Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noorzabandari Kusumawardani
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi merupakan salah satu komplikasi yang terjadi setelah intubasi endotrakeal. Pencegahannya dapat menggunakan magnesium sulfat. Magnesium sulfat dapat menghambat pelepasan tromboksan A2, substansi P, dan glutamat, serta antagonis reseptor NMDA. Penelitian ini untuk membandingkan teknik pemberian magnesium sulfat melalui inhalasi dan kumur untuk mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda terhadap pasien dewasa yang menjalani pembiusan umum dengan intubasi endotrakeal di RSCM pada bulan Oktober sampai November 2018. Sebanyak 108 pasien dialokasikan menjadi kelompok inhalasi (inhalasi magnesium sulfat 225 mg) dan kelompok kumur (kumur magnesium sulfat 20 mg/kg). Kejadian nyeri tenggorok dinilai hingga 6 jam pascaoperasi. Analisis data menggunakan uji bivariat dengan Chi-Square.
Hasil: Kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi pada kelompok inhalasi magnesium sulfat sebesar 14 (25,9%) dan kelompok kumur magnesium sulfat sebesar 5 (9,3%) dengan perbedaan bermakna (p 0,023). Tidak ada efek samping berupa iritasi, mual, hipotensi, depresi nafas, dan desaturasi. Hipermagnesium terjadi pada 1 (1,8%) pada kelompok kumur magnesium sulfat, namun secara klinis tidak terjadi intoksikasi magnesium.
Simpulan: Inhalasi dan kumur magnesium sulfat dapat mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi. Inhalasi magnesium sulfat tidak lebih baik dari kumur magnesium sulfat dalam mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background: Postoperative sore throat (POST) is one of the most common complications after endotracheal intubation. Magnesium sulphate can be used to prevent POST. Magnesium sulphate inhibits release of thromboxan A2, substance P, and glutamate, and also as NMDA receptor antagonist. This study is to compare between nebulized and gargle magnesium sulphate to prevent POST.
Method: A randomized double-blinded clinical trial study involving adult patients who underwent general anesthesia with endotracheal intubation at RSCM during October to November 2018. A total of 108 patients allocated to nebulized group (nebulized magnesium sulphate 225 mg) and gargle group (gargle magnesium sulphate 20 mg/kg). POST measured until 6 hours postoperative. Data were analyzed using bivariate analysis test with Chi-Square.
Results: Incidence of POST in nebulized group was 14 (25,9%) and gargle group was 5 (9,3%) with significant difference (p 0,023). No adverse events such as irritation, nausea, hypotension, respiratory depression, and desaturation. Hypermagnesium at 1 (1,8%) at gargle group, but clinically there was no magnesium intoxication.
Conclusion: Nebulized and gargle magnesium sulphate prevent POST. Nebulized magnesium sulphate was not better than gargle magnesium sulphate to prevent POST.
"
[Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Hadiansyah
"Pendahuluan. Angka kejadian POST dilaporkan dapat mencapai 60%. LMA masih memiliki kejadian POST hingga 26.3%. Berkumur dengan benzydamine hydrochloride terbukti efektif mengurangi POST, namun distribusinya di Indonesia belum merata. Kumur magnesium sulfat dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi POST, harga dan distribusinya lebih merata. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas kumur magnesium sulfat dengan benzydamine hydrochloride dalam mengurangi POST pascapemasangan LMA. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Sebanyak 164 subjek penelitian diambil secara consecutive sampling. Subjek penelitian mendapatkan botol penelitian yang berisikan obat kumur yang sudah dirandomisasi, dilanjutkan dengan prosedur anestesi. Setelah selesai operasi, pasien akan dinilai : kejadian nyeri tenggorok, derajat nyeri tenggorok, efek samping, odinofagia dan disfagia pada jam ke 2, 6, 24 dan 48 pascaoperasi. Hasil. Berdasarkan hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok; pada kejadian nyeri tenggorok pasca-LMA di jam ke 2, 6 dan 24 dengan nilai P > 0.05 dan perbandingan derajat nyeri pasca-LMA kedua kelompok dengan nilai P > 0.05. Kejadian odinofagia kedua kelompok rendah dan hampir serupa. Tidak didapatkan efek samping dan kejadian disfagia pada penelitian ini. Simpulan. Kumur magnesium sulfat memiliki efektifitas yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan kumur benzydamine hydrochloride dalam mengurangi kejadian nyeri tenggorok pascapemasangan LMA

