Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89469 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Febian Nathania
"Latar Belakang: Omentum merupakan tempat metastasis yang paling sering pada kanker ovarium jenis epitel. Selain sebagai tempat metastasis utama, omentum memiliki  peran imunologi. Omentum memiliki kemampuan mengkolonisasi penyebaran sel kanker dengan terbentuknya omental caking. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor klinikopatologi dengan metastasis di omentum pada kanker ovarium jenis epitel. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain penelitian potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien dengan kanker ovarium jenis epitel yang dilakukan pembedahan di RS Cipto Mangunkusumo antara tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2017. Hasil : Terdapat hubungan antara tipe serosa dan tipe musinosa, nodul omental, dan CA 125 dengan metastasis pada omentum (OR 1,7, IK 95% 24,1-47,7; p = 0,002, OR 14,5, IK 95% 2,5-82,2; p = 0,002, OR 61, IK 95% 11,4-324,8; p <0,01, dan OR 3,5, IK 95% 1,2-9,7; p = 0,013). Analisis multivariat menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis musinosa dengan metastasis di omentum (aOR 9.71, IK 95% 1.11-84.89; p = 0,04) dan antara nodul omentum dan metastasis di omentum (aOR 40.92, IK 95% 6.64-251.96; p <0,01). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara metastasis di omentum pada kanker ovarium epitel dengan tipe histologi musinosa dan nodul pada omentum.
Background: Aside from being a major metastatic site in epithelial type ovarian cancer, omentum has an immunological role. Omentum has the ability to colonize the spread of cancer cells by forming omental caking. This study aims to determine the relationship between clinicopathology factors with metastasis in omentum in epithelial type ovarian cancer. Methods: The study used cross-sectional study design. Subjects were patients diagnosed with epithelial type ovarian cancer who underwent surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2010 and December 2017. Result: There was an association between serous as well as mucinous type, omental nodules, and between CA 125 and metastasis in omentum (OR 1.7, CI 95% 24.1-47.7; p = 0.002, OR 14.5, CI 95% 2.5-82.2; p = 0.002, OR 61, CI 95% 11.4-324.8; p <0.01, and OR 3.5, CI 95% 1.2-9.7; p = 0.013). Multivariate analysis demonstrated a significant association between mucinous types with metastases in the omentum (aOR 9.71, CI 95% 1.11-84.89; p = 0.04) and between the omental nodules and metastases in the omentum (aOR 40.92, CI 95% 6.64-251.96 ; p <0.01). Conclusion: There is a relationship between metastasis in the omentum in epithelial ovarian cancer with mucinous histology type and nodules in the omentum."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prasetyo
"Latar belakang: Kanker ovarium khususnya jenis epitelial merupakan salah satu kanker tersering yang diderita oleh perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah meneliti berbagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khususnya trombosit yang secara patofisiologi memiliki hubungan dengan berbagai marker inflamasi pada kanker. Tujuan: (1) Membuktikan bahwa trombositosis sebagai faktor prognosis pada pasien kanker ovarium jenis epitelial (2) Membuktikan angka OS selama 3 tahun pada pasien kanker ovarium jenis epitelial dengan trombositosis lebih buruk dibandingkan tanpa trombositosis. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang terdaftar pada cancer registry Departemen Obstetri dan Ginekologi Divisi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun Januari 2014- Juli 2016. Pengamatan dilakukan saat subjek pertama kali didiagnosis kanker ovarium hingga terjadi peristiwa hidup, meninggal, atau hilang dari pengamatan dalam waktu 3 tahun. Hasil: Didapatkan 220 subjek penelitian yang merupakan populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 220 subjek penelitian, 132 (60%) dari 220 subjek penelitian merupakan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (Stadium II/III/IV). Trombositosis didapatkan pada 94 orang subjek penelitian (42,7%). Pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki risiko trombositosis yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada stadium awal (p=0,005;OR=2,329). Meski begitu, ada atau tidaknya trombositosis secara statistik tidak bermakna pada OS selama 3 tahun (p=0,555). Terdapat mean time survival yang lebih rendah pada pasien dengan trombositosis tetapi tidak ada perbedaan hazard ratio yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa trombositosis (p=0,399). Pada penelitian ini, didapatkan faktor prognostik yang bermakna pada OS selama 3 tahun antara lain adalah ada tidaknya asites (HR=3,425; p=0,025), stadium (HR=9,523; p=0,029) dan residu tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) dengan stadium kanker ovarium merupakan faktor independen (HR=9,162; p=0,033). Sensitivitas dan spesifisitas trombositosis terhadap kanker ovarium stadium lanjut didapatkan sebesar 50,75% dan 69,32%. Kesimpulan: Trombositosis sebagai faktor prognostik pada pasien kanker ovarium jenis epitelial tidak dapat dibuktikan dan angka OS selama 3 tahun pada pasien dengan trombositosis dibandingkan dengan pasien tanpa trombositosis tidak bermakna secara statistik.

