0,05).

Result:Woman, adult, moderate educational level, non job and higher body mass index are the most characteristic subject in this study. 80 subjects have good adherence with controller medication. 80 subjects have good knowledge, 11 subjects have very good knowledge, 5 subjects have moderate knowledge. Asthma can be cured/controlled and adjust dose of the medications according to patients symptoms/cost are the most attitude found in this study. There is no association between knowledge and controller medication adherence (p=0,765) and no association between attitude and controller medication adherence (p=0,408).

Conclusion: The association between knowledge and attitude about asthma with controller medication adherence have no significancy in statistical analysis. Eventhough, excellent knowledge and good adherence show better proportion in controller medication adherence than other category

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Medina Husen
"Diagnosis dan tatalaksana batuk kronik berulang (BKB) pada anak masih menjadi masalah karena etiologinya yang beragam. Selain anamnesis dan pemeriksaan finis yang seksama, upaya untuk tatalaksana BKB yang baik memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang tergantung dari indikasinya. Salah satu pemeriksaan penunjang pada BKB adalah uji provokasi bronkus yang dapat membuktikan adanya hiperreresponsivitas bronkus (HRB). Stimulus bronkospasmogenik dapat berupa zat farmakologis maupun nonfarmakologis. Golongan zat farmakologis yang sering dipakai adalah histamin dan metakolin sedangkan zat nonfarmakologis diantaranya adalah salin hipertonik (SH) 4,5 %.
Histamin dan melakolin adalah baku emas uji provokasi bronkus dianggap cukup balk untuk membedakan subjek asma dan normaL Sensitivitas dan spesifisitasnya sebesar 92-100% dan 92-93%, NDP 29-92%, NDN 92-100%. Dari beberapa penelitian diketahui pula bahwa derajat HRB oleh histamin sesuai dengan derajat asmanya, makin berat asma maka HRB terhadap histamin akin sema kin berat. Namun akhir-akhir ini histamin harganya mahal dan sulit ditemukan di Indonesia karena harus diimport dari luar negeri. Oleh karena itu saat ini dicari alternatif uji provokasi bronkus yang derajat akurasinya setara dengan histamin.
Salin hipertonik 4,5% mulai dikenalkan secara luas sejak tahun 1980 terutama di Australia. Zat ini dapat dibuat di laboratorium obat sederhana dari kristal NaCl. Harganya murah dan cara membuatnya pun mudah. Beberapa penelitian sebelumnya mendapatkan nilai spesifisitasriya berkisar antara 92-100% namun sensitivitasnya flushing dari sakit kepala sedangkan salin hipertonik dapat menyebabkan iritasi tengorokan. Nilai reprodusibiiitas kedua uji provokasi terbukti cukup baik.
Prevalensi asma pada BKB cukup tinggi berkisar antara 40-6d%. Uji provokasi bronkus yang dilakukan pada pasien BKB tujuannya adalah untuk memastikan diagnosis asma bukan untuk skiring karena biasanya pasien yang berkunjung ke Poliklinik RSCM sudah berobat ketempat lain sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan uji diagnosis yang sensitif untuk menegakkan diagnosis dan menentukan tata]aksana yang optimal. Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu seberapa baik kemampuan SH 4,5% untuk mendiagnosis asma pada anak dengan batuk kronik berulang.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum
Membuktikan bahwa uji provokasi SH 4,5% dapat mengantikan uji provokasi his tamin sebagai uji diagnostik altematif asma pada pasien BKB.
Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik pasien BKB yang dilakukan uji provokasi.
2. Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kernungkinan negatif dari uji provokasi SH 4,5%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Utami Iriani
"Polusi udara di DKI Jakarta terus menunjukkan peningkatan bahkan beberapa polutan telah melewati nilai ambang batas. Meningkatnya kadar polutan di udara menimbulkan serangan asma dan bronkitis pada masyarakat. Tahun 2001 penyakit saluran napas bawah adalah termasuk penyakit 10 besar di Indonesia dan di Jakarta berada pada peringkat 15 besar.
Studi ekologi dengan analisis time trend ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis. Data yang digunakan adalah data skunder harian iklim (radiasi matahari, kelembaban, suhu arah angin, kecepatan angin), parameter ISPU (PM10, SO2, 03, NO2) dari BPLHD DKI Jakarta dan kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari pasien yang terserang asma/bronkitis dari 5 RS (Fatmawati, Pasar Rebo, Koja, Sumber Waras, Cipto Mangunkusumo) yang masing-masing mewakili wilayah di DKI Jakarta.
Dan data per minggu selama tahun 2002-2003 ditemukan radiasi matahari di Jakarta 151,65 W/m2, kelembaban 75,68 %, suhu 27,95°C, arah angin 159,93°, kecepatan angin 1,83 m/s. Rata-rata per minggu PM10 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3 , 03 53,21 µg/m3 , NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 dan 67,9 % dalam kategori sedang. Rata-rata per minggu kunjungan asmalbronkitis 47 kali. Radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan 03 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Suhu mempunyai korelasi positif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Arah angin mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Kecepatan angin berkorelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan PM10, SO2, dan 03. Asma dan bronkitis mempunyai korelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan 03. Hasil analisis time trend dalam periode tiga bulanan didapatkan pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan ISPU.
Disimpulkan bahwa keadaan suhu dan kelembaban di Jakarta masih nyaman dengan radiasi matahari yang cukup. Arah angin Selatan Tenggara dengan kecepatan sepoi lembut. Semua parameter ISPU masih di bawah baku mutu dan sebagian besar udara Jakarta selama tahun 2002-2003 dalam kategori sedang. Tingginya konsentrasi NO2 di udara sejalan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien yang terserang asrna/bronkitis. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk membuat suatu sistem kewaspadaan dini bagi penderita asmalbronkitis tentang buruknya kualitas udara. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kausalitas diperlukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lama dan dengan desain kohort.

