Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yonian Gentilis Kusumasmara
"Latar belakang: Refluks cairan lambung ke struktur laring dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Stroboskopi adalah pemeriksaan penunjang untuk melihat struktur dan fungsi vibrasi pita suara yang dapat mendeteksi secara dini kelainan pada pita suara dan dapat menunjang diagnosis refluks laringofaring (RLF).
Tujuan penelitian: Mengetahui struktur dan fungsi vibrasi pita suara pada pasien RLF dibandingkan dengan pasien normal, serta mengetahui skor temuan refluks (STR) dengan menggunakan stroboskopi laring pada pasien RLF dibandingkan dengan menggunakan rinofaringolaringoskopi serat lentur.
Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Agustus 2018 hingga Februari 2019 dengan subyek penelitian terdiri dari 27 orang pada masing-masing kelompok pasien RLF dengan pasien normal.
Hasil: Delapan dari 10 parameter stroboskopi laring pada kelompok RLF berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kelompok normal, antara lain parameter amplitudo, gelombang mukosa, sifat vibrasi, aktifitas supraglotis, tepi pita suara, simetri, periodisitas, dan perbandingan fase tertutup dan terbuka. Selain itu terdapat perbedaan bermakna Skor Temuan Refluks (STR) yang dinilai dengan rinofaringo-laringoskopi (RFL) serat optik lentur cahaya konstan dibandingkan dengan stroboskopi laring, khususnya pada parameter edema subglotis, edema plika vokalis, dan hipertrofi komisura posterior.

Background: Reflux of gastric juice may damage the vocal cords. Stroboscopy is one of supporting examination to explore the structure and vibratory function of vocal cords that has main role in early diagnosis of vocal cords abnormality and sharpened laryngopharyngeal reflux (LPR) diagnosis.
Purpose: To determine differences of structure and vabratory function in LPR patients compared with normal patients, and to determine the differences of reflux finding score (RFS) using stroboscopy with flexible rhinopharyngolaryngoscopy.
Methods: Comparatif cross sectional study was conducted in ENT Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital since August 2018 untill February 2019 with 27 subjects in each group of patient with LPR and normal group.
Result: Eight from 10 stroboscopy parameters is significantly different between LPR group and normal group, ie. vibratory amplitude, mucosal wave, vibratory behaviour, supraglottic activity, vocal folds edge, symetry, periodicity, and open closed phase comparation. Besides, there was a significant difference between Reflux Finding Score (RFS) evaluated using flexible rhinopharyngolaryngoscopy and using laryngeal stroboscopy, particularly in subglottic edema, vocal cords edema, and hypertrophy of posterior commisure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saraswati
"ABSTRAK
Latar belakang: Refluks laringofaring (RLF) dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko karsinoma laring dengan proporsi yang cukup tinggi. Pemeriksaan ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang untuk RLF yang tidak invasif dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran karakteristik pasien karsinoma laring, proporsi RLF berdasarkan kadar pepsin pada pasien karsinoma laring dan hubungan RLF berdasarkan kadar pepsin dengan karakteristik pasien karsinoma laring. Metode: Desain penelitian observasional analitik dengan jumlah subjek karsinoma laring sebanyak 26 orang. Subjek diminta untuk mengumpulkan sputum sebanyak 2 kali (pepsin I dan pepsin II) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan ELISA pepsin. Hasil: Didapatkan 24 dari 26 subjek berjenis kelamin laki-laki dengan rerata usia 60,65±8,41 tahun, 7 subjek peminum alkohol berat, 12 subjek perokok berat dan 24 subjek merupakan stadium lanjut karsinoma laring. Semua subjek didapatkan menderita RLF dan didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar pepsin I (daytime/ provoked RLF) dengan konsumsi alkohol serta perbedaan bermakna kadar pepsin I dengan perokok berat dan ringan. Kesimpulan: Refluks laringofaring dapat menjadi faktor risiko bersamaan dengan konsumsi alkohol dan rokok pada pasien karsinoma laring. ELISA pepsin dapat menjadi pemeriksaan penunjang adanya RLF terutama pada pasien dengan karsinoma laring mengingat sifatnya yang tidak invasif dan cukup murah.

