Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189360 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Muljati
"Hingga saat ini KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia dan banyak diderita oleh anak balita dalam berbagai gradasi. PMT merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah.
Penelitian ini merupakan analisis data skunder dari penelitian Efektifitas Pemulihan KEP (Kurang Energi Protein) pada Batita di Masyarakat dengan menggunakan susu skim sebagai makanan tambahan. Penelitian dilakukan di desa Pagelaran, yaitu salah satu desa IDT di wilayah puskesmas Ciomas-Bogor. Dalam penelitian tersebut ketahanan gizi kurang pada batita selama mendapat PMT belum dianalisis.
Jenis penelitian ini adalah longitudinal selama 12 minggu. Subyek yang dianalisis sebanyak 102 batita gizi kurang (<-2Z_Skor)-(-3Z_Skor) BB/U dan terbagi dalam dua kelompok secara sistematik random sampling. Kelompok batita yang diberi susu skim 150 gram/minggu sebanyak 52 orang (kelompok perlakuan) dan sebanyak 50 orang lainnya adalah kelompok kontrol. Untuk kelompok kontrol pemberian susu skim ditunda dan diberikan segera setelah penelitian berakhir.
Analisis ini menggunakan metoda kaplan Meier, bertujuan untuk menentukan peluang ketahanan gizi kurang pada batita. Sedangkan Analisis Multivariat Regresi Cox digunakan untuk menentukan besar resiko batita gizi kurang untuk pulih menjadi gizi baik setelah secara bersama-sama dikontrol oleh faktor lain.
Hasil menunjukkan bahwa ketahanan gizi kurang pada batita dari kelompok perlakuan 19% dengan median ketahanan pada minggu ke 4. Sedangkan pada kelompok kontrol, peluang ketahanan gizi kurang 74% dengan median ketahanan gizi kurang pada minggu 12. Batita gizi kurang yang berumur ≥12 bulan memiliki risiko pulih menjadi gizi baik 0.547 kali dibandingkan kelompok umur 7-11 bulan, 95% CI (0.29:1.01).
Batita gizi kurang yang berasal dari rumah tangga dengan pengeluaran biaya rumah tangga kategori mampu memiliki ketahanan gizi kurang 34% dan median ketahanan pada minggu ke tujuh. Sedangkan batita dan rumah tangga kurang mampu memiliki peluang ketahanan gizi kurang 58% namun median ketahanan gizi kurang pada kelompok ini tidak diketahui. Batita gizi kurang dari keluarga kurang mampu memiliki risiko untuk pulih menjadi gizi baik 0.547 kali dibandingkan keluarga mampu, 95% CI (0,317;0.947).
Secara bivariat konsumsi energi dan protein berhubungan dengan ketahanan gizi kurang. P= 0.0169 (energi awal), p=0.0098 (energi akhir) dan p=0.0022 (protein akhir).
Ditemukan dalam penelitian ini bahwa pemberian susu skim pada batita gizi kurang memiliki kontribusi terhadap perbaikan gizi pada batita gizi kurang. Pengeluaran biaya rumah tangga per-bulan merupakan determinan waktu pemulihan pada batita gizi kurang yang mendapat susu skim, sebagai makanan tambahan.
Batita gizi kurang yang mendapat susu skim memiliki risiko pulih menjadi gizi baik 1,2 kali pada minggu ke empat, 6,7 kali pada minggu ke delapan dan 37 kali pada minggu ke 12 dibandingkan dengan batita gizi kurang yang tidak mendapat susu skim setelah dikontrol dengan umur anak dan pengeluaran biaya rumah tangga tangga per-bulan. Namun kontrol terhadap sumbangan kalori dan protein sehari-hari terbatas pada recall selama 24 jam.
Tepung susu skim dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan alternatif makanan tambahan untuk PMT pemulihan pada batita gizi kurang. Disamping itu perlu dikembangkan suatu model (paket pemulihan) pada batita gizi kurang yang dapat dilakukan di posyandu atau PPG (Pusat Pemulihan Gizi) sehingga dapat diadopsi dalam skala nasional.

The Effect of Skimmed-Milk Supplementary Feeding on the Recovery of Underweight Children Under Three Years Old (A Case Study in Desa Pagelaran, Ciomas, Bogor)
Protein Energy Malnutrition (PEM) among children under five is still one of main nutrition problem in Indonesia. Evidently 26.4 percent of children with less than -2 SD of weight for age (W/A) index, who underweight-weight-for-age Indicator (W/A), 8.2 percent are affected in severe grade (Z-scores -3 SD or less).
This thesis exercises data set from longitudinal study (12 weeks) of skimmed-milk supplementary feeding to improve nutrition status of children under three years old. The study was conducted in the village of Pagelaran, Ciomas, Bogor in 1999 to find out hazard risk of underweight child. Underweight children (Z-scores-W/A from >-3.0 SD to -2.0 SD) were enrolled in the study, and a total 102 participants of the study then were divided into two groups, namely treatment group composed of 52 children and control groups composed of 50 children. Each child in the treatment group was given 150 grams of skimmed milk weekly for a period of 12 weeks. The milk was delivered by health volunteers under the supervision of midwives and investigator. The children in controlled group received the same amount of skimmed milk after study was completed. Survival analysis-Kaplan Meier Survival analysis and Cox Multivariate regression analyses-Cox methods were applied.
The study revealed that the underweight children recovered to be normal during four weeks treatment with skimmed milk. Sensor of underweight children in the treatment group is 19 percent with median survival at week IV, while sensor of children in the control group is 74 percent with median survival at week XII. Underweight child aged 7-11 months has the risk to be normal 1.83 times compared to older underweight child (age 12 or more). Underweight child comes from wealthy family, as measured by expenditure proximation, has sensor 34 per cent with median survival at week VII; on the other hand sensor of non wealthy family is 58 percent.