Introduction. The reported incidence of POST can reach 60%. LMA still has a POST incidence of up to 26.3%. Gargling with benzydamine hydrochloride has been proven to be effective in reducing POST, but its distribution in Indonesia is not evenly distributed. Magnesium sulfate gargle can be used as an alternative to reduce POST; its price and distribution are more even. This study aims to compare the effectiveness of magnesium sulfate gargle with benzydamine hydrochloride in reducing POST after LMA insertion. Method. This study was a single-blind, randomized clinical trial. A total of 164 research subjects were selected by consecutive sampling. Research subjects received research bottles containing randomized mouthwash, followed by an anesthesia procedure. After completion of the operation, the patient will be assessed for the incidence of throat pain, the degree of throat pain, side effects, odynophagia, and dysphagia at 2, 6, 24, and 48 hours after surgery. Results. Based on the research results, there were no significant differences between the two groups on the incidence of post-LMA throat pain at 2, 6, and 24 hours with a P value > 0.05 and a comparison of the degree of post-LMA pain between the two groups with a P value > 0.05. The incidence of odynophagia in both groups was low and almost similar. There were no side effects or incidences of dysphagia in this study. Conclusion. Magnesium sulfate gargle has no worse effectiveness than benzydamine hydrochloride gargle in reducing POST after LMA insertion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Kurnia
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi (POST) merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada anestesia umum dengan teknik intubasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas tablet hisap amylmetacresol-dibenal dengan profilaksis deksametason intravena sebelum pemasangan pipa endotrakeal untuk mengurangi kekerapan POST.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda pada 121 pasien yang menjalani operasi dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal.Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan tablet hisap amylmetacresol-dibenal dan suntikan NaCl 0,9% 2 ml dan grup B diberikan Deksametason 10 mg intravena dan tablet hisap plasebo. Nyeri tenggorok pascaoperasi dievaluasi dengan Numerical Rating Scale (NRS) 3 kali; setelah operasi saat Alderette skor 10, 2 jam pascaoperasi dan 24 jam pascaoperasi. Kekerapan dan derajat nyeri tenggorok pascaoperasi dicatat dan dianalisis dengan uji chi-kuadrat.
Hasil. Tidak didapatkan perbedaan kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi bermakna pada kedua kelompok sesaat setelah operasi berakhir (18% pada kelompok A dan 16,7% pada kelompok B, p = 0,843), jam ke-2 (16,4% pada kelompok A dan 25% pada kelompok B, p = 0,242),dan jam ke-24 pascaoperasi. Derajat nyeri tenggorok pascaoperasi tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan. Tablet hisap amylmetacresol-dibenal sebelum pemasangan pipa endotrakeal memiliki efektivitas yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background. POST is one of the complications that often arise in the general anesthesia with intubation techniques. The purpose of this study was to compare the effectiveness of amylmetacresol - dibenal lozenges with prophylactic intravenous dexamethasone before intubation to reduce the incidence of POST.
Methods. This study is a prospective randomized clinical trials and double-blind trial in 121 patients undergo surgery under general anesthesia using endotracheal tube. Patient divided into two groups at random ; Group A 61 and group B of 60 people. Before induction, patients in group A was given amylmetacresol - dibenal lozenges and injection of 2 ml of 0.9% NaCl and group B was given intravenous dexamethasone 10 mg and placebo lozenges . POST was evaluated by the Numerical Rating Scale ( NRS ) 3 times ; after surgery when Alderette score of 10 , 2 hours postoperatively and 24 hours postoperatively . The frequency and degree of POST were recorded and analyzed with Chi-Square test.