Background: Ovarian cancer, especially, epithelial ovarian cancer is one of the most common cancer in women with high rate of mortality and morbidity. Some studies have found that some biological factors that can be used as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer, particularly, thrombocytes which pathophysiologically correlates with inflammation markers in cancer. Aim: (1) To determine thrombocytosis as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer. (2) To determine that 3-year overall survival in epithelial ovarian cancer with thrombocytosis is significantly shorter than patients without thrombocytosis. Method: This study is a retrospective cohort study using medical record of patients with epithelial ovarian cancer which are registed in the cancer registry of Oncology Division in Obstetric and Gynecology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until July 2016. Datas were collected when subjects were first diagnosed with epithelial ovarian cancer until diseases outcomes (survive, death, or loss to follow up) were identified in 3 years. Result: Out of 220 subjects, 132 (60%) were patients with advanced stage epithelial ovarian cancer (stage II/III/IV). 94 (42,7%) subjects had thrombocytosis. Patients with advanced stage of disease had higher risk of having thrombocytosis than the ones with earlier stage (p=0,005;OR=2,329). Correlation between thrombocytosis and 3-year overall survival was known to be insignificant (p=0,555). There was shorter mean time survival between patients with thrombocytosis and the ones without but the there was no significant difference in hazard ratio between the two groups. In this study, several prognostic factors of epithelial ovarian cancer were identifed such as ascites (HR=3,425; p=0,025), stage of disease (HR=9,523; p=0,029), and post-operative residual tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) with stage of disease being the independent prognostic factor (HR=9,162; p=0,033). Sensitivity and specificity of thrombocytosis to advance stage of epithelial ovarian cancer were found to be 50,75% and 69,32%, respectively. Conclusion: Thrombocytosis as a prognostic factor in patients with epithelial ovarian cancer cannot be proven statistically. There is also no significant difference of 3-year overall survival between patients with or without thrombocytosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pelupessy, Nugraha Utama
"ABSTRAK
Nama :Nugraha Utama PelupessyProgram Studi :S3 Ilmu KedokteranJudul :Marker Cancer Stem Cells CD133, CD44, dan ALDH1A1 Sebagai Faktor Prognostik pada Kanker Ovarium Tipe Epitelial Kanker ovarium merupakan penyakit yang bersifat heterogen dan kebanyakan pasien datang dengan stadium lanjut. Kanker ovarium epitelial tipe II mempunyai sifat pertumbuhan tumor yang cepat dan secara genetik labil dibandingkan tipe I. Keberadaan cancer stem cells CSC dianggap sebagai salah satu faktor prognostik terjadinya kemoresisten dan kesintasan hidup yang rendah.Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan CSC sebagai faktor prognostik dengan menggunakan marker CD133, CD44, dan ALDH1A1 pada kanker ovarium tipe epitelial.Marker CD133, CD44, dan ALDH1A1 diperiksa dengan imunohistokimia dan flowcytometry. Hasil ekspresi marker CSC pasien kanker ovarium tipe I dan tipe II dimasukkan kedalam suatu tabel yang dihubungkan dengan respons kemoterapi dan kesintasan hidup. Analisis data dilakukan dengan program computer STATA 14. Analisis kesintasan dilakukan dengan analisis Kaplan-Meier dan uji asumsi cox proportional hazard. Analisis multivariat dipakai untuk model prognosis selama 10 bulan. Sistem skoring dibuat dengan menggunakan receiver operating characteristic ROC curve analyses.Data demografi kelompok terbanyak adalah usia ge; 45 tahun; 40 sampel 72,7 , stadium I, 23 sampel 41,8 , diferensiasi buruk 30 sampel 54,5 , dan tipe II 16 sampel 29,1 . Perbedaan yang bermakna antara tipe histopatologi dengan marker CSC hanya terlihat pada marker CD44. Skor Prediksi Kemoresisten SPKr 10 bulan yang dihubungkan dengan 4 variabel yaitu usia ge; 45 tahun, tipe II, stadium III minus;IV, dan CD44 tinggi dengan ROC 72,47 dan probabilitas post test 82,5 . Kurva ROC berdasarkan kombinasi marker CSC dan faktor klinikopatologi yaitu stadium III minus;IV, usia ge; 45 tahun, diferensiasi buruk, tipe II, CD133 negatif, CD44 tinggi, dan ALDH1A1 tinggi adalah 0,841. Skor Prediksi Kematian SPKm 10 bulan yang dihubungkan dengan 3 variabel yaitu stadium III minus;IV, tipe II, dan CD44 tinggi dengan AUC 80,44 dan probabilitas post test 78,7 . Kurva ROC berdasarkan kombinasi marker CSC dan faktor klinikopatologi yaitu stadium III minus;IV, usia ge; 45 tahun, diferensiasi buruk, tipe II, CD133 positif, CD44 tinggi, dan ALDH1A1 tinggi adalah 0,841.Simpulan: Marker CD44 terbukti berperan pada kanker ovarium tipe II. Skor Prediksi Kemoresisten dan Skor Prediksi Kematian dapat ditentukan selain dengan faktor klinikopatologi, juga dengan memakai marker CSC. Kata kunci: ALDH1A1, CD44, CD133, CSC, kanker ovarium epitelial, kesintasan hidup, respons kemoterapi.

