Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165555 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlina Escana
"Pembatasan cairan sebagai salah satu intervensi pada pasien gagal jantung masih menjadi kontroversi terkait manfaat yang diperoleh. Karya ilmiah ini merupakan studi kasus yang dilakukan selama lima hari terhadap pasien gagal jantung akut dekompensasi di salah satu Rumah Sakit di Jakarta. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pembatasan dan pemantauan cairan pada pasien gagal jantung yang mengalami kongesti. Hasil yang didapat yaitu terjadi penurunan berat badan, lingkar perut, klinis kongesti dan persepsi rasa haus setelah dilakukan pembatasan dan pemantauan cairan. Karya ilmiah ini menyarankan bahwa pembatasan cairan perlu dilakukan pada pasien gagal jantung yang mengalami kongesti untuk mengurangi beban kerja jantung dan pemantauan cairan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam perawatan mandiri guna mencegah kejadian rawat inap berulang sehingga dapat terjadi peningkatan kualitas hidup pasien gagal jantung di area perkotaan.

Analysis of Nursing Care in Patient Acute Decompensated Heart Failure and Intervention of Fluid Restriction and Monitoring. Fluid restriction is one of heart failure nursing intervention still controversy regarding the benefits of these interventions. This scientific paper is a case study conducted for five days on acute decompensated heart failure patients in a hospital in Jakarta. This case study aims to determine the effectiveness of fluid restriction and monitoring in congestive heart failure patients. The results showed there a decrease in body weight, abdominal circumference, clinical congestion and perception of thirst after restriction and monitoring of fluids. This scientific paper suggests that fluid restriction needs to be applied in heart failure patients who have congestion to reduce cardiac workload and fluid monitoring also needs to be done to improve the ability of patients in self-care to prevent rehospitalizations so there is an enhancement quality of life in heart failure patients in urban society"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Anggraini Rahmawati
"ADHF (Acute decompensated heart failure) merupakan suatu kondisi gagal jantung dengan perubahan mendadak pada jantung untuk berkontraksi, sehingga mengancam nyawa dan dapat menyebabkan edema paru. Gagal jantung dapat dikategorikan menurut nilai ejeksi fraksi, salah satunya heart failure with reduce ejection fracktion (HFrEF) dengan nilai EF ≤40%. Tanda klinis ADHF salah satunya edema pada tungkai. Hal ini terjadi karena kegagalan LV untuk berkontraksi sehingga menyebabkan aliran balik dengan penumpukan cairan diparu, kemudian kembali ke RV dan keluar melalui atrium kanan ke seluruh tubuh, salah satunya ke tungkai. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi edema tungkai yaitu ankle pumping exercise. Intervensi ini dilakukan selama 3 hari dengan frekuensi 10 kali/jam, kemudian dievaluasi selama 6 jam dengan metode pitting edema. Hasil intervensi menunjukkan terdapat perubahan derajat edema tungkai dari +3/+3 menjadi +1/+2. Hasil karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu alternatif intervensi untuk mengurangi edema tungkai.

