Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kresna D. Suryana
"SARS-CoV-2 is a virus that can enter its hosts through the Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE2) receptor. ACE2 is mainly expressed in cells of the gastrointestinal tract, such as the esophageal epithelium and enterocytes from the ileum-colon. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) has varying clinical symptoms and presents differently in individuals, ranging from asymptomatic carriers to moderate clinical spectrum with mild pneumonia clinical features, and to a severe clinical presentation with dyspnea and hypoxia, leading to death due to respiratory or multi-organ failure. COVID-19 infection can also manifest themselves in the form of gastrointestinal symptoms such as diarrhea, vomiting, nausea, and abdominal pain. Severe complications of gastrointestinal COVID-19 infections include hemorrhage or perforation of the gastrointestinal tract and severe inflammation, which can adversely affect the intestinal immune system, and therefore the systemic immune system of the host. Furthermore, COVID-19 has also shown to affect microbiota homeostasis in the digestive tract. To date, no clear explanation is available regarding the pathophysiology of gastrointestinal SARS-CoV-2 infection, fecal RNA detection, and the possibility of fecal-oral transmission of SARS-CoV-2. This review aims to discuss the effects of SARS-CoV-2 infection on the digestive tract, microbiota, and lung, and the possibility of fecal-oral transmission in COVID-19."
Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia, 2021
610 UI-IJIM 53:1 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Saunders/Elsevier, 2016
616.33 SLE I
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andito Mohammad Wibisono
"Pendahuluan: COVID-19 telah dilaporkan menyebabkan berbagai gejala, termasuk gejala pernapasan dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Standar emas untuk pengujian COVID-19 adalah RT-PCR menggunakan koleksi swab nasofaring. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengambilan swab nasofaring memiliki beberapa keterbatasan, terutama untuk mendeteksi gejala gastrointestinal. Salah satu variabel dalam pengujian RT-PCR adalah Nilai CT yang diketahui dapat meningkatkan spesifisitas pengujian. Namun, belum ada penelitian yang menghubungkan Nilai CT pasien dengan pengambilan sampel swab anal dengan gejala gastrointestinal terkait COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik, khususnya penelitian potong lintang. Data sekunder diperoleh dan diolah yang berisi data pribadi, pekerjaan, dan hasil CT Value. Analisis lebih lanjut dilakukan pada hubungan antara gejala gastrointestinal dan tingkat Nilai CT pada swab anal. Hasil: Distribusi tingkat Nilai CT responden berdasarkan cut off >25 untuk tinggi, dan <25 untuk rendah dan sedang. Dari 37 subjek, 1 orang (2,7%) memiliki Nilai CT rendah dan 36 pasien memiliki Nilai CT tinggi. Distribusi gejala subjek didapatkan 15 pasien (40,5%) tidak mengalami gejala gastrointestinal dan sebanyak 22 pasien (59,5%) mengalami gejala gastrointestinal. Gejala gastrointestinal umum yang dilaporkan pada pasien meliputi: mual (54,1%), muntah (18,9%), sakit perut (16,2%) dan diare (13,5%). Namun, tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Hubungan antara Nilai CT pada pengambilan anal swab dengan gejala gastrointestinal pada pasien COVID-19 tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Penelitian lebih lanjut tentang faktor risiko yang mempengaruhi hasil nilai CT direkomendasikan.

