Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tasya Wijayanti
"Hipertensi adalah penyakit dengan prevalensi tinggi di Indonesia dengan persentase 34,11% pada populasi lebih dari 18 tahun. Penelitian terdahulu di Indonesia menyatakan bahwa Amlodipin lebih cost-effective apabila dibandingkan dengan kaptopril. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya yang lebih baik antara terapi Amlodipin dan Kaptopril pada pasien Hipertensi rawat jalan di RSUD Ciracas. Pada penelitian ini digunakan desain penelitian Cross Sectional dengan menggunakan data rekam medis pasien, yaitu nilai tekanan darah, jenis kelamin, usia, dan komorbiditas. Selain itu, digunakan data billing pasien dilihat dari perspektif rumah sakit yang terdiri atas biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya administrasi, dan total biaya pengobatan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 60 sampel, yang terdiri atas 40 sampel kelompok amlodipin dan 20 sampel kelompok kaptopril. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai inkremental efektivitas antara kedua terapi sebesar 20%. Kemudian didapatkan nilai inkremental biaya antara kedua terapi sebesar Rp84.079. Sementara itu, berdasarkan perhitungan didapatkan Rasio Efektivitas Biaya (REB) untuk amlodipin adalah sebesar Rp394.124 dan untuk terapi kaptopril adalah sebesar Rp384.572. Berdasarkan tabel efektivitas biaya, hasil analisis menunjukkan bahwa terapi amlodipin dan kaptopril memiliki efektivitas dan biaya yang setara.

Hypertension is a disease with high prevalence in Indonesia with a percentage of 34,11% in the population over 18 years. Previous research in Indonesia stated that amlodipine is more cost-effective when compared to kaptopril. This study aims to analyze the better cost-effectiveness of amlodipine and captopril therapy in hypertension outpatients at the Ciracas Regional General Hospital in the period 2020-2021. This study used a cross sectional research design which using patient medical record data, consist of blood pressure value, gender, age, and commorbidities. In addition, this study used patient billing data from a hospital perspective, consist of drug costs, other drug costs, laboratory costs, administration, and the total cost of treatment. The samples used in this study were 60 samples, consisting of 40 samples from the amlodipine group and 20 samples from the captopril group. Based on the results of the study, the incremental value of effectiveness between the two therapies was 20%. Then the incremental cost value between the two therapies was Rp84,079. Meanwhile, based on the calculation of the Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) for amlodipine group was Rp394,124 and for captopril group was Rp384,572. Based on the cost-effectiveness table, the results of the analysis show that amlodipine and captopril therapy have the same effectiveness and cost."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Proudhia Perkasa Putra Nusantara
"Penggantian plasma yang hilang karena peningkatan permeabilitas vaskular merupakan tatalaksana untuk demam berdarah dengue. Dua jenis volume expander digunakan untuk mengganti cairan yang hilang dalam pengelolaan DBD adalah cairan koloid dan cairan kristaloid. Dilihat dari aspek biaya terapi, cairan koloid memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan cairan kristaloid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas-biaya cairan koloid dibandingkan dengan cairan kristaloid pada pasien rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi pada tahun 2021. Penelitian retrospektif ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data rekam medis dan biaya dilihat dari perspektif rumah sakit. Sebanyak 50 pasien memenuhi kriteria penelitian dibagi menjadi dua kelompok , yaitu kelompok intervensi yang mendapatkan terapi cairan koloid dan kelompok komparator yang mendapatkan terapi cairan kristaloid. Data efektivitas berdasarkan lama rawat inap dan total biaya medis dianalisis menggunakan uji Chi-Square dan rumus rasio efektivitas-biaya (REB). Terdapat perbedaan signifikan antara kelompok cairan koloid dan cairan kristaloid dalam efektivitasnya terhadap lama rawat inap (p<0,05) dan dikatakan efektif apabila dirawat < 5 hari. Berdasarkan hasil perhitungan REB, efektivitas-biaya kelompok terapi cairan koloid adalah Rp2.133.108,34/unit efektivitas dan kelompok terapi cairan kristaloid adalah Rp7.206.321,42/unit efektivitas. Kelompok cairan koloid memiliki nilai REB yang lebih rendah dibandingkan kelompok cairan kristaloid sehingga terapi cairan koloid lebih efektif-biaya dibandingkan cairan kristaloid.