Event for underweight child misagregated by energy and protein consumption relative to consumption in recommended dietary allowances (RDA) have also been calculated. Skimmed milk, as food supplement, has no cumulative effect on the improvement of nutritional status of the child. The household total expenditure is a determinant factor for length of recovery. The risk to be normal in a child who receives skimmed milk as food supplement increase as time recovery, namely 1.2, 6.7 and 37 times at week IV, VIII and XII respectively compared to child who do not receive skimmed milk. This analysis has been controlled by child age and household total expenditure.
It is important to note that skimmed milk is recommended to be food supplement for underweight children at least five weeks. Besides that it is necessary to develop nutrition promotion model that could be implemented in Nutrition Centre."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nitta Isdiany
"Prevalensi gizi kurang pada anak usia kurang dari 36 bulan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah keluarga miskin di Indonesia. Untuk mencegah semakin memburuknya status gizi dan kesehatan masyarakat, pemerintah telah melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Salah satu pelayanannya adalah intervensi gizi berupa pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak keluarga miskin.
Penelitian ini menganalisis data sekunder dari penelitian "Studi Dampak PMT terhadap Status Gizi dan Kesehatan Bayi dan Anak". Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi kekuatan hubungan PMT dengan status gizi anak usia 12 - 36 bulan. Lokasi penelitian di Propinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu wilayah sasaran program PMT JPS-BK. Faktor lain meliputi umur anak, jenis kelamin, lama pemberian ASI, penyakit infeksi, konsumsi energi, umur ibu, dan pendidikan ibu diduga mempengaruhi hubungan PMT dengan status gizi anak.
Desain yang digunakan adalah Case Control. Kelompok kasus adalah anak yang memiliki status gizi kurang dengan indeks BBIU (Z-skor <-2 SD). Sedangkan kelompok kontrol adalah anak dengan status gizi baik (Z-skor > -2 SD). Besar sampel 214 anak, terdiri dari 107 sampel kasus dan 107 sampel kontrol. Evaluasi dari PMT yang diterima anak merupakan komposit dari kandungan energi PMT dan lama mendapat PMT.
Hasil penelitian menunjukkan, dari seluruh sampel, sebagian anak ternyata menerima PMT dengan kualitas kurang. Penyelenggaraan PMT dengan model paket dibawa pulang ke rumah, ternyata hanya sebagian anak yang mengkonsumsi sendiri PMT tersebut. Proporsi anak yang menerima PMT kualitas kurang, lebih banyak ditemukan di kelompok kasus dibandingkan kontrol. Kesimpulan dari studi ini adalah tidak terbukti adanya hubungan yang bermakna antara PMT kualitas kurang dan cukup dengan status gizi anak. Diketahui pula faktor konsumsi energi ternyata berperan sebagai confounder, atau mempunyai pengaruh terhadap hubungan PMT dengan status gizi anak. Adanya bias misklasifikasi dalam pengukuran PMT.
Saran yang diajukan adalah program PMT akan lebih efektif dengan model feedings centers. Selain itu, perlu adanya kerjasama lintas sektor, seperti "dana bergulir" untuk meningkatkan pendapatan keluarga, atau pemanfaatan pekarangan rumah, yang dapat digunakan oleh anggota keluarga itu sendiri. Dengan demikian, konsumsi energi anak dapat meningkat dan berdampak terhadap status gizinya. Untuk meminimalkan bias misklasifikasi, perlu penelitian lebih lanjut dengan populasi terdiri dari anak yang mendapat PMT dan tidak mendapat PMT.

The relationship between supplementary feeding program (PMT) and nutritional status of children 12-36 months of age at Central Java Province(secondary data analysis)
The prevalence of underweight on children under 36 months of age increasingly with increment of poor families in Indonesia. To prevent more badly nutritional status and public health, the government has launched Social Safety Net Program in Health (JPS-BK). One of the services is nutritional intervention such as supplementary feeding program (PMT) for children from poor families.
The study was analyzed the secondary data "impact study supplementary feeding program on nutritional status and health on baby and children". The aim of the study to get information strength of relationship between supplementary feeding program and nutritional status on children 12 - 36 months of age. Location's study at Central Java Province, one of the target area JPS-BK supplementary feeding programs. Several factors such as age, sex, length of breastfeeding, infection, energy consumption, mother?s age, mother's education, was predicted influenced the relationship between PMT and nutritional status on children.
The design was case control study. Cases group is children who underweight by weight for age index (Z-score < -2 SD). Control group is children with nutritional status was good (Z-score > -2 SD). Sample size was 214, that was 107 cases and 107 control. Evaluation of PMT was composite from energy of PMT and duration of feeding.
Result of the study showed a half of the sample have gotten PMT as insufficient quality. All the supplement were delivered to the home, and showed a half of children who consumed PMT by himself/herself. Proportion of children who got PMT as insufficient quality, was more at cases group than control. The study concluded no significant relationship between insufficient quality and sufficient quality of PMT and nutritional status of children. Energy consumption was role as confounder. There was misclassification bias on measured PMT.
It is suggested that supplementary feeding program were more effectively with feeding centers model. It's necessary cross sector program such as "rotation fund" to increase income families or using garden home for members of families. Consequently, energy consumption of children increased, and have given indirect impact on nutritional status on children. To minimize misclassification bias, it's necessary a further study with population on children who supplemented and non supplemented."