ABSTRAK
Background: Laryngopharyngeal Reflux (LPR) is suspected to be a risk factor for laryngeal cancer with a high prevalence according to recent studies. ELISA pepsin can be used in diagnosing LPR as it is a noninvasive technique with great sensitivity and specificity. Objectives: To find the characteristics of laryngeal cancer patient, proportion of LPR based on the pepsin value and correlation between LPR based on the pepsin value and the characteristics of laryngeal cancer patient. Methods: Observational analytic study with 26 subjects of laryngeal cancer. All subjects were asked to collect the sputum twice (pepsin I and pepsin II) to evaluated later with ELISA. Result: Twenty four out of 26 subjects were male with mean age 60,65±8,41 years, 7 subjects were severe drinkers, 12 subjects were severe smokers and 24 subjects were late stage laryngeal cancer. All of the subjects were diagnose with LPR and there was a significant correlation between the value of pepsin I (daytime/ provoked LPR) with alcohol consumption and also a significant difference of the value of pepsin I in heavy and light smoker. Conclusion: LPR could be considered as a risk factor together with alcohol consumption and smoking status. ELISA pepsin could be a supporting examination for LPR especially in laryngeal cancer patient as it is a noninvasive and inexpensive method."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Astria Sriyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko, salah satunya yang diduga adalah peran dari refluks laringofaring. Refluks laringofaring (RLF) merupakan naiknya cairan lambung yang mengenai daerah laring dan faring. Penelitian mengenai refluks pada pasien OMSK dewasa belum banyak diteliti sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan RLF dalam patofisiologi OMSK. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenai peran RLF sebagai salah satu faktor risiko OMSK. Metode: Penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui refluks laringofaring sebagai faktor risiko OMSK berdasarkan hubungan reflux symptom index (RSI), reflux finding score (RFS) terhadap kadar pepsin. Hasil: Proporsi subjek OMSK dengan pepsin positif pada sekret telinga tengah sebesar 59,5%. Rerata kadar pepsin sekret telinga tengah lebih tinggi secara bermakna pada kelompok OMSK dengan RFS positif dibandingkan kelompok RFS negatif (P<0,05). RFS positif mempunyai risiko 5,13x terdapat pepsin positif pada telinga tengah (CI 95% = 1,095-24,073). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara nilai RSI dengan kadar pepsin telinga tengah. Kesimpulan: Penilaian RFS perlu dilakukan pada pasien OMSK untuk mengetahui adanya RLF yang dapat meningkatkan risiko terdapatnya pepsin di telinga tengah dan kemungkinan berperan dalam inflamasi kronis OMSK. RLF perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya sebagai faktor risiko OMSK.
Kata kunci: Refluks laringofaring, pepsin, OMSK

ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux is suspected to be the one of risk factor that contributes in chronic suppurative otitis media. Laryngopharyngeal reflux is defined as the reflux of gastric content into larynx and pharynx. This study purpose is to know the role of laryngopharyngeal reflux in the pathophysiology of CSOM. Objective: To increase the knowledge about the role of LPR as a risk factor CSOM. Methods: This study is a cross-sectional analytic research to study LPR as a risk factor CSOM based on RSI and RFS relationship with pepsin level in the middle ear. Results: This study found 59.5% CSOM subjects having positive pepsin in the middle ear. Mean middle ear pepsin levels were significantly higher in the group of CSOM with positive RFS than negative group (p<0.05). RFS positive increase the risk by 5.13 times the presence of positive pepsin in the middle ear (95% CI = 1.095 to 24.073). There are no significant relationship between RSI with pepsin levels in the middle ear. Conclusion: Positive RFS increase the risk of the presence of pepsin in the middle ear and may have role in chronic inflamation. LPR should be investigated further to determine its relationship as a CSOM risk factor
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, Pepsin, CSOM"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
"ABSTRAK
Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring

ABSTRACT
Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Febryana
"Pendahuluan: Pergerakan pita suara paradoks atau paradoxical vocal cord movement (PVCM) merupakan kondisi terjadi penutupan pita suara atau adduksi pada saat inspirasi. Kelainan PVCM sering dihubungkan dengan beberapa komorbiditas lain, seperti asma, rinosinusitis kronis (RSK) atau rinitis alergi, refluks laringofaring (RLF), imbalans sistem saraf otonom, dan kelainan psikiatri atau neurologi. Aktivitas fisik juga diduga menjadi pemicu timbulnya PVCM. Gejala PVCM dapat menyerupai gejala asma dan sering menyebabkan misdiagnosis sebagai asma. Hingga saat ini belum didapatkan data mengenai prevalensi dan karakteristik gejala pada pasien PVCM dengan asma dan non-asma di Indonesia khususnya di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo.  