Replacement of plasma lost to increased vascular permeability is the treatment for dengue hemorrhagic fever. Two types of volume expanders are used to replace fluids lost in the management of DHF, namely colloid and crystalloid fluids. Viewed from the aspect of therapy costs, colloid have a more expensive price than crystalloid fluids. The purpose of this study was to determine the cost-effectiveness of colloid compared to crystalloid fluid in inpatients at the RSUD Ciawi in 2021. This observational study using a cross-sectional design with medical record data and costs seen from hospital perspective. A total of 50 patients who met the study criteria were divided into two groups, the intervention group receiving colloid fluid and the comparator group receiving crystalloid fluid. Effectiveness on length of stay (LOS) were analyzed using the Chi-Square test, total medical costs using Mann-Whitney test, and cost-effectiveness ratio (CEA) formula. There was a significant difference between the colloid and crystalloid fluid groups in their effectiveness on the LOS (p<0.05) and it was said to be effective if treated <5 days. Based on the results of the CEA calculation, the cost-effectiveness of the colloid fluid therapy group was Rp2,133,108.34/effectiveness unit and the crystalloid fluid therapy group was Rp7,206.321,42/effectiveness unit. The colloid fluid group had a lower CEA value than the crystalloid group so that colloid fluid therapy was more cost-effective than crystalloid fluid"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Rosalynna Stiadi
"Hipertensi dan diabetes melitus menjadi salah satu faktor risiko kejadian kardiovaskuler. Tidak terkontrolnya hipertensi dapat menyebabkan perburukan kesehatan dan ekonomi pada penderitanya. Kombinasi terapi antihipertensi dinilai adekuat untuk mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg. Obat antihipertensi golongan ACEI, ARB, dan CCB merupakan terapi yang sesuai untuk pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan harganya bervariasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa golongan ARB lebih cost-effective dibandingkan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya dari kombinasi terapi amlodipin-kandesartan dibandingkan dengan amlodipin-ramipril pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di RSUPN dr. Cipto mangunkusumo dengan menggunakan rekam medis pasien tahun 2017-2019. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 87 pasien. Pasien dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang mendapat terapi amlodipin-kandesartan dan kelompok yang mendapat terapi amlodipin-ramipril. Analisis efektivitas biaya diperoleh dari perhitungan biaya medik langsung, menghitung efektivitas terapi berdasarkan jumlah pasien yang mencapai target tekanan darah <140/90 mmhg, serta menghitung nilai ACER. Kombinasi amlodipin-kandesartan memiliki efektivitas terapi 48.9%, sedangkan efektivitas terapi amlodipin-ramipril 45,2%. Nilai ACER kelompok amlodipin-kandesartan dan kelompok amlodipin-ramipril adalah Rp. 1.604.736,2 per efektivitas and Rp 1.811.278,8 per efektivitas. Dapat disimpulkan bahwa amlodipin-kandesartan lebih cost-effective dibandingkan amlodipin-ramipril.

Hypertension and diabetes mellitus are risk factors for cardiovascular events. Uncontrolled hypertension can cause health and economic burdens in patients. The combination of antihypertensive therapy is considered adequate to achieve the targeted blood pressure <140/90 mmHg. Antihypertensive drugs class such as ACEIs, ARBs, and CCBs are appropriated therapies for patients with type 2 diabetes mellitus and the price differences. Previous studies have shown that the ARBs are more cost-effective than others. The aim of this study was to analyze the cost-effectiveness of combination of amlodipine-candesartan compared to amlodipine-ramipril in hypertensive patients with type 2 diabetes mellitus. This cross-sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital by using patient medical records in 2017-2019. Research subjects who met the inclusion criteria were 87 patients. Patients were divided into two groups: group receiving amlodipine-candesartan and group receiving amlodipine-ramipril. Cost effectiveness analysis obtained from the calculation of direct medical costs, calculated the effectiveness of therapy based on the number of patients who reached the target blood pressure <140/90 mmHg, and calculated the value of ACER. Amlodipine-candesartan has a therapeutic effectiveness of 48.9%, while the effectiveness of amlodipine-ramipril is 45.2%. The ACER value of the amlodipine-candesartan group and the amlodipine-ramipril group were Rp 1,604,736.2 per effectiveness and Rp 1,811,278.8per effectiveness. To conclude, amlodipine-candesartan is more cost-effective than amlodipine-ramipril."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irya Yohannes
"Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat tersedia sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Obat merupakan bagian penting dalam pelayanan dokter kepada pasien di Rumah sakit. Ksrena itu perlu memehami cost effectivenees analysis dari berbagai produk sejenis. Untuk menentukan jenis obat eensial pada daftar obat esensial nasional (DOEN) ditetapkan melaluianalisis biaya manfaat pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan. Ranitidin merupakan obat pilihan pertama pada pengobatan gastritis akut sedangkan di RSU Mayjen H.A. Thalib Kerinci masih digunakan simetidin dengan jumlah yang hampir sama dengan ranitidin. Simetidin adalah obat anti gastritis akut yang memiliki harga yang berbeda dengan ranltidin maka perlu diadakau Cost Effectiveness Analysis untuk mengetahui mana yang lebih pantas digunakan.
