Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176326 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rizqi Adhi Primaputra
"Pendahuluan: Cedera pleksus brachialis traumatik merupakan cedera pada ekstremitas atas yang menimbulkan disabilitas motorik dan sensorik yang berakhir pada penurunan kualitas hidup. Prosedur pembedahan saraf atau otot masih menjadi terapi pilihan untuk menangani cedera pleksus brachialis, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Penelitian mengenai luaran pasien dengan cedera pleksus brachialis traumatik pasca prosedur pembedahan, khususnya di Indonesia, belum pernah dilakukan. Prosedur pembedahan cedera pleksus brachialis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sudah berlangsung sejak tahun 2010, namun belum ada hasil luaran yang terdokumentasikan dengan baik. Studi ini diharapkan menjadi gambaran awal mengenai hasil luaran klinis dan fungsional pasien cedera pleksus brachialis setelah dilakukan tindakan pembedahan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan metode potong lintang. Data pasien diambil minimum follow up 6 bulan pasca pembedahan. Luaran klinis dinilai dengan mengukur kekuatan motorik (Medical Research Council Scale) dan ruang lingkup gerak dari sendi abduksi bahu dan fleksi siku. Luaran fungsional dinilai melalui sistem skoring Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH). Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara berbagai faktor (usia, jenis kelamin, penyebab cedera, awitan cedera, tipe cedera, tindakan pembedahan, rehabilitasi) dengan luaran klinis dan fungsional (skor DASH dan perubahan skor DASH).
Hasil Penelitian: Sebanyak 67 dari 139 pasien cedera pleksus brachialis traumatik yang menjalani pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode 2010-2017 dimasukkan ke dalam penelitian dengan rerata waktu follow up 28 bulan pasca pembedahan. Laki-laki (82,2%) dengan nilai rerata usia 26 tahun dengan penyebab cedera tumpul karena kecelakaan lalu lintas. Tipe cedera terbanyak adalah postganglionik tipe total (56,7%). Sebagian besar subjek (65,7%) menjalani rehabilitasi. Rerata skor DASH 71,7 dengan perubahan skor DASH sebesar 17,5.
Diskusi: Luaran klinis dan fungsional pada pasien cedera pleksus brachialis traumatik baik dipengaruhi oleh awitan cedera, tipe cedera, jenis tindakan pembedahan, dan rehabilitasi pasca pembedahan. Analisis multivariat menunjukkan bahwa rehabilitasi menjadi faktor prediktor terhadap seluruh luaran klinis, sementara rehabilitasi dan tipe cedera dapat digunakan untuk memprediksi skor DASH.

Introduction: Traumatic brachial plexus injury (TBPI) is a disease that cause disability in motoric and sensory upper extremity that leads to decrease in quality of life. Nerve or muscle surgeries are still the treatment of choice for treating brachial plexus injury, despite the result is still not satisfying. Study on the outcomes of brachial plexus injury after surgical procedures, especially in Indonesia, has not been conducted. Surgical procedure for brachial plexus injury in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo has been performed since 2010, but no study had recorded outcome result yet. This study aim to give a brief clinical and functional outcome of patient with brachial plexus injury after surgical procedure.
Methods: We performed an observational analytic study using cross-sectional method. Data was taken with minumum follow up 6 months after surgery. Clinical outcome was measured with motoric strengh using Medical Research Council Scale and range of motion shoulder abduction and elbow flexion. Functional outcome was assessed through DASH scoring. Bivariate and multivariate analysis was performed to find relationships between various factors (age, sex, injury onset, type of injury, type of surgery, rehabilitation) and clinical and functional outcomes (DASH score and change in DASH score).
Results: A total of 67 from 139 traumatic brachial plexus injury patients had surgery at Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2010-2017 with mean of follow up for 28 months. Male contributed major patient (82.2%) and had median age of 26 years. The most common type of brachial plexus injury was postganglionic total type (56.7%). Most subjects (65.7%) underwent rehabilitation. Mean DASH score was 71,7 with DASH score changed 17,5.