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan proporsi PVCM pada kelompok pasien asma dan non asma. Faktor-faktor risiko lainnya yang dapat berkontribusi terhadap kejadian PVCM, seperti RLF dan imbalans sistem saraf otonom.
Metode: Penelitian dilakukan selama Periode Januari 2022 hingga April 2022 di Poliklinik THT-KL dan IPD RSCM. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang komparatif dengan 25 subjek kelompok asma dan 25 subjek kelompok non-asma. Pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat lentur, ambang Laryngeal Adductor Reflex (LAR), aktivitas fisik, HRV dengan metode Pulse Photoplethysmography, dilakukan pada seluruh subjek, baik kelompok kasus maupun kontrol.
Hasil: Proporsi kejadian PVCM pada kelompok asma mencapai 12 %, sedangkan pada kelompok non-asma adalah 4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik kejadian PVCM pada kelompok asma dibandingkan dengan kelompok non-asma (p=0,305).  Imbalans otonom dan gangguan psikiatri didapatkan sebagai faktor determinan yang bermakna secara statistik dalam terjadinya PVCM.
Kesimpulan: Perbandingan proporsi PVCM pada kelompok asma lebih besar dibandingkan kelompok  non-asma, walaupun pada penelitian ini tidak berbeda secara statistik (p>0,05). 

Introduction: Paradoxical vocal cord movement (PVCM) is a condition which voca; cords are closed or adducted during inspiration. PVCM disorder are often associated with several other comorbidities, such as asthma, chronic rhinosinusitis (CRS) or allergic rhinitis, laryngopharyngeal reflux (LPR), autonomic nervous system imbalance, and psychiatric or neurological disorders. Physical activity is also though to be a trigger for PVCM. However the exact mechanism of these abnormalities in causing PVCM is not yet known. The symptoms of PVCM can mimic as asthma and are often misdiagnosed as asthma. Until now there has been no data on the prevalence and symptom characteristics of PVCM in asthmatic and non-asthmatic patients in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Purpose: This study was conducted to determine the comparison of the proportions of PVCM in the asthmatic and non-asthmatic patient groups. Other risk factors that may contribute to the occurence of PVCM, such as LPR and autonomic nervous system imbalance.
