Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164732 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asri Ratna Mukti Umpuan
"Latar belakang. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa hiperurisemia mengambil bagian dalam berkontribusi dalam berkontribusi pada proses sindrom metabolik dua arah. Hiperurisemia merupakan kelainan metabolisme asam urat yang menghasilkan kondisi SUA yang berlebihan dalam plasma darah sebagai akibat dari degradasi metabolisme purin. Namun, masih ada penelitian SUA dan sindrom metabolik yang langka pada subjek dewasa muda dan tidak ada penelitian yang pernah dilakukan pada FDR dewasa muda dari subjek T2DM sejauh ini secara lokal dan internasional. Untuk mengetahui perbedaan kadar asam urat serum (SUA) antara derajat-kerabat pertama (FDR) diabetes melitus tipe 2 (T2DM) dan non-FDR T2DM, serta korelasinya dengan resistensi insulin pada FDR T2DM.
Metode. Sebanyak 126 (62 FDR dan 64 non-FDR, berusia 25-39 tahun) mata pelajaran terdaftar. Indeks massa tubuh, lingkar pinggang, tekanan darah, glukosa plasma puasa, profil lipid dan kadar SUA diukur. Subjek dengan gangguan toleransi glukosa dan hipertensi tidak termasuk. Hiperurisemia didefinisikan oleh American College of Rheumatology (≥ 7,0 mg/dL untuk pria dan ≥ 6,5 mg/dL untuk wanita), resistensi insulin didefinisikan oleh Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR). Sebanyak 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam karakteristik dasar kelompok FDR dan non FDR dari kelompok T2DM. Tingkat SUA tidak berbeda antara FDR dan non-FDR T2DM (5,75 1,41 mg/dL dan 5,54 1,80 mg/dL, p = 0,287). Tidak ada korelasi antara SUA dan resistensi insulin pada FDR T2DM (r = 0,208, p = 0,105).
Kesimpulan. Tingkat SUA dalam normoglikemia dan normotensi FDR T2DM tidak berbeda dibandingkan dengan non-FDR T2DM. Tidak ada korelasi antara SUA dan resistensi insulin pada orang dewasa muda yang sehat dari FDR T2DM.

Background. Previous studies showed that hyperuricemia takes part in contributing the process of metabolic syndrome bidirectionally. Hyperuricemia is an abnormality of uric acid metabolism which produce a condition of excessive SUA in blood plasma as a result of degradation from purine metabolism. However, there is still scarce research of SUA and metabolic syndrome on young adult subjects and no study has ever done in young adult FDR of T2DM subjects so far locally and internationally. To determine difference of serum uric acid (SUA) level between first degree-relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) and non-FDR of T2DM, and its correlation with insulin resistance in FDR of T2DM.
Methods. A total of 126 (62 FDR and 64 non-FDR, aged 25-39 years) subjects were enrolled. Body mass index, waist circumference, blood pressure, fasting plasma glucose, lipid profile and SUA levels were measured. Subjects with impaired glucose tolerance and hypertension were excluded. Hyperuricemia was defined by American College of Rheumatology (≥ 7.0 mg/dL for males and ≥ 6.5 mg/dL for females), insulin resistance was defined by Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance (HOMA-IR).
Results. There were 126 subject met inclusion criteria. We discovered no significant differences in basic characteristics of both FDR and non FDR of T2DM groups. SUA level was not different between FDR and non-FDR of T2DM (5.75+1.41 mg/dL and 5.54+1.80 mg/dL, p = 0.287). There was no correlation between SUA and insulin resistance in FDR of T2DM (r = 0.208, p = 0.105).
Conclusions.  SUA level in normoglycemia and normotensive FDR of T2DM was not different compared to non-FDR of T2DM. There was no correlation between SUA and insulin resistance in healthy young adults of FDR of T2DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
July
"Diabetes melitus termasuk sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia, dengan peningkatan 70% sejak tahun 2000. Kepatuhan menggunakan obat sangat penting untuk mencapai gula darah yang terkontrol pada pasien diabetes melitus. Pemberian insulin umumnya memberikan kontrol glikemik yang lebih baik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi komplikasi diabetes, namun pemberiannya menyakitkan, membutuhkan teknik khusus, dan membatasi aktivitas harian pasien. Pemberian insulin pada pasien penyakit saraf memerlukan pertimbangan khusus karena kondisi pasien dapat memengaruhi kepatuhan menggunakan obat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pemberian insulin dengan kepatuhan menggunakan obat pada pasien diabetes melitus dengan penyakit saraf, serta pengaruh berbagai variabel perancu. Penelitian observasional ini dilakukan dengan desain potong lintang di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur pada September 2021-Januari 2022. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan antidiabetes minimal 6 bulan. Variabel bebas adalah pemberian insulin, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan yang diukur dengan menggunakan metode subjektif (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) dan metode objektif (Medication Refill Adherence). Variabel perancu meliputi karakteristik dasar, riwayat kesehatan, dan pengobatan pasien. Berdasarkan metode ARMS dan MRA, dari 175 responden, 28 responden (16,0%) patuh, yaitu 5 responden (8,9%) yang menggunakan insulin dan 23 responden (19,3%) yang tidak menggunakan insulin. Pada pasien diabetes dengan penyakit saraf, pemberian insulin memengaruhi kepatuhan menggunakan obat sebesar 0,374 kali (IK95%: 0,129-1,087) atau pasien yang mendapatkan insulin memiliki kepatuhan 62,6% lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan insulin setelah dikontrol oleh iterasi dan perubahan antidiabetes yang digunakan pasien.