ADHF (Acute decompensated heart failure) is a condition of heart failure with sudden changes in the heart to contract, so it is life threatening and can cause pulmonary edema. Heart failure can be categorized according to the value of the ejection fraction, one of which is heart failure with reduced ejection fracture (HFrEF) with an EF value of ≤40%. One of the clinical signs of ADHF is edema in the legs. This occurs due to the failure of the LV to contract causing backflow with a buildup of fluid in the lungs, then back into the RV and out through the right atrium to the rest of the body, including the legs. The intervention to treat leg edema is ankle pumping exercise. This intervention was carried out for 3 days with a frequency of 10 times/hour, then evaluated for 6 hours using the pitting edema. The results of the intervention showed that there was a change in the degree of leg edema from +3/+3 to +1/+2. The results of this scientific work are expected to be an alternative intervention to reduce leg edema."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bellinda Fitri Amara
"Acute decompensated heart failure (ADHF) mengacu pada timbulnya gejala dan/atau tanda-tanda gagal jantung yang cepat atau bertahap. Dispnea saat aktivitas adalah salah satu gejala dominan pada klien dengan gagal jantung yang menyebabkan penurunan kualitas hidup klien dengan mengurangi kemandirian/ kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penulisan ini yaitu memaparkan hasil analisis asuhan keperawatan dengan menggunakan penerapan pursed lip breathing dan posisi semi-fowler untuk mengurangi keluhan sesak, menurunkan laju pernapasan, dan meningkatkan saturasi oksigen pada klien dengan ADHF sehingga kemandirian dalam melakukan aktivitas dapat meningkat. Evaluasi dilakukan menggunakan pulse oximetry, perhitungan laju pernapasan selama satu menit, serta perasaan subjektif pada keluhan sesak yang dirasakan klien. Hasilnya, terdapat penurunan laju pernapasan, penurunan keluhan sesak dan peningkatan saturasi oksigen setelah latihan pursed lip breathing dan posisi semi-fowler diimplementasikan. Kesimpulannya, latihan pursed lip breathing dengan posisi semi-fowler terbukti efektif menurunkan laju pernapasan, meningkatkan saturasi oksigen, dan meredakan keluhan sesak napas pada klien dengan ADHF.

Acute decompensated heart failure (ADHF) refers to the rapid or gradual onset of symptoms and/or signs of heart failure. Dispnea on exertion is one of the dominant symptoms in patients with heart failure which causes a decrease in the patient's quality of life by reducing independence/ability to perform daily activities. The purpose of this paper is to describe the results of the analysis of nursing care using the application of pursed lip breathing and semi-Fowler's position to reduce complaints of shortness of breath, decrease respiratory rate, and increase oxygen saturation in clients with ADHF so that independence in carrying out activities can increase. Evaluation was carried out using pulse oximetry, calculating the respiratory rate for one minute, as well as subjective feelings of shortness of breath felt by the client. As a result, there is a decrease in respiratory rate, a decrease in complaints of shortness of breath and an increase in oxygen saturation after the pursed lip breathing and semi-Fowler position exercises are implemented. In conclusion, the pursed lip breathing exercise in the semi-Fowler position has been shown to be effective in reducing respiratory rate, increasing oxygen saturation, and relieving shortness of breath in clients with ADHF."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Fauziatun Nikmah
"Gagal ginjal kronik merupakan penyakit terminal yang progresif dan ireversibel. Fungsi ginjal meliputi regulasi cairan, detoksifikasi serta produksi hormon. Pasien dengan GGK harus menjalani hemodialisis rutin sebagai terapi penggantian ginjal sementara. Pasien yang sedang menjalani hemodialisis seringkali mengalami masalah overload cairan, dimana harus melakukan pembatasan cairan untuk menghindari kelebihan cairan. Masalah overload cairan dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya bahkan dapat berujung dengan kematian. Oleh karena itu, dibutuhkan program pembatasan cairan yang efektif dan efisien melalui upaya pemantauan intake output cairan untuk mencegah komplikasi. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode studi kasus dengan tujuan menggambarkan metode pemantauan intake output cairan pasien GGK dengan menggunakan fluid intake output chart. Pemantauan tersebut terbukti efektif untuk menangani overload cairan pada klien, dibuktikan dengan berkurangnya manifestasi overload cairan pada klien.