Discussion: Clinical and functional outcomes in TBPI patients who underwent surgery were influence with onset, type of TBPI, choice of surgery performed, and rehabilitation after surgery. Multivariat analysis showed rehabilitation is the main predictor factor in determine clinical outcome. Rehabilitation and type of injury can be predicted for DASH score. Multivariate analysis showed that rehabilitation was predictive of shoulder abduction ROM and motoric function, and also elbow flexion ROM and motoric function. Rehabilitation and type of injury can be used to predict DASH scores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reki Setiawan
"Berdasarkan pengalaman Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), pasien datang berobat dengan durasi keluhan yang beragam untuk suatu diagnosis adenoma hipofisis. Sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional, semua pasien adenoma hipofisis yang datang ke institusi kami merupakan pasien rujukan dari dokter spesialis mata, spesialis saraf, maupun dokter spesialis bedah saraf dari institusi lain. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan keluhan visus, lapang pandang, dan keluhan-keluhan lain yang diakibatkan oleh gangguan hormonal. Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara durasi keluhan dengan luaran klinis dengan hasil yang signifikan. Pada penelitian ini akan dicari hubungan antara durasi, yang dihitung mulai dari awal keluhan sampai dilakukan tindakan operasi, dengan luaran visus dan lapang pandang pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid.
Penelitian ini merupakan penelitian restrospektif pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan tindakan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid antara tahun 2015-2017. Seluruh operasi dilakukan oleh spesialis bedah saraf di RSCM. Semua pasien pada penelitian ini mengalami penurunan visus dan penyempitan lapang pandang. Durasi antara onset sampai dengan dilakukan tindakan operasi dihitung dalam satuan bulan. Dilakukan pemeriksaan visus dan lapang pandang 1 hari sebelum operasi dan dalam 1 sampai 2 bulan pasca operasi. Penelitian ini juga menghitung volume tumor, presentase tumor yang diambil, dan perluasan tumor, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak.
Tujuh puluh satu pasien dengan keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang dengan median usia 42 tahun (20-77 tahun). Terdapat 36 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 35 pasien perempuan. Median durasi mulai dari onset sampai dilakukan tindakan operasi untuk keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang adalah sama yaitu 12 bulan (1-108 bulan). Tedapat perbaikan visus pasca operasi pada 50 pasien (40,5%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi adalah 11 bulan (p=0,58). Pada pasien keluhan penyempitan lapang pandang didapatkan perbaikan klinis pada 48 pasien (67.6%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan adalah 12 bulan (p=0.01).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi dengan luaran klinis lapang pandang. Perbaikan lapang pandang didapatkan pada pasien yang memiliki durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi sampai dengan 12 bulan.

Based on the experience of the Department of Neurosurgery, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital (FMUI-Cipto Mangunkusumo Hospital), patients came seeking treatment with varying duration of complaints for a diagnosis of pituitary adenoma. As a national referral center hospital, all pituitary adenoma patients who came to our institution were referred from ophthalmologists, neurologists, and neurosurgeons from other institutions. Pituitary adenomas can cause decrease of visual acuity (VA), narrowing visual field (VF), and other complaints caused by hormonal disorders.1 Several studies have showed that the duration of complaints were related significantly with clinical outcomes.2,3,4,5,6
In this study, we investigated the relationship between duration, which is calculated from the time of symptoms first appeared to the time of surgery, and outcome (visual field and visual acuity) in pituitary adenoma patients who underwent surgery via transnasal-transsphenoidal approach.
This study used retrospective design on pituitary adenoma patients who was performed surgery via transnasal-transsphenoidal approach between 2015-2017. All surgeries were performed by neurosurgeons at RSCM. All patients in this study experienced decreased VA and narrowing of the VF. The duration between symptoms’ onset and surgery was calculated in months. VA and VF examinations were performed 1 day before surgery and within 1 to 2 months postoperatively. This study also calculated the volume of tumor, the percentage of tumor removal, and the extent of tumor, but statistical tests cannot be carried out on these parameters because more samples are needed.