Results. There were no differences in the incidence of POST significant in both groups after surgery when Alderette score of 10 ( 18 % in group A and 16.7 % in group B , p = 0.843 ) , h 2 ( 16.4 % in group A and 25 % in group B , p = 0.242 ), and the 24th hour postoperatively . The degree of POST was not significantly different between the two groups.
Conclusion. Amylmetacresol - dibenal lozenges before intubation tube has the same effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Garditya,author
"Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal sering digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi. Namun, penggunaan alat ini dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan pasca bedah seperti nyeri tenggorok. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keefektifan profilaksis deksametason intravena dengan triamsinolon asetonid topikal dalam mengurangi nyeri tenggorok pasca bedah.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda. Sebanyak 121 pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan 10 mg deksametason intravena dan pasta plasebo dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Pasien dalam grup B diberikan 2 mL NaCl 0,9% dan pasta triamsinolon asetonid dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Skor nyeri tenggorok pasca bedah dievaluasi 3 kali; sesaat setelah pembedahan berakhir, 2 jam pasca bedah dan 24 jam pasca bedah. Insidens dan derajat nyeri tenggorok pasca bedah dicatat.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan bermakna di kedua kelompok pada insidens nyeri tenggorok pasca bedah sesaat setelah pembedahan berakhir (27,9% pada kelompok A dan 18,3% pada kelompok B, p = 0,214). Derajat nyeri tenggorok pasca bedah tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan: Triamsinolon asetonid topikal memiliki keefektifan yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi insidens nyeri tenggorok pasca bedah.

Tracheal intubation for general anesthesia is often used to give positive-pressure ventilation and prevent aspiration during anesthesia. However, the use of this airway device can cause complications and complains about postoperative sore throat (POST). This study was undertaken to compare the effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone to triamcinolone acetonide paste in reducing POST.
Methods : This was a prospective, randomized, double-blind clinical trial. A total of 121 patients scheduled for surgery under general anesthesia using endotracheal tube were randomly allocated into two groups; 61 (group A) and 60 (group B). Before induction, group A receives 10 mg of intravenous dexamethasone and placebo paste applied over the endotracheal tube cuff. Group B receives 2mL of intravenous normal saline and triamcinolone acetonide paste applied over the endotracheal tube cuff. POST scores were evaluated 3 times; immediately after the operation, 2-hours, and 24-hours after the operation. The incidence and severity of POST were recorded.
Results: There were no significant differences in the incidence of POST immediately after the operation between the two groups (27,9 % in group A vs 18,3% in group B, p = 0,214).The severity scores of POST were not significantly different between the two groups.
Conclusion: Topical triamcinolone acetonide was equally effective compared to prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Adnyana
"Latar belakang. Nyeri tenggorok paseaoperasi merupakan komplikasi yang umum terjadi setelah anestesia umum dengan intubasi endotrakeal. 8erbagai macam usaha pencegahan telah dilakukan baik nonfarmakologis maupun farmakologis dengan keuntungan dan kerugian masing-masing. Pemberian ketamin seeara perifer memiliki efek analgetik dan antiinflamasi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian obat kumur ketamin untuk mengurangi nyeri tenggorok pascaoperasi setelah intubasi endotrakeal. Metode. Penelitian ini mengikutkan 146 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal. Pasien dikelompokkan secara aeak untuk menerima ketamin kumur 40 mg dalam NaCI 0,9% sebanyak 30 mL atau larutan NaCI 0,9% sebanyak 30 mL sebelum induksi anestesia. Premedikasi menggunakan midazolam 0,05 mglkg88 dan petidin 1 mglkgBB. Induksi anestesia dengan propofol 1 % 2 mg/kg8B. Intubasi difasilitasi dengan atrakurium 0,5 mg/kg8B. Pemeliharaan anestesia menggunakan N20:02=2:1 dan isofluran 1-2 vol%. Penilaian nyeri tenggorok dilakukan tiga kali pada jam ke 0, 2 dan 24 setelah operasi. Derajat nyeri tenggorok dinilai dengan menggunakan Visual Analogue Score 0JAS). HasH. Pada akhir penelitian 4 orang pasien dikeluarkan dari penelitian. Pada kelompok ketamin insiden nyeri tenggorok 31 ,9% dan pada kelompok kontrol sebesar 78,6% dengan Number Needed to Treat sebesar 2. Berdasarkan uji statistik didapatkan perbedaan berrnakna antara kedua kelompok (P

