Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rayinda Raumanen
"Latar belakang. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik pada ODGJ. ODGJ yang taat dengan pengobatan baik taat akan medikasi maupun perjanjian kontrol dapat mengalami pengurangan gejala psikopatologi, penurunan tingkat admisi rumah sakit, dan menurunnya tingkat kekambuhan gejala. Banyak faktor yang memengaruhi ketaatan pengobatan yang berasal dari ODGJ dan keluarga, tenaga kesehatan, dan layanan kesehatan. Faktor layanan kesehatan yang dimaksud adalah kompleksitas regimen obat, pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada layanan kesehatan. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo cenderung kompleks dan jenis obat yang terdapat pada rumah sakit ini lebih bervariasi dibandingkan fasilitas kesehatan lain. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor layanan kesehatan dengan ketaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods, pendekatan kuantitatif ditujukan untuk melihat hubungan regimen pengobatan dengan ketaatan pengobatan dan kualitatif untuk melihat pengaruh pembiayaan, akses, dan sistem rujukan pada ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Desain yang digunakan untuk metode kuantitatif adalah repeated measures, data ketaatan pengobatan ODGJ diambil tiap bulan dengan menggunakan instrumen self-report MARS selama 3 bulan berturut-turut dan jenis obat yang digunakan diambil dari catatan rekam medis. Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan rerata skor MARS dan rerata skor MARS per domain antara regimen obat I (antipsikotik tunggal maupun kombinasi antipsikotik) dan regimen obat II (antipsikotik kombinasi dengan psikotropika lainnya). Penelitian kualitatif pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam dengan subjek yang sudah menyelesaikan pengambilan data MARS selama 3 bulan. Data yang diperoleh kemudian dibuat transkrip dan dimasukkan ke dalam matriks. Matriks yang dibuat kemudian divalidasi dengan metode triangulasi isi, metode, maupun investigator.
Hasil. Pada penelitian kuantitatif ditemukan ODGJ dengan regimen obat II dalam 3 bulan cenderung memiliki skor MARS lebih tinggi dibandingkan dengan regimen I meskipun secara statistik tidak bermakna. Akan tetapi, pada analisis domain MARS terdapat hubungan bermakna antara skor sikap bulan II dan III pada regimen obat I (p=0,03). Pada penelitian kualitatif ditemukan bahwa biaya pengobatan, biaya transportasi, biaya kebutuhan non medis, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke layanan kesehatan dapatmemengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Simpulan. Regimen pengobatan memengaruhi sikap ODGJ pengobatan. Demikian pula biaya untuk pengobatan, dan non-pengobatan, akses, jarak, waktu, motivasi, dan penolakan ke fasilitas kesehatan memengaruhi ketaatan pengobatan ODGJ.

Background. Adherence to treatment is an important factor to provide good outcomes in people living with mental disorder (PLWMD). PLWMD who are adherent to both medication and doctor’s appointment can experience a reduction in psychopathological symptoms, decreased hospital admissions, and decreased rates of symptom recurrence. Factors influencing adherence to treatment originate from PLWMD and their families, health workers, and health services. The health service factors that can affect adherence include the complexity of drug regimen, cost, access, and the referral system of health services. As a national referral hospital, case at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo tends to be complex and the types of drugs available at this hospital are more varied than other health facilities. This research was conducted to determine the relationship between health service factors and medication adherence in RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Method. This study used a mixed-methods approach. A quantitative approach aimed at seeing the relationship between treatment regimens and adherence and a qualitative approach to see the effect of cost, access, and referral systems on PLWMD treatment adherence at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. The design used for the quantitative method was repeated measurements. Treatment adherence was taken monthly using the MARS self-report instrument for 3 consecutive months and the types of drugs used were taken from medical records. Furthermore, a comparative analysis of the MARS score’s mean per domain was carried out between drug regimen I (single antipsychotic or combination antipsychotic) and drug regimen II (combination antipsychotic with other psychotropic drugs). Qualitative research in this study used in-depth interviews with subjects who have completed the MARS data collection for 3 months. The obtained data were transcribed and entered into a matrix. The matrix was validated using the content, method, and investigator triangulation.