There were 71 patients with decreased visual acuity and narrowed visual field, consisted of 36 male and 35 female patients, with a median age of 42 years (20-77 years). The median length of duration of onset for both symptoms is the same, which was 12 months (1-108 months).
Fifty patients (40.5%) had improved VA postoperatively, with median duration of onset was 11 months (p = 0.58). Clinical improvement in VF was experienced in 48 patients (67.6%), in which the median duration of onset was 12 months (p = 0.01)
There was a statistically significant relationship between the duration of onset and the VF outcomes. Improvements in the VF were found in patients who underwent surgery up to 12 months after the time of onset.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Nugraeni
"Spinal merupakan tempat metastasis tumor terbanyak, menyebabkan defisit neurologis akibat kompresi saraf spinal, berpotensi distres sehingga mengakibatkan rendahnya kualitas hidup. Kerentanan terhadap distres dipengaruhi strategi koping. Penelitian potong lintang untuk mengetahui strategi koping dan faktor terkait distres pada pasien tumor metastasis spinal di RSCM. Sebanyak 104 subjek diambil dari rawat jalan maupun rawat inap. Analisis bivariat dan multivariat menilai hubungan antara gambaran masalah, strategi koping, faktor sosiodemografi, serta karakteristik tumor spinal dengan distres. Proporsi distres subjek penelitian ini adalah 57,7% masalah terbanyak spesifik tumor spinal (87,5%), namun hubungannya tidak bermakna terhadap distres. Hubungan bermakna ditemukan pada masalah keluarga dan masalah emosional. Strategi religious-focused coping paling sering digunakan. Subjek yang mengalami distres memiliki median total skor problem-focused coping (PFC) lebih rendah, emotional-focused coping (EFC) dan avoidance coping lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami distres. Hubungan bermakna juga ditemukan pada faktor usia dan karakteristik tumor spinal berupa gangguan motorik, sensorik, otonom, dan status pengobatan. Gangguan sensorik berisiko lebih tinggi terjadi distres dibandingkan defisit neurologis lain. Analisis multivariat menunjukkan strategi EFC dan avoidance coping sebagai faktor risiko. Perlunya dilakukan skrining dan pendampingan psikiatri pada pasien tumor metastasis spinal, serta peningkatan kerja sama psikiatri dengan layanan tumor terpadu.

Spinal is the most site of tumor metastases, causing neurological deficits due to spinal nerve compression, potentially causing distress resulting in low quality of life. Vulnerability to distress is influenced by coping strategies. A cross-sectional study to determine coping strategies and factors related to stress in patients with spinal metastatic tumors in RSCM. A total of 104 subjects were taken from outpatient and inpatient. Bivariate and multivariate analyzes assessed the relationship between problem description, coping strategies, sociodemographic factors, and characteristics of spinal tumors with distress. The proportion of the subject's distress in this study was 57.7%, the most problems were spinal tumor-specific (87.5%), but the relationship was not significant to distress. Significant relationships were found in family problems and emotional problems. Religious-focused coping strategies are most often used. Subjects who experienced distress had a lower median total score of problem-focused coping (PFC), emotional-focused coping (EFC) and higher avoidance coping than those who did not experience distress. A significant relationship was also found in the age factor and spinal tumor characteristics in the form of motor, sensory, autonomic disorders, and treatment status. Sensory disturbances are at a higher risk of developing distress than other neurologic deficits. Multivariate analysis showed EFC strategy and avoidance coping as risk factors. The need for screening and psychiatric assistance in spinal metastatic tumor patients, as well as increasing the cooperation of psychiatry with integrated tumor services"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syari Maisyarah Rahman
"Latar Belakang : Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di dunia. Penyakit jantung koroner sebagai akibat aterosklerosis merupakan penyebab kematian utama penyakit kardiovaskuler baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Penting untuk melakukan segala upaya deteksi dini hal-hal terkait peningkatan risiko demi mencegah penyakit ini. CT scan kardiak mampu menilai proses aterosklerosis melalui evaluasi remodelling pada lumen pembuluh darah koroner sebagai informasi untuk tata laksana pasien penyakit jantung koroner.