Background. Postoperative sore throat ( POST) is a common complication general anaesthesia with endo.tracheal intubation. Various non-pharmacological and pharmacological methods have been used to prevent this complication, but some have it own advantages and disadvantages. Peripherally administration of ketamine has analgetic and anti-inflammatory effects. We compared the effectiveness of ketamine gargle with placebo for prevention of POST after oral endotracheal intubation. Methods. We studied 146 ASA I or 1/ adult patients who received general anaesthesia with endotracheal intubation. Patients randomly allocated to recieve either 40mg ketamine gargles in nomal saline 30 mL or normal saline 30 mL before induction of anaesthesia. Premedication using midazolam 0,05mg/kgBB and pethidine 1 mglkgBB. Induction of anaesthesia using propofol2mglkgBB. Tracheal intubation was facilitated by atracurium 0,5mglkgBB. Anaesthesia was maintained with N20 : 02 = 2 : 1 and isoflurane 1-2 %. Evaluation of POST was done three times at 0,2 and 24 hours postoperative with visual analogue score (VAS). Results. At the end of study there were four patients excluded from the study. 142 patients completed the study. The insidence of POST in ketamine group was 31,9% and in placebo group was 78,6% with number needed to treat was 2. There was significant difference (P<0,05) between groups in POST. Conclusions. Administered ketamine gargle before insertion of endotracheal tube reduced incidence and severity of POST.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59054
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Darmawan
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit ditandai peradangan saluran napas kronik. Satu dari tiga kasus tidak memberikan respon adekuat. Modalitas alternatif terapi  asma adalah magnesium inhalasi. Inhalasi magnesium memiliki efek samping sistemik minimal. Oleh karena itu, peran magnesium inhalasi perlu diteliti lebih lan
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian magnesium inhalasi pada pasien dewasa mengalami  asma akut.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan dua peneliti independen melalui: PubMed/ MEDLINE, Google Scholar, ProQuest, dan Cochrane dengan kata kunci “magnesium inhalasi” dan “serangan asma” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dan snowballing dilakukan di portal data nasional. Studi yang dimasukkan adalah uji acak terkontrol mengenai perbandingan magnesium inhalasi dengan terapi standar pada serangan asma akut. Penilaian efektivitas berdasarkan parameter readmisi, tanda vital, perbaikan klinis, serta fungsi paru, sedangkan keamanan berdasarkan parameter efek samping. Protokol telaah sistematis didaftarkan pada PROSPERO.
Hasil: Lima artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis. Dua artikel diikut-sertakan menilai aspek  readmisi. Tiga studi  menilai hubungan magnesium terhadap tanda vital pasien. Dua studi menilai tingkat keparahan penyakit dan perbaikan klinis. Studi menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pemberian magnesium inhalasi pada aspek readmisi pasien (RR 1; IK 95% 0.92 - 1,08; p= 0,96), dan saturasi oksigen (MD  1,82; IK 95%: -0.89 - 4.53; p= 0.19). Ada penurunan bermakna laju napas pasien  (MD -1,72; IK 95% -3,1 -0.35; p= 0.01), dan perbaikan gejala pada pasien  (RR 0.29; IK95% 0.18 - 0.47; p <0.001). Ada peningkatan bermakna efek samping pasien magnesium inhalasi (HR 1.56; IK 95% 1.05 – 2.32; p= 0.32). Efek samping relatif ringan  berupa hipotensi dan rasa mual. 
Kesimpulan: Magnesium inhalasi memperbaiki  klinis pasien asma terutama gejala, laju napas, dan fungsi paru.  Magnesium inhalasi dikatakan aman jika diberikan pada pasien, namun hati-hati penggunaan pada pasien hipotensi.