Results. In the quantitative study, it was found that PLWMD with drug regimen II within 3 months tended to have a higher MARS score than regimen I although it was not statistically significant. However, in the MARS domain analysis, there was a significant relationship between month II and III attitude scores on drug regimen I (p = 0.03). In qualitative research, it was found that medical costs, transportation costs, costs for non-medical needs, access, distance, time, motivation, and refusal to health services could affect compliance with PLWMD treatment at RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Conclusion. The treatment regimen influences attitudes towards treatment of PLWMD. Likewise, costs for treatment and non-treatment, access, distance, time, motivation, and refusal to go to health facilities affect compliance of PLWMD.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dequarta Splinaria Umar
"Latar Belakang: Ketidaktaatan pengobatan pada orang dengan skizofrenia merupakan masalah di seluruh dunia dan merupakan aspek paling menantang dalam menangani pasien dengan skizofrenia. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik pada pasien dengan skizofrenia. Terdapat beberapa perbedaan hasil dari berbagai penelitian terhadap faktor yang menyebabkan ketidaktaan pengobatan, namun ketidaktaatan pengobatan tetap merupakan masalah yang konsisten dalam pengobatan skizofrenia. kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo cenderung kompleks. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor terkait yang menyebabkan ketidaktaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang. Sebanyak 1440 subjek berasal dari pasien rawat jalan dengan skizofrenia di poliklinik psikiatri RS dr. Cipto Mangunkusumo. yang ditentukan dengan cluster konsekutif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan Positive and Negative Symptom of Schizophrenia (PANSS). Penilaian efek samping ekstrapiramidal mengunakan extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Data ketidaktaatan pengobatan diambil dengan menggunakan instrumen self-report medication adherence rating scale (MARS) data yang diperoleh kemdian dilakukan analisis dengan metode regresi logistik.
Hasil: Ditemukan proporsi ketidaktaatan pengobatan pada pasien dengan skizofrenia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 21,4%. Tilikan, fungsi kognitif, status ekonomi, keparahan gejala, gejala depresi, efektivitas pengobatan ditemukan memengaruhi ketidaktaan pengobatan. Melalui analisis multivariat hanya tilikan (p 0,003 ; OR = 5,437 ; CI95% 1,752-16,868) dan fungsi kognitif (p = 0.035 ; OR = 3,294 ; CI95% 1,089-9,967) yang menunjukkan pengaruh bermaknak terhadap ketidaktaatan pengobatan.

Introduction: Medication non-adherence in people with schizophrenia is a worldwide problem and is the most challenging aspect of managing patients with schizophrenia. Adherence to medication is an important factor to provide a good outcome in patients with schizophrenia. There are differences in the results of various studies on the factors that lead to medication non-adherence, but medication adherence remains a consistent problem in the treatment of schizophrenia. the case at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital tends to be more complex. So this research was conducted to determine the related factors that led to medication non-adherence at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: we conducted in a cross-sectional research. The sample size was 140 subjects from outpatients with schizophrenia in psychiatric polyclinic at dr. Cipto Mangunkusumo hospital and selected by consecutive clusters. Data were collected by structured interviews using Positive and Negative Symptoms of Schizophrenia (PANSS). Extrapyramidal side effect assessment using extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Medication adherence data were taken using the instrument self-report medication adherence rating scale (MARS). The data obtained were analyzed using logistic regression methods.
Results: The Proportion of medication non-adherence in patients with schizophrenia of 21.4% was found at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Insight, cognitive function, economic status, symptom severity, depressive symptoms, and effectiveness of treatment were found to be significant related to medication non-adherence. Multivariate analysis shown only insight (p 0.003; OR = 5.437; 95% CI 1.752-16.868) and cognitive function (p = 0.035; OR = 3.294; 95% CI 1.089-9.967) were found were found significant related to medication non-adherence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Yunia Fitriani
"ABSTRAK
Pendahuluan. Gangguan mental emosional adalah keadaan distress psikologik yang jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan gangguan jiwa berat dan disabilitas. Prevalensi gangguan mental emosional yang dialami oleh perawat perempuan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, rumah sakit rujukan tersier di Indonesia, pada tahun 1998 adalah sebesar 17,7%. Salah satu bahaya potensial psikososial yang diduga berhubungan dengan gangguan kesehatan mental adalah konflik pekerjaan-keluarga.