Introduction: COVID-19 has been reported to cause a range of symptoms, including respiratory symptoms and gastrointestinal symptoms such as nausea, vomiting, and diarrhea. The gold standard for COVID-19 testing is RT-PCR using nasopharyngeal swab collection. However, several studies have shown that taking nasopharyngeal swabs have some limitation, particularly to detect gastrointestinal symptoms. One of the variables in RT-PCR testing is CT Value, which known can increase specifity of the test. However, there has been no study linking the CT Value of patients with anal swab sampling with COVID-19 related gastrointestinal symptoms. Methods: This study used an analytical research design, particularly a cross-sectional study. Secondary data were obtained and processed which contained personal data, work, and CT Value results. Further analysis was conducted on the relationship between gastrointestinal symptoms and the level of CT Value on anal swabs. Result: The distribution of respondents' CT Value levels were based on a cut off of >25 for high, and <25 for low and moderate. From 37 subjects, 1 person (2.7%) had a low CT Value and 36 patients had a high CT Value. The distribution of the subject's symptoms found 15 patients (40.5%) had no gastrointestinal symptoms and as many as 22 patients (59.5%) had gastrointestinal symptoms. Common gastrointestinal symptoms reported in patients include: nausea (54.1%), vomiting (18.9%), abdominal pain (16.2%) and diarrhea (13.5%). However, there was no significant relationship (p>0.05) between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients. Conclusion: The association between CT Value in anal swab taking and gastrointestinal symptoms in COVID-19 patients did not show a significant relationship. Further research on risk factors affecting the CT value results are recommended"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dizayrun
"Disfungsional motilitas gastrointestinal merupakan gangguan pada sistem gastrointestinal berupa peningkatan, penurunan, tidak efektif, atau kurangnya aktivitas peristaltic pada system gastrointestinal. Kondisi ini tidak terjadi secara langsung oleh COVID-19 melainkan dampak dari kurangnya mobilisasi akibat gejala klinis yang ditimbulkan oleh COVID-19 seperti sesak dan nyeri saat bergerak. Faktor risiko lain terjadinya kondisi ini yaitu cemas, perubahan pola makan, penurunan aktivitas, dan beban psikologis meningkat. Disfungsional motilitas gastrointestinal yang tidak ditangani segera dapat menyebabkan beberapa komplikasi dan mempengaruhi proses penyembuhan. Terdapat beberapa penatalaksanaan non farmakologi dalam mengatasi masalah ini yaitu abdominal masase, diet tinggi serat, aktivitas fisik rutin, pemenuhan cairan harian, dan manual disimpaction. Tujuan dari penulisan ini untuk menganalisis asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah disfungsional motilitas gastrointestinal pada pasien COVID-19 derajat sedang. Intervensi dilakukan selama empat hari. Hasil intervensi yang dilakukan menunjukan eliminasi fekal dapat dilakukan pada hari kedua dan keempat. Berdasarkan hasil tersebut pemberian asuhan keperawatan abdominal massage, terapi aktivitas rutin, pemenuhan cairan harian, diet tinggi serat, dan self disimpaksi dapat menjadi pilihan dalam mengatasi Disfungsional motilitas gastrointestinal pada pasien dengan covid derajat sedang.

Gastrointestinal motility dysfunction is a disorder of the gastrointestinal system in the form of increased, decreased, ineffective, or lack of peristaltic activity in the gastrointestinal system. This condition does not occur directly by COVID-19 but the impact of the lack of mobilization due to clinical symptoms caused by COVID-19 such as shortness of breath and pain when moving. Other risk factors for this condition are anxiety, changes in diet, decreased activity, and increased psychological burden. Gastrointestinal motility dysfunction that is not treated promptly can lead to several complications and affect the healing process. There are several non-pharmacological treatments to overcome this problem, namely abdominal massage, high-fiber diet, routine physical activity, daily fluid fulfillment, and manual disimpaction. The purpose of this paper is to analyze nursing care in overcoming the dysfunctional problem of gastrointestinal motility in moderate-grade COVID-19 patients. The intervention was carried out for four days. The results of the intervention showed that faecal elimination could be carried out on the second and fourth days. Based on these results, the provision of nursing care for abdominal massage, routine activity therapy, daily fluid intake, a high-fiber diet, and self-disimpaction can be options in overcoming gastrointestinal motility dysfunction in patients with moderate-grade COVID-19."
Depok: fakultas ilmu kep, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Arya Limianto
"Latar belakang: Mortalitas pascaoperasi dan komplikasi respiratorik berat telah didokumentasikan pada pasien COVID-19 pada berbagai studi. Namun, belum terdapat penelitian yang secara khusus mengevaluasi luaran dari laparatomi gawat darurat dengan perforasi gastrointestinal selama pandemi COVID-19 tahun 2020.
Metode: Studi dilakukan dengan desain observasional retrospektif sejak bulan Desember 2020-Februari 2021. Pasien perforasi gastrointestinal berusia lebih dari 15 tahun yang menjalani laparotomi gawat darurat diinklusi dalam penelitian. Luaran yang dievaluasi adalah mortalitas dan morbiditas, yang meliputi sindrom distres pernapasan akut (ARDS), reoperasi, durasi perawatan di rumah sakit, sepsis, admisi ke ruang perawatan intensif (ICU), dan infeksi daerah operasi (IDO).