Background:  Asthma is a disease characterized by chronic airway inflammation. Asthma occurs to many people worldwide. One third of asthmatic case did not respond adequately to standard therapy (Short Acting Beta Agonist, Anticholinergic, Corticosteroid). One of alternative treatment of asthma is inhaled magnesium.  Theoretically, inhaled magnesium is thought to have less systemic side effect and could act directly to respiratory tract. However, the role of inhaled magnesium therapy is not established yet.
Objective: This review is made to evaluate the effectiveness and safety of nebulized magnesium in adult with acute asthma attack.
Methods: Literature search was conducted by two independent investigators through online databases: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and Google scholar using the keywords “inhaled magnesium” and “asthma” in English and Indonesian. Manual searches and snowballing were carried out through national data portals and medical faculty e-libraries. Journal articles included in this study are randomized controlled trials that observed inhaled magnesium in adult with acute asthma attack. All the protocol of this systematic review has been registered in PROSPERO.
Result: There are five articles included in this review. Two of them evaluate the effect of magnesium in term of readmission, three of the studies measures effect of magnesium in vital sign, and two of them evaluate the effect of magnesium in term of severity of asthma There is no significant difference in readmission rate and oxygen saturation in magnesium group compared to control (RR 1; 95% CI 0.92 to 1,08; p= 0,96 and MD 1,82; 95% CI -0.89 to 4.53; p= 0.19, respectively). There is significant reduction of respiratory rate and clinical severity in magnesium (MD -1,72; 95% CI   -3,1 to 0.35; p= 0.01, RR 0.29; 95% CI 0.18 to 0.47; p <0.001, respectively). There was a higher risk of side effect in magnesium group (HR 1.56; 95%CI 1.05 to 2.32; p= 0.03). However, the side effect is relatively mild such as hypotension and nausea.
Conclusion: Inhaled magnesium improves clinical outcome for patient with asthma attack especially lung function, improvement of clinical outcome, and lung function. Moreover, Inhaled magnesium is considered safe to be given to asthmatic patient. However, the inhaled magnesium is given with caution in patient with hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hafiz Audhar
"Latar belakang:Penggunaan pipa endotrakeal merupakan tindakan yang dapat menciptakan jalan napas yang aman selama operasi. Nyeri tenggorok pascaoperasi masih menempati rangking ke-8 dari komplikasi pascaoperasi terutama akibat intubasi dan penggunaan pipa endotrakeal.Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 88 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum dengan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak; Grup A 44 orang dan Grup B 44 pasien. Sebelum induksi, pada grup A diberikan inhalasi NaCl 0,9 10 mL dan injeksi deksametason intravena, grup B diberikan inhalasi lidokain 2 1,5 mg/KgBB dan injeksi NaCl 0,9 2 mL. Penilaian tenggorok menggunakan Numerica Rating Scale dalam 3 waktu yang berbeda, jam ke-0, 2 jam dan 24 jam pascaoperasi. Kekerapan dan derajat nyeri dicatat dan dianalisa dengan menggunakan uji chi-kuadrat.Hasil: Tidak didapatkan perbedaan kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi bermakna pada kedua kelompok sesaat setelah operasi selesai 16,3 pada grup A dan 7 pada grup B, p = 0,313 , jam ke-2 dan jam ke-24 pascaoperasi tidak didapatkan nyeri tenggorok pada kedua grup . Derajat nyeri tenggorok pascaoperasi tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.Simpulan: Inhalasi lidokain sebelum intubasi memiliki efektivits yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mencegah nyeri tenggorok pascaoperasi.Kata kunci: Nyeri tenggorok pascaoperasi, intubasi endotrakeal, deksametason, lidokain.

