Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227760 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasanah
"Pendahuluan. Sekitar 75-98% orang dengan skizofrenia (ODS) mengalami penurunan fungsi kognitif. Kemampuan kognitif yang paling sering mengalami penurunan yaitu memori terutama memori verbal. Penelitian mengenai fungsi kognitif pada domain memori verbal masih terbatas dilakukan di Indonesia. Hubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi defisit memori verbal pada ODS beserta beberapa faktor yang berkaitan serta analisis faktor yang paling berpengaruh pada memori verbal ODS.
Metode. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara konsekutif. Jumlah sampel sebanyak 81 ODS yang berusia antara 18-59 tahun. Memori verbal didapatkan dengan melakukan pemeriksaan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) versi Indonesia yang telah divalidasi oleh tim neuropsikiatri RSCM-FKUI.
Hasil. Sekitar 51% ODS mengalami defisit memori verbal pada pemeriksaan RAVLT-Immediate dan 55% defisit pada RAVLT-delayed. Penelitian ini mendapatkan bahwa terdapat faktor yang berkaitan dengan RAVLT-Immediate yaitu faktor pernikahan dan remisi. Faktor remisi juga memiliki keterkaitan dengan kemampuan learning.
Diskusi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penelitian sehingga menimbulkan bias penelitian, misal metode penelitian, sebaran sampel tidak merata, serta faktor penyerta lain yang mempengaruhi masing-masing faktor yang diteliti pada penelitian. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ODS mengalami penurunan defisit memori verbal dan masih memiliki kemampuan learning yang cukup baik, sehingga tatalaksana adekuat disertai rehabilitasi yang optimal akan dapat memperbaiki keluaran ODS menjadi lebih baik.
Saran. Tata laksana remediasi kognitif dapat membantu ODS memperbaiki interaksi sosial. Jika memori verbal baik akan memperbaiki kemampuan berbahasa sehingga kemampuan ODS dalam bersosialisasi akan baik dan peningkatan kualitas hidup dapat tercapai.

Introduction. Approximately 75-98% of people with schizophrenia (ODS) experience cognitive decline. The most frequently decreased domains is memory. Research for verbal memory domain in Indonesia is still limited. The relationship with the risk factors influenced in Indonesia also limited. The purpose of this research is to know the proportion of verbal memory deficits on ODS along with several related factors as well as analysis of the most related factor on ODS verbal memory.
Methode. This research used cross sectional methode with a consequtively sampling, this research used 81 Subject between 18-59 years old. Verbal memory is obtained by conducting a test using the Indonesian version of Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) instruments that have been validated by the Neuropsychiatric team of RSCM-FKUI.
Result. The result of the research shows about 51% subjects experience a verbal memory deficit in the RAVLT-Immediate examination and 55% deficit in the RAVLT-delayed. The related factors are the remission and marriage on the RAVLT-immediate. In this research also gained that on Schizophrenic still have learning ability, and the related factor for learning is remission.
Discussion. Many factors could make influence that cause bias in this research, such as the methode, unequal sample and others factors that could make a bias for this research. This research shows that ODS still has learning ability, a very comprehensive treatment and also optimum rehabilitation can help ODS get a better outcome and quality of life.
Suggestion. The management of cognitive remediation can help ODS improve social interaction. If verbal memory is good, the ability to speak well, the ability of ODSs to socialize will be good and quality of life improvement will be achieve."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Ayu Candra Kirana
"ABSTRAK
Isolasi sosial yang tidak ditangani akan menyebabkan terjadinya gejala positif seperti halusinasi dan perilaku kekerasan. Social Skills Training meningkatkan kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial. Hasil yang diharapkan adalah penurunan tanda gejala isolasi sosial serta peningkatan kemampuan sosialisasi klien. Tujuan karya ilmiah akhir ini menggambarkan tindakan keperawatan ners spesialis pada klien isolasi sosial dengan pendekatan Model Konsep Hildegard E. Peplau dan Stres Adaptasi Stuart. Analisa dilakukan pada 40 klien di Ruang Bratasena. Hasil Social Skills Training dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi dan penurunan tanda gejala. Berdasarkan hasil diatas perlu direkomendasikan bahwa Social Skills Training dapat dijadikan standar tindakan keperawatan ners spesialis.