ABSTRACT
Name : Nugraha Utama PelupessyStudy Program : Doctoral Program Medical SciencesTitle :Cancer Stem Cell CD133, CD44 andALDH1A1 Markers As Prognostic Factors on Epithelial Ovarian Cancer. Ovarian cancer is a heterogeneous disease and most of the patients came with an advanced stage. Epithelial ovarian cancer type II has the characteristic of rapid tumor growth and genetically more labile than that of type I. The presence of cancer stem cells CSC is considered as one of the prognostic factors of low mortality and survival.The aims of this study was to prove CSC as prognostic factors using CD133, CD44, and ALDH1A1 markers on epithelial ovarian cancer.Clinicopathology and demographic data were collected from medical records. CD133, CD44, and ALDH1A1 markers were examined with flowcytometry and immunohistochemistry. CSC marker expression of the patients with ovarian cancer type I and II was connected with chemotherapy and survival response. Data analysis was done by using STATA 14 software. Survival analysis was done by using Kaplan-Meier analysis and Cox proportional hazard test. Multivariate analysis is used for prognosis model for ten months. Receiver Operating Characteristic ROC curve analyses was used as the system scoring. The highest group demographic data were age ge; 45 years; 40 samples 72.7 , stage I, 23 samples 41.8 , poor differentiation 30 samples 54.5 , and type II 16 samples 29.1 . A significant difference between the histopathologic type and the CSC marker was seen only in CD44 marker. Chemoresistance Prediction Score in 10 months was associated with 4 variables ie age ge; 45 years, type II, stage III minus;IV, and CD44 high with ROC 72.47 and posttest probability 82.5 . The highest chemoresitency scoring ROC curve based on the combination of CSC marker and clinicopathology factors; stage III minus;IV, age ge; 45 years, poor differentiation, type II, negative CD133, high CD44, and high ALDH1A1, was 0.841. Mortality Prediction Score in 10 months was associated with 3 variables is stage III minus;IV, type II, and CD44 high with AUC 80.44 and posttest probability 78.7 . The highest mortality scoring ROC curve based on the combination of CSC marker and clinicopathology factors; stage III minus;IV, age ge; 45 years, poor differentiation, type II, positive CD133, high CD44, and high ALDH1A1, was 0.841. Conclusion: The CD44 marker has a role in type II ovarian epithelial cancer. Chemoresistance Prediction Score and Mortality Prediction Score can be determined from clinicopathological factors and using CSC marker. Keywords: ALDH1A1, CD44, CD133, chemotherapy response, CSC, Epithelial Ovarian Cancer, survival"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
"Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks yang dilakukan pembedahan primer di RSCM
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak
Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43 subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek (37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19 subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar. Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4 musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan histologi musinosum.
Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium lanjut.

Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring. Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment, accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive random sampling were used. Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%) has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesn't have metastasis to the appendix. From eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I subjects has mucinous histology. Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be considered done on surgery whether in early or late stadium."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Halmaher Amili
"Latar belakang: Kanker ovarium menyumbang 152.000 kematian di seluruh dunia
setiap tahun. Apendik merupakan organ intraperitoneal yang rentan terhadap
metastasis oleh kanker epitel ovarium. Penentuan keterlibatan apendik merupakan
salah satu penentu surgical staging. Surgical staging yang optimal merupakan
sebuah kunci untuk tatalaksana setelah operasi serta memperoleh prognosis yang
baik, serta peningkatan respon tatalaksana kemoterapi. Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan untuk melihat keterlibatan apendiks pada pasien-pasien dengan
kanker epitel ovarium di RSCM yang menjalani pembedahan primer.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kanker epitelial ovarium ke apendiks
yang dilakukan pembedahan primer di RSCM
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data rekam
medis pasien kanker ovarium epitelial yang menjalani pembedahan primer dan
apendiktomi pada bulan juli 2009-juli 2019 di RSCM Jakarta yang memenuhi
kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data secara acak
Hasil: Didapatkan 80 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Dari 80 subjek penelitian, dengan rerata usia 48 tahun. Sebanyak 43
subjek (53,8%) sebagai stadium I, 7 subjek (8,8%) sebagai stadium II, 30 subjek
(37,5%) stadium III, dan tidak terdapat stadium IV (0%). Dari 80 subjek yang
menjalani apendiktomi, didapatkan 8 subjek (10%) anak sebar ke apendiks, 19
subjek (23,8 %) apendisitis kronis, 53 subjek (66,3%) tidak terdapat anak sebar.
Dari 8 subjek yang terdapat anak sebar ke apendik dengan temuan histologi 4
musinosum, 2 serosum, 2 endometroid. Sebanyak enam dari delapan subjek
terdiagnosis pada stadium klinis stadium III dan dua lainnya pada stadium klinis
satu. Dua subjek yang terdiagnosis dari stadium klinis satu memiliki temuan
histologi musinosum.
Kesimpulan: Terdapat 10 persen pasien kanker epitelial ovarium yang dilakukan
pembedahan primer di RSCM memiliki metastasis ke apendiks yang terbagi atas
jenis musinosum, serosum, dan endometrioid. Oleh karena itu, apendektomi dapat
dipertimbangkan dilakukan pada pembedahan baik stadium awal maupun stadium
lanjut.

Background: Around 152,000 women were death every year because of ovarian
cancer. Appendix is an intraperitoneal organ which prone to ovarian epithelial
cancer metastasis. Appendix involvement is one of surgical staging scoring.
Optimal surgical staging is one of key point to determine post operation treatment,
accurate prognosis, and better chemotherapy response. This research was done to
see appendix involvement from primary surgery in ovarian epithelial cancer at
RSCM
Aim: To determine prevalence of metastasis to the appendix from primary surgery
in ovarian epithelial cancer at RSCM
Method: This cross sectional study used ovarian epithelial cancer patient medical
record which primary surgery and appendectomy were conducted on July 2009-July 2019 at RSCM. Inclusion and exclusion criteria were counted and consecutive
random sampling were used.
Result: Eighty subjects which were taken from inclusion and exclusion criteria has
average age on 48 years old. Out of 80, 43 subjects (53.8%) were defined as stadium
I patient, 7 subjects (8.8%) as stadium II, 30 subjects (37.5%) as stadium III, and
none of them as stadium IV. Appendectomy were done and eight subjects (10%)
has metastasis to the appendix. On the other hand, 19 subjects (23.8%) have chronic
appendicitis and 53 subjects (66.3%) doesnt have metastasis to the appendix. From
eight subjects which has appendix involvement, four were defined have mucinous
histology, two serous, and two endometrioid. Six out of eight were diagnosed at
clinical stadium III and two were diagnosed at stadium I. These two stadium I
subjects has mucinous histology.