Background The use of endotracheal tube ETT is securing airway during surgery. Postoperative sore throat still holding the 8th rank of anesthesia complication however because endotracheal tube and intubation.Methods This study is prospective randomized clinical trials double blind in 88 patients undergoing surgery under anesthesia with endotracheal tube ETT . Patients was divided into two groups at random Group A 44 patients and group B 44 patient. Before the induction, patient in group A was given NaCl 0,9 inhalation 10 mL and intravenous dexamethasone injection 10 mg, group B was given lidocaine inhalation 1,5 mg KgBW and intravenous NaCl 0,9 injection 2mL. The evaluation using Numerical Rating Scale in three different times early after extubation, 2 hours and 24 hours postoperative. The frequency and degree of POST were recorded and analyzed using chi square.Result there are no differences in postoperative sore throat between both groups at early after surgery 16,3 in group A and 7 in group B, p 0,313 , 2 hour and 24 hour postoperative there is no POST were found in both group . The degree of POST was not significantly different between two group.Conclusion lidocaine inhalationbefore intubation has the same effectiveness compare to prophylactic intravenous dexamethason injection in reducing POST."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iwan Kusuma
"Latar Belakang: Angka POST pascainsersi LMA masih tetap tinggi. Pemberian lidokain secara inhalasi akan memberikan efek analgetik dan mengurangi respon inflamasi terutama pada saluran napas dan dapat menjadi alternatif baru untuk menurunkan kekerapan POST pascainsersi LMA. Sebagai kelompok kontrol digunakan deksametason intravena.
Tujuan : Membandingkan kekerapan POST pascainsersi LMA pada pemberian inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dengan deksametason 10 mg intravena sebelum pemasangan LMA.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal. Seratus dua puluh delapan pasien yang akan menjalani operasi mata dengan anestesia umum dan insersi LMA dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok inhalasi lidokain dan kelompok deksametason intravena. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun, ASA 1 atau 2, mallampati class I atau II, tidak terdapat nyeri tenggorokan sebelum operasi, posisi operasi terlentang, Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent. Inhalasi lidokain atau deksametason intravena diberikan 10 menit sebelum insersi LMA. Insersi LMA dengan cara baku, dan penilaian POST dilakukan 2 jam pascaoperasi. Data yang terkumpul akan diverifikasi dan diolah menggunakan program SPSS dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan.
Hasil : Uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan chi-square, kelompok inhalasi lidokain didapatkan 10,9 pasien mengalami POST pasca insersi LMA sedangkan pada kelompok deksametason intravena didapatkan 9,4 pasien mengalami POST p>0,05 . Skala nyeri kelompok inhalasi lidokain dengan nilai median 0 0-1 dan deksametason intravena dengan nilai median 0 0-3 juga tidak berbeda bermakna. Penelitian ini tidak mendapatkan adanya efek samping pada kedua kelompok.
Simpulan : Pemberian inhalasi lidokain sebanding dengan pemberian deksametason 10 mg intravena dalam mengurangi kekerapan POST pascainsersi LMA"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghazi Agustanzil
"Latar belakang. Laparaskopi adalah tindakan invasif minimal yang walaupun diketahui tidak menyebabkan nyeri, namun masih dapat menyebabkan derajat nyeri sedang – berat pada periode awal pasca operasi. Magnesium sulfat (MgSO4) memiliki efek analgetik yang dapat mengurangi kebutuhan opioid dan mengurangi derajat nyeri pasca operasi. Namun penggunaan MgSO4 untuk manajemen nyeri belum umum digunakan karena kurangnya data mengenai dosis yang aman untuk menghasilkan efek analgesia yang adekuat, serta keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian MgSO4 dalam menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif serta derajat nyeri 24 jam pascaoperasi. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 pasien berusia 18-65 tahun yang menjalani operasi laparaskopi dalam anestesia umum. Pada kelompok perlakuan diberikan 50 mg/kgBB MgSO4 intravena 15 menit praoperasi dan dilanjutkan dosis rumatan 10 mg/kgBB/jam selama periode operasi. Kelompok kontrol dilakukan pemberian placebo menggunakan NaCl 0.9%. Hasil. Pada kelompok perlakuan maupun kontrol, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam konsumsi opioid intraoperatif, dan pada derajat nyeri pascaoperasi. Keterbatasan pada penelitian ini antara lain adanya perbedaan durasi operasi yang cukup beragam dan perbedaan jenis operasi yang dapat merupakan faktor signifikan pada derajat nyeri pada populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Simpulan. Pemberian MgSO4 pada operasi laparaskopi tidak menurunkan jumlah konsumsi opioid intraoperatif maupun derajat nyeri pascaoperasi. Walaupun manfaat MgSO4 sangat bervariasi tergantung jenis operasi.