Metode. Disain penelitian menggunakan studi potong lintang dengan mencari hubungan antara variabel bebas konflik pekerjaan-keluarga dan faktor individu serta faktor pekerjaan lainnya dengan variabel terikatnya yaitu gangguan mental emosional. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner konflik pekerjaan-keluarga, SRQ 20 dengan populasi penelitian perawat perempuan yang bekerja di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Hasil. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 23,5%. Faktor paling dominan yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo adalah konflik pekerjaan-keluarga (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) dan tingkat pendidikan (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Kesimpulan. Didapatkan hubungan yang bermakna antara konflik pekerjaan-keluarga dengan gangguan mental emosional pada perawat perempuan di Indonesia.

ABSTRACT
Introduction: Emotional mental disorder is a state of psychological distress that, if not handled properly, can lead to severe mental disorders and disabilities. The prevalence of emotional mental disorder experienced by female nurses at the National General Hospital (RSUPN) Dr.Cipto Mangunkusumo, tertiary referral hospital in Indonesia, in 1998 was 17.7%. One potential psychosocial hazard that is thought to be related to mental health disorders is the work-family conflict.
Methods: This was a cross-sectional study by looking for relationship between the independent variable work-family conflict, individual factors and work factors with dependent variable emotional mental disorder. The instruments used in this study are work-family conflict questionnaire and SRQ 20 with study population is female nurses whom are working at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Results: The prevalence of emotional mental disorder in female nurses at Dr.Cipto Mangunkusumo RSUPN is 23.5%. The most dominant factor associated with emotional mental disorder in female nurses at RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo is work-family conflict (OR 2,59, CI 95% 1,44-4,65, p<0,001) and level of education (OR 0,07, CI 95% 0,01-0,62, p:0,010).
Conclusion: There is a significant relationship between work-family conflicts and emotional mental disorders in female nurses in Indonesia."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Geraldine
"Latar belakang: Gejala nonmotorik sangat umum ditemukan pada pasien dengan Parkinsonisme, dan bahkan dapat muncul sebelum onset gejala motorik. Gejala ini berpotensi memperburuk kualitas hidup pasien, tetapi sering kali terlewatkan pada pasien dengan Parkinsonisme dibandingkan gejala motoriknya. Interaksi berbagai faktor berperan penting dalam muncul dan beratnya gejala pada Parkinsonisme, salah satunya faktor demografis pasien. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan faktor demografis dengan gejala nonmotorik pasien dengan Parkinsonisme.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada 50 pasien dengan Parkinsonisme di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dengan desain studi cross-sectional. Faktor sosiodemografis yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan status pernikahan. Gejala nonmotorik diukur dengan kuesioner Movement Disoreder Society Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Bagian I. Analisis bivariat dilakukan dengan uji t tidak berpasangan dan ANOVA, sedangkan regresi linear digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil: Karakteristik subjek penelitian mayoritas berusia 65 tahun (90%), laki-laki (56%), berpendidikan tinggi (50%), berpenghasilan Rp2.500.00 bersifat protektif terhadap beratnya gejala nonmotorik, sedangkan pendidikan rendah dan status sudah menikah meningkatkan beratnya gejala. Analisis tiap domain MDS-UPDRS Bagian I menemukan faktor usia berhubungan bermakna dengan gejala konstipasi; jenis kelamin berhubungan bermakna dengan nyeri; tingkat pendidikan berhubungan bermakna dengan halusinasi, depresi, gangguan tidur, dan konstipasi; tingkat pendapatan berhubungan bermakna dengan gangguan tidur dan pusing saat berdiri; serta status pernikahan berhubungan bermakna dengan gangguan tidur.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara faktor demografis dengan beratnya gejala nonmotorik pada pasien dengan Parkinsonisme, terutama jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan status pernikahan. Faktor demografis juga ditemukan berhubungan bermakna dengan domain gejala nonmotorik yang berbeda. Hasil studi ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian terhadap gejala nonmotorik, serta memberikan data untuk pengobatan yang sifatnya terpersonalisasi terhadap faktor risiko sosiodemografis pasien dengan Parkinsonisme.