Relationship Between Climate, Pollutant Standard Index (PSI) and Asthma Bronchitis Attack in DKI Jakarta 2002-2003 (Ecology Time Trend Study in 5 General Hospitals in DKI Jakarta)Air pollution in DKI Jakarta increases continuosly every year even some pollutant have been over threshold limit value. This can cause asthma attack and bronchitis to people whose exposed. In 2001, chronic respiratory diseases still in 10 big diseases class in Indonesia and 15 in Jakarta.
Ecology study with time trend analysis is aimed at finding relationship between parameters of PSI with asthma attack and bronchitis. Climate data such as sun radiation, humidity, temperature, wind direction and wind speed is get from BPLHD Jakarta. Parameters of PSI such as PM10, SO2, 03, NO2 is get from BPLHD also. Asthma attack and bronchitis visit is get from 5 general hospitals in Jakarta which each hospital represent every district.
From 2002-2003, it is found that the weekly average of sun radiation in Jakarta is 151,65 W/m2, humidity 75,68 %, temperature 27,95°C, wind direction 159,93°, wind speed 1,83 m/s. Weekly average of PM10 is 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3, 03 53,21 µg/m3, NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 and 67,9 % data still in middle category, The weekly average of asthma /bronchitis attack visit is 47 times. Sun radiation have positive correlation with 03 and PSI. The humidity negative correlation with PM10, SO2, 03, NO2 and PSI. The temperature have positive correlation with PM10, SO2, 03, NO2. The wind direction in Jakarta from 2002-2003 have negative correlation with PM10, S02, 03, NO2 and PSI. The wind speed have positive correlation with NO2 and negative correlation with PM10, SO2, and 03. Asthma attack and bronchitis have positive correlation with NO2 and negative correlation with 03. The result of time trend analysis in 3 months period show that the trend pattern of asthma /bronchitis attack visit doesn't follow the trend pattern of PSI parameters.
It is conclude that the temperature and humidity of Jakarta still comfort for human with enough radiation intensity. Wind direction is South East and in slow speed. All PSI parameters still under treshold limit value and most of the air condition of Jakarta in 2002-2003 is still in the middle category. The highest concentration of NO2 is, the more asthma/bronchitis patient's visit. It is need over sector cooperation to make early detection system for asthma/bronchitis sufferer about how bad the air quality. To get better conclusion of causality it is need more research in long term, for instance (5-10) years and in cohort design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carlina Cornain Abdullatif
"ABSTRAK
Asma merupakan suatu kelainan yang kompleks dengan banyak faktor penyebab Yang turut berperan untuk menimbulkan serangan asma. Sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor pencetus yang banyak terdapat di lingkungan rumah tangga dan dapat dihindari. Serangan asma dapat terjadi pada setiap waktu dan kadang-kadang selain mendadak juga dapat terjadi serangan yang berat. Disinilah terdapat peran serta orang tua yang harus disadarkan dan ditingkatkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pencetus yang umumnya berada di lingkungan rumah tangga.
Salah satu tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah agar orangtua dapat memahami asma-anak dengan baik supaya dapat menanggulangi asma secara optimal, sehingga tercapai keseimbangan yang serasi dan selaras antara anak-asma dan lingkungannya dengan demikian anak-asma tersebut dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan umurnya.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006
616.238 ASM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Septia Pristi Rahmah
"ABSTRAK
Salah satu zat pencemar yang mampu menyebabkan kekambuhan asma adalah
nitrogen dioksida (NO2). Konsentrasi NO2 yang tertinggi di Kota Padang berasal
dari transportasi (50,57 ug/Nm3). Daerah dengan konsentrasi NO2 tinggi di Kota
Padang adalah daerah Lubuk Kilangan dan daerah dengan konsentrasi NO2 rendah
di Kota Padang adalah beberapa wilayah di Kecamatan Koto Tangah. Data pasien
asma diambil dari Puskesmas masing-masing wilayah kerja (Puskesmas Lubuk
Kilangan dan Puskesmas Air Dingin).
Penelitian dilakukan dengan desain studi kohort retrospektif, dimana pajanan NO2
telah terjadi di masa lalu, sedangkan riwayat kakambuhan asma diikuti selama
Januari – November 2014. Anak yang menjadi responden adalah anak yang
berusia ≥ 7 tahun dan telah menderita asma selama minimal 2 tahun pada saat
penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan konsentrasi NO2
dengan kekambuhan asma pada anak dengan pvalue 0,003 dengan Risiko Relatif
(RR = 2,273). Variabel yang paling dominan mempengaruhi kekambuhan asma
adalah konsentrasi NO2 dan riwayat prematur setelah dikontrol variabel lain
secara multivariat menggunakan uji Cox Regression.