Tujuan : Mendapatkan arah hubungan risiko kardiovaskuler tinggi berdasarkan skor kalsium arteri koroner terhadap indeks remodelling pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani CT scan kardiak.
Metode : penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 63 pasien penyakit jantung koroner yang telah menjalani pemeriksaan CT scan kardiak di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Juli 2013 hingga Februari 2019. Penelitian dilakukan sejak Desember 2018 hingga April 2019. Penilaian total skor kalsium arteri koroner dan penilaian indeks remodelling dilakukan oleh peneliti dan dilakukan pengecekan kembali oleh pembimbing Radiologi.
Hasil : Dilakukan Uji Mann-Whitney U, pada total indeks remodelling positif didapatkan nilai median 134,6 dengan range 3,2 sampai 3862,4 dan pada total indeks remodelling negatif didapatkan nilai median 7 dengan range 1,4 sampai 356,5. Terdapat perbedaan signifikan diantara keduanya (p<0,05). Dilakukan penentuan titik potong total skor kalsium arteri koroner sebesar 54,8 dengan nilai sensitivitas 76 % dan spesifisitas 76,9 %.
Kesimpulan : Terdapat hubungan positif antara total skor kalsium arteri koroner dengan indeks remodelling arteri koroner melalui CT scan kardiak pada pasien penyakit jantung koroner.

Background : Cardiovascular disease is the leading cause of death in the world. Coronary heart disease as a result of atherosclerosis is the leading cause of death for cardiovascular disease both in the United States and in Indonesia. It is important to make every effort to detect things related to increasing risk to prevent this disease. Cardiac CT scan is able to assess the process of atherosclerosis through evaluation of remodeling of the lumen of the coronary arteries as information for the management of patients with coronary heart disease.
Purpose : Obtain direction of the relationship of high cardiovascular risk based on coronary artery calcium score to index remodeling in coronary heart disease patients undergoing cardiac CT scans.
Method : this study uses cross-sectional design with consecutive sampling method. The study sample consisted of 63 coronary heart disease patients who had undergone cardiac CT scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo Hospital in the period July 2013 to February 2019. The study was conducted from December 2018 to April 2019. Evaluation of total coronary artery calcium scores and remodeling index assessment was carried out by researchers and is checked again by the Radiology supervisor.
Results : The Mann-Whitney U Test was carried out, on the total positive remodeling index obtained a median 134.6 with a range of 3.2 to 3862.4 and the total negative remodeling index obtained a median 7 with a range of 1.4 to 356.5. There were significant differences between the two (p <0.001). Determination of the total coronary artery calcium score cut was 54.8 with a sensitivity 76% and a specificity of 76.9%
Conclusion : There is a positive relationship between the total coronary artery calcium score and the index of coronary artery remodeling through cardiac CT scan in coronary heart disease patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
"Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina.

Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Richo Rudiyanto
"Latar Belakang: Mortalitas pasien UPI lebih tinggi dari pasien rawat lainnya. Instrumen prediktor mortalitas pada pasien UPI dapat membantu untuk melakukan stratifikasi risiko dan pengambilan keputusan klinis dalam tatalaksana pasien. Skor LODS merupakan salah satu instrumen yang terbukti memiliki keunggulan dibandingkan intrumen prediktor yang saat ini digunakan di UPI RSCM. Meskipun demikian, komponen skor LODS membutuhkan pemeriksaan yang tidak murah sehingga sulit diaplikasikan terutama pada pasien tanpa jaminan kesehatan. Bersihan laktat merupakan alternatif yang lebih murah dan ditemukan memiliki kemampuan prediktor mortalitas yang baik pada penelitian sebelumnya.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kemampuan prediktor bersihan laktat dengan skor LODS terhadap mortalitas pasien dalam 30 hari pasien yang dirawat di UPI RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien UPI RSCM yang dirawat pada rentang Agustus 2015 – April 2018. Data yang di ambil berupa karakteristik, skor LODS hari pertama, laktat inisial, laktat 6-24 jam serta terjadi atau tidaknya mortalitas dalam 30 hari. Hubungan antara skor LODS dengan mortalitas dianalisis dengan regresi logistik sederhana, sementara hubungan antara bersihan laktat dan mortalitas dinilai dengan uji chi square. Kemampuan diskriminasi keduanya dinilai dengan analisis kurva ROC sementara kemampuan kalibrasi dinilai dengan uji goodness of fit Hosmer-Lemeshow. Kemampuan diagnostik dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, LR positif, serta LR negatif. Kemampuan diskriminasi, kalibrasi, serta diagnostik diantara skor LODS dan bersihan laktat kemudian dibandingkan.