Teori yang dlgunakan pada penelitian ini adalah teknik evaluasi ekonomi Cost Effictiveness Analysis (CEA) dengan naalisis biaya menggunakn metode perhitungan oppertunity cost. Out put yang dlgunakan dari kedua altematif obat adalah cakupan, rata-rata waktu hilangnya gejala klinis dan hari yang hilang karena gastritis akut. Pada penelitian ini didapatkao bahwa basil perhitungan Cost Electiveness Ratio (CBR) dldapatkao bahwa CBR ranitidln lebih kecil dibaudlngken CBR Simetidin, dhnana (CBR) ranitidln = 67.986 sedangken CBR shnetidln 97.414 Proporsi kejadian efek sarnping ranltidln lebih kecil dlbandingkan dengan simetidin dlmana dari 58 pasien yang diobati dengan ranltidin thnbul efek samping pada 4 pasien berupa saki!kepala dan atau prutitus ( ruam kulit }, sedangkan dari 33 pasien yang diobati dengan simetidin timbul efek samping berupa sakit kepala dan atau prutitus {ruam kulit) 4 orang pasien. Waktu yang dibutuhkan ranitidin untuk menghilangkan gejala klinis juga lebih kecil dibandingkan dengan simetidin, dimana rata-rata yang dibutuhkan ranitidine untuk menghilangkan gejala klinis adalah 13,6 jam sedangkan simetidin membutuhkan waktu 16,6 jam. Rata-rata hari yang hilang kelompok ranitidine lebih kecil dari kelompok simetidin. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa ranitidin lebih cost effectiveness dibandingkan dengan simetidin dalam mengobati gastriris akut. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan kepada pihak Manajemen Rumah Sakit agar memilih ranitidin sebagai obat gastritis akut untuk dimasukkan dalam formularium, selain itu disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang memadai."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T11540
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ruhayati Sadili
"Sebelum ditemukannya alat-alat canggih, pengobatan penyakit batu saluran kemih, khususnya batu ureter, adalah dengan cara operasi terbuka (invasif). Namun saat ini pengobatan yang bersifat invasif mulai ditinggalkan, dan beralih ke cara pengobatan yang minimal invasif, bahkan non invasif.
Saat ini, di RSUPN-CM Jakarta, telah tersedia alat untuk mengobati penyakit batu saluran kemih, khususnya batu ureter distal, yang bersifat minimal invasif, yaitu Ureterorenoskop, dan yang bersifat non invasif, yaitu Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL). Cara pengobatan batu ureter dengan menggunakan alat Ureterorenoskop, disebut tindakan Ureteroskopi (URS).
Tujuan dari penelitian ini adalah, untuk mengetahui efektivitas biaya dari pengobatan batu ureter distal, antara yang menggunakan cara URS dengan cara ESWL. Penelitian ini bersifat deskriptif, menggunakan data sekunder subbagian urologi swadana RSUPN-CM, tahun 2001 periode Juni s/d Desember. Analisis data biaya investasi menggunakan biaya investasi setahun. Analisis biaya menggunakan metode Activity Based Costing (ABC), karena metode ini yang paling cocok untuk menganalisis biaya dalam mengobati penyakit batu ureter distal yang merupakan salah satu jenis kegiatan yang ada di subbagian urologi yang memiliki berbagai jenis kegiatan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, pengobatan batu ureter distal yang paling efektif biaya adalah dengan cara ESWL. Bahkan tindakan ESWL kelas super VIP masih lebih efektif biaya dibandingkan dengan tindakan URS dengan ruang perawatan kelas III.