Background. Laparascopy is a minimally invasive procedure that is known to produce minimal to no pain, however previous findings have shown that a moderate to severe pain is found during the early hours postoperatively. Magnesium sulphate (MgSO4) has an analgetic effect that may reduce opioid consumption and postoperative pain. However, usage of MgSO4 for pain management has not yet been applied to everyday practice due to the lack of data regarding the dosage to produce adequate analgetic effect, and its safety. This research is to understand the effect of MgSO4 to reduce intraoperative opioid consumption and 24 hours postoperative pain. Methods. This is a double blinded randomized clinical trial involving 50 patients aged 18-65 undergoing laparscopic surgery under general anesthesia. Treatment group is given a 50 mg/kgBB intravenous MgSO4 15 minutes preoperatively, followed by a maintenance dose of 10mg/kgBB/hour through the surgery. Control group is given a placebo using an NaCl 0.9%. Results. Findings have shown that there was no significant difference of intraoperative opioid consumption nor postoperartive pain within the treatment group and control group. Limitations of the study includes the variety of surgery duration and different types of surgery that is a significant factor in pain intensity. Conclusion. Application of MgSO4 did not cause reduction of intraoperative opioid consumption nor the postoperative pain. However, MgSO4 may be beneficial depending on the type of surgery in which it is applied to. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devby Ulfandi
"ABSTRAK
Nama:Devby UlfandiProgram Studi:Ilmu BedahJudul:Perbandingan Insiden Komplikasi Pascaoperasi Herniorafi dengan Mesh Teknik Lichtenstein dengan Teknik Laparoskopi di RSCMPembimbing:dr. Wifanto S.J, SpB-KBD Latar belakang: Angka komplikasi dan kekambuhan pascaoperasi herniorafi cukup tinggi dan menuntut teknik operasi terbaik. Teknik Lichtenstein merupakan gold standard untuk open herniorafi hernia inguinalis. Saat ini teknik laparoskopi minimal invasive semakin berkembang dan banyak studi menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan Lichtenstein. Studi ini bertujuan membuktikan perbedaan insidensi komplikasi pascaoperasi herniorafi dengan mesh teknikLichtenstein dan teknik laparoskopi pada pasien hernia inguinalis di RS dr. Cipto Mangunkusumo dalam 5 tahun 2011-2015 . Metode: Studi ini bersifat potong lintang/cross sectional deskriptif analitik terhadap 62 subjek dewasa yang telah menjalani operasi elektif herniorafi dengan mesh di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Dengan stratified random sampling subjek dibagi dua kelompok,Lichtenstein dan laparoskopi, kemudian dilakukan analisis statistik dengan Chi square atau uji Fisher, dan regresi logistik multivariat. Didapatkan hubungan apabila ditemukan nilai p

ABSTRACT
ABSTRACT Name Devby UlfandiProgram General SurgeryTitle Comparison of Postoperative Complications Incidence Hernioraphy with Mesh between Lichtenstein Technique and Laparoscopic Technique at RSCMCounsellor Wifanto S.J, MD, Digestive Surgeon Background The complication rate and postoperative recurrence hernioraphywas high enough and demanded for the best surgical technique. Lichtenstein is the gold standard technique for open inguinal hernioraphy. Nowadays, a minimally invasive laparoscopic technique is growing and studies showed better results in laparoscopy than Lichtenstein. This study is aimed to To prove THE difference incidence of postoperative complications hernioraphy with mesh by Lichtenstein techniques and laparoscopic techniques in inguinal hernia patients in dr. Cipto Mangunkusumo hospital within 5 years 2011 2015 . Methods We run a cross sectional descriptive analytic research enrolled of 62 adult subjects who had undergone hernioraphy with mesh in elective surgery in dr. Cipto Mangunkusumo hospital. With stratified random sampling subjects was divided into two groups, Lichtenstein and laparoscopic, then all the data is performed to statistical analyze using Chi square or Fisher test, and a multivariate logistic regression. Significancy was found as the difference met "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>