Diabetes mellitus is one of the ten leading causes of death in the world, with an increase of 70% since 2000. Medication adherence is very important to achieve controlled blood sugar in patients with diabetes mellitus. Insulin generally provides better glycaemic control thereby improving quality of life and reducing diabetes complications. However, the delivery considered painful, requires special techniques, and limits the patient's daily activities. Insulin administration in patients with neurological diseases requires special consideration because the patient's condition can affect medication adherence. This study aimed to analyze the relationship between insulin administration and medication adherence in diabetic patients with neurological diseases, and the influence of various confounding variables. This observational study was conducted with a cross-sectional design at a government hospital in East Jakarta from September 2021 to January 2022. The sample was type 2 diabetes mellitus patients who received antidiabetics for at least 6 months. The independent variable was insulin administration, while the dependent variable was adherence, measured using subjective methods (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) and objective methods (Medication Refill Adherence, MRA). Confounding variables included baseline characteristics, medical history, and patient medication. Based on ARMS and MRA, there were 28 of 175 respondents (16.0%) who complied, namely 5 respondent (8.9%) who used insulin and 23 respondents (19.3%) who did not use insulin. Administration of insulin affects medication adherence by 0.374 times (95% CI: 0.129-1.087) than patients who do not use insulin or patients who use insulin have 62.6% lower adherence than patients who do not use insulin controlled by repeated prescription and antidiabetic changes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Cindya Klarisa
"Latar Belakang. Subjek first degree relatives (FDR) diabetes mellitus (DM) tipe 2 berisiko berkembang menjadi DM tipe 2 dan kejadian aterosklerosis lebih tinggi daripada subjek tanpa riwayat orang tua dengan DM tipe 2. Studi ini bertujuan untuk melihat perbedaaan rerata kadar Adipocyte fatty acid binding protein (A-FABP) yang berperan dalam berkembangnya DM tipe 2 maupun aterosklerosis, dan Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) sebagai penanda disfungsi endotel pada kelompok FDR DM tipe 2 dan kelompok non-FDR DM tipe 2. Serta melihat korelasi A-FABP dan ICAM-1 pada FDR DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian FDR tahun 2018, dengan desain potong lintang, yang memeriksakan kadar A-FABP dan ICAM-1 serum dengan metode sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Subjek yang dilibatkan berusia 19 tahun sampai di bawah usia 40 tahun, yang normotensi dan normoglikemia. Serum yang diambil disimpan dalam suhu -80°C. Hasil yang ada dilanjutkan analisis beda rerata dan uji korelasi kelompok FDR dan non-FDR.
Hasil dan Diskusi. Dari 115 subjek normoglikemi normotensi, didapatkan kadar A-FABP yang lebih tinggi pada FDR DM tipe 2 dibandingkan non-FDR DM tipe 2 dengan median (rentang interkuartil) berturut-turut 5,44 ng/ml (3,99-6,40) dan 4,99 ng/ml (3,35-6,70), namun tidak bermakna secara statistik (p=0,54). Demikian juga kadar ICAM-1 pada populasi FDR DM tipe 2 yang tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok non-FDR DM tipe 2, dengan median 276,70 ng/ml (230,60-375,20) dan 272,55 ng/ml (223,95-318,22) berturut-turut (0=0,21). Tidak ditemukan korelasi bermakna A-FABP dan ICAM-1 pada FDR DM tipe 2 (p=0,276).