An Effectiveness Analysis of Distal Urethral Stones Treatment Compared with Ureterorenoskop and Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy at RSUPN-CM Jakarta, 2001Before sophisticated-medical equipment was discovered, invasive surgery was used for Urinary Tract Stone treatments; especially urethral stone. Today, invasive surgery has been no longer implemented, and shifting into minimal or non invasive treatment.
RSUPN-CM Jakarta, has two different medical equipments to treat Urinary Tract Stone patient which are Ureterorenoscop for minimal invasive treatment and Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) for non invasive treatment. The treatment using Ureterorenoscop is called Ureteroscopy (URS).
The aim of this research is to examine and compare the cost effectiveness of urethral distal stone treatment using both equipments. This research is descriptive, using secondary data from subbagian urologi RSUPN-CM in the period of June-December 2001. Meanwhile, data analysis for investment cost is considered in annual base.
The analysis of this study is using Activity Based Costing (ABC) method. This method is the most appropriate method for urethral distal stone treatment since subbagian urologi comprises a broad range of interrelated activities. ABC method, therefore, will evaluate the cost of effectiveness for both URS and ESWL.
The study shows that ESWL is the most effective cost compared to URS. Even, Super VIP using ESWL is more effective than class III URS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T10782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Saputra
"Tesis ini merupakan suatu evaluasi ekonomi dengan metode kuantitatif dan desain penelitian cross sectional, bersifat observational dengan melakukan studi perbandingan (comparative study) antara 2 teknik pembedahan herniotomy. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara pasien yang menjalani teknik Laparoskopik Herniotomy dengan pasien yang menjalani teknik Open Herniotomy pada pasien hernia inguinalis.
Penelitian ini menggunakan perhitungan Activity Based Costing dengan simple distribution untuk mendapatkan total cost lalu dibandingkan dengan output, sehingga didapatkan Cost Effectiveness Ratio (CER). Nilai CER kemudian dibandingkan dan mana yang lebih kecil adalah yang lebih efektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik Open Herniotomy menghasilkan nilai CER yang lebih kecil dibandingkan dengan teknik Laparoskopik Herniotomy. Maka dapat disimpulkan bahwa teknik Open Herniotomy lebih efektif dibandingkan dengan teknik Laparoskopik Herniotomy.

This thesis is an economic evaluation with a cross sectional quantitative method design, observational and using comparative studies between two herniotomy techniques. The aim of this thesis is to analyze the cost effectiveness between patients with Laparoscopic Herniotomy and patients with Open Herniotomy of the inguinal hernia.
This research is using Activity Based Costing with simple distribution to achieve total cost and then compared with the output, therefore cost effectiveness ratio (CER) is achieved. The CER is then compared to understand which is the lesser cost therefore is more effective.
The research result shows that Open Herniotomy gives a smaller CER than the Laparoscopic Herniotomy. Therefore it is found that Open Herniotomy is more effective compared with Laparoscopic Herniotomy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T43473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medita Ervianti
"Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan. Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun 2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masing-masing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan diri sebagai faktor yang mempengaruhi.

Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective.
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semi-active surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study design was cross-sectional.
The results showed semi active surveillance more cost-effective than passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected factor.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ritha Widya Pratiwi
"Rumah Sakit dikenal dengan organisasi yang sangat kompleks, dan merupakan komponen yang penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalam posisi yang sangat sulit disatu pihak rumah sakit dituntut masyarakat untuk memberikan mutu pelayanan yang lebih baik, namun umumnya tidak didukung dengan pola pembiayaan yang memadai. Krisis di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998 hingga kini masih belum pulih. dimana tingkat inflasi yang berfluktuasi dari tahun ke tahun . Dampak dari hal ini antara lain adalah menyebabkan harga makanan pokok masih tetap tinggi. Dengan melihat keadaan tersebut maka instalasi Gizi mengalokasikan dana yang lebih akurat dan pengelolaan dan pengelolaan dana yang efisien dan efektif.
Rumah Sakit Pasar Rebo belum pernah melakukan perhitungan unit cost makanan. Informasi biaya satuan ini dapat dipakai sebagai salah satu faktor menetapkan tariff perawatan. Dari data keuangan. diperoleh informasi bahwa rawat inap kelas III mengalami defisit sebesar Rp. 106,593,262.
Tujuan dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran mengenai biaya makan rawat inap tiap kelas perawatan tahun 2003. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif - kuantitatif dengan menggunakan metode analisa ABC ( Activity Based Costing) yang juga menggunakan data skunder. Penelitian diiakukan pada bulan Februari hingga Mei tahun 2004.