Hasil: Dari 388 subjek yang dianalisis, didapatkan bersihan laktat memiliki diskriminasi lemah (AUC 0,597), kalibrasi lemah (Uji Hosmer-Lemeshow p<0,001), sensitivitas 65% (IK95% 48,3% - 79,3%), spesifisitas 54,3% (IK95% 48,9% - 59,6%), PPV 14,1% (IK95% 11,2% - 17,4%), NPV 93,1% (IK95% 89,7% - 95,4%), LR positif 1,420 (IK95% 1,10 – 1,84), dan LR negatif 0,640 (IK95% 0,42 – 0,99), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM. Sementara Skor LODS memiliki diskriminasi baik (AUC 0,79), kalibrasi baik (Uji Hosmer-Lemeshow p=0,818), sensitivitas 77,5% (IK95% 64,6% - 90,4%), spesifisitas 63,8% (IK95% 58,8% - 68,8%), PPV 19,7% (IK95% 13,4% - 25,9%), NPV 96,1% (IK95% 93,6% - 98,6%), LR positif 2,140 (IK95% 1,72 – 2,66), dan LR negatif 0,353 (IK95% 0,20 – 0,63), dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.
Kesimpulan: Performa bersihan laktat dari segi kemampuan diskriminasi, kalibrasi, atau diagnostik tidak lebih baik dari skor LODS dalam memprediksi mortalitas pasien dalam 30 hari di UPI RSCM.

Backgrounds: The mortality rate of ICU patients is higher than other inpatients. The mortality predicting tools of ICU patients can help a physician stratify the risk and make the clinical decision in patient management. The LODS score is one of the tools that has been proven better than predictor instruments currently used at RSCM ICU. However, the component of the LODS score requires an expensive examination, so it is difficult to apply, especially to patients without health insurance. Lactate clearance is a cheaper alternative and was found to have a good predictive ability of mortality in previous studies.
Objective: This study aimed to compare the predictor ability of LODS scores with lactate clearance on 30-days-patient-mortality treated at RSCM ICU.
Method: This was a cohort retrospective study using the medical records of RSCM ICU patients who were treated between August 2015 – April 2018. The data were demographic characteristics, first-day LODS score, initial lactate, lactate in 6-24 hours, and 30-days-patient-mortality. The relationship between LODS scores and mortality was analyzed with simple logistic regression, while the chi-square test assessed the relationship between lactate clearance and mortality. Discrimination ability was assessed by ROC curve analysis, while the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test assessed calibration ability. Diagnostic ability was assessed by calculating sensitivity, specificity, PPV, NPV, positive LR, and negative LR. Discrimination, calibration, and diagnostic capabilities between LODS scores and lactate clearance were then compared between groups.