Universitas Indonesia, 2002
T 3130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karolin, Cyamiati
"Evaluation on Management of Nutrition Program Implementation on Health Center in Bogor, 1999Health Center gives health service to whole people in Indonesia. Its aim to prevent nutrition problems and to improve nutrition status. In Health Center, there are several employee like nutritionist, nurse, midwife, and others. Bogor was located on West Java and near Capital of Indonesia. Total population on 1999 approximately 680.541 people. Bogor has 23 Health Centers, 31 sub districts, and 37 villages. All of Health Centers implement nutrition program, but it was low targets for DIS, NIS, and PEM, except in 1999/2000.
At the present time, management is one of important instrument on health development So, it has to efficient and effective. The study was aimed to get information about evaluation on input (human resource, cost, and facility), process (planning, leadership, and controlling), and output (D/S, NIS, PEM) in implementation of nutrition program. The study was conducted at 6 Health Centers. Data collecting was got from in depth interview and focus group discussion by questionnaire to input and process variable, where as output use secondary data from annual report at Dinkes, 1999. Data analysis use triangulation and was compared between interview result and theory.
The result of this study show that input (human resource, cost, and facility) was less and process (planning, organization, leadership, controlling) always exist. The target (NIS, KIS) was increased. Organization gives support to achieve the program. Leader is determinant to moving his staff on implement the program. On the other hand, report monthly was needed to do controlling. Result of under five years (balita) weighing in Bogor show that poor nutrition (medium PEM) are 3,3% (2047 children) and children that weighing are 100%. To intervention poor nutrition, there are fund from APBD II and other from Social Safety Network for Health. Where, it implementation by giving adding food to recovery. On this study, community involvement is necessary and we need one policy about Pozi (Pojok Gizi) Program."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani Suryana
"Suksesnya pembangunan kesehatan dan gizi yang dilaksanakan Indonesia telah dapat menurunkan masalah gizi yang dihadapi secara bermakna. Tetapi suksesnya pembangunan tersebut mengakibatkan pula perubahan pola penyakit yang ada di Indonesia. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi terlihat berkurang, sebaliknya penyakit degenaratif dan penyakit kanker meningkat. Peningkatan kemakmuran ternyata diikuti oleh perubahan gaya hidup. Pola makan terutama di kota-kota besar bergeser dari pola makan tradisional yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, sayuran dan serat ke pola makanan masyarakat barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam tetapi miskin serat. Sejalan dengan itu pada beberapa tahun terakhir ini mulai terlihat peningkatan angka prevalerisi kegemukan/obesitas pada sebagian penduduk Indonesia terutama di kota-kota besar, yang diikuti pula pada akhir-akhir ini di pedesaan.
Kelebihan gizi dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit batu kandung empedu. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan makan-makanan trendi, makan-makan berlemak. Disamping itu faktor aktivitas fisik juga berperan dalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktivitas pekerjaan dan aktivitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah status gizi lebih dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor.
Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pengumpulan data status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor risiko (kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan olah raga) dengan status gizi lebih pada orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor adalah sebesar 23,88% (klasifikasi Depkes).
Berdasarkan hasil analisis bivariat faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna antara lain : kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Dari hasil analisis model multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama semua faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa. dapat diketahui ada tiga faktor risiko yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa yaitu, kebiasaan makan-makanan trendi, umur dan jenis kelamin.
Selanjutnya dari analisis model regresi menunjukkan bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok orang dewasa yang berumur 30-39 tahun kejadiannya 2,96 kali lebih tinggi, 40-49 tahun kejadiannya 5,01 kali lebih tinggi, 50-59 tahun kejadiannya 3,91 kali lebih tinggi, 60-65 tahun kejadiannya 2,73 kali lebih tinggi. dibandingkan kelompok umur < 30 tahun. Selain itu juga dapat diketahui hasil dari analisis model regresi bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok yang jarang mengkonsumsi makan-makanan trendi 1,31 kali lebih tinggi dan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kejadiannya 2,97 kali lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah mengkonsumsinya. Sementara itu proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok orang dewasa yang berjenis kelamin perempuan 2,29 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terdapat interaksi faktor kebiasaan makan-makanan trendi dengan jenis kelamin dalam kaitannya dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor . Dimana pada kelompok perempuan yang jarang(1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makan-makanan trendi proporsi status gizi lebilmya kemungkinannya 0,73 kali dari kelompok laki-laki yang jarang mengkonsumsinya. Demikian pula proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kemungkinannya 0,32 kali dari kelompok laki-laki yang sering mengkonsumsinya.

Factors Related to the Status of Excess of Nutrition on Adults in Bogor in 1997 (Analysis of Secondary Data)The success on health and nutrition development program carried out has been able to decrease nutritious problem that is faced by Indonesian significantly. However, the development also results in changing disease pattern that exists in Indonesia. Infectious disease and malnutrition seems decreased, on the contrary the generative and cancer diseases increased. The increasing of prosperity is followed by the changing of life style. The pattern of having food especially in the big cities moves from a traditional food pattern that consumes a lot of carbohydrate, vegetables and fiber into having a western food pattern that consumes a lot of fat, protein, sugar and salt but consumes less fiber. As consequences, the increase of over weight prevalent value can be seen in recent years in many part of Indonesia, especially in the big cities and also followed by the villages recently.
Excess in nutrition can cause various health problems such as coronary heart, diabetes, hypertension, and gall stone. One factor which plays role is a habit of consuming trend food and fat food. Moreover, physical activity factor also plays role in regulating energy need which includes work and exercise activity. Besides that, other factors that plays role are age, gender and education level.
The purpose of this research is to know the problems of excess of nutrition status and its related factors on the adults in Bogor.