Chronic Kidney Disease is a progressive and irreversible terminal disease. Kidney function includes fluid management, detoxification and hormone production. Patients with Chronic Kidney Disease should replace hemodialysis as a temporary kidney replacement therapy. Patients who are trying to solve the problem of excess fluid, which must do fluids to avoid excess fluid. The problem of excess fluid can cause health problems. Therefore, an effective and efficient fluid program is needed to overcome the problem, which is issued through an fluid intake output monitoring. This scientific study was a case study method with the aim of evaluating the intake method for patients with CKD by using a fluid intake output chart. This monitoring has proven to be effective in dealing with excess fluid in the client, evidenced by the reduction in manifestations of excess fluid in the client."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pandu Pratama
"Latar belakang: Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA) merupakan penyebab utama terjadinya kematian dan kesakitan di dunia. Angka kematian dalam perawatan di dunia adalah sebesar 3-4%, sementara di Indonesia sebesar 11,2% berdasarkan Indonesian Registry of Heart Failure. Tatalaksana menggunakan diuretik loop telah dibuktikan efektif dalam meredakan kongesti, namun penggunaan secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya komplikasi berupa resistensi diuretik. Resistensi diuretik terjadi pada 20-35% pasien dengan GJDA dan telah diketahui sebagai prediktor independen terhadap terjadinya perburukan luaran klinis, kematian segera paska perawatan dan kejadian rawat ulang.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik pada pasien GJDA brdasarkan penyakit yang mendasari, komorbid, tanda vital, fraksi ejeksi ventrikel kiri dan laboratorium.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan pada 535 pasien yang dirawat dengan GJDA selama periode Januari-Desember 2019. Resistensi diuretik didefinisikan sebagai respon diuresis kurang dari 1400ml dalam 24jam pertama setelah pemberian 40mg furosemide intravena (atau setara).
Hasil: Resistensi diuretik terjadi pada 68% pasien. Prediktor independen terhadap terjadinya resistensi diuretik yang diperoleh dari analisa regresi logistik multivariat adalah: riwayat DM (p = 0.013), riwayat penggunaan diuretik loop iv > 6 hari (p = 0.002), dosis diuretik loop oral > 80mg/hari (p = 0.006), FEVKi ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001) dan klorida serum < 98mmol/L (p < 0.001). Sebagai tambahan, sebuah sistem skoring telah dibuat berdasarkan model akhir tersebut.
Kesimpulan: Kejadian resistensi diuretik dapat diprediksi berdasarkan karakteristik pasien, parameter klinis dan laboratorium. Sistem skoring baru dapat memprediksi kejadian resistensi diuretik pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap.

Background: Acute Decompensated Heart failure (ADHF) is a leading cause of mortality and morbidity in the world. In-hospital mortality rate is 3-4%, while in Indonesia it is 11.2% based on the Indonesian Heart Failure Registry. The management of using loop diuretics has proven effective in relieving congestion yet continuous utilization could lead to the development of diuretic resistance. Diuretic resistance occurs in 20-35% of patients with ADHF and has been shown to be an independent predictor of worsening clinical outcomes, immediate post-treatment death and re-admission events.
Objective: to identify factors that influence the occurrence of diuretic resistance in ADHF patients based on the underlying disease, comorbidities, vital signs, left ventricular ejection fraction and laboratory.
Methods: A cohort retrospective study was conducted on 535 patients treated with ADHF from January-December 2019. Diuretic resistance was defined as a diuresis response of less than 1400ml in the first 24 hours after administration of 40mg of intravenous furosemide (or equivalent).
Results: Diuretic resistance occurs in 68% of patients. Independent predictors obtained from multivariate logistic regression analysis were: history of DM (p = 0.013), history of using iv loop diuretics > 6 days (p = 0.002), oral loop diuretic dose > 80mg/day (p = 0.006), LVEF ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001)and serum chloride <98mmol/L (p <0.001). In addition, a scoring system has been made from the final model.
Conclusion: Diuretic resistance could be predicted using patient's characteristics, clinical parameters and laboratory findings. A new scoring system could predict diuretic resistance among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Arintawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi gagal jantung semakin meningkat per tahun, 60-70% disebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa faktor risiko penyebab gagal jantung yaitu DM, hipertensi, obesitas, sindrom metabolik, dan aterosklerosis. Patofisologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan banyak sistem, terjadi hipermetabolisme yang dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan memicu terjadinya malnutrisi. Keadaan gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama membutuhkan penanganan segera di RS untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama, berusia antara 41 hingga 70 tahun, dan tiga diantaranya dengan riwayat DM tipe II. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi, tiga pasien memiliki status gizi obesitas dan satu pasien berat badan normal. Masalah berkaitan erat pada nutrisi keempat pasien adalah hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan, serta defisiensi mikronutrien. Perhitungan kebutuhan energi basal (KEB) dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict dengan faktor stres sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta. Komposisi makronutrien diberikan menurut
rekomendasi Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) dan American Heart Association (AHA), pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Pemberian suplementasi mikronutrien juga diberikan
kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, analisis toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional.
Hasil: pemantauan selama di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, perbaikan kadar elektrolit dan peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi medik yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama.