Results: From 388 subjects analyzed, lactate clearance was found to have weak discrimination (AUC 0.597), weak calibration (Hosmer-Lemeshow test p<0.001), sensitivity 65% ​​(CI 95% 48.3% – 79.3%), specificity 54 ,3% (95% CI 48.9% – 59.6%), PPV 14.1% (95% CI 11.2% – 17.4%), NPV 93.1% (95% CI 89.7% – 95 0.4%), positive LR 1.420 (95% CI 1.10 – 1.84), and negative LR 0.640 (95% CI 0.42 – 0.99), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU. Meanwhile, the LODS score had good discrimination (AUC 0.79), good calibration (Hosmer-Lemeshow test p=0.818), sensitivity 77.5% (95% CI 64.6% – 90.4%), specificity 63.8% (95% CI 58.8% – 68.8%), PPV 19.7% (95% CI 13.4% – 25.9%), NPV 96.1% (95% CI 93.6% – 98.6%), positive LR 2.140 (95% CI 1.72 – 2.66), and negative LR 0.353 (95% CI 0.20 – 0.63), in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
Conclusion: Lactate clearance performance in terms of discriminatory ability, calibration, or diagnostic performance was not better than the LODS score in predicting patient mortality within 30 days at RSCM ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rochyantini
"Tujuan : Mengetahui perbandingan respons terapi dan Disease Free Survival pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang clilakukan pengobatan kemoradiasi dan radiasi.
Tempat : Ruang rawat Paviliun ERIA dan Poliklinik Onkologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN-Cipto Mangunkusumo.
Rumusan Data : Penelitian ini bersifat uji klinik retrospektif.
Bahan dan Data Kerja : 278 pasien kanker serviks mendapat terapi lengkap selama kurun waktu 1997-2004. Terbagi 2 kelompok terapi, 199 kasus (1997-2000) adalah kelompok radiasi dan 79 kasus (2001-2004) adalah kelompok kemoradiasi. Kedua kelompok diikuti sampai dengan 1 tahun setelah selesai terapi. Kejadian yang dinilai adalah respons terapi serta adanya residif dan dihitung waktu babas tumor untuk menentukan disease free survival.
Hasil : Respons Berdasarkan Jenis Terapi :Respons komplit kelompok radiasi 179 kasus (89,95%), 14 kasus respons parsial (7,04%), 4 kasus nonrespons (2,01%) dan 2 kasus progresif (1,01%). Respons komplit kelompok kemoradiasi 73 kasus (92,41%), 4 kasus respons parsial (5,06%), 1 kasus nonrespons (1,27%) dan 1 kasus progresif (1,27%), (p = 0,899). Respons terapi pada stadium lanjut: Kelompok radiasi : komplit respons pada 99 kasus, Parsial respons 8 kasus, progresif 2 kasus. Kelompok kemoradiasi : komplit respons 63 kasus, parsial respons 3. dan 1 kasus progresif, (p > 0,05). Disease Free Survival Berdasarkan Jenis Terapi :DFS kelompok radiasi 1 tahun 87,07%, sedangkan kelompok kemoterapi 81,66%. DFS kelompok radiasi 2 tahun 79,81%, sedangkan kelompok kemoterapi 68,6%. (p = 0,405). Disease Free Survival pada Stadium Lanjut :Kelompok radiasi DFS 85% pada 1 tahun dan 71,58% pada 2 tahun.Kelornpok kemoradiasi 81% pada 1 tahun, 2 tahun sebesar 66,77%, dengan peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali.
Kesimpulan : Respons terapi kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak berrnakna.Ditinjau dari Disease Free Survival dan laju rekurensinya, perlakuan kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak bermakna.Peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali dibanding dengan terapi radiasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Andalusia
"ABSTRAK
Pendahuluan: Gejala dan gangguan depresi merupakan salah satu penyebab terjadinya hendaya dan kecacatan pada remaja, terutama remaja yang menjalani perawatan di rumah sakit. Untuk itu, diperlukan alat ukur uji tapis yang digunakan pada populasi remaja yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.
Metode: Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada kuesioner CESD-R versi bahasa Indonesia. Instrumen ini sudah terbukti sahih dan andal untuk digunakan pada populasi remaja di komunitas. Sebanyak 100 pasien remaja yang menjalani perawatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo berpartisipasi dalam penelitian ini dan mengisi kuesioner secara mandiri. Selain itu, mereka juga diwawancara dengan MINI Kid untuk menentukan diagnosis gangguan depresi. Uji validitas kriteria dan uji reliabilitas dengan menilai konsistensi internal dan test-retest dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 20.00. Uji reliabilitas test-retest dilakukan dengan melibatkan 20 remaja setelah 2-4 minggu setelah pengisian kuesioner pertama.