This research design is "cross sectional" by utilizing secundary data on nutritional status of adults. This data collected by Directorate for the Establishment of Nutrition for Community (Direktorat Bina Gizi Masyarakat), Health Department (Departemen Kesehatan) Republic of Indonesia and Health Service Bogor in 1997. The collected data was analyzed by either ` bivariat" or "multivariat" using "Logistic Regression" between risk factors (habit of having trend food, habit of having fat food, age, gender, education level, type of jobs and exercise) and excess of nutrition status of the adults.
The result shows that the excess of nutrition status prevalent of adults in Bogor is 23,88% (Depkes' classification). According to the analysis of "Bivariat" model, the risk factors which have significant relation are: habit of having trend food, habit of having fat food, ages, gender, education levels, and type of jobs.
From the analysis of "multivariat" model using all of the risk factors that are assumed has =elation with the excess of nutrition status of adults, found that there are three risk factors related to the excess of nutrition status of the adults. The three risk factors are habit of having trend food, ages and gender.
Further more, regression analysis model shows that the proportion of excess of nutrition status of the adults in Bogor compare to the group of people with less than 30 years old are as follows:
- Group with the age between 30 and 39 is 2.96 higher,
- Group with the age between 40 and 49 is 5.01 higher,
- Group with the age between 50 and 59 is 3.91 higher, and
- Group with the age between 60 and 69 is 2,73 higher.
Besides that, the regression analysis model also shows that:
- the proportion of excess to nutrition status of the adults in Bogor for a group of people that seldom consumed trend food is 1.31 higher compare to that of group that never consumed trend food, and The group that often consumed trend food is 2.97 higher compare to that of group that never consumed trend food.
Meanwhile the proportion of excess of nutrition status of the female adults is 2.29 higher than male adults.
There is interaction between the habit of having trend food factor and gender that is related to excess of nutrition status of the adults in Bogor. The female group that seldom (1-4 times/month) consumed trend food; the proportion of their excess of nutrition status is 0.73 more than the male group that seldom consumed it. The proportion of excess of nutrition status of the female adults that often consumed trend food is 0.32 higher than the male group that often consumed trend food.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnama Mardayanti
"Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesalahan gizi dapat merusak bangsa, baik pada gizi kurang maupun gizi lebih. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan adalah status gizidan kesehatan anak didik.
Tujuan dari ananlisis adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor risiko (jenis kelamin, jumlah anggota keluaraga, pengetahuan gizi, uang saku, kebiasaan makan, aktifitas fisik disekolah, kegiatan diluar sekolah dan kegiatan diwaktu luang) dengan status gizi pada siswa kelas 8 di SLTPN 7 Bogor tahun 2008. Penelitian yang dilakukan pada tanggal 6 dan 10-12 November 2008 di SLTPN 7 Bogor ini menggunakan disain cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas 8 SLTPN 7 Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) menggunakan alat timbangan seca dan microtoice, mewawancarai kebiasaan makan dengan menggunakan Frequency Food Quetionary dan menyebarkan kuesioner ke 204 responden yang dipilih secara acak. Variabel bebas dari penelitian ini adalah faktor biologis (jenis kelamin), faktor lingkungan (jumlah anggota keluarga), faktor sosial ekonomi (pengetahuan gizi, uang saku ), dan gaya hidup (kebiasaan makan utama, kebiasaan makan pagi, kebiasaan makan jajanan, aktivitas diluar sekolah, kegiatan waktu luang) dan sebagai variabel terikatnya adalah status gizi pada siswa kelas 8 SLTPN 7 Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 8 faktor yang diteliti, hanya 1 faktor yang berhubungan secara statistik dengan status gizi, yaitu faktor jenis kelamin. Dari 98 responden laki-laki, sebesar 27,6 % mengalami gizi salah, sebaliknya dari 105 responden perempuan hanya 12,4 % yang mengalami gizi salah. Sedangkan faktor-faktor risiko lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan secara statistik dengan status gizi.
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan adanya peningkatan fungsi dan peran Unit Kesehatan Sekolah (UKS), tambahan mengenai pendidikan gizi dan pengawasan peredaran makanan jajanan serta perlu adanya kunjungan rutin untuk mengontrol keadaan status gizi dan pemeriksaan kesehatan siswa oleh pihak Dinkes bekerja sama dengan pihak sekolah serta orang tua agar pengetahuan gizi anak lebih luas dan dapat memilih makanan jajanan yang lebih aman, sehat dan bergizi serta dapat mengatasi keadaan gizi yang salah pada anak."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Rosmana
"Prevalensi gizi kurang di Kabupaten Serang mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, hal ini dapat berdampak pada tingginya angka kematian bayi. Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya Kekurangan Energi dan Protein, Pola asuh gizi terhadap seorang anak merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian ini disamping banyak faktor lainnya seperti karakteristik keluarga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang gambaran status gizi anak, pola asuh gizi dan karakteristik keluarga yang memiliki anak usia 6 - 24 bulan, serta hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak usia 6 - 24 bulan di Kabupaten Serang Propinsi Banten tahun 2003, dan faktor - faktor lain terhadap hubungan tersebut .
Desain yang digunakan adalah Crossecfional, besar sampel yang diteliti adalah sebanyak 125 sampel. Pengumpiilan data mengenai status gizi dilakukan dengan penimbangan Berat Badan anak kemudian membandingkan dengan indeks BBIU (Z-skor < -2 SD untuk kelompok gizi kurang dan Z-skor <-2 SD untuk kelompok gizi baik), sedangkan untuk data pola asuh gizi dan karakteristik keluarga pengumpulan data dilakukan melaiui pengisian kuesioner.