Dari hasil penelitian ini diperoleh biaya satuan actual dan normative yang dihitung dengan menyertakan nilai investasi dan tanpa investasi. Pada hasil tanpa investasi UC actual kelas I sebesar Rp.44,361,- kelas II sebesar Rp. 35,422,- dan kelas III sebesar Rp. 30.838,- sebesar Rp. 10.838,- , dimana unit cost actual kelas 3 dikurangi dengan tarif rawat inap kelas 3 sebesar Rp. Untuk menutupi biaya ini, maka rumah sakit mengeluarkan kebijaksanaan subsidi silang badi kelas III. Tetapi dengan issue adanya rumah sakit swadana menjadi rumah sakit BUMD, maka, rumah sakit harus lebih efisien lagi mengelola keuangannya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan permintaan dana bagi pimpinan ke pada Pemerintah daerah.

Analysis of Inpatient Unit Cost in Pasar Rebo District General Hospital Jakarta Tahun 2003Hospital has been known as a complex organization which is a very important component in health services . In Under circumstances hospital has challenges to provide more excellence health services, but in generally a hospital is supported with good financial system. Since 1998 Indonesia has faced crisis, where the rate inflation of inflation become fluctuating. The impact of this situation , the price of goods and services increased. Its makes prices of food changes every years. Within this condition hospital nutrition unit need to more accurately allocated fund to achieve more efficiently and effectively.
Pasar Rebo district general hospital has never calculated its food unit cost , where the information of this unit cost can be used as one of the factor for arranging the inpatient Tariff. From financial data is known that the third class inpatient wards having financial deficit at the Rp. 106,593,262,-.
The aim for this research is to describe the food cost need for inpatient class for every class in the year of 2003. Type of this research is descriptive-quantitative. The analysis is using ABC (Activity Bused Costing,) using secondary data. This research was done from first February until May 2004. This research rest: III actual and normative with and without investment .Actual unit cost without investment is Rp. 44,361,- and class 2 is Rp. 35,422,- and class 3 Rp. 30,838,- respectively, which is actual unit cost of food class 3 subtract price is Rp. 10.838,-. To cover this cost, government develop a cross-subsidy policy but with the current issue of self supporting hospital to become BUMD hospital, the budget should be more efficiently and effectively managed.
The result of this research may provide consideration to government and to Health Department or cost of food, and also to hospital director in deciding patient tariff.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mitani Nur Alfaini
"Demam tifoid menduduki peringkat ke-2 sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2014 sebanyak 81.116 (3,15%). Prinsip penatalaksaan demam tifoid di Indonesia meliputi istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suporatif), serta pemberian antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah kloramfenikol injeksi (lini pertama) dan seftriakson injeksi (lini kedua). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas-biaya terapi kloramfenikol injeksi dan seftriakson injeksi pada pasien anak demam tifoid rawat inap di RSUD Ciawi tahun 2019-2021. Penelitiaan ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi cross-sectional menggunakan teknik pengambilan data secara retrospektif. Populasi penelitian ini adalah 957 pasien rawat inap yang terdiagnosis demam tifoid di RSUD Ciawi pada Tahun 2019-2021. Sampel penelitian ini adalah 66 pasien dengan terapi seftriakson injeksi dan 66 pasien dengan terapi kloramfenikol injeksi sesuai dengan jumlah minimum sampel. Data diambil dari rekam medis pasien berupa usia, jenis kelamin dan durasi rawat inap pasien. Biaya dilihat dari perspektif rumah sakit menggunakan total biaya medis langsung yang meliputi biaya obat, biaya obat lain, biaya laboratorium, biaya alat kesehatan, biaya jasa tenaga kesehatan, biaya kamar, dan biaya administrasi. Berdasarkan perhitungan REB, kelompok terapi kloramfenikol injeksi memiliki rasio efektivitas biaya lebih tinggi sebesar Rp 2.710.452,15 / lama rawat inap dibandingkan kelompok terapi seftriakson injeksi sebesar 2.029.402,12 / lama rawat inap. Berdasarkan perhitungan RIEB, pemilihan terapi seftriakson injeksi akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 3.239,6281 untuk peningkatan 1 unit efektivitas.