ABSTRACT
One of contaminants that can cause an asthma relapse is nitrogen dioxide (NO2). The
highest concentration of NO2 in Padang is from transportation (50.57 ug / Nm3). An
area with high concentrations of NO2 in the city of Padang is Lubuk Kilangan and
areas with low NO2 concentrations in Padang are some areas in the district of Koto
Tangah. Data of Asthma patient taken from each health center of working area (health
centers Lubuk Kilangan and health centers Air Dingin).
The study was conducted with a retrospective cohort study design, in which NO2
exposure has occurred in the past, while history of asthma relapse followed during
January-November 2014. Children who were respondents are children ≥ 7 years old and
have been suffering from asthma for at least 2 years at the time of research.
The results showed a significant relationship between the concentration of NO2 with
recurrence of asthma in children with p value 0.003 with relative risk (RR = 2.273).
The most dominant variable affecting the recurrence of asthma is the concentration of
NO2 and premature history after controlled others variable in multivariate using Cox
Regression Test"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tresnasari Satya Putri
"Pada tahun 2011, 235 juta orang di dunia menderita asma (WHO, 2011). Di Indonesia, prevalensi asma terus mengalami peningkatan yaitu sekitar 4,0% (Kemenkes, 2008). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya perawatan pasien asma di RSUP Persahabatan. Desain penelitian adalah potong lintang (cross sectional). Sumber data primer didapatkan dari catatan rekam medik pasien. Sampel pada penelitian berjumlah 41 orang. Penelitian ini melibatkan 41 pasien terdiri dari 29 orang (70,7%) perempuan dan 12 (29,3%), 58,5% pasien tidak bekerja, 53% pasien menggunakan askes. Sebanyak 31,7% pasien asma menderita penyakit penyerta non TB dimana 36,6% pasien dirawat di kelas 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan total biaya perawatan pasien asma di RSUP Persahabatan adalah cara pembayaran, kelas perawatan, dan lama hari rawat.

In 2011, as many as 235 million people worldwide suffer from asthma (WHO, 2011). In Indonesia, the prevalence of asthma is increasing at about 4.0% (Ministry of Health, 2008).The general objective of this study was to analyze the factors associated with patient care costs of asthma in the department of Friendship.The study design was cross-sectional (cross-sectional). Sources of primary data obtained from the patient medical record. The samples in this study amounted to only 41 people. The study involved 41 patients, including 29 men (70.7%) women and 12 (29.3%) of men who had an average age of 43.60 years. 58.5% of patients did not work, 53% of patients using the health insurance payment. A total of 31.7% of patients with asthma suffer from comorbidities non TB where 36.6% of patients admitted to class 1. Factors associated with the total cost of patient care in the department of Friendship asthma among other means of payment, classroom maintenance, and long day care.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>