Background: Nonmotor symptoms are commonly found in patients with Parkinsonism, and can even present itself before motor symptoms. These symptoms has the potential to impact patient's quality of life, yet are often overlooked in patients with Parkinsonism compared to its motor symptoms. Interaction of various factors play an important role in the appearance and severity of symptoms in Parkinsonism, one of which is patient sociodemographics factors. Therefore, this study was conducted to examine the relationship between sociodemographic factors and nonmotor symptoms in patients with Parkinsonism.
Methods: This study was conducted on 50 patients with Parkinsonism at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital with a cross-sectional study design. Sociodemographic factors assessed include age, gender, income level, education level, and marital status. Nonmotor symptoms were measured using the Movement Disorders Society Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS Part I) questionnaire. Bivariate analysis was performed using independent t test and ANOVA, while linear regression was used for multivariate analysis.
Results: Majority of research subjects were aged ≤65 years (90%), male (56%), highly educated (50%), income level Rp2.500.000 are protective against nonmotor symptoms, while lower education and married status increase nonmotor symptoms. Analysis of each domain of MDS-UPDRS Part I found that age was significantly associated with symptoms of constipation; gender is associated with pain; education is associated with hallucinations, depression, sleep disturbances, and constipation; income is associated with sleep disturbances and dizziness on standing; and marital status associated with symptoms of sleeping disturbance.
Conclusion: There is a significant relationship between sociodemographic factors and the severity of nonmotor symptoms in patients with Parkinsonism, especially gender, education level, income, and marital status. Demographic factors were also found to be significant with different domains of nonmotor symptoms. Results of this study are expected to increase attention to nonmotor symptoms, as well as provide data for personalized treatment based on sociodemographic risk factors in patients with Parkinsonism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Gilbert Dyson
"Latar belakang: Gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Faktor sosiodemografis diketahui berperan penting pada berbagai penyakit kronis, namun kaitannya dengan penyakit parkinsonisme belum banyak mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografis dengan gejala motorik pasien dengan parkinsonisme.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melalui pengisian kuesioner MDS Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Bagian II tentang gejala motorik sehari-hari secara daring. Sampel target dalam penelitian ini adalah pasien parkinsonisme berdasarkan diagnosis dokter yang bersedia mengikuti penelitian, lancar berbahasa Indonesia, dan memiliki akses internet.
Hasil: Sebanyak 50 pasien bersedia menjadi responden dengan gejala motorik terbanyak adalah kesulitan berpakaian (90%), diikuti dengan menulis, melakukan hobi, tremor, dan bangkit berdiri (88%). Analisis bivariat menemukan bahwa pasien berpendidikan rendah, berpendapatan rendah, dan sudah menikah secara signifikan memiliki gejala motorik yang lebih buruk (p<0,05). Analisis multivariat mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan rendah dan status sudah menikah signifikan sebagai faktor risiko, sedangkan tingkat pendapatan tinggi sebagai faktor protektif terhadap gejala motorik yang buruk.
Kesimpulan: Faktor sosiodemografis memiliki hubungan signifikan dengan derajat gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme. Studi ini merekomendasikan penanganan pasien secara personalisasi berdasarkan faktor sosiodemografis pasien.

Background: Motor symptoms in patients with parkinsonism severely impair daily activities. Sociodemographic factors are known to play an important role in various chronic diseases, but their relationship with parkinsonism has not been studied yet. This study aims to determine the association between sociodemographic factors and motor symptoms among patients with parkinsonism.
Methods: This cross-sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta by using the MDS Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Part II questionnaire about daily motor symptoms. The target sample in this study were patients with parkinsonism based on a doctor's diagnosis, fluent in Indonesian, and had internet access.