ABSTRACT
Social isolation is one of negative symptom to schizophrenic client. Untreat sosial isolation cause another problem like hallucination and violent. Social Skills Training improve the social skill. The expected outcome is decrease of social isolation symptoms and increase of social skill. The purpose of this final scientific work is to describe the management of nursing care social isolation clients using Peplaus Interpersonal Model Conceptual Approach and the Stuarts Stress Adaptation. Sample of this paper is 40 clients at Bratasenas room. The results of Social Skills Training is effective increased social skill and decrease the symptomps of client. Based on the results above, Social Skills Training can be used as standard therapy of psychiatric nursing specialists"
2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggina Diksita Pamasya
"Gangguan pendengaran akibat stroke yang terjadi pada jalur auditorik merupakan aspek yang sedikit sekali dieksplorasi pada pasien pasca stroke dan berpotensi menimbulkan dampak pada fungsi dan kualitas hidup. Pendengaran memfasilitasi komunikasi verbal sehingga hal ini penting untuk memberikan penatalaksanaan yang sesuai dan maksimal. Untuk mengukur proporsi gangguan pendengaran dan gangguan komunikasi verbal pada pasien pasca stroke dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur, dan audiometri tutur dalam bising untuk mengkaji bagaimana gangguan pendengaran berkorelasi dengan karakteristik demografik dan karakteristik klinis serta faktor yang mempengaruhi. Penelitian potong lintang ini dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2014 sampai Mei 2015, melibatkan 40 subyek pasien pasca stroke otak (eksklusi afasia, gangguan fungsi luhur dan gangguan kognitif) yang terdiagnosis dari pencitraan tomografi komputer kepala. Sebanyak 40% mengalami gangguan pendengaran sensorineural (ringan 37,5% dan sedang 20%). Gangguan pendengaran sentral didapatkan 12,5 dan campuran (sensorineural dan sentral) sebanyak17,5%. Didapatkan gangguan komunikasi verbal dalam suasana tenang dan bising 12,% sedangkan gangguan dalam suasana bising sebanyak 32,5%. Berdasarkan nilai odds rasio didapatkan kecenderungan faktor risiko usia lebih dari 60 tahun, letak lesi kortikal dan atau subkortikal serta vaskularisasi lesi dapat mempengaruhi gangguan pendengaran dengan atau tanpa disertai gangguan komunikasi dan secara statistik bermakna.

Hearing loss due to stroke which disturb the auditoric path is less known, and may potentially effect the function and quality of life. Hearing facilitates a good speech hence it is important to give appropriate and optimal treatment. To measure the proportion of hearing loss and speech disorder in post stoke patient, we did pure tone audiometry, speech audiometry, and word in noise and to analyze how it could correlate with demographic, clinical characteristic and other factors. This cross sectional study was conducted in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta which started from November 2014 to May 2015, involving 40 samples after stroke patient (with the exclusion of aphasia and cognitive disorder) which were diagnosed with brain CT scan. Fourty percents patients had sensoryneural hearing loss (mild 37,5% and moderate 20%,). Central Hearing loss was found in 12.5% patients and mixed (sensorineural and sentral) hearing loss was found in 17.5%. Speech disorder in quite and noise background was found in 12.5% patients and disorder in noise background was found in 32.5% patients. Based on the odds ratio it is found that age older than 60 year old, cortical and or subcortical lesion, and vascularization of the lesion is the risk factor that can influence hearing disorder with or without speech disorder and it is statistically significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitantyo Eka Pramudhita
"ABSTRAK
Penanganan medis atau farmakoterapi pada penderita skizofrenia mampu membantu mengendalikan simptom positif seperti delusi dan halusinasi. Walaupun begitu, penanganan medis belum bisa menangani simptom negatif pada penderita skizofrenia. Pada penderita skizofrenia, mengungkapkan atau mengekspresikan pikiran dan emosi secara verbal merupakan hal yang sangat sulit. Jika mereka tidak dapat mengekspresikan emosi dan pikirannya, mereka tidak memiliki jalan untuk menyalurkan tekanan-tekanan yang mereka alami. Aspek-aspek seperti pikiran dan emosi tidak dapat dibantu melalui farmakoterapi. Di sini lah fungsi terapi seni, yaitu untuk membantu pasien dalam mengekspresikan pikiran dan emosinya, serta membantu menstimulasi pasien dalam menyalurkan tekanan yang mereka miliki. Penelitian ini