Conclusion: There are 10 percent appendix metastases from primary surgery in
ovarian epithelial cancer at RSCM which consist of mucinous, serous, and
endometrioid histological types. Based on this research, appendectomy can be
considered done on surgery whether in early or late stadium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Vitria
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang gambaran penyebaran kanker ovarium melalui sirkulasi peritoneum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sehingga dapat dijadikan sebagai data dasar untuk evaluasi apakah surgical staging perlu rutin dilakukan pada semua pasien kanker ovarium yang secara klinis stadium dini mengingat biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien. Penelitian ini adalah penelitian dengan desain deskriptif.Dari hasil penelitian didapatkan proporsi penyebaran kanker ovarium jenis epitel pada cairan peritoneum sebanyak 12 kasus 24 dari 50 kasus dengan proporsi hasil sitologi positif pada cairan ascites sebanyak 9 kasus 18 dan proporsi hasil sitologi positif pada bilasan peritoneum sebanyak 3 kasus 6 . Proporsi penyebaran kanker ovarium jenis epitel pada peritoneum sebanyak 10 kasus 20 dari keseluruhan subyek dengan proporsi penyebaran pada peritoneum parakolika dan prevesika sebanyak 3 kasus 6 , proporsi penyebaran pada peritoneum kavum Douglas sebanyak 2 kasus 4 . Namun tidak semua kasus dilakukan biopsi diafragma. Pada penelitian ini hanya ada 1 kasus yang dilakukan biopsi diafragma sehingga perhitungan proporsi penyebaran pada diafragma sulit untuk dievaluasi.Proporsi penyebaran kanker ovarium jenis epitel pada omentum sebanyak 8 kasus 16 dari keseluruhan subyek. Penyebaran pada peritoneum, omentum, dan cairan peritoneum paling sering terjadi pada jenis histopatologi serosa derajat tinggi dan rendah. Dan semakin tinggi stadium maka penyebaran yang terjadi pada peritoneum dan omentum lebih sering terjadi. Sedangkan untuk diferensiasi cenderung tersebar merata pada seluruh derajat.

ABSTRACT
The purpose of this study was to investigate the epithelial ovarian cancer spreading through peritoneal circulation at Cipto Mangunkusumo Hospital so that it can be used as baseline data to evaluate whether surgical staging needs to be routinely performed in all clinically early stage ovarian cancer patients considering costs incurred by patients. This research used descriptive design and data collection process was performed at medical record department of Cipto Mangunkusumo Hospital.From data collected from 2006 to 2016, there were 2.711 cases of epithelial ovarian cancer but only 50 cases were clinically early stage and had data of peritoneal biopsy results. The proportion of epithelial ovarian cancer spreading through peritoneal fluid were 12 cases 24 , peritoneum were 10 cases 20 , and omentum were 8 cases 16 of all subjects.The macroscopic proportion of negative nodules with positive peritoneal biopsy results were 1 out of 40 cases 2.5 while the macroscopic proportion of negative nodules with positive omental biopsy results were 3 out of 45 cases 6.7 . The proportion of peritoneal washing with positive cytology results were 3 out of 26 cases 11.5 . The spreading on the peritoneum, omentum, and peritoneal fluid most commonly occurs in high and low grade serous types. The higher the stage, the spreading occurs in peritoneum and omentum is more frequently. While for differentiation, it tends to spread evenly on all grades. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Risfiandi
"ABSTRAK
TUJUAN : Mengetahui insiden metastasis kanker ovarium epitelial yang dilakukan pembedahan primer pada kelenjar getah bening pelvik, paraaorta dan pelvik/paraaorta di RSCM periode Januari 2009 Desember 2015. LATAR BELAKANG : Tatalaksana mengenai limfedenektomi pada kanker ovarium masih merupakan kontroversi. Adanya kekurangan data penelitian prosfektif ataupun RCT tentang patologi antomi merupakan penyebab kontroversi tatalaksana limfedentomi. Namun sampai saat ini sejak 1998 FIGO mengatakan bahwa limfedenektomi pelvik dan paraaorta merupakaan bagian terintegrasi yang tidak dapat dipisahkan pada surgical staging kanker ovarium. Namun penelitian mengenai limfedenektomi masih terbatas, sampai saat belum menemukan adanya publikasi penelitian insiden metastasis kanker ovarium epitelial pada kelenjar getah bening di RSCM. METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang, data diambil dari rekam medis, dari data kanker register didapatkan 1584 daftar rekam medik, namun didapatkan 401 pasien kanker ovarium, dan 306 yang ekslusi, didapatkan 55 data yang masuk kriteria inklusi. HASIL Dari 55 sampel yang dilakukan pembedahan primer pada kanker ovarium tipe epitel. Penyebaran kelenjar getah bening pada kanker epitel ovarium yang dilakukan pembedahan primer pada KGB paraaorta adalah 20 , pelvik 9.1 dan pelvik/paraaorta 23,6 . KESIMPULAN : 1. Insiden metastasis KGB kanker epitel ovarium pada paraaorta sebanyak 20 , pelvik 9,1 dan pada pelvik/paraaorta 23,6 di RSCM dari tahun 2009-2015.. 2. Semakin tinggi stadium, maka semakin tinggi keterlibatan KGB pelvik dan paraaorta . 3. Pada subtipe serosum lebih banyak menyebabkan keterlibatan pada KGB pelvik dan paraaorta . 4. Semakin buruk derajat differensiasinya, maka semakin tinggi keterlibatan pada KGB paraaorta . 5. Pada stadