Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200058 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alma Nurul Amany
"Kondisi kesehatan mental emosional dan perilaku anak-anak di panti asuhan merupakan hal yang rentan dan harus dipelihara agar anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang berfungsi sosial secara baik. Kajian literatur ini membahas terkait masalah perkembangan mental emosional dan perilaku yang dialami oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan menggunakan metode penulisan tinjauan literatur yang dikemukakan oleh Knopf (2006). Peneliti telah memilih tujuh penelitian terdahulu yang membahas terkait masalah perkembangan mental emosional dan perilaku anak di panti asuhan, diantaranya adalah penelitian milik Sulaiman & Mansoer (2019), Hidayati (2018), Wetarini et. al (2018), Riyadi et. al (2014), Rahmah et. al (2014), Haryanti et. al (2016), dan Kaur et. al (2018). Kajian literatur ini bertujuan untuk menganalisis ketujuh penelitian terdahulu yang sudah terpilih, dan membahas perkembangan mental emosional dan perilaku anak di panti asuhan. Selain itu, peneliti juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi serta membandingkannya dengan anak-anak yang diasuh oleh orang tua kandungnya. Hasil dan kesimpulan dari kajian literatur ini adalah adanya perbedaan dalam perkembangan mental emosional serta perilaku anak-anak yang tinggal di panti asuhan dengan anak yang diasuh oleh orang tua kandungnya, dimana anak-anak yang tinggal di panti asuhan memiliki serangkaian masalah seperti emotional loneliness, depresi, dan juga masalah perilaku. Kajian literatur ini dapat menjadi landasan bagi penelitian empirik, terutama penelitian dalam lingkup perkembangan anak, perkembangan mental emosional dan perilaku, dan juga anak dalam panti asuhan. Selain itu, kajian literatur ini dapat memberikan wawasan tambahan untuk beberapa mata kuliah di Ilmu Kesejahteraan Sosial, diantaranya adalah mata kuliah Tingkah Laku Manusia, Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas, dan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, terutama dalam bidang perkembangan anak dan kesehatan mental emosional dan perilaku anak.

The mental, emotional and behavioural conditions of children in institutionas or orphanages are in a vulnerable state and must be maintained for these children to grow and develop into fully functioning human beings in society. This literature review discusses the problems of mental emotional and behavioral development experienced by children living in institutions using the method of literatur review proposed by Knopf (2006). The author has selected seven previous studies related to the problems of mental emotional development and behavior of children in institutions, which includes the research of Sulaiman & Mansoer (2019), Hidayati (2018), Wetarini et. al (2018), Riyadi et. al (2014), Rahmah et. al (2014), Haryanti et. al (2016), and Kaur et. al (2018). This literature review aims to analyze the seven previous studies that have been selected and discuss the mental emotional and behavior development of children in institutions. In addition, the author also discusses the influencing factors and compares them with children who are raised by their biological parents. The results and conclusions of this literature review are differences in mental emotional development and behavior of children living in institutions with children being cared for by their biological parents, where children living in institutions have a series of problems such as emotional loneliness, depression, as well as behavioral problems. This literature review can be the basis for empirical research, especially research in the scope of child development, mental emotional development and behavior, as well as children in institutions. Furthermore, this literature review can provide additional insights for several courses in Social Welfare Sciences, including courses on Human Behavior, Community-Based Mental Health, and Child Welfare and Protection, especially in the field of child development and mental health, as well as children’s mental emotional and behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Ranti Rachmi
"Interaksi orang tua adalah salah satu prediktor perkembangan Theory of Mind (ToM), yaitu sebuah kemampuan sosial kognitif yang penting bagi kehidupan sosial anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran interaksi ayah, khususnya Mental State Language (MSL), terhadap perkembangan ToM pada anak usia 5 – 7 tahun. MSL diukur dengan inventori Mental State Language Ayah yang diadaptasi dari Maternal Mental State Input Inventory milik Peterson dan Slaughter (2003), dan ToM anak diukur dengan ToM Scale milik Wellman dan Liu (2004), Peterson et al., (2012), serta Perner dan Wimmer (1985). 120 pasangan ayah dan anak dari SES menengah ke atas menjadi bagian dari penelitian ini. Kontras dengan penelitian sebelumnya, studi ini menemukan bahwa MSL Ayah tidak berperan terhadap perkembangan ToM anak usia 5-7 tahun. Studi ini juga menemukan urutan perkembangan ToM yang berbeda, berupa Diverse Desire, Hidden Emotion, Sarcasm, Diverse Belief, Knowledge Access, False Belief, dan 2nd Order ToM.

Parental Interaction is one of the strong predictors of Children’s Theory of Mind Development, a social cognitive skill that affects children’s social life. This study invastigates whether father’s Mental State Language (MSL) has a role toward children’s ToM in age 5 to 7 years old. Father’s MSL measured by MSL Inventory which is adapted from Maternal Mental State Input Inventory (MMSI) (Peterson & Slaughter, 2003), and children’s ToM measured by ToM Scale (Wellman & Liu, 2004; Peterson et al., 2012; Perner & Wimmer 1985). 120 pairs of father and child from middle to high SES participated in this study. Contrast with the preliminary studies, this study suggests that fathers MSL have no role toward ToM in children 5 to 7 years old. This study also found that the childrens ToM developmental order differs from other studies, in the following order: Diverse Desire, Hidden Emotion, Sarcasm, Diverse Belief, Knowledge Access, False Belief, and 2nd Order ToM."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putrie Kusuma Wardhani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur peer attachment yaitu bagian peer attachment dari Inventory of Parent and Peer Attachmnet Revised (IPPA-R) yang dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (2009), sedangkan mental health diukur dengan Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) yang dikembangkan oleh Keyes (2002). Penelitian ini melibatkan 60 anak jalanan dengan rentang usia 12 hingga 18 tahun yang ditemui peneliti di Jakarta, Depok, dan Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Dengan demikian, semakin tinggi peer attachment yang dimiliki anak jalanan usia remaja, semakin tinggi pula mental health yang dimilikinya.

ABSTRACT
This research was conducted to investigate the relationship between peer attachment and mental health of adolescent street children. The instrument that was used to measure peer attachment was peer attachment part of Inventory of Parent and Peer Attachment Revised (IPPA-R) developed by Armsden and Greenberg (2009), while mental health was measured by Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) developed by Keyes (2002). This study involved 60 street children with age of 12 until 18 years old in Jakarta, Depok, and Bogor area. The result showed that peer attachment and mental health has a significant positive correlation (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Therefore, the higher peer attachment a street children has, the higher his mental health.
"
2015
S60777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Pratiwi
"Mayoritas dewasa madya di Indonesia memiliki tanggung jawab mengasuh dan memberikan dukungan kepada orang tuanya yang sudah lansia. Di sisi lain, dewasa madya juga memiliki peran dan tanggung jawab lain. Dengan demikian, menurut beberapa penelitian, konflik peran yang dialami oleh dewasa madya dapat berdampak pada kondisi psychological well-being anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dukungan yang diberikan oleh anak dewasa madya kepada orang tuanya yang sudah lansia dengan psychological well-being anak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan alat ukur Ryff’s Psychological Well-being (RPWB) yang disusun oleh Ryff (1995) dan alat ukur dukungan anak yang disusun oleh Silverstein dan koleganya (2006). Partisipan pada penelitian ini merupakan dewasa madya berusia 40-60 tahun. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 116 partisipan terdiri dari 66 perempuan dan 50 laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang negatif antara dukungan yang diberikan anak kepada orang tua lansia dengan psychological well-being anak dewasa madya.

The majority of middle adulthoods in Indonesia have the responsibility to care for and provide support to their elderly parents. On the other hand, middle adulthood has other roles and responsibilities. According to several studies, role conflict carried out by middle adulthood can have an impact on the psychological well-being of adults. This research was conducted to see the correlation between children support for elderly parents and psychological well-being of children. This research used quantitative approach using Ryff’s Psychological Well-being (RPWB) by Ryff (1995) and child support instrument by Silverstein and colleagues (2006). The partisipants on this research is middle adult aged 40-60 years old. The partisipants on this research were 116 which 66 females and 50 males. The result shows that there is no negative significant correlation between children support for elderly parents and psychological well-being of children."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Trisnomihardja
"PENDAHULUAN
Beberapa konflik yang terjadi di tanah air menyebabkan ribuan orang terpaksa mengungsi dan tinggal di barak-barak. Sebagian orang mampu beradaptasi dengan kondisi ini, namun sebagian lagi tidak mampu beradaptasi dan mengalami gangguan mental. Wanita dan anak-anak merupakan populasi yang rentan terhadap kondisi ini.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran gangguan mental pada anak dan remaja pengungsi yang tinggal di barak dalam jangka waktu 6 tahun.
METODE
Rancangan penelitian berupa deskriptif potong Iintang terhadap 89 anak dan remaja pengungsi berusia 6 - 17 tahun yang tinggal di barak Kecamatan Kairagi selarna 6 tahun. Instrument yang digunakan adalah MINI Kid Screen yang telah diterjemahkan oleh Divisi Psikiatri Anak dan-Remaja FKUIIRSCM.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan didapatkan sebanyak 25 (28,1%) responden mengalami Jenis gangguan mental yang dialami adalah:
Depresi Mayor, Distimik, Episode (hipo) manik Gangguan Panik, Agorafobia, Fobia Spesifik, Gangguan Stres Pasca Trauma Penyalabgunaan Alkohol GPPH Inatensi, Kombinasi Gangguan Tingkah Laku, Gangguan Sikap Menentang, Gangguan Psikotik
KESIMPULAN
Tinggal di tempat pengungsian, terlebih dalam waktu lama, dapat menimbulkan gangguan mental pada anak dan remaja."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21384
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Kartika
"Studi terdahulu menunjukkan remaja cenderung memiliki intensi yang rendah untuk mencari bantuan profesional sekalipun berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Karakteristik unik perkembangan remaja dan konteks budaya juga menjadikan penelitian tentang faktor yang mendukung intensi mencari bantuan pada remaja di Indonesia penting untuk dieksplorasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap terkait mencari bantuan sebagai mediator dalam hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional setelah mengontrol usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sebelumnya. Sebanyak 254 remaja di Indonesia (M = 15.31 tahun) mengisi kuesioner secara daring, yakni Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Hasil studi menemukan bahwa sikap memediasi secara penuh hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja mencari bantuan sekalipun usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sudah dikontrol (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). Semakin tinggi distress disclosure, maka sikap remaja terkait mencari bantuan semakin positif. Sikap positif ini yang akan meningkatkan intensi remaja mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional. Temuan ini mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan distress disclosure dan sikap terkait mencari bantuan dalam upaya meningkatkan intensi remaja di Indonesia untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional.

Previous studies have shown that adolescents' intention to seek professional help tends to be low though they are at risk of having mental health problems. The uniqueness of adolescent development and the cultural context also make research about facilitating factors in Indonesian adolescents’ help seeking intention important to be explored. The current study aimed to investigate the role of mental help seeking attitude as a mediator between distress disclosure and adolescents’ intention to seek mental health professional help after controlling ages, gender, and previous counseling experiences. A total of 254 Indonesian adolescents (M = 15.31 years) filled out online questionnaires consisting of the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). The result found that attitude fully mediated the relationship between distress disclosure and adolescents' help seeking intention even after controlling the ages, gender, and counseling experiences (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). The higher the distress disclosure, the more positive the help seeking attitude. The more positive attitude, the higher adolescents’ intention to seek help. The results indicate that to increase Indonesian adolescent’s intention to seek professional help, distress disclosure and mental help seeking attitude have to be considered."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprapti Sumarmo Markam
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB 0395
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Areta Dewi Pramudita
"Latar belakang: Psikotik akut merupakan gangguan jiwa yang bercirikan gangguan perilaku yang parah seperti kegelisahan dan agitasi, mendengar suara atau melihat hal-hal yang tidak dapat didengar atau dilihat orang lain, kepercayaan aneh, ucapan dan tingkat emosional. ketakutan atau emosi berubah dengan cepat, seperti dari menangis menjadi tertawa. Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang dialami oleh 60% hingga 80% penderita psikotik. Kasus: Ny. IP (24 tahun) diantar oleh keluarga ke rumah sakit karena berbicara sendiri dan marah-marah di rumah. Selama di rumah sakit, pasien mengalami halusinasi pendengaran, harga diri rendah kronik, risiko perilaku kekerasan, dan isolasi sosial. Diskusi: Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, analisa data, perencanaan, implementasi hingga evaluasi.Seluruh proses asuhan keperawatan dilakukan selama 13 hari sejak tanggal 23 September – 7 Oktober 2022 di ruangan Utari Rumah Sakit Jiwa Dr H. Marzoeki Mahdi (RSJMM) Bogor. Intervensi yang diberikan kepada Ny. E dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan generalis untuk setiap diagnosis keperawatan yang muncul serta dikombinasikan dengan pendekatan terapi psikoreligius mengaji. Kesimpulan: Penerapan intervensi keperawatan generalis dengan pendekatan terapi psikoreligius: mengaji terhadap pasien Ny. IP dengan masalah keperawatan halusinasi pendengaran terbukti efektif dalam mengurangi tanda dan gejala halusinasi, dapat meningkatkan kemampuan dalam mengontrol halusinasi.
Background: Acute psychosis is a mental disorder characterized by severe behavioral disorders such as restlessness and agitation, hearing sounds or seeing things that other people cannot hear or see, strange beliefs, speech and emotional levels. fear or emotion changes rapidly, such as from crying to laughing. Auditory hallucinations are hallucinations experienced by 60% to 80% of psychotic sufferers. Case: Mrs. IP (24 years old) was brought by his family to the hospital because he was talking to himself and being angry at home. While in hospital, patients experience auditory hallucinations, chronic low self-esteem, risk of violent behavior, and social isolation. Discussion: Nursing care starts from assessment, data analysis, planning, implementation to evaluation. The entire nursing care process is carried out for 13 days from 23 September to 7 October 2022 in the Utari room of the Dr H. Marzoeki Mahdi Mental Hospital (RSJMM) Bogor. The intervention given to Mrs. E is carried out according to generalist nursing care standards for each nursing diagnosis that appears and is combined with a psychoreligious therapy approach to the Koran. Conclusion: The application of generalist nursing interventions with a psychoreligious therapy approach: reciting the patient of Mrs. IP with auditory hallucinations nursing problems proved effective in reducing signs and symptoms of hallucinations, can improve the ability to control hallucinations."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Geneva: World Health Organization, 1981
362.3 WOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mangunsong, Purnianti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1976
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>