menggunakan desain penelitian one group only before and after study design. Enam orang partisipan dipilih sesuai dengan karakteristik subjek dan diberikan intervensi berupa terapi seni. Pengukuran dilakukan di dua minggu sebelum dan sesudah intervensi berlangsung. Program terapi seni dilakukan secara berkelompok sebanyak 5 sesi yang berlangsung selama 60-120 menit setiap sesi. Positive and Negative Symptom Scale PANSS digunakan untuk mengukur symptom negatif partisipan sebelum dan sesudah intervensi. Enam partisipan yang menerima terapi seni menunjukkan penurunan simptom negatif skizofrenia. Uji Wilcoxon Signed Rank Test yang dilakukan menunjukkan perbedaan yang signifikan pada simptom negatif sebelum dan sesudah intervensi. dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terapi seni dapat menurunkan simptom negatif pada penderita skizofrenia kronis.

ABSTRACT
AbstractRationale Medication or pharmacotherapy is a common intervention to help schizophrenic patient control positive symptoms such as delusions and hallucinations. However, medication still incapable to decrease negative symptoms on individual with schizoprenia. Individual with schizoprenia often have difficulties in expressing their thoughts and feelings verbally. The process of art provides schizophrenic patient with a less problematic and more spontaneous means of communication to express their emotion. Furthermore, it also helps releasing their stress and tension. Objective This study aimed to examine the effectiveness of art therapy in decreasing negative symptoms on chronic schizophrenic outpatients in Indonesia. Methods A lsquo one group only before and after rsquo study design is being used. Six chronic schizophrenic outpatients received art therapy interventions as a group. This treatment consists of 5 sessions with each sessions lasting 60 120 minutes. Positive and Negative Symptom Scale PANSS is being used to specifically measure the patients rsquo negative symptoms. The measurement is being conducted twice, two weeks before and after intervention. Wilcoxon rsquo s signed rank test is being used to compare the differences between before and after intervention. Main Findings The result was revealed that the patients rsquo negative symptoms is significantly decreased after intervention. Conclusion Art therapy can decrease negative symptoms on chronic schizophrenic outpatient."
2016
T47372
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ercila Rizky Rolliana
"Latar belakang: Hampir 50% epilepsi adalah wanita terjadi pada usia reproduksi 15-49 tahun. Banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat interaksi antara epilepsi dengan hormon reproduksi wanita. Epilepsi temporolimbik dapat mengganggu regulasi aksis hipothalamus- hipofisis-ovarium (HHO) sehingga mengganggu hormon reproduksi dan pada akhirnya menyebabkan gangguan menstruasi. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan hormon reproduksi yang terjadi pada wanita dengan epilepsis. Pada penelitian ini juga akan dilakukan klasifikasi gangguan menstruasi pada wanita dengan epilepsi berdasarkan kriteria The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), dimana kriteria ini merupakan kriteria baru untuk mendefinisikan perdarahan uterus abnormal.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional) untuk mengetahui karakteristik hormon reproduksi dan gangguan menstruasi pada wanita dengan epilepsi di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada September hingga Desember 2021. Data primer dan sekunder diperoleh dari rekam medis dan electronic health record (EHR) pada pasien wanita dengan epilepsi dan wanita tanpa epilepsi yang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analisis data yang digunakan adalah bivariat Chi Square dan Mann Whitney. Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 67 subjek wanita dengan epilepsi dan 50 subjek wanita tanpa epilepsi dengan rata-rata usia wanita dengan epilepsi 29,27  9,26 tahun. Onset terjadinya epilepsi adalah 18,57  9,857 tahun dengan usia menarche adalah 12,85  1,317 tahun. Onset epilepsi setelah menarche banyak terjadi sekitar 70,1%. Epilepsi lobus temporal merupakan sindrom epilepsi terbanyak sekitar 70,8%, dengan sisi kanan terbanyak sekitar 46,8%. Peningkatan hormon reproduksi khususnya hormon luteinizing hormon (LH) 10,1 (0,1-100,3) mIU/mL (p: 0,008) dan hormon estradiol 71,2 (0-3350) pg/mL didapatkan pada wanita dengan epilepsi dibandingkan dengan wanita tanpa epilepsi. Gangguan pada volume darah mentruasi didapatkan pada wanita dengan epilepsi lobus temporal dibandingkan dengan lobus ekstratemporal RR 4,255 (1,188-15,231), dengan nilai p: 0,022.