Background. The subject of first-degree relatives (FDR) diabetes mellitus (DM) type 2 had a risk of developing into type 2 DM and the incidence of atherosclerosis was higher than subjects without parents with type 2 DM. This study aims to see the mean difference of adipocyte fatty acid binding protein (A-FABP) level which plays role in the development of type 2 DM and atherosclerosis, and Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) level as a marker of endothelial dysfunction between FDR type 2 DM group and the non-FDR type 2 DM group. Moreover, to see the A-FABP and ICAM-1 correlation on FDR DM type 2.
Method. This study is part of FDR study held on 2018. Normotensive and normoglycemic subjects aged 19 to under 40 years old were included. The extracted serum was stored at -80C. Serum A-FABP and ICAM-1 levels were measured using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. The results were followed by a mean difference analysis and a correlation test for the FDR and non-FDR groups.
Results and Discussion. Of the 115 subjects, A-FABP levels were higher in FDR type 2 DM than in non-FDR type 2 DM with median (interquartile range) of 5,44 ng/ml (3,99-6,40) and 4,99 ng/ml (3,35-6,70) respectively, and not statistically significant (p=0,54). Likewise, the level of ICAM-1 in FDR type 2 DM subjects was not statistically significant different from non-FDR type 2 DM subjects, with a median of 276.70 ng / ml (230.60-375.20) and 272.55 ng / ml (223.95-318.22) respectively (0 = 0.21). There was no significant correlation between A-FABP and ICAM-1 in FDR type 2 DM (p=0,276).
Conclusion. There were no significant differences of A-FABP and ICAM-1 levels between FDR and non-FDR type 2 DM groups. There were no correlation between A-FABP and ICAM-1 in the FDR type 2 DM group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Mustikaningtyas
"ABSTRAK
Diabetes Melitus merupakan penyakit tidak menular penyebab kematian terbesar keempat di dunia. Depok menduduki peringkat 2 di Jawa Barat dengan jumlah penderita diabetes mellitus tipe 2 terbanyak. Insulin direkomendasikan sebagai salah satu terapi diabetes lini pertama untuk mengontrol kadar glukosa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui tingkat kepatuhan terapi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 agar tercapai hasil terapi sesuai dengan yang direncanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran kepatuhan terapi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Kota Depok. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian model cross sectional dan menggunakan teknik consecutive sampling sebagai teknik dalam pengambilan sampel. Jumlah sampel 79 orang pasien diabetes mellitus tipe 2 yang berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kepatuhan insulin masih rendah sebanyak 52 orang 65,8 . Adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok, Dinas Kesehatan Depok, perawat, dan masyarakat untuk meningkatkan kepatuhan terapi insulin.

ABSTRAK
Abstract Diabetes Mellitus is the fourth leading non infectious diseases cause of death in the world. Depok was ranked 2nd in West Java with the highest number of people with type 2 diabetes mellitus. Insulin is recommended as one of the first line diabetes therapy to control glucose levels. Therefore, it is important to know the adherence level of insulin therapy in people with type 2 diabetes mellitus in order to achieve the satisfied results of therapy. This study aimed to identify the level of adherence in insulin therapy among people with type 2 diabetes mellitus in Depok City. This research was a quantitative research using a cross sectional design and using consecutive sampling as a technique in sampling. The number of samples were 79 patients with type 2 diabetes mellitus who came to the Regional General Hospital of Depok City. The result showed that the level of insulin adherence came still low as many as 52 people 65.8 . This study is expected to provide information to the Regional General Hospital of Depok City, Depok Health Office, nurses, and the community to improve adherence to insulin therapy."
2017
S67065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
"Latar Belakang. Keluarga derajat pertama (first degree relatives/FDR) dari Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan metabolik dan vaskular lebih dini tanpa melaui resistensi insulin (RI) sebagai perantaranya seperti lebih tebalnya tunika intima media karotis. Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang banyak ditemukan pada pasien DMT2 yang dependen terhadap RI. Studi tentang hubungan FDR DMT2 dengan NAFLD masih sangat terbatas dan inkonklusif. Hubungan tersebut masih belum jelas apakah kejadian NAFLD pada FDR DMT2 dependen terhadap RI atau karena kerentanan genetik FDR DMT2.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.
Metode. Sebanyak 118 dewasa muda (19-39 tahun) dengan toleransi glukosa normal (59 subjek FDR DMT2 dan 59 subjek non-FDR dengan matching usia dan jenis kelamin) diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pengukuran antropometri (tinggi, berat badan, indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut) dan analisis laboratorium (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)), serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)) diperiksa pada penelitian ini. Perlemakan hati didiagnosis dengan ultrasonografi (USG) menggunakan kriteria standar.