Methods: The study was conducted between January to April 2022 at the ENT and Internal Medicine Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo General Hospital. The study design was cross-sectional comparative study with 25 subjects in each group. Flexible fibre optic rhinopharyngolaryngoscopy, Laryngeal Adductor Reflex threshold, physical activity, Heart Rate Variability (HRV) using pulse plethysmography were performed on all subjects. Result: Proportion of PVCM in asthmatic group was 12%, while in non-asthmatic group was 4%. There was no statistically difference in the prevalence PVCM between the groups (p=0,305).  Autonomic nervous system imbalance and psychiatric disorders were found to be statistically significant as determinants factor in the occurrence of PVCM. Conclusion: The prevalence of PVCM in the asthmatic group was greater that in the non-asthmatic group, although in this study there was no statistical difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Laryngopharyngeal Reflux Disease (LPRD) menyebabkan kerusakan mukosa laring dan faring. Zinc adalah kelompok zat gizi mikro yang berperan dalam inhibisi terhadap sekresi asam lambung, pembentukan carbonic anhidrase, dan reepitelisasi. Tujuan: Mengetahui pengaruh suplementasi zinc pada perbaikan klinis penderita LPRD. Metode: Penelitian eksperimental dengan pre-post test randomized control trial pada penderita LPRD di klinik THT-KL RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria penelitian. Kelompok kontrol diberikan omeprazol dan plasebo, sedangkan
kelompok perlakuan diberikan omeprazol dan zinc. Pemberian terapi dilakukan selama 4 minggu kemudian dianalisis skoring Reflux Symptom Index (RSI) dan Reflux Finding Score (RFS) sebelum terapi dan sesudah terapi pada kedua kelompok. Analisis data dengan uji Wilcoxon dan independent t test. Hasil: Sampel sebanyak 27 penderita, kelompok kontrol 13 orang, dan kelompok perlakuan 14 orang. Skor RSI sebelum terapi pada kelompok kontrol 22,92±6,982, sedangkan pada kelompok perlakuan
19,57±6,136 (p=0,223). Skor RFS sebelum terapi pada kelompok kontrol 10,46±2,367, sedangkan pada kelompok perlakuan 10,86±2,983 (p=0,767). Skor RSI sesudah terapi pada kelompok kontrol 15,92±8,893, sedangkan pada kelompok perlakuan 9,07±6,294 (p=0,034). Skor RFS sesudah terapi pada kelompok kontrol 6,54±1,808, sedangkan pada kelompok perlakuan 4,54±2,240 (p=0,024). Kesimpulan: Suplementasi zinc berpengaruh pada perbaikan klinis penderita LPRD. Perbaikan klinis penderita LPRD yang diberikan suplementasi zinc lebih baik dibanding tanpa suplementasi zinc."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
"Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu gangguan telinga yang sering menimpa anak dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan penurunan kualitas hidup, serta banyak komplikasi. Kondisi yang terkait dengan OMSK di antaranya alergi, hipertrofi adenoid, dan refluks laringofaring (RLF). Refluks laringofaring pada anak belum banyak dipelajari di Indonesia, dan diagnosis RLF berdasarkan Instrumen Tanda dan Gejala Refluks belum banyak dipelajari. Kejadian RLF juga dikaitkan dengan gangguan saraf autonom, akibat gangguan nervus vagus yang dapat menyebabkan refluksat lambung naik ke nasofaring dan mencapai muara tuba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan RLF dengan OMSK tipe aman aktif yang dibahas desain 1 penelitian, yaitu studi kasus kontrol yang menganalisis alergi, hipertrofi adenoid, dan RLF sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Desain kedua penelitian adalah studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan gangguan saraf autonom dengan kejadian RLF. Desain ketiga penelitian merupakan kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan RLF dengan gangguan fungsi tuba. Penelitian dilaksanakan Mei 2023–Juni 2024, menyertakan 39 subjek OMSK tipe aman aktif dan 39 subjek kontrol dari pasien Poliklinik THT-KL RSCM, dan direkrut secara consecutive sampling. Subjek juga akan diperiksa kondisi RLF dan gangguan saraf autonom.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan RLF terbukti berisiko 5,59x lebih tinggi untuk terkena OMSK tipe aman aktif (OR: 5,59; 95%CI: 1,247–25,049; p = 0,025). Alergi (OR: 1,433; 95%CI: 0,343–5,981; p = 0,622) dan hipertrofi adenoid (OR: 1,178; 95%CI: 0,584–2,378; p = 0,646) tidak terbukti bermakna secara statistik sebagai faktor risiko OMSK tipe aman aktif. Gangguan saraf autonom juga belum terbukti secara statistik sebagai faktor risiko RLF (OR: 1,086; 95%CI: 0,444– 2,650; p = 0,856). Refluks laringofaring juga tidak terbukti menjadi faktor risiko gangguan fungsi tuba (RR: 1,558; 95%CI: 0,594–4,087; p = 0,367). Dapat disimpulkan bahwa RLF merupakan faktor risiko utama OMSK tipe aman aktif pada anak. Pepsin dan derajat keasaman dari refluksat RLF pada telinga tengah dapat berperan dalam kerusakan telinga tengah.

Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a prevalent ear disorder in children that can lead to hearing impairment, a decline in quality of life, and various complications. Conditions associated with CSOM include allergy, adenoid hypertrophy, and laryngopharyngeal reflux (LPR). The incidence of LPR in children has not been extensively studied in Indonesia, and diagnosis of LPR based on Reflux Symptom and Sign Instrument is yet to be studied. LPR has also been linked to autonomic nervous system dysfunction, as disturbances in the vagus nerve can result in the reflux of gastric contents into the nasopharynx and the opening of the Eustachian tube.
This study aims to investigate the relationship between LPR and active benign type CSOM with the first design being a case-control study that analyzes allergy, adenoid hypertrophy, and LPR as risk factors for active benign type CSOM. The second design, also a case-control study, is to determine the association between autonomic nervous system dysfunction and the occurrence of LPR. The third study design employs a retrospective cohort study to assess the relationship between LPR and Eustachian tube function disorders. The research is conducted from May 2023 to June 2024, including 39 subjects with active benign type CSOM and 39 control subjects from the ENT-HN Polyclinic of RSCM, recruited through consecutive sampling. Subjects will also be evaluated for the presence of LPR and autonomic nervous system dysfunction.
The results indicated that children with LPR were at a 5.59-fold increased risk of developing active safe type CSOM (OR: 5.59; 95% CI: 1.247–25.049; p = 0.025). Allergy (OR: 1.433; 95% CI: 0.343–5.981; p = 0.622) and adenoid hypertrophy (OR: 1.178; 95% CI: 0.584–2.378; p = 0.646) were not found to be statistically significant risk factors for active safe type CSOM. Additionally, autonomic nervous system dysfunction did not show statistical significance as a risk factor for LPR (OR: 1.086; 95% CI: 0.444–2.650; p = 0.856). LPR also did not appear to be a risk factor for Eustachian tube dysfunction (RR: 1.558; 95% CI: 0.594–4.087; p = 0.367). It can be concluded that LPR is a primary risk factor for active safe type CSOM in children. The presence of pepsin and the acidity level of the LPR refluxate in the middle ear may contribute to middle ear damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Anam
"Latar Belakang: Perubahan aktivitas saraf vagal yang disebabkan oleh gangguan regulasi otonom diduga bertanggung jawab atas disfungsi sfingter esofagus bagian bawah pada Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE). Namun, peran disfungsi saraf otonom (DSO) dalam patogenesis refluks laringofaring (RLF) masih belum jelas. Hubungan antara RLF dengan DSO juga diduga terkait dengan kondisi klinis lainnya, seperti gangguan cemas dan depresi, serta gangguan bernapas saat tidur (Sleep Disordered Breathing / SDB). Tujuan: Menentukan proporsi dan karakteristik DSO berdasarkan temuan Heart Rate Variability (HRV) pada pasien RLF dan kelompok kontrol. Faktor risiko lain yang dapat berkontribusi terhadap kejadian RLF dan DSO, seperti risiko terjadinya SDB dan status kecemasan-depresi, juga dinilai. Metode: Empat puluh subjek dilibatkan pada kelompok RLF dan 33 subjek pada kelompok kontrol. Laringoskopi serat optik lentur, analisis HRV, penilaian risiko SDB (Kuesioner ESS dan PSQI) serta gangguan cemas dan depresi (kuesioner HADS) dilakukan pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pada proporsi disfungsi saraf otonom antara kelompok RLF dan kelompok kontrol (p=0.001), dengan proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF mencapai 71.4%. Perbedaan risiko SDB dan gangguan tidur berdasarkan ESS dan PSQI juga signifikan pada kelompok RLF dibandingkan kelompok kontrol (p£0,05). Status kecemasan berdasarkan HADS pada kelompok RLF juga berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Kesimpulan: Proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dengan temuan HRV didominasi oleh penurunan SDNN dan rasio LF/HF, dan berjenis parasimpatis dominan. Risiko terjadinya SDB dan kejadian ansietas-depresi juga berhubungan dengan RLF dan DSO.