Kesimpulan: Peningkatan hormon LH dan estradiol pada wanita dengan epilepsi berhubungan dengan bangkitan epileptik yang mengganggu regulasi aksis hipothalamus- hipofisis-ovarium sehingga mengganggu hormon reproduksi.

Background : Approximately 50% of epilepsy occurs in women with the reproductive age of 15-49 years. Many studies said that there is an interaction between epilepsy and female reproductive hormones. Temporolimbic epilepsy can interfere the regulation of the hypothalamic-pituitary-ovarian (HPO) axis so that it interferes reproductive hormones and ultimately causes menstrual disorders. Therefore, this study aimed to determine the changes in reproductive hormones that occur in women with epilepsy. This study will also classify menstrual disorders in women with epilepsy based on the criteria of The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), where this criterion is a new criterion for defining abnormal uterine bleeding.
Method : This study was conducted with a cross sectional study to determine the characteristics of reproductive hormones and menstrual disorders in women with epilepsy at Cipto Mangunkusumo General Hospital from September to December 2021. Primary and secondary data were obtained from medical records and electronic health records (EHR) from women with epilepsy and women without epilepsy who seek treatment at Cipto Mangunkusumo General Hospital. Analysis of the data used Chi Square and Mann Whitney bivariate.
Result : In this study, there were 67 female subjects with epilepsy and 50 female subjects without epilepsy with the average age of women with epilepsy is 29,27  9,26 years. The onset of epilepsy was 18,57  9,857 years with the age of menarche is 12,85  1,317 years. The onset of epilepsy after menarche is mostly about 70.1%. Temporal lobe epilepsy is the most common epilepsy syndrome around 70.8%, with the right side being the most common around 46.8%. Increased reproductive hormones, especially luteinizing hormone (LH) 10.1 (0.1- 100.3) mIU/mL (p: 0.008) and estradiol hormone 71.2 (0-3350) pg/mL were found in women with epilepsy compared to women without epilepsy. Disorders of menstrual blood volume were found in women with temporal lobe epilepsy compared with extratemporal lobe epilepsy RR 4.255 (1.188-15.231), with p value: 0.022.
Conclusion : Elevated LH and estradiol hormones in women with epilepsy are associated with epileptic seizures that disrupt the regulation of the hypothalamic-pituitary-ovarian axis, thereby disrupting reproductive hormones.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Fitri
"Penelitian ini bertujuan untuk menegtahui faktor yang sangat berpengaruh terhadap gangguan tidur yang dialami lansia selama di rawat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskritif eksploratif. Sampel yang diambil adalah lansia berumur diatas 60 tahun sebauyak 42 orang (89,4%) yang dirawat di gedung A RSUPN CM.
Hasil penelitian ini menunjukkan 92,7 % lansia yang di rawat mengalami gangguan tidur. Faktor penyebab gangguan tidur yang berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas tidur lansia selama di rawat adalah keluhan nyeri yang dirasakan lansia. faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti jenis kelamin, perubahaan situasi, kebisingan dan pencahayaan tetap dikeluhkan oleh beberapa responden namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan tidur lansia.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah di Iakukan penelitian lebih mendalam tentang hubungan nyeri dengan gangguan tidur pada lansia.

This Research purpose to know factors that have an effect on to sleep disturbance that experienced elderly during experience treatment in hospital. Research Method that used is deskriptif-eksploratif. Population is elderly have an age above 60 years olds that taken care of in Gedung A RSUPN CM with sampel 42 people (89,4%).