Hasil: Terdapat 117 pasien pascalaparotomi yang direkrut dalam penelitian ini, dengan 95 (81,2%) pasien tidak terinfeksi SARS-CoV-2. Median usia untuk kelompok non-COVID dan kelompok COVID secara berturut-turut sebesar 41 (14¬92) tahun dan 39 (15¬77) tahun. Mortalitas umum tercatat pada angka 23,9%. Pasien perforasi COVID-19 yang menjalani tindakan laparotomi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kematian, ARDS, dan sepsis, serta mendapatkan tindakan reoperasi dibandingkan pasien non-COVID, dengan risiko odds masing-masing sebesar 2,769 (95% IK; 1,032–7,434), 8,50 (95% IK; 2,939–24,583), 3,36 (95% IK; 1,292–8,735), dan 3,69 (95% IK; 1,049–13,030). Tidak terdapat perbedaan antara pasien perforasi gastrointestinal yang terkonfirmasi COVID-19 dan pasien non-COVID dalam hal risiko IDO, lama durasi perawatan, dan admisi ke ICU. Usia, sepsis, dan ARDS merupakan faktor prognostik bermakna untuk mortalitas COVID-19.
Simpulan: Pasien perforasi gastrointestinal pascalaparotomi yang terkonfirmasi COVID-19 memiliki risiko mortalitas, ARDS, sepsis, dan menjalani tindakan reoperasi yang lebih tinggi dibandingkan pasien non-COVID.

Background: Postoperative mortality and severe respiratory complications have been documented in COVID-19 patients in various studies. However, no studies specifically evaluate the outcome of emergency laparotomy with gastrointestinal perforation during the 2020 COVID-19 pandemic.
Methods: The study was conducted with a retrospective observational design from December 2020-February 2021. Patients with gastrointestinal perforations aged more than 15 years who underwent emergency laparotomy were included in the study. The outcomes evaluated were mortality and morbidity, which included acute respiratory distress syndrome (ARDS), reoperation, duration of hospital stay, sepsis, admission to the intensive care room (ICU), and surgical site infections (SSI).
Results: There were 117 post-laparotomy patients recruited, with 95 (81.2%) COVID-19 negative patients. The median ages for the non-COVID group and the COVID group were 41 (14¬92) years and 39 (15¬77) years. General mortality was recorded at 23.9%. Patients with perforated COVID-19 who underwent laparotomy had a higher risk of dying, ARDS, and sepsis, as well as receiving re-surgery than non-COVID-19 patients, with an odds risk of 2.769 each (95% CI; 1,032–7,434), 8,50 (95% CI; 2,939–24,583), 3.36 (95% CI; 1,292–8,735), and 3.69 (95% CI; 1,049¬ – 13,030). There was no difference between gastrointestinal perforated patients with confirmed COVID-19 and non-COVID-19 patients in terms of risk of SSI, length of stay, and admission to the ICU. Age, sepsis, and ARDS are significant prognostic factors for COVID-19 mortality.
Conclusion: Post-laparotomy confirmed gastrointestinal perforation patients with COVID-19 have a higher risk of mortality, ARDS, sepsis, and undergoing reoperation than non-COVID-19 patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransesco Bernado Hubert Jonathan
"Latar Belakang: Regurgitasi bayi adalah salah satu penyakit gastrointestinal fungsional yang paling sering ditemukan dan terjadi pada bayi berumur 3 hingga 12 bulan. Sebagai penyakit fungsional, regurgitasi bayi rentan untuk mendapat diagnosis yang tidak tepat dan tatalaksana yang tidak sesuai. Secara alami, regurgitasi bayi akan hilang dengan sendirinya seiring bertumbuhan usia bayi. Orang tua daripada anak-anak dengan penyakit gastrointestinal fungsional sering kali harus melakukan uji-uji diagnostik yang banyak yang sebenarnya tidak diperlukan dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dokter anak dalam mendiagnosis dan tatalaksana regurgitasi bayi berdasarkan Rome IV.