Analisa statistik dilakukan dengan uji chi square untuk melihat hubungan antara variabel status gizi anak usia 6 - 24 bulan dengan variabel pola asuh gizi dan hubungan antara variabel karakteristik keluarga dengan dengan status gizi anak. Adapun untuk melihat faktor yang berpengaruh dalam hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak usia 6 - 24 bulan digunakan uji regresi logistik ganda, pemodelan faktor resiko dengan metode enter.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pola asuh gizi dengan status gizi anak usia 6- 24 bulan. Adapun variabel karakteritik keluarga yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi adalah jumlah anak dalam keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, status kesehatan anak, pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi ibu. Selain itu pengetahuan gizi ibu berperan sebagai faktor confounding dalam hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak usia 6 - 24 bulan.
Saran yang diajukan adalah agar ditingkatkan pengetahuan gizi khususnya tentang pola asuh gizi untuk para ibu umumnya dan para kader pada khususnya dengan melakukan berbagai pelatihan. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pola asuh gizi anak usia 6- 24 bulan dengan metode pengamatan langsung kepada responden.
Daftar Pustaka : 73 ( 1968 - 2003 )

The Relationship between Nutritional Care and Nutritional Status of Children 6 - 24 Months of Age in Serang District, Banten Province, 2003The prevalence of under nutrition in Serang District has increased as compared with the previous years. This circumstancy can increase the risk of death of infants in that region. Many factors are related to the incidence of Protein Energy Malnutrition such as children nutritional care and family characteristics.
Therefore, this study attempted to get some information about the nutritional care and nutritional status among children aged 6 - 24 months including the characteristics of their families, and to find the relationship between nutritional care or family characteristics and nutritional status among children aged 6 - 24 months.
Cross sectional study has been carried out in 125 subjects. Nutritional status data were collected using weight for age index ( Z- score < -2 SD for under nutritional status, and Z-score <- 2SD for normal nutritional status). Questionnaires were used to get children nutritional care and family characteristics data.
These data were analyzed using chi square test to show the relationship between nutritional care or family characteristics and nutritional status among children aged 6 - 24 months. Multiple logistic regression with risk factor model and enter method to find some confounders that might influence those relationships, was used.
In conclusion, this study found statistically significant relationship between nutritional care and nutritional status among children aged 6 - 24 months. However this relationship was confounded by mother's knowledge on nutrition. Further more , family characteristics such as the size of family, family income and mother's knowledge on nutrition were associated with children nutritional status.
Based on these findings it is recommended that to get children with normal nutritional status it would be better to improve nutritional knowledge among mothers generally and specifically among leaders by attending some nutritional training. In addition, more studies to know about the relationship between nutritional care and nutritional status among children aged 6 - 24 months by using direct observation to the respondents is recommended.
References : 73 (1968 - 2003 )
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 12713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edmon
"Kemajuan dalam bidang ekonomi telah memberikan dampak pada terjadinya proses transisi epidemiologi termasuk dalam bidang gizi. Indonesia saat ini dan pada dekade yang akan datang diperkirakan akan menghadapi 2 jenis masalah gizi. Disatu sisi Indonesia masih menghadapi masalah gizi kurang, sementara disisi lain terjadi peningkatan prevalensi penderita gizi lebih terutama di perkotaan. Keadaan gizi kurang atau lebih terjadi karena kegagalan mencapai gizi seimbang. Ditinjau dari konsumsi makanan ternyata keadaan gizi tidak hanya ditentukan oleh total konsumsi energi saja tetapi juga ditentukan oleh komposisi zat gizi yang dikonsumsi sehari-hari.
Beberapa pengukuran dapat digunakan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang. Khusus untuk pemantauan keadaan gizi orang dewasa, salah satu cara yang dikenal dan sering digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Dengan mengetahui IMT dapat dinilai apakah keadaan gizi seseorang kekurangan berat badan (kurus), normal atau kelebihan berat badan (gemuk). Dalam rangka mengetahui masalah gizi pada orang dewasa, dan menemukan alternatif penanggulangannya terutama di daerah perkotaan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI bekerjasama dengan FKM-UI telah melakukan penelitian di 12 kota di Indonesia. Sedangkan data yang dianalisa dalam rangka pembuatan tesis ini adalah merupakan bagian dad penelitian diatas yang mencakup 10 kota di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang lebih berperanan dari berbagai variabel yang diteliti terhadap Status Gizi orang dewasa dengan desain penelitian potong lintang (Cross Sectional). Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang berumur 18 tahun atau lebih.
Penelitian ini melibatkan 11 variabel Independen yaitu faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi (IMT) pada orang dewasa, variabel tersebut adalah sebagai berikut: umur dan jenis kelamin, status perkawinan, konsumsi makanan, aktifitas fisik , status sosio ekonomi, kebiasaan makan, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan gizi, etnik, dan kebiasaan merokok.
Dari seluruh hasil analisa ternyata umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kebiasaan makan, % konsumsi lemak dari energi, % konsumsi karbohidrat dan energi, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, berhubungan secara statistik dengan Status Gizi orang dewasa di 10 kota di Indonesia.
Dari variabel yang bermakna ternyata umur, jenis kelamin, % lemak dari energi, dan pola kebiasaan makan mempunyai peranan yang dominan dibanding variabel lainya., Hasil analisis multivariat telah menghasilkan sebuah model yang dapat dipergunakan sebagai peramal status gizi dalam hal ini digambarkan oleh Indeks Massa Tubuh seseorang.
Dari hasil yang diperoleh dapat disampaikan saran bahwa dalam rangka penanggulangan masalah gizi, ada dua faktor yang harus menjadi titik perhatian di dalam penanggulangan masalah gizi lebih yaitu faktor kebiasaan makan dan komposisi konsumsi zat gizi , terutama % lemak dari energi.
Kepustakaan : 50 (1971-1996)

Factors Connected with the Nutritional Status of Adults in 10 Cities in Indonesia in 1996The advancement in economics have given the impact in the transition process of the epidemiologist including in nutrition problem. In Indonesia, today and the coming decade, was estimated to have two kinds of problems in nutrition. In one side Indonesian is still having the under nutrition, while in another side the increase of the over nutrition prevalence occurs especially in the city areas. The under nutrition or over nutrition occurs does to the failure in balancing the nutrition. From the food consumption point of view, it is clear that the nutritional status is not determined by total energy only, but also the composition of the nutrition substance consumed daily.
Several measurements could be used to identify the nutritional status. For a special evaluation of adult the nutritional status, the Body Mass Index (BMI) is one known and commonly used. Using in adults the BMI could estimate under nutrition, normal, or over nutrition. In the frame of identifying the nutrition problems and for finding alternative solutions especially in the city areas. The Directorate of the Community Nutrition and Faculty of Public Health University of Indonesia has done a research in 12 cities in Indonesia. The data analyzed for this thesis was part of the above research mainly the ten cities in Indonesia.
This research was intended to see the more significant factors from different variables observed, designed using a Cross Sectional method. The sample in this observation were the 18 years old adults or older.
This research involved 11 variables independents possibly related to the nutrition status (BMI) for adults, those variable as follows : age and sex, marital status, food consumption , physical activities, level of social economics, level of education, food habits, level of nutrition knowledge and health, ethnics, and smoking habits.
This study found out that the age, sex, food habits, percentage of the fat consumption in energy, percentage of carbohydrates from energy, marital status, and level of education are statistically related to the status of nutrition of adults in ten cities in Indonesia.
From the meaningful variables are seen that sex, percentage of fat from the energy, and food habits have dominant roles compared with other variables. The multivariate analysis produced a model, which could be used as a prediction of nutrition status.
It could be suggested for of overcoming the problems of the nutrition, it should be focused in two factors, mainly food habits and the percentage of fat from energy.
References: 50 ( 9971-1996)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Orisinal
"Kekurangan Energi Protein (KEP) pada balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih menjadi beban bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. KEP pada balita merupakan akibat langsung dari kurangnya asupan zat gizi dan status kesehatan yang buruk karena penyakit infeksi, dan akibat tidak langsung dari ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, pelayanan kesehatan, lingkungan dan faktor yang terdapat pada balita sendiri. Prevalensi KEP di Sumatera Barat menunjukkan trend negatif. Sejak tahun 1995 sampai 2000 terjadi peningkatan prevalensi KEP dari 15,26% menjadi 23%, kondisi aman bertambah berat dengan adanya krisis ekonomi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Sumatera Barat tahun 2001. Desain yang digunakan adalah cross sectional. Data merupakan hasil Studi Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia oleh Puslitbang Gizi dan Bappenas. Populasi adalah keluarga yang memiliki balita di wilayah penelitian Sumatera Barat. Sampel adalah keluarga yang memiliki balita, terpilih sebanyak 821 keluarga yang memiliki balita dan selanjutnya 802 responden yang layak dianalisis. Status gizi dihitung berdasarkan indeks BBJ baku rujukan WHO-NCHS, konsumsi zat gizi dihitung dengan metode semi quantitative food frequency.
Variabel dependen adalah status gizi sedangkan variabel independent adalah sosio ekonomi (konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, persen pengeluaran pangan, kemampuan berobat, kategori miskin), sosio demografi (umur anak, jenis kelamin anak, umur ibu, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga), dan lingkungan (kondisi fisik rumah, sarana jamban keluarga dan sarana air minum). Analisis data meliputi univariat dengan distribusi frekuensi dan mean, median, standar deviasi, minimum-maksimum, analisis bivariat dengan chi-square dan analisis multivariat dengan regresi logistik ganda.
Ditemukan prevalensi KEP sebesar 25,9% (18,8% gizi kurang, 7,1% gizi buruk). Variabel yang berhubungan bermakna dengan status gizi balita adalah konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak, jenis kelamin anak, dan kondisi fisik rumah. Selanjutnya analisis multivariat menunjukkan variable yang secara bersama-sama berhubungan dengan status gizi balita adalah konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak dan jenis kelamin anak. Anak umur 37-59 bulan cenderung menderita KEP 8,34 kali anak umur 0-6 bulan, anak umur 13-36 bulan cenderung menderita KEP 10,23 kali anak 0-6 bulan, dan anak umur 7-12 bulan cenderung menderita KEP 3,82 kali anak 0-6 bulan, setelah dikontrol variabel konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita dan jenis kelamin anak.
Perlu sosialisasi masalah KEP kepada pengambil kebijakan di lokasi penelitian agar penanggulangannya diprioritaskan; perlu penyuluhan tentang cars mempersiapkan penyapihan, perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memotivasi beternak (ayamlitik), perlu penyuluhan kepada pemuka masyarakat agar anak perempuan lebih diperhatikan (sesuai dengan matrilineal).

Factors Related to Under Five Years Children's Nutritional Status in West Sumatera in 2001 (Secondary Data Analysis)Protein Energy Malnutrition (PEM) among under five years children has been one of health problems burdening the developing countries, including Indonesia. PEM among under five years children is a direct consequence of lack of nutrient intake and poor health status due to infectious diseases, and an indirect consequence of family sustenance, child rearing pattern, health care service, the environment, and under five years children's internal factors. Prevalence of PEM in West Sumatera showed negative trend. From 1995 to 2000 the PEM prevalence increased from 15.26% to 23%, and worsened with the economic crisis.