Hasil Penelitian. Dua puluh enam subjek (22,03%) dengan NAFLD terdeteksi dengan USG dalam penelitian ini dengan proporsi yang sama pada kedua kelompok. Pada kelompok FDR DMT2 didapatkan jumlah subjek dengan angka HDL rendah dan sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa FDR.
Kesimpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.

Background. First degree relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) predisposes individuals to have earlier metabolic and vascular disorders independent of insulin resistance (IR) such as thicker carotid intima media thickness than that of non-FDR. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is the most commonly found chronic liver disease in T2DM which is IR dependent. Studies about NAFLD in FDR of T2DM populations are very limited and inconclusive. It is unclear whether the occurrence of NAFLD in FDR of T2DM is IR dependent or due to genetic vulnerability.
Aim. to determine the association between NAFLD and FDR of T2DM.
Method. A total of 118 young adults (19-39 years old) with normal glucose tolerance (59 FDR of T2DM and age-sex matched 59 non-FDR subjects) were included in this cross-sectional study. Anthropometric measurement (height, weight, BMI and waist circumference) and routine laboratory analysis (fasting blood glucose, HbA1c, lipid profile, alanine aminotransferase (ALT), aspartate transaminase (AST)) were examined. Fatty liver was diagnosed by ultrasonography (US) using standard criteria.
Result. Twenty-six (22,03%) subjects with NAFLD were detected by US with similar proportion for each group. Low HDL level and metabolic syndrome were found higher in FDR group.
Conclusion. we couldn`t prove the association between FDR of T2DM and NAFLD in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Araminta Ramadhania
"ABSTRAK
Resistensi insulin adalah kondisi yang mendasari terjadinya diabetes melitus. Prevalensi diabetes melitus kian meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di Indonesia. Proporsi penderita diabetes melitus ditemukan lebih tinggi pada perempuan. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab terjadinya resistensi insulin dan resistensi insulin ini dapat bertahan hingga masa postpartum. Laktasi serta nutrien salah satunya seng, dapat memengaruhi resistensi insulin. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan menilai kadar seng serum dan korelasinya dengan resistensi insulin pada ibu laktasi di Jakarta. Pengambilan subjek dilakukan di Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara dan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada bulan Februari-April 2019. Sebanyak 75 orang ibu laktasi pada 3-6 bulan postpartum yang berusia 20-40 tahun direkrut menjadi subjek penelitian ini. Sekitar 76% (n=57) subjek memiliki kadar seng rendah dengan rerata sebesar 62,33±11,89 µg/dL. Resistensi insulin dinilai dengan menggunakan HOMA-IR (homeostasis model assessment-insulin resistance). Median HOMA-IR adalah 0,54 (0,22-2,21). Sebanyak 13,3% (n=10) subjek diprediksi mengalami resistensi insulin. Dilakukan uji korelasi antara kadar seng serum dengan HOMA-IR. Tidak ditemukan adanya korelasi bermakna antara kadar seng serum dengan HOMA-IR (r=0,003, p=0,977).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fierdania Yusvita
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kejadian DM Tipe 2 pada pekerja PT.X Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui besaran kontribusi variabel independen (lokasi kerja, masa kerja, perilaku merokok, dislipidemia) terhadap variabel dependen (risiko DM tipe 2, usia, indeks masa tubuh, ukuran lingkar abdomen, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, riwayat konsumsi obat anti-hipertensi, riwayat kadar glukosa tinggi dalam darah dan riwayat keluarga dengan DM). Penelitian menggunakan total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 373 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui telaah dokumen Medical Check Up (MCU). Proses input data menggunakan software EpiData dan Excel dan proses analisis dengan menggunakan SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko DM tipe 2 pada pekerja di PT.X dipengaruhi oleh faktor risiko di antaranya faktor individu (usia, Indeks Masa tubuh, ukuran lingkar pinggang, aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah setiap hari, konsumsi obat-obatan anti hipertensi dengan rutin, riwayat pernah memiliki hasil pengukuran glukosa di atas normal, riwayat keluarga dengan DM, Lokasi Kerja dan dislipidemia (p value = 0,00). Dapat disimpulkan bahwa semua pekerja permanen PT. X berisiko menderita DM Tipe 2. Disarankan untuk mengotimalkan program manajemen kesehatan kerja dan promosi kesehatan terkait diabetes melitusdi tempat kerja.

The aims of this study is to analyze the risk of diabetes mellitus type 2 incident on workers of PT.X 2014. This study uses a quantitative approach with cross sectional study design which conduted to determine the contribution of independent variables (age, BMI, waist circumference size, physical activity, consumption of vegetables and fruits, anti-drug hypertension consumption, a history of high levels of glucose in the blood and family history with DM, the location of the work, the work?s period, the behavior of smoking, hypertension) to the dependent variable (risk of DM type 2). This study uses the total sampling (373 people). The data was collected using medical check up?s document. Processing the data in this study using SPSS.