Metode: Penelitian ini menerapkan studi analitik cross-sectional observational. Sebuah kuesioner dirumuskan berdasarkan Rome IV dan sumber rujukan terbaru. Kuesioner ini divalidasi menggunakan prinsip face-validation oleh ahli dan 30 orang subjek uji coba untuk uji reliabilitas dan korelasi. Kuesioner tersebut kemudian dibagikan secara elektronik kepada dokter anak yang sudah di acak dan merupakan anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, Cabang DKI Jakarta yang lulus spesialis antara 2005-2019. Analisis data menggunakan 131 sampel data dengan program SPSS 20.
Hasil: Data terkumpul diekspresikan sebagai mean ± SD, median(range), p-value. Dokter anak yang menggunakan Rome IV sebagai sumber informasi mendapatkan skor pengetahuan sebesar 14.87 ± 2.540, 16 (8-20), p = 0.110 dan skor tatalaksana sebesar 9.10 ± 2.264, 10 (4-12), p = 0.486. Nilai p didapatkan dengan uji Mann-Whitney U dan tidak ditemukan signifikasi statistik dalam penelitian ini (p > 0.05).
Kesimpulan: Rome IV diketahui dan digunakan cukup baik oleh dokter anak di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua dokter anak telah mengetahui dan/atau menggunakan kriteria Rome IV saat menangani pasien regurgitasi bayi. Walaupun tidak ada data maupun variabel yang signifikan dalam penelitian ini, dapat diinterpretasikan bahwa ketepatan diagnosis dan tatalaksana regurgitasi bayi oleh dokter anak bergantung oleh banyak faktor.

Introduction: Infant Regurgitation is one of the most prevalent functional gastrointestinal disorders (FGIDs) in the world, affecting infants ages 3 to 12 months old. As an FGID, infant regurgitation is susceptible to be misdiagnosed and managed with improper therapeutic approaches. Naturally, infant regurgitation will resolve on its own as the infant grows older. FGID patients have been subjected to extensive diagnostic work-ups that are deemed unnecessary and very costly. This research intends to analyze the factors that affect the pediatricians' decisions in making diagnosis and therapeutic approaches based on Rome IV.
Method: This research applies a cross-sectional observational analytical study. A questionnaire is formulized based on Rome IV and up-to-date studies. The questionnaire is validated at face-level by an expert and tested for both reliability and correlation using 30 test respondents. The questionnaire is then distributed electronically to randomized pediatricians that are members of the Indonesian Pediatric Society, DKI Jakarta branch, who graduated between 2005-2019. Data analysis uses 131 sample data with SPSS 20 program.
Results: Collected data is expressed as mean ± SD, median(range), p-value. Pediatricians who use Rome IV as their source of knowledge achieved a diagnostic knowledge score of 14.87 ± 2.540, 16 (8-20), p = 0.110 and a therapeutic knowledge score of 9.10 ± 2.264, 10 (4-12), p = 0.486. P-value was obtained using Mann-Whitney U Test and no statistical significance is found in this research (p > 0.05). Conclusion: Rome IV is well recognized and used by Indonesian pediatricians. However, not all pediatricians have known and/or used the Rome IV criteria when dealing with infant regurgitation. Even though no data or variable in this research is statistically significant, it can be inferred that the accuracy of pediatricians in diagnosing and managing infant regurgitation depends on a myriad of factors.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzi
"Latar belakang: Perubahan pola hidup dan kondisi mental selama pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan faktor risiko penyakit Gastrointestinal Tract (GIT) termasuk GERD. GERD-Q merupakan alat skrining yang umum digunakan di Indonesia dan dapat menilai pengaruh GERD dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan menilai perubahan proporsi GERD dan kualitas hidup akibat GERD selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Metode: Penelitian ini berdesain potong lintang menggunakan data sekunder yang diambil menggunakan kuesioner daring. Sebanyak 9.843 responden dikelompokkan berdasarkan hasil GERD-Q, waktu pengisian data, gejala yang muncul, dan pengaruh GERD dalam kualitas hidup. Hasil: Terdapat peningkatan frekuensi dan intensitas heartburn (p<0,001), regurgitasi (p=0,005), gangguan tidur akibat gejala GERD (p<0,001), konsumsi obat OTC (p<0,001), prevalensi heartburn (p=0,015), prevalensi GERD (p<0,001), dan penurunan kualitas hidup (p=0,003) antar sebelum dan saat pandemi. Penurunan kualitas hidup juga terlihat pada Gelombang 2 dibandingkan Gelombang 1 Covid-19 di Indonesia (p=0,019). Kesimpulan: Terdapat peningkatan prevalensi GERD selama pandemi Covid-19 di Indonesia dengan heartburn menjadi gejala tersering. Tidak ditemukan perbedaan signifikan antar gelombang Covid-19 dengan prevalensi GERD. Penurunan kualitas hidup diamati pada pandemi Covid-19 dan gelombang 2 Covid-19 di Indonesia.