Hasil: Subjek penelitian memiliki nilai tengah usia 13,50 tahun dengan usia tertinggi 18 tahun. Mereka memiliki latar belakang pendidikan, SD (30%), SMP (39%), dan SMA/SMK (31%). Sebanyak 68% memiliki kondisi medis umum dengan komorbiditas tertinggi adalah systemic lupus erithematosus (12%). CESD-R dalam studi ini memiliki nilai tengah 13,5 tahun. Nilai Cut-off optimal yang diperoleh adalah ≥9 dengan nilai Youden's index 0,671. Berdasarkan kurva AUC 0,92 (95%CI: 0.86-0.97), instrumen ini memberikan sensitivitas 93,9%, spesifisitas 73,1%, positive likelihood ratio 3,5, dan negative likelihood ratio 0,08. CESD-R memiliki Cronbach's Alpha 0,88 (95%CI: 0,84-0,91) dan hasil test-retest adalah 0,91.
Kesimpulan: CESD-R versi bahasa Indonesia memiliki validitas dan reliabilitas yang baik untuk populasi remaja yang dirawat di RSCM dalam mendeteksi depresi. CESD-R pada populasi remaja di rumah sakit memiliki nilai cut-off yang lebih rendah daripada populasi umum.

ABSTRACT
Background: Symptoms and diagnosis depression is one of the causes of many impairment and disability among adolescents. Adolescents in inpatient care may be consulted for psychiatric problems, including depression. A screening instrument should be used upon a specific population to detect expected disorders. Currently, there is no screening instruments to early detect depression among adolescence that could be used by other departments in a hospital.
Method: Validity and reliability test were done to CESD-R, Indonesian version. This instrument has been tested upon the general population, resulting in good validity and reliability. A hundred adolescent patients in RSUPNCM were recruited in the study to self-rate the questionnaire. Interview using MINI Kid was done to test criterion validity. Internal consistency and test-retest reliability were assessed to determine the instrument's reliability with using SPSS 20.00 version. Twenty people were re-tested in the next 2-4 weeks to assess reliability.
Result: The median age of this study's subject was 13.5 years old, the oldest age was 18 years old. The sample had a varied education, elementary school (30%), junior high school (39%), and senior high school (31%). 68% of the sample had general medical comorbidity, with systemic lupus erythematosus as the most prevalent comorbidity. CESD-R in this study had a median score of 11.71. The optimal cut-off was ≥9 with the Youden's indexes of 0.671. With the AUC curve of 0.92 (95%CI: 0.86-0.97), this instrument had a sensitivity of 93.9%, specificity 73.1%, positive likelihood ratio 3.5, and negative likelihood ratio 0.08. CESD-R had a Cronbach's Alpha of 0.88 (95%CI: 0,84-0,91) and test-retest result of 0.91.
Conclusion: The Indonesian version of CESD-R showed satisfactory validity and reliability to detect depression among adolescence that was treated in RSCM. CESD-R in adolescence had a lower cut-off than a general population."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Fudhola
"Penelitian dalam Tesis ini mengkaji secara spesifik mengenai Excess Cash pada perusahaan-perusahan non financial yang terdaftar di bursa efek Indonesia. Keunikan dari reaksi investor terhadap kelebihan kas (excess cash) menunjukan hasil yang berbeda-beda. Lebih lanjut dalam penelitian ini, ditemukan bahwa excess cash,  yang merupakan salah satu proxy terhadap pertumbuhan perusahaan menunjukan hubungan yang positif secara empiris terhadap likuiditas dan excess returns pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Keberadaan dari excess cash  pada perusahaan dapat menjadi suatu sinyal positif bagi investor untuk berinvestasi, sehingga dapat meningkatkan arus perdagangan, serta mengurangi likuiditas dari saham perushaan tersebut. Lebih lanjut, kondisi tersebut juga dapat menjadikan pemegang saham untuk memperoleh ekspektasi imbal hasil yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Namun, disisi lain excess cash yang tinggi juga dapat menjadikan pertentangan antara manager dengan pemegang saham, apakah menyimpan kelebihan tersebut dalam perusahaan atau membagikannya kepada pemegang saham.