Research result indicates that existed 92,7% elderly that take care of experience of sleep disturbance. Significant factor causes sleep disturbance at elderly during taken care of is bone pain sigh that felt elderly. Other factors, like: gender, the change of situation, noise and illumination are fixed griped by some responders nevertheless not have an effect on in signilicant to sleep disturbance elderly.
This recommendation from research is the need of conducted research more circumstantial about pain in bone relation with sleep disturbance at elderly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5779
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Pristiana Dewi
"Serangan stroke di masyarakat sering dianggap bencana karena umumnya menimbulkan kegagalan fungsi lumpuh dan sulit berkomunikasi. Kurang lebih 50% penderita stroke yang masih hidup menjadi kegagalan fungsi, tidak dapat bekerja lagi, dan menjadi beban dari keluarga (Luckman & Sorensen, 1993 dalam Handiyani, Haryati, Sumarwati, 2003). Dengan daya ketergantungan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, pasien stroke membutuhkan bantuan dan dukungan dari keluarga. Keluarga yang mampu menyelesaikan lima tugas kesehatan keluarga akan memberikan dampak yang signifikan terhadap optimalisasi status kesehatannya. Dalam hal melakukan perawatan terhadap anggota keluarga dengan stroke perlu didukung dengan internalisasi motivasi.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran motivasi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan stroke di IRNA B di RS Dr Cipto Mangunkuso Jakarta Responden pada penelitian ini berjumlah 32 orang. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk mengetahui data demografi responden dan motivasi keluarga. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dalam bentuk persentase.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 16 responden (50%) memiliki motivasi tinggi dan sebanyak 16 responden (50%) memiliki motivasi rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka hendaknya dapat dilakukan penelitian lebih Ianjut perbandingan motivasi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan stroke pada beberapa Rumah Sakit di Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
TA5575
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isyah Rahma Dian
"Latar Belakang
Pandemi COVID-19 telah dinyatakan berakhir oleh World Health Organization sehingga anak- anak dengan gangguan neurologis dan neurodevelopmental perlu untuk beradaptasi kembali. Oleh karena itu, penelitian mengenai adaptasi pascapandemi terkait layanan kesehatan, perkembangan masalah medis anak, hubungan anak dengan keluarga dan teman, perilaku anak, dan masalah yang dihadapi oleh orang tua, pengasuh, dan keluarga dalam penanganan anak perlu dilakukan untuk merancang intervensi dan kebijakan yang mendukung mereka dalam menghadapi situasi serupa di masa depan.
Metode
Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada orang tua atau pengasuh pasien Poliklinik Neurologi Anak RSCM Kiara pada Oktober-November 2023 dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang berisi 48 pertanyaan untuk mengetahui adaptasi pascapandemi COVID-19 terhadap anak-anak dengan gangguan neurologis dan neurodevelopmental. Data disajikan dalam N dan persentase serta rerata dan standar deviasi (jika terdistribusi normal) atau median dan nilai minimum-maksimum (jika tidak terdistribusi normal).
Hasil
Jumlah subjek yang terlibat adalah 125 orang, yang didominasi oleh ibu (85,6%), dengan median (min-maks) usia anak 7 (2-17) tahun, dan diagnosis anak didominasi oleh epilepsi (58,3%). Setelah pandemi, sebanyak 54,4% responden mengalami kesulitan layanan kesehatan dalam aspek waktu tunggu rawat jalan dan 56,8% melaporkan adanya perbaikan dalam masalah medis. Mayoritas hubungan anak dengan keluarga adalah baik ketika sebelum dan selama pandemi (48,8%) serta setelah pandemi (49,6%). Terkait hubungan anak dengan teman, selama pandemi, hampir separuh anak tidak melakukan kontak dengan teman-teman mereka (44,8%), tetapi sekarang, mayoritas anak telah kembali bermain secara langsung (62,4%). Terkait perubahan perilaku pascapandemi, sebanyak 43,2% melaporkan relatif sama saja. Sementara terkait masalah yang dihadapi oleh orang tua, pengasuh, dan keluarga dalam penanganan anak, 40,8% menyatakan bahwa tidak ada kesulitan dalam menangani anak-anak mereka setelah pandemi. 