This research aimed to find out what factors were related to under five years children's nutritional status in West Sumatera in 2001. The research design used was cross sectional. The data were results from the Study of Method Development of Impoverished Communities Identification in Urban and Rural Areas in Indonesia (Study Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia) conducted by Nutrition Research and Development Center (Puslitbang Gizi) and National Development Planning Board (Bappenas). The population was families with under five years children in the researched area in West Sumatera. The sample was families with under five years children, numbering to 821 families, 802 of whom were fit to be analyzed. The nutritional status was calculated based on WFA index standard reference from WHO-NCHS, and the nutrient intake was calculated using semi quantitative food frequency method.
The dependent variable was the nutritional status, while the independent variables were socioeconomic (energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, percentage of expenses on food, ability to afford medical assistance, poverty line), sociodemographic (child's age, child's sex, mother's age, number of family members, number of under five years children in the family), and environmental (physical condition of the house, family toilet facilities, and drinking water facilities). The data analysis comprised univariate analysis with frequency distribution, mean, median, deviation standard, minimum-maximum; bivariate analysis with chi-square; and multivariate analysis with multiple logistic regression.
The prevalence of PEM was found at 25.9% (18.8% moderately malnourished, 7.1% severely malnourished). Variables significantly related to under five years children nutritional status were energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, child's age, child's sex, and physical condition of the house. Furthermore, multivariate analysis showed that variables correlatively related to under five years children's nutritional status were protein intake per capita, income per capita, child's age, and child's sex.
After being controlled with variables of protein intake per capita, income per capita, and child's sex, the risk of suffering from PEM among under five years children aged 37-59 months was 8.34 times higher than that among babies aged 0-6 months; among under five years children aged 13-36 months it was 10.23 times higher than that among babies aged 0-6 months; and among babies aged 7-12 months it was 182 times higher than that among babies aged 0-6 months.
The followings need to be done in dealing with PEM: first, socializing PEM issue to decision makers in the researched area so that its management is prioritized; second, educating mothers about proper weaning; third, empowering the people's economy by encouraging them to raise chickens or ducks; and fourth, educating the local leaders to pay more attention to little girls welfare (which is in accordance with the local matriarchal custom).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktoruddin Harun
"Banyak cara yang dapat dipergunakan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang. Salah satu diantaranya adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Dan dapat menggolongkan status gizi seseorang normal atau tidak normal. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran status gizi (IMT) usia lanjut dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi usia lanjut (IMT).
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari penelitian potong lintang Studi Evaluasi Program Kesehatan Usia Lanjut di Puskesmas DKI Jakarta ( kerja sama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta), dengan mengambil wilayah Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Nopember s.d Desember 1997, dengan sampel adalah usia lanjut >= 55 tahun sebanyak 173 orang yang terdiri 77,46% wanita dan 22,54% pria.
Penelitian ini melibatkan 7 variabel independen yaitu faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi (IMT) pada usia lanjut, variabel tersebut adalah sebagai berikut : jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan., status kesehatan, aktifitas fisik dan kebiasaan merokok.
Hasil analisis bivariat dan multivariat diketahui bahwa secara statistik tidak ada variabel independen yang berhubungan bermakna dengan status gizi usia lanjut (IMT).
Dari hasil penelitian ini disarankan agar diteliti faktor-faktor lain yang belum tercakup dalam penelitian ini seperti % karbohidrat terhadap energi, % lemak terhadap energi, tingkat stress, keturunan dan tingkat hormonal.

Factors Associated With Nutritional Status of Guided Elderly in Community Health Centres Area in South Jakarta in 1997Nutritional status can be measured by many methods and one them is measuring body mass index (BMI). Based on BMI we would know if someone had normal or not nutritional status. The objective of this study is to find the nutritional status (BMI) of elderly and were had know factors associated with the nutritional status of elderly.
This study use secondary data according to study evaluation health program elderly in community health centers in DKI Jakarta ( cooperation Faculty of Public Health University of Indonesia and Department of Health DKI Jakarta). Design of study was a cross sectional and data were collected on November - December 1997. Total sample were 173 persons aged > =55 years, consist of 22,54% male and 77,46% female.
This study involved 7 variables independent possibly related to the nutritional status (BMI) of elderly, those variables as follow : sex, age, level of education, level of income, health status, physical activities and smoking habits.
Based on bivariate analysis and multivariate analysis there are not independent variables significant associated with nutritional status elderly (BMI).
According to this result it is suggested to study another factors not included, those factors as follow : % carbohidrat by energy, % fat by energy, level of stress, genetic and level of hormonal.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Farida
"Program PMT telah dilakukan di kecamatan Bogor Selatan pada tahun 1999 bagi balita gizi buruk dan kurang agar dapat meningkatkan status gizinya. Namun hingga saat ini belum pernah dilakukan evaluasi atau penelitian, khususnya mengenai waktu peningkatan status gizi balita selama mengikuti program PMT tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang peluang balita dan waktu peningkatan status gizi selama dua belas minggu intervensi PMT serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Desain penelitian ini longitudinal selama dua belas minggu dengan melibatkan 194 balita. Analisis Kaplan Meier dilakukan untuk menentukan probabilitas status gizi tidak meningkat selama dua belas minggu. Analisis multivariat regresi cox dilakukan untuk menentukan besarnya nilai probabilitas peningkatan status gizi berdasarkan kecurigaan ada faktor lain secara bersama-sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas status gizi tidak meningkat sampai dua belas minggu sebesar 67,01%. Median waktu peningkatan status gizi tidak diketahui, artinya sampai dua belas minggu intervensi PMT belum ada 50% balita yang mengalami peningkatan status gizi.
Secara bivariat diketahui ada perbedaan antara umur ibu, konsumsi energi dan umur balita dengan waktu peningkatan status gizi. Hasil analisis ini tidak melihat perbedaan antara pendidikan, pengeluaran, pengetahuan, pola asuh, besar keluarga, konsumsi protein, penyakit infeksi, status gizi awal, jenis kelamin, partisipasi dengan waktu peningkatan status gizi. Probabilitas status gizi tidak meningkat sampai minggu kedua belas pada balita yang mempunyai ibu berumur antara 20 - 30 tahun sebesar 76,24%. Balita yang ibunya berumur kurang dari 20 atau lebih dari 30 tahun probabilitas status gizi tidak meningkat sebesar 55,29%. Peningkatan status gizi balita yang mempunyai ibu berumur antara 20 - 30 tahun sebesar 0,480 kali (95% CI : 1,100 - 3,038) dibanding balita yang ibunya berumur kurang dari 20 atau lebih dan 30 tahun. Balita yang konsumsi energinya baik memiliki probabilitas status gizi tidak meningkat sebesar 62,30% dan 74,58% bagi balita yang konsumsi energinya kurang. Peningkatan status gizi pada balita dengan konsumsi energi baik 1,828 (95% CI ; 1,100 - 3,038) kali dibanding balita yang konsumsi energinya kurang. Probabilitas status gizi tidak meningkat pada balita yang berumur ≤ 2 tahun sebesar 72,73% dan > 2 tahun sebesar 54,84%. Peningkatan status gizi balita yang berumur > 2 tahun sebesar 1,798 (95% CI : 1,096 - 2,948) kali dibanding balita yang berumur ≤ 2 tahun.
Secara multivariat faktor yang berhubungan dengan waktu peningkatan status gizi balita selama dua belas minggu intervensi PMT adalah umur ibu, pengetahuan, konsumsi protein dan umur Balita, Peningkatan Status gizi pada balita yang memiliki ibu berumur antara 20 - 30 tahun sebesar 0,471 (95% CI : 0,279 - 0,795) dibanding balita yang umur ibunya < 20 atau > 30 tahun dengan mengendalikan pengetahuan ibu, konsumsi protein dan umur balita. Berdasarkan pengetahuan gizi ibu, peningkatan status gizi balita yang ibunya berpengetahuan baik sebesar 1,694 (95% CI : 1,061 - 2,969) kali dibanding balita yang pengetahuan gizi ibunya kurang dengan umur ibu, konsumsi protein dan umur balita yang sama. Balita yang konsumsi proteinnya baik peningkatan status gizinya 1,659 (95% CI : 0,911 - 3,023) kali dibanding balita lain yang konsumsi proteinnya kurang pada kondisi umur ibu, pengetahuan dan umur balita yang sama. Dilihat dari umur balita, balita yang berumur > 2 tahun peningkatan status gizinya sebesar 1,775 (95% CI : 0,984 - 2,914) kali dibanding balita yang berumur ≤ 2 tahun dengan umur ibu, pengetahuan gizi ibu dan konsumsi protein yang sama.

Supplemental Food Giving Program for Balita with bad and less nutrient had done in South Bogor Sub-district in 1999. But, there isn't evaluation/research about it yet, specialties the time of Balita?s nutrient status increasing during follow this program.
This research goal is to obtain information regarding the opportunities and the time of Balita's nutrient status increasing within twelve weeks supplemental food giving intervention, also factors which influenced them.
This research design is longitudinal within twelve weeks involved 194 Balita. Kaplan Meier Analysis was done to determine probability of Balita with nutrient status not increase within twelve weeks. While Multivariate Regression Cox Analysis was done to determine probability value of Balita's nutrient status increase, based on suspicious there's another factor coinciding.
The result of this research showed that Balita's nutrient status not increase within twelve weeks probability 67,01 %. Median time of Balita's nutrient status increasing is unknown, it means within twelve weeks intervention the program less than 50 % Balita increasing their nutrient status.
From the outcomes of bivariate analysis known, there's difference between mother's age, energy consumption and Balita's age with the time of nutrient status increasing. But, there's no difference between mother's educational background, expenses, knowledge, bring-up pattern, sum of family's member, protein consumption, infection disease, early nutrient status, gender, participation with the time of Balita's nutrient status increasing, Balita's nutrient status not increase within twelve weeks if their mother's between 20 - 30 years old probability 76,24 %. While their mother's <20 or >30 years old probability 55,29 %. Balita's nutrient status increasing if their mother between 20 - 30 years old 0,480 time ( 95 °.b CI : 1,100 - 3,038 ) compare with Balita's mother < 20 or > 30 years old. Balita with good energy consumption but their nutrient status not increase probability 62,30 % and 74,58 % for the Balita with less energy consumption. Balita < 2 years old with nutrient status not increase probability 72,73 % and > 2 years old nutrient status increasing 1,798 times (95 % CI : 1,096 - 2,948 ) comparing with Balita = 2 years old.
From the outcomes of multivariate analysis, factors related to the time of Balita's nutrient status increasing within twelve weeks intervention of the Supplemental Food Giving Program are mother's age, knowledge, protein consumption and Balita's age. Balita's nutrient status increasing with their mother's age between 20 - 30 years old 0,471 times ( 95 % CI : 0,279 - 0,795 ) compare with Balita's mother < 20 or > 30 years old, under control of mother's knowledge, protein consumption and Balita of the same age. Based on mother's nutrient knowledge's good, so Balita's nutrient status increasing 1,694 times (95 % CI: 1,061 - 2,969) compare with Mother's knowledge deficit with mother's age, protein consumption and Balita's with the same age. Balita with good protein consumption have nutrient status increasing 1,659 times (95 % CI: 0,911 - 3,023) compare with another Balita with less protein consumption and the same condition of mother's age, knowledge and Balita's age. Balita > 2 years old have nutrient status 1,775 times (95 % CI: 0,984 - 2,914) compare with Balita = 2 years old with the same mother's age, mother's nutrient knowledge and Balita's protein consumption.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>