Introduction: Lifestyle and mental health shifting during the Covid-19 pandemic caused alteration of Gastrointestinal Tract (GIT) disease risk factors, including GERD. GERD-Q is a common screening tool in Indonesia and can assess GERD impact on daily life. This research aims to evaluate the difference of GERD proportion and GERD-related quality of life during the Covid-19 pandemic in Indonesia. Methods: This research was a cross-sectional study using secondary data collected online. About 9,843 respondents were grouped based on GERD-Q score, submission date, symptoms, and GERD impact on daily life. Results: We observed significance increase in frequency and intensity of heartburn (p<0.001) , regurgitation (p=0.005), GERD-related sleep disturbance (p<0.001), OTC drug consumption (p<0.001), heartburn prevalence (p=0.015), GERD prevalence (p<0.001), and decrease of QoL (p=0.003) in before and during pandemic. A QoL decrease was also observed in the second wave compared to the first wave Covid-19 (p=0.019). Conclusions: We found an increased GERD prevalence during the Covid-19 pandemic in Indonesia, with heartburn being the common symptom. There was no significant difference between Covid-19 waves compared to GERD prevalence. A decrease of QoL was also observed during the Covid-19 pandemic and the second wave of Covid-19 in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardah Nafisah
"Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Desain penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang, melibatkan 64 sampel yang dipilih dengan teknik convenient sampling. Instrumen yang digunakan ialah kuesioner yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya. Analisis data univariat distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan 82,8% mahasiswa asing di Universitas Indonesia pernah mengalami masalah gastrointestinal selama berada di Indonesia. 46,3% responden menyatakan sering mengalami keluhan sakit perut, yang merupakan manifestasi umum pada berbagai jenis gangguan gastrointestinal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi berbagai faktor pola makan dan gaya hidup yang memengaruhi kejadian masalah gastrointestinal pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia.

This study aimed to identify the description of gastrointestinal problems on foreign students in Universitas Indonesia. Descriptive study with a cross-sectional design, involving 64 samples whom were selected with convenient sampling method. A questionnaire which was modified from previous research was used.
The result showed that 82,8% foreign students of Universitas Indonesia had experienced gastrointestinal problems during in Indonesia, which indicates high prevalence. 46,3% respondents often experience abdominal discomfort which is the common manifestation of various gastrointestinal disorders. A further research is needed to explore and elaborate the related factors such as consumption pattern and lifestyle which significantly affect the gastrointestinal problems finding on foreign students in Universitas Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Hendrawati
"Penyakit diare merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Diare termasuk dalam kelompok tiga penyebab utama kunjungan berobat ke Puskesmas/Balai Pengobatan. Angka kesakitan diare dalam setiap tahunnya sekitar 200-400 kejadian dari 1000 penduduk. Sebagian besar (70-80%) penderita adalah anak di bawah usia lima tahun dan mengalami lebih dari satu kejadian diare setiap tahunnya.
Di Indonesia, angka kematian akibat diare selama 25 tahun terakhir telah menurun tajam, dari urutan pertama pada tahun 1972 menjadi urutan ke lima pada tahun 1996. Dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, kematian akibat diare pada tahun 1972, 1980, 1986, 1992 dan 1996 berturut-turut adalah 40%, 24,9%, 16%, 7,5% dan 7,4%. Menurut laporan Departemen Kesehatan, berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1983 dan 1986, di Indonesia seliap anak mengalami diare 1,6-2 kali setahun. Sebagian penderita (1-2%) jatuh ke dalam dehidrasi dan jika tidak segera ditolong, 50-60% di antaranya dapat meninggal.