Background: Altered vagal nerve activity caused by impaired autonomic regulation was thought to be responsible for esophageal sphincter dysfunction in Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Yet the role of autonomic nerve dysfunction (AND) in the pathogenesis of Laryngopharyngeal Reflux (LPR) remains unclear. LPR and AND is also thought to be associated with other entities, such as anxiety-depression and sleep-disordered breathing (SDB). Aim: To determine the proportion and characteristics of AND based on Heart Rate Variability (HRV) analysis in patients with LPR and control group. Other risk factors that might contribute to the incidence of LPR and AND, such as the risk of SDB and anxiety-depression, were also assessed. Methods: Forty subjects were enrolled in the LPR group and 33 subjects as control. Fiberoptic laryngoscopy, HRV analysis, SDB risk assessment (ESS and PSQI questionnaire), and anxiety-depression status (HADS questionnaire) were performed on both groups. Result: The difference in proportion of AND between LPR and the control group was significant (p=0.001). The proportion of AND in the LPR group was 71.4%. The difference in the risk of SDB based on ESS and PSQI was significant in the LPR group compared to control group (p≤0,05). The status of anxiety based on HADS in the LPR group was also significantly different compared to control (p=0,001). Conclusion: The proportion of AND in the LPR group was greater than control. HRV findings were characterized by reduction of SDNN and LF/HF ratio, with the domination of parasympathetic properties. The risk of SDB and the inclination towards anxiety-depression were related to LPR and AND."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Artanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit refluks gastroesofagus PRGE pada remaja sulit didiagnosis, karena gejala klinis tidak spesifik dan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Gastroesofageal reflux disease questionnaire GERD-Q dan pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ telah divalidasi dan dikembangkan untuk mengidentifikasi PRGE dan kualitas hidup. Penggunaan GERD-Q dan PGSQ pada populasi remaja sebagian besar tidak diketahui.Tujuan: Untuk memperoleh prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan GERD-Q dan penilaian kualitas hidup pada remaja yang memiliki GERD-Q positif skor ge; 7 dengan menggunakan PGSQ.Metode: Remaja usia 12-18 tahun di evaluasi menggunakan kuesioner GERD-Q. Remaja yang memiliki skor GERD-Q positif dievaluasi kualitas hidupnya menggunakan PGSQ. Analisis mengenai faktor risiko dugaan PRGE juga dilakukan.Hasil: Pada 520 subjek, rasio laki-laki dan perempuan 1:1,3 dan usia median 13 tahun. Prevalens dugaan PRGE pada remaja menggunakan kuesioner GERD-Q adalah 32,9 . Mengkonsumsi minuman soda memiliki risiko 1,7 kali mengalami dugaan PRGE Interval kepercayaan 95 1,3-2,2, ABSTRACT
Background Gastroesophageal reflux disease in adolescent is difficult to diagnose due to nonspecific symptom and often lead to poor quality of life. Gastroesophageal reflux disease questionnaire GERD Q and pediatric gastroesophageal symptom and quality of life questionnaire PGSQ are validated questionnaire that was developed to help identify GERD patients and their quality of life respectively. The application of GERD Q and PGSQ in adolescent population is largely unknown.Aim To obtain suspected GERD prevalence in adolescent using GERD Q and quality of life score assessment in adolescent with GERD Q positive.Methods Adolescent age 12 18 years were evaluated using indonesian version of GERD Q. Adolescents with GERD Q positive were then evaluated their quality of life using Indonesian version of PGSQ. Suspected risk factors of having GERD, which would influence GERD Q result, were also analyzed.Result In 520 subjects, the male to female ratio was 1 1,3 and the median age was 13 years range 12 18 years . Prevalence of GERD in adolescent using GERD Q was 32,9 . Routine soda consumption was 1,7 times more likely to have GERD CI 95 1.3 2.2, p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>