Kesimpulan
Adaptasi pascapandemi COVID-19 memberikan dampak pada layanan kesehatan, perkembangan medis anak, perubahan perilaku, dan hubungan dengan teman terhadap anak-anak dengan gangguan neurologis dan neurodevelopmental, meskipun sebagian besar hubungan keluarga tetap baik, dan sebagian besar orang tua melaporkan tidak adanya perubahan signifikan dalam situasi kerja atau tidak ada kesulitan yang dihadapi dalam menangani anak.

Introduction
The World Health Organization has declared the COVID-19 pandemic over, so children with neurological and neurodevelopmental disorders need to adapt again. Therefore, research on post- pandemic adaptation related to health services, the development of children's medical problems, children's relationships with family and friends, children's behavior, and problems faced by parents, caregivers, and families in treating children needs to be carried out to design interventions and policies that support them in facing similar situations in the future.
Method
This research is a cross-sectional study on parents or caregivers of patients at the Children's Neurology Polyclinic RSCM Kiara in October-November 2023 with a research instrument in the form of a questionnaire containing 48 questions to determine post-COVID-19 pandemic adaptation for children with neurological and neurodevelopmental disorders. Data are presented in N and percentage as well as mean and standard deviation (if normally distributed) or median and minimum-maximum values (if not normally distributed).
Results
The number of subjects involved was 125 people, dominated by mothers (85,6%), with a median (min-max) child age of 7 (2-17) years, and the child's diagnosis was dominated by epilepsy (58,3%). After the pandemic, 54,4% of respondents experienced health service difficulties regarding outpatient waiting times, and 56,8% reported improvements in medical problems. Most children's relationships with their families were good before and during the pandemic (48,8%) and after (49,6%). Regarding children's relationships with friends, during the pandemic, almost half of children had no contact with their friends (44,8%), but now, most children have returned to playing in person (62,4%). Regarding changes in post-pandemic behavior, 43,2% reported that it was relatively the same. Meanwhile, regarding the problems parents, caregivers, and families faced in handling children, 40,8% stated there were no difficulties managing their children after the pandemic.
Conclusion
Post-pandemic COVID-19 adaptation has had an impact on health services, children's medical development, changes in behavior, and relationships with friends for children with neurological and neurodevelopmental disorders; although most family relationships remain good, and most parents report no significant differences in a work situation, or there are no difficulties faced in dealing with children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Rohdiana
"Gangguan pendengaran sensorineural merupakan salah satu komplikasi pada otitis media supuratif kronik (OMSK). Kelainan ini bisa bersifat sementara atau permanen dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan audiometri konvensional, masking dan tes Sensorinural Acuity Level (SAL) dapat menilai seberapa besar kejadian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK dan faktor yang berhubungan.
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang bersifat deskriptif analitik yang dilakukan di Poli THT RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari-Mei 2015 melibatkan 73 telinga OMSK. Gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK didapatkan sebanyak 24,7% dan umumnya terjadi pada frekuensi tinggi. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi dapat memengaruhi gangguan pendengaran sensorineural dan secara statistik bermakna. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi pada OMSK dan pemeriksaan audiometri yang benar dapat menentukan kejadian ini. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi memengaruhi kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK.

Sensorineural hearing loss is one of the complications of chronic suppurative otitis media (CSOM). This order can be temporary or permanent and influenced by many factors. Conventional audiometry, masking, and Sensorineural Acuty Level (SAL) test can diagnose this incident. This study aims to determine the prevalence sensorineural hearing loss in chronic suppurative otitis media and related factors.
This study was a cross sectional descriptif analytic which done at ENT Department Cipto Mangunkusumo Hospital periode January to May 2015 involving 73 ears of CSOM. The prevalence of sensorineural hearing loss in CSOM is about 24,7% and generally occurs at high frequency. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation may affect sensorineural hearing loss and statistically significant. Sensorineural hearing loss accurs in CSOM and audiometry examination can determine this condition. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation influence the incidence of sensorineural hearing loss in CSOM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>