Results: A total of 50 respondents were recruited with the most motor symptoms being difficulty dressing (90%), followed by writing, doing hobbies, tremors, and balance (88%). Bivariate analysis found that patients with low education, low income, and married had significantly worse motor symptoms (p<0.05). Multivariate analysis revealed that low education level and married status were significant risk factors, while high income level was a protective factor against poor motor symptoms.
Conclusion: Sociodemographic factors significantly associated with motor symptoms in parkinsonism patients. This study recommends personalized patient management based on the patient's sociodemographic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Theresa Ayu Febrinia
"Pendahuluan. Bunuh diri merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada remaja dan dewasa muda secara global. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa 62% pasien mengalami readmisi psikiatri dengan risiko bunuh diri sebagai alasan terbanyak. Saat ini tidak banyak penelitian yang menilai faktor risiko yang memengaruhi readmisi pada pasien berisiko bunuh diri. Berdasarkan kebutuhan tersebut, perlu dilakukan penelitian yang mempelajari tentang profil dan karakteristik pasien-pasien yang mengalami readmisi berulang karena risiko bunuh diri serta hubungannya dengan kejadian readmisi. Metode. Penelitian dengan rancangan studi potong lintang dengan melibatkan 38 rekam medis pasien yang dirawat inap psikiatri dengan indikasi risiko bunuh diri selama Januari 2020 hingga Juni 2022. Kedatangan ke Ruang Rawat Inap Psikiatri RSCM ditelusuri dari Electronic Health Record. Analisis data menggunakan uji chi-square, uji regresi logistik biner, dan Independent Sample T-test. Hasil. Terdapat 33 (86,84%) sampel yang mengalami rawat inap psikiatri berulang dalam satu tahun di RSCM. Tidak ditemukan hubungan bermakna profil demografi (usia, jenis kelamin, status pernikahan, status pekerjaan), frekuensi rawat inap sebelumnya, derajat risiko bunuh diri dan profil kepribadian terhadap kejadian rawat inap berulang psikiatri atas indikasi risiko bunuh diri. Terdapat hubungan bermakna antara episode depresi dengan kejadian rawat inap berulang psikiatri atas indikasi risiko bunuh diri, dengan peningkatan risiko 21,333 kali, namun tidak dapat digeneralisasi pada populasi umum karena interval kepercayaan yang lebar. Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk penelitian lanjutan dengan metode yang lebih baik, dan menerapkan evaluasi panduan tatalaksana bunuh diri yang menekankan pada kelompok yang rentan mengalami perawatan berulang atas indikasi risiko bunuh diri.

Introduction. Suicide is one of the leading causes of death in adolescents and young adults globally. Study found 62% of patients had psychiatric readmissions with the risk of suicide being the most common factor. There were few literatures for risk factors in psychiatric readmission due to suicide risk. It is necessary to carry out research that studies the profiles and characteristics of patients who experience repeated readmissions due to the risk of suicide and its association to psychiatric readmissions. Method. The research was a cross-sectional study design involving 38 patient medical records who admitted to psychiatric ward RSCM with suicide risk in January 2020 – June 2022. Admission to the psychiatric ward were traced from the Electronic Health Record. Data analysis used chi-square test, fisher exact’s test, binary logistic regression test and independent sample t-test. Result. There were 33 samples (86,84%) who had psychiatric readmission within one year with suicide risk. No significant relationship was found between demographic factor (sex, age, working status, marital status), suicide risk severity, history of previous admission, and personality with readmissions due to the risk of suicide. There was significant relationship between depressive episode with readmissions due to the risk of suicide, which heighten the risk 21,333 folds. Nevertheless, high range of confidence interval indicates that this finding cannot be applied in general population. Conclusion. This study highlighted the need for a better study method and evaluating suicide risk management guideline with emphasis on group at risk for readmission due to suicide risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tulus Kurnia Indah
"Latar Belakang: Proses perawatan di rumah sakit didukung oleh berbagai aktivitas operasional diantaranya pengelolaan logistik dan distribusi perbekalan farmasi. Biaya perbekalan kesehatan merupakan pengeluaran terbesar kedua di rumah sakit setelah belanja pegawai, oleh sebab itu pimpinan rumah sakit perlu mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan proses logistik untuk menurunkan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Untuk meningkatan proses logistik diperlukan pemahaman terkait kinerja rantai pasokan yang saat ini berjalan, sehingga melakukan analisa kinerja rantai pasokan merupakan hal mendasar untuk mengatasi kekurangan dalam aktivitas logistik.