The Research in this thesis examines in detail about Excess Cash in non-financial companies listed in the Indonesian's stock exchange. The uniqueness of investor's reaction to excess cash shows altered results. Additionally, in this study, it was found that excess cash, which is one of the company's growth proxies, empirically showed the positive relationship to liquidity and excess returns to companies in Indonesia. The existence of excess cash in the company can be a positive indicator for investors to have an investment, consequently it could increase the flow of trade, and reduce the liquidity of the company's shares. Furthermore, these conditions can also expect shareholders to obtain higher returns beforehand. Contrariwise, high in the excess cash also can make a disagreement between the manager and shareholders, whether to save the excess in the company or share it with shareholders."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T55021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Rafiqah Aulia
"Trauma kepala merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis gangguan traumatis yang berdampak pada fungsionalitas otak. Trauma kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, gangguan fisik, gangguan fungsi kognitif, dan gangguan psikososial secara temporer ataupun permanen. Trauma kepala merupakan salah satu masalah global karena menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Penelitian ini telah memberikan gambaran secara faktual, sistematis, dan terbaru mengenai insidensi kasus trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) beserta karakteristik demografi yang diselidiki. Penelitian observasional dengan metode deskriptif dan analitik ini menggunakan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM selama periode tahun 2016–2020 dengan besar sampel sebanyak 90 subjek yang pada data rekam medis didiagnosis mengalami trauma kepala dan diintervensi melalui prosedur bedah. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Dari 90 subjek penelitian, didapatkan bahwa mayoritas pasien berasal dari kelompok usia <21 tahun (31,1%), laki-laki (84,4%), pengguna JKN (88,9%), kecelakaan sebagai etiologi (65,6%), bukan rujukan (48,9%), rujukan dari Jawa (45,6%), antrean non-cito (55,6%), dan domisili Jabodetabek (61,1%). Hipotesis nol diterima pada analisis bivariat. Karakteristik demografi dari pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM mayoritas berusia <21 tahun, laki-laki, pengguna JKN, korban kecelakaan, pasien bukan rujukan, pasien rujukan terbanyak dari Jawa, antrean non-cito, dan berdomisili di Jabodetabek. Tidak ada perbedaan penggunaan jaminan kesehatan dan etiologi antara berbagai golongan usia pasien. Selain itu, tidak ada perbedaan etiologi trauma kepala antara pasien laki-laki dan perempuan.

Head trauma is a traumatic disorder that impacts brain functionality. Head trauma can cause temporary or permanent neurological, physical, cognitive, and psychosocial dysfunction. Head trauma is a global problem because it is one of the leading causes of death and disability throughout the world. This research has provided a factual, systematic, and up-to-date description along with demographic characteristics of head trauma cases that underwent surgical procedures at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This observational research with descriptive and analytical methods uses a cross-sectional design. The study population was head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM during 2016–2020 with a sample size of 90 subjects who were diagnosed with head trauma in medical record and were intervened through surgical procedures. Sampling used purposive sampling technique. Of the 90 subjects, the characteristics were majorly <21 years (31.1%), men (84.4%), JKN users (88.9%), accidents as the etiology (65.6% ), non-referral (48.9%), referral from Java (45.6%), non-cito queue (55.6%), and Jabodetabek domicile (61.1%). The null hypothesis was accepted in the bivariate analysis. The demographic characteristics of head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM were majorly <21 years old, male, JKN users, accident victims, non-referral patients, most referral patients were from Java, non-cito queues, and lived in Jabodetabek. There were no differences in the use of health insurance and etiology between various patient age groups. In addition, there was no difference in the etiology of head trauma between male and female patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>