ABSTRACT
Background: The prevalence of heart failure increase annually, 60-70% due to coronary heart disease (CHD). Some of the risk factors associated with heart failure are diabetes, hypertension, obesity, metabolic syndrome, and atherosclerosis. The phatophysiology of heart failure is very complex and involves many systems. The occurance of hypermetabolism can lead to weight loss and triger malnutrition. The state of acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction require immediate treatment in hospital to avoid further complications.
Methods: This series of case report describes four cases of patients with acute myocardial heart failure, due to old infarction, aged between 41 to 70 years old, and three of them with a history of type 2 diabetes melitus. All patients required nutritional support, three patients had nutritional status of obese and one patient was normal in weight. The problems which closely linked to all nutrition of the four patients were hypoalbuminemia, electrolyte disturbances, impaired renal function, impaired liver function, fluid inbalance, and micronutrient deficiencies. Basal Energy Requirement was calculated using Harris Benedict formula with stress factors corresponding clinical condition and comorbidities. Macronutrients composition was given according to the recommendation of the Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) and the American Heart Association (AHA), while the provision of proteins was
tailored with the kidney function of each patient. Micronutrients supplementation was also given to four patients. Patient monitoring parameters included subjective complaints, hemodynamic, analysis tolerance
of intake, laboratory tests, anthropometric, fluid balance and functional capacity.
Results: During the monitoring period in the hospital four patients showed clinical improvement, increased tolerance of intake, improved electrolyte levels and increased functional capacity.
Conclusion:Adequate medical nutrition therapy can improve the clinical condition of patients with acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Ade Chandra
"Gagal Jantung Kongestif GJK merupakan salah satu penyakit yang dapat disebabkan oleh perilaku masyarakat yang beresiko tinggi bagi kesehatan seperti merokok, konsumsi alkohol, dan pola hidup sedentari. Dyspnea merupakan gejala khas yang ditemukan pada klien dengan CHF. Dyspnea menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari. Dyspnea dapat muncul saat aktivitas atau pun saat istirahat. Intervensi positioning dan breathing exercise dapat dilakukan untuk mengatasi dyspnea dengan tujuan untuk mengurangi dyspnea dan agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan melalui pendekatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan KKMP pada klien CHF dengan gejala dyspnea. Intervensi ini diterapkan pada klien selama 6 hari, klien diberikan edukasi untuk melakukannya tiga kali dalam satu hari dan pada saat dyspnea memberat. Tindakan breathing exercise dilakukan selama 5 menit dengan posisi semi fowler. Hasil evaluasi didapatkan adanya penurunan skor Modified Borg Scale dari 7 menjadi 2 pada akhir intervensi. Intervensi positioning dan breathing exercise sangat direkomendasikan untuk diterapkan di pelayanan keperawatan khususnya di ruang rawat inap sebagai tindakan mandiri yang dapat perawat lakukan.