Tujuan: Studi ini bertujuan melakukan analisa terkait waste yang ada pada proses perencanaan dan pengadaan obat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, kemudian mencari penyebab dan akar masalah timbulnya pemborosan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian di RSUPN Dr. Cipto Mangunkumo bulan April-Mei 2024. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan key specialist informan yang terkait dengan kegiatan perencanaan dan pengadaan dan observasi lapangan. Data sekunder diperoleh dari telaah data realisasi pemakaian obat tahun 2022, data usulan perencanaan dari unit kerja dan hasil rekapitulasi instalasi farmasi tahun 2023, data daftar barang dalam kontrak tahun 2023, datapenerimaan dan data pemakaian obat tahun 2023. Tahapan penelitian disusun berdasarkan lean six sigma dari mulai define, measure, analyze dan improve.
Hasil: Jenis waste yang terjadi diantaranya penyedia tidak mengirimkan obat terhadap item perencanaan yang telah memiliki kontrak, obat yang dipesan dan  dikirim tetapi tidak memiliki realisasi penggunaan, penyedia bersedia mengirimkan obat tetapi tidak mau berkontrak dengan rumah sakit, penyedia tidak bersedia mengirimkan obat dan  tidak mau berkontrak dengan rumah sakit dan adanya pengadaan lain di luar jalur kontrak utama. Dari seluruh waste yang ada terjadinya pengadaan di luar jalur kontrak utama merupakan jumlah waste yang paling sering terjadi sehingga menjadi area improvement pada penelitian ini. Penyebab dari pemborosan yang masih dapat dikontrol oleh internal rumah sakit adalah keterlambatan penerbitan kontrak. Akar masalahnya karena tiap unit kerja yang terkait dengan kegiatan perencanaan dan pengadaan menyelesaikan proses kerja tanpa mempertimbangkan waktu penyelesaian proses sesudahnya, sehingga tujuan dari perencanaan dan pengadaan yang berupa penerbitan kontrak sebelum tahun anggaran menjadi tidak terlaksana.
Kesimpulan: Dalam proses yang berjalan secara berkelanjutan diperlukan proses kerja yang terintegrasi berdasarkan komitmen setiap anggota rantai agar tujuan proses tersebut dapat tercapai.

Introduction: The hospital care process is supported by various operational activities including logistics management and distribution of pharmaceutical supplies. The cost of health supplies is the second largest expenditure in hospitals after personnel expenditure, therefore hospital leaders need to identify opportunities to improve logistics processes to reduce costs and improve the quality of health services. To improve logistics processes, an understanding of current supply chain performance is required, so analyzing supply chain performance is fundamental to overcoming deficiencies in logistics activities.
Objective: This study aims to analyze waste in the drug planning and procurement at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, then looked for the causes and root causes of waste.
Method: This research uses qualitative methods with a case study approach. The research location is at RSUPN Dr. Cipto Mangunkumo on April-May 2024. Primary data was obtained through interviews with key specialist informants related to planning and procurement activities and field observations. Secondary data was obtained from a review of drug use in 2022, drug planning proposals from units and results of drug planning recapitulation by pharmaceutical installations in 2023, list of drugs in contracts 2023, drug receive order and drug use in 2023. The research stages were arranged based on lean six sigma method from define, measure, analyze and improve.
Results: Types of waste that occur include supplier not sending drugs from planning items that already have a contract, drugs ordered and sent but not having actual use, suppliers willing to send drugs but refusev to contract with the hospital, suppliers refuse to send drugss and refuse to contracts with hospitals and procurements that come from another its main contracts. The procurements that come from another its main contract occurs most frequently, so it is an area of ​​improvement in this research. The cause of waste that can still be internally controlled by the hospital is delays in issuing contracts. The root of the problem is because each unit related to planning and procurement activities completes the process without considering the completion time of the process afterwards, so that the aim of planning and procurement to complete all the procurement contract before end of the year do not achieved.