Typhoid fever is occupied on the second rank as the most common disease found in hospitalized patients with a total of 81,116 cases (3.15%) in 2014. Typhoid fever management principle includes the rest and treatment, diet and supportive therapy (both symptomatic and supportive), and administration of antibiotics. The antibiotics used were chloramphenicol (first line) and ceftriaxone (second line) injection. This study aims to analyze the cost-effectiveness of chloramphenicol and ceftriaxone injection therapy in typhoid fever patients hospitalized at Ciawi Hospital in 2019-2021. This research is an observational study with a cross-sectional design using retrospective data collection techniques. The population of this study was 957 inpatients diagnosed with typhoid fever at Ciawi Hospital in 2019-2021. The sample of this study were 66 patients with injection ceftriaxone therapy and 66 patients with chloramphenicol injection therapy according to the minimum number of samples. The data collected the medical records of pediatric typhoid fever inpatients consist of age, gender, and length of stay (LoS). Costs with a hospital perspective using total direct medical costs which include drug costs, other drug costs, laboratory costs, medical equipment costs, health worker service fees, room costs, and administrative costs. Based on REB calculations, the chloramphenicol injection therapy group had a higher cost-effectiveness ratio IDR2,710,452.15 / unit effectiveness compared to the ceftriaxone injection therapy group IDR2,029,402.12 / unit effectiveness. Based on the RIEB calculation, the selection of injection ceftriaxone therapy will require an additional cost of Rp. 323,962.81 to increase 1 unit effectiveness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nur Fa'izah
"Pneumonia komunitas merupakan peradangan akut pada parenkim paru yang bersumber dari masyarakat dengan tingkat mortalitas, morbiditas, dan beban biaya yang tinggi terutama pada pasien rawat inap. Rata-rata biaya yang dibutuhkan bagi pasien pneumonia komunitas di Indonesia dalam satu periode rawat inap kurang-lebih mencapai Rp11.877.120. Pemilihan antibiotik empiris yang tepat penting dalam mengendalikan infeksi dan mengurangi beban total biaya pengobatan. Studi farmakoekonomi digunakan untuk mengetahui intervensi antibiotik yang paling unggul dari aspek efektivitas-biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas-biaya levofloksasin monoterapi dibandingkan dengan kombinasi seftriakson-azitromisin pada pasien pneumonia komunitas rawat inap non-ICU di RSUD Tangerang Selatan. Desain studi yang digunakan merupakan cross-sectional dengan metode pengumpulan data secara retrospektif terhadap data rekam medis, data penggunaan obat, dan data billing. Efektivitas terapi dinilai sebagai proporsi pasien yang mencapai kestabilan klinis setelah 72 jam penggunaan antibiotik. Data biaya yang digunakan berupa data biaya medis langsung berdasarkan perspektif rumah sakit. Sampel pada penelitian ini berjumlah 86 pasien yang merupakan 43 pasien dari masing-masing kelompok terapi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara efektivitas kelompok levofloksasin dan kombinasi seftriakson-azitromisin (p < 0,05). Berdasarkan perhitungan REB (rasio efektivitas-biaya), kelompok levofloksasin memiliki nilai sebesar Rp78.028,22/% efektivitas dan kelompok kombinasi seftriakson-azitromisin Rp107.666,91/% efektivitas.

Community-acquired pneumonia (CAP) is an acute inflammation of the lung parenchyma that originates from the community and carries a high mortality, morbidity, and cost burden, particularly in hospitalized patients. The average cost of treating CAP patients in Indonesia during a single hospitalization period is Rp11,877,120. Selecting the appropriate empiric antibiotic is crucial in controlling the infection and reducing the overall treatment costs. Pharmacoeconomic studies are conducted to determine the most effective and cost-efficient antibiotic intervention. This study aims to analyze the cost-effectiveness of levofloxacin monotherapy compared to the combination of ceftriaxone-azithromycin in non-ICU inpatient CAP cases at RSUD Tangerang Selatan. The study design was cross-sectional, utilizing a retrospective data collection method that involved medical records, drug usage data, and billing information. The therapy's effectiveness was assessed by the proportion of patients who achieved clinical stability after 72 hours of antibiotic use. The cost data utilized represents direct medical costs from the hospital's perspective. The study sample consisted of 86 patients, with 43 patients in each treatment group. The results indicated a significant difference in the effectiveness of the levofloxacin group compared to the ceftriaxone-azithromycin combination (p < 0.05). Calculation of the Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) revealed that the levofloxacin group had a value of Rp78,028.22 per % effectiveness, while the ceftriaxone-azithromycin combination group had a value of Rp107,666.91 per % effectiveness. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>