Congestive Heart Failure CHF is one of diseases that can be caused by some risk factor such as smoking, alcohol abuse, and sedentary life style. Dyspnea in client with CHF which can diminish the ability of client in performing daily activities. Intervention of positioning and breathing exercise can be carried out to relieve dyspnea in order to meet oxygen needs. This paper aimed to describe nursing care through urban health nursing clinical practice approach on client CHF with symptoms of dyspnea. This intervention was applied on client for 6 days, client was informed well to do it three times a day and when dyspnea burden. Client undertake the breathing exercise for 5 minutes in semi fowler rsquo;s position. The evaluation results showed the decreased score of modified borg scale from 7 to 2 in the end of intervention. This intervention is highly recommended to be applied in nursing care, especially inpatient ward as an independent intervention. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Rachma Sari
"CHF merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di masyarakat perkotaan. CHF dapat menimbulkan terjadinya masalah pernapasan seperti dyspnea, napas cepat, kelemahan otot napas, serta masalah pernapasan lainnya. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah teknik bernapas siklus aktif. Intervensi teknik bernapas siklus aktif yang dilakukan terhadap pasien kelolaan terbukti dapat menurunkan keparahan dyspnea meskipun tidak signifikan serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Hasil yang didapatkan dari intervensi ini masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui keefektifan intervensi dalam mengatasi masalah pernapasan pada pasien dengan CHF.

CHF is one of the leading cause of death in urban society. CHF may cause respiratory problems such as dyspnea, rapid breathing, weakness of the breathing muscles, and other respiratory problems. One of the interventions that can be done to overcome the problem is Active Cycle Breathing Technique ACBT. ACBT conducted on the underlying patient has been proved to decrease the severity of dyspnea although not very significant. In addition, ACBT can also improve the quality of life of patients. The results obtained from this intervention still need further research to determine the effectiveness of ACBT in overcoming respiratory problems in patients with CHF."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Silfi Pauline
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiponatremia ditemukan pada 15-20 admisi rumah sakit. Hiponatremia berhubungan dengan adverse outcome pada pasien gagal jantung. Penggunaan akuaretik dipertimbangkan untuk tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung. Adverse outcomes akibat hiponatremia berdampak terhadap pembiayaan, dan merupakan target potensial untuk intervensi. Studi ini bertujuan menilai efektivitas klinis tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung serta menganalisis biaya medis antar metode tatalaksana. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien dengan gagal jantung dekompensasi akut dengan hiponatremia pada Januari 2014 ndash; Mei 2017. Hasil Penelitian: Total subjek 128 pasien, dengan 71 55.5 subjek mendapatkan terapi konvensional ditambah antagonis reseptor AVP. Terdapat perbedaan bermakna p = 0.041 kenaikan natrium median kelompok antagonis reseptor AVP 4 -8 ndash; 26 dan tanpa antagonis reseptor AVP 3 -16 ndash; 16 , dan perbedaan bermakna p < 0.0001 lama masa rawat median 10.50 3-40 hari pada kelompok antagonis reseptor AVP dan 6 3-71 hari pada kelompok tanpa antagonis reseptor AVP . Analisis biaya parsial tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada biaya rerata harian antar kedua kelompok. Kesimpulan: Terdapat perbedaan kenaikan kadar natrium darah di hari ketiga pengobatan dan lama masa rawat antar metode tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung dekompensasi akut. Tidak terdapat perbedaan biaya bermakna antar metode tatalaksana hiponatremia pada gagal jantung dekompensasi akut.

ABSTRACT
Background Hyponatremia is found in 15 20 of hospital admissions and is associated with adverse outcomes in heart failure, where aquaretics may be considered in its management. Adverse outcomes due to hyponatremia affects funding, and is a potential target for intervention to decrease expenses. We aim to evaluate the clinical effectiveness of hyponatremia treatment methods in heart failure and analyze medical costs between them. Method This is a cross sectional study among acute decompensated heart failure patients with hyponatremia in NCCHK from January 2014 until May 2017. Result 128 subjects were analyzed, with 71 55.5 subjects receiving conventional therapy and AVP receptor antagonist and 57 44.5 receiving conventional therapy only. There was a significant difference in sodium increase 4 8 ndash 26 in AVP receptor antagonist patients and 3 16 ndash 16 in those without, p 0.041 , and in length of stay 10.50 3 40 days in AVP receptor antagonist patients and 6 3 71 in those without, p 0.0001 . Cost analysis showed no significant difference in average daily cost. Conclusion There is a significant difference in sodium increase after three days of therapy and in length of stay. There is no significant cost difference with the addition of AVP receptor antagonist."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>