Conclusion: In a process that runs continuously, an integrated work process is needed based on the commitment of each member of the chain so that the process objectives can be achieved.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Suwarni
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Perawat kesehatan merupakan sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam kegiatan rumah sakit. Perawat kesehatan selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif, kerja gilir, risiko penularan, tanggung jawab tugas, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat merupakan stresor kerja yang akan berdampak pada kesehatan jiwa perawat, diantaranya gangguan mental emosional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional di kalangan perawat kesehatan.Unluk menganalisis hubungan antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional pada perawat kesehatan RSUPNCM Jakarta, digunakan dua macam instrumen. Pengukuran stres kerja dipergunakan instrumen kuesioner Survai Diagnostik Stres. Penilaian gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL9O). Penelitian ini menggunakan disain studi potong lintang(cross sectional), terhadap 300 subjek penelitian yang terdiri dari perawat rawat inap dan rawat jalan. Analisis dilakukan dengan cara analisis bivariate, dilanjutkan analisis multivariat regresi dengan cara analisis regresi linear ganda.
Hasil dan kesimpulan: Perawat rawat inap lebih stres dibandingkan perawat rawat jalan. Stresor pada perawat rawat inap didominasi oleh beban kualitatif dan konflik peran. Prevalensi gangguan mental emosional pada perawat kesehatan 17,7%. Perawat rawat inap lebih banyak mengalami gangguan mental emosional dibandingkan perawat rawat jalan. Ada hubungan bermakna antara stresor kerja dengan gangguan mental emosional. Pada derajat sires tinggi, yang mempunyai hubungan bermakna dengan dengan gangguan mental emosional adalah stresor ketaksaan peran. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada stresor ini adalah 5,8 kali lebih tinggi dibandingkan derajat stres rendah. Pada derajat stres sedang, yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab, pengembangan karier, beban kuantitatif, dan konflik peran, dengan risiko tertinggi pada stresor tanggung jawab. Pada stresor tanggung jawab, risiko terjadinya gangguan mental emosional perawat yang mengalami stres derajat sedang adalah 3,54 kali dibandingkan stres rendah. Pada analisis multivariat, stresor kerja yang ada hubungan bermakna dengan gangguan mental emosional adalah stresor tanggung jawab. Karakteristik subjek yang ada hubungan bermakna dengan stres kerja adalah variabel bagian (rawat inap/rawat jalan).

Scope and study method: Nurses are human recourses who are direct involved in hospital activity. Nurses are often confronted with many problems such as qualitative overload, quantitative overload, shift work, job responsibilities, and contaminated risk. All of the problems are occupational stressors which result in mental health of nurses, such as emotional disorders. The purpose of this study is to find the relationship between occupational stress and mental emotional disorders among health nurses at RSUPNCM in Jakarta. The Survey Diagnostic Stress questionnaire was used to measure the occupational stress and the SCL 90 questionnaire was used to measure the mental emotional disorders. This study design was a cross sectional design with a sample of 300 subjects. Collected data was processed using bivariate analysis and multivariate analysis.
Results and conclusions: Ward nurses were more stressful) than ambulatory nurses. Stressors of ward nurses were dominated by qualitative overload and career development. Stressors of ambulatory nurses were dominated by qualitative overload and role conflict. Prevalence of mental emotional disorders on nurses are 17.7%. There were significant relationship between occupational stress with mental emotional disorders. In high level stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was role ambiguity. Mental emotional disorders risk of this stressor is 5.8 times more than low level stress. In the moderate stress, stressors which having significant relationship with mental emotional disorders was responsibility stressor, career development, quantitative overload, and role conflict. The highest risk was responsibility stressor. For responsibility stressor, nurses with moderate stress experience have a risk of mental emotional disorders 3,45 times more than nurses with low stress. By multivatriate analysis, occupational stressor with significant relationship to mental emotional disorders was responsibility stressor. Subject characteristics with significant relationship to the stress was unit variable ( ward nurses/ambulatory nurses).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T7038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>