This study found that there are risk factors of diabetes mellitus on workers at PT X including individu factor such as age, body mass index, waist circumference, physical activity, daily consumption of fruits and vegetables, history of antihypertensive drug treatment, high blood glucose, family history with DM, location of work and dislipidemia ( p value = 0.00 ). It can be concluded that risk of diabetes mellitus type 2 on workers including low risk. Management advised to optimizing occupational health program and promotion of health at work.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Putranto
"Latar belakang: Prevalensi hipovitaminosis D (hypoD) pada penyandang diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) dengan depresi belum terdokumentasi dan faktor risikonya belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui prevalensi dan faktor risiko hipovitaminosis D pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang juga mengalami depresi.
Metode: 118 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengunjungi klinik endokrinologi rawat jalan di Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo antara Desember 2019 dan September 2022 memberikan data untuk studi cross-sectional ini. Data klinis pasien, termasuk indeks massa tubuh, tekanan darah, HbA1C, profil lipid, dan terapi, serta data demografis, termasuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, dan latar belakang pendidikan, dikumpulkan. Untuk tujuan mengevaluasi depresi, Beck Depression Inventory-II (BDI-II) digunakan. Kit ELISA digunakan untuk menilai serum vitamin D, variabel dependen. Normal (30 ng/mL), tidak mencukupi (20-29 ng/mL), dan kurang (20 ng/mL) adalah tiga rentang yang digunakan untuk mengkarakterisasi kadar vitamin D serum. Kami menggunakan analisis varian untuk memeriksa faktor antropometrik, klinis, dan biokimia antara ketiga kelompok (ANOVA).
Hasil:
118 subyek dengan DM tipe 2. Usia rerata adalah 56 (48, 75-60) tahun, dengan skor BDI II 17 (15-19) dan konsentrasi serum 25 (OH). Tingkat D adalah 18,3 (9,17–29,46) ng/mL. Hanya 21,8% pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan depresi memiliki kadar vitamin D yang cukup. Analisis multivariabel model varians digunakan untuk menguji hubungan usia, skor BDI II, HbA1c, SBP, dan DBP dengan kadar vitamin D. Usia dan skor BDI II keduanya memiliki pengaruh yang signifikan secara bermakna terhadap kadar vitamin D.
Kesimpulan: Investigasi cross-sectional ini menemukan bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan depresi memiliki prevalensi hipovitaminosis D yang tinggi (77,7%). Usia dan skor BDI II keduanya secara statistik mempengaruhi perbedaan kadar vitamin D secara bermakna.

Backgrounds: The prevalence of hypovitaminosis D (hypoD) in type 2 diabetes mellitus (type 2 DM) patients with depression has not been documented, and the risk factors are not known.
Objective: To identify the prevalence of and risk factors for hypovitaminosis D in type 2 diabetes mellitus patients who also have depression.
Methods: 118 patients with type 2 diabetes mellitus who visited the outpatient endocrinology clinics at Cipto Mangunkusumo National Hospital between December 2019 and September 2022 provided the data for this cross-sectional study. Patients' clinical data, including body mass index, blood pressure, HbA1C, lipid profiles, and therapy, as well as demographic data, including gender, age, marital status, and educational background, were gathered. For the purpose of evaluating depression, the Beck Depression Inventory-II (BDI-II) was utilized. An ELISA kit was utilized to assess serum vitamin D, the dependent variable. Normal (30 ng/mL), insufficient (20-29 ng/mL), and deficient (20 ng/mL) were the three ranges used to characterize serum vitamin D levels. We used analysis of variance to examine anthropometric, clinical, and biochemical factors between the three groups (ANOVA).
Results:
118 subjects with type 2 DM. Median of age was 56 (48, 75-60) years old, with a BDI II score of 17 (15-19) and a serum concentration of 25 (OH). D level was 18.3 (9.17–29.46) ng/mL. Only 21.8% of patients with type 2 diabetes mellitus and depression had sufficient levels of vitamin D. A multivariable analysis of variance model was used to examine the associations of age, BDI II score, HbA1c, SBP, and DBP with vitamin D level. Age and BDI II score both had a statistically significant effect on vitamin D levels.
Conclusions: This cross-sectional investigation discovered that type 2 diabetes mellitus patients with depression had a high prevalence (77.7%) of hypovitaminosis D. Age and BDI II score both statistically significantly affected differences in vitamin D levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>