Di Medan, Metrizal dkk melaporkan jumlah kasus diare yang memerlukan perawatan di rumah sakit adalah sebanyak 45,4% dari seluruh kasus di bangsal perawatan dengan 51,3% di antaranya berusia kurang dart 2 tahun Ariyani melaporkan penelitian yang dilakukan di Departemen IKA FKUI/RSCM tahun 19964997, didapat kasus diare sebanyak 85 anak, 60% di antaranya laki-laki. Rentang umur pasien adalah 2-24 bulan dengan puncaknya pada usia 6-11 bulan (42,4%).
Pada anak dengan diare berat, lebih dari 25% anak mengalami sindrom malabsorpsi. Beberapa penelitian yang dilakukan tentang kejadian intoleransi laktosa pada diare mendapatkan hasil sebagai berikut : Suharyono dkk mendapatkan angka sebesar 52,5% pada 838 penderita diare akut, Mustajab dkk di Manado mendapatkan angka intoleransi laktosa sebesar 63,2% pada anak dengan diare, Hegar dkk di Jakarta mendapatkan angka 23,1%, sedangkan Sunoto dkk mendapatkan angka intoleransi laktosa sebanyak 40% pada anak dengan diare melanjut. Dari beberapa penelitian pada bayi dan anak yang menderita diare yang dirawat di Bangsal Gastroenterologi Unit Anak RSCM/FKUI antara tahun 1971-1977 dan 1979-1980, Suharyono mendapatkan angka kejadian malabsorpsi lemak sebesar 57%, sedangkan Hegar dkk mendapatkan hasil 43,6%. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kembali kejadian intoleransi laktosa dan malabsorpsi lemak dengan jumlah sampel yang lebih besar dan diambil dari sampel selama 2 tahun terakhir."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anatha Chriscilia Selaindoong
"Gangguan pencernaan merupakan isu global dengan hasil  studi epidemiologi lebih dari 40% orang diseluruh dunia mengalami gangguan pencernaan. Salah satu faktor diet yang berhubungan dengan gangguan pencernaan yaitu jenis makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Minahasa memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan berempah dan pedas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara mengonsumsi makanan minahasa berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang melibatkan 212 sampel berusia 18-60 tahun yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dikontrol dengan variabel perancu, terdapat hubungan antara konsumsi makanan berempah dan pedas dengan gejala gangguan pencernaan (nilai p 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Pasien yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas berisiko 2.523 kali mengalami gejala gangguan pencernaan. Peneliti merekomendasikan perawat untuk melakukan asuhan keperawatan secara komperhensif sebagai educator dan fasilitator untuk mengoptimalkasn kesehatan masyarakat yang mengonsumsi makanan berempah dan pedas serta faktor lainnya yang berisiko  dengan gejala gangguan pencernaan. Bagi pelayanan kesehatan dan pemerintah daerah dapat menyusun rencana strategi dalam upaya pencegahan maupun penanganan gangguan pencernaan terkait konsumsi makanan berempah dan pedas dengan tetap melestarikan kekhasan budaya setempat.

Gastrointestinal disorders are a global issue with the epidemiology study results of more than 40% of people around the world experiencing digestive disorders. A dietary factor associated with indigestion is the type of food consumed. Minahasa people habitually consume spicy foods. The aim of this study was to identify the relationship between consuming spicy Minahasan food and symptoms of indigestion. This study was a cross-sectional study involving 212 samples aged 18-60 years who complied with the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling technique was used. After control for confounding variables, there was an association between consuming spicy foods and gastrointestinal symptoms (p value 0.015<0.05) OR 2.523 (95% CI: 1.197-5.319). Patients who consume spicy foods are at risk of 2.523 times to experience gastrointestinal symptoms. Furthermore, Researchers recommend nurses to provide comprehensive nursing care as educators and facilitators to optimize the health of people who consume spicy foods and other risk factors associated with gastrointestinal symptoms. For health services and government can establish a strategic plan in preventing and treating gastrointestinal disorders related to the consumption of spicy food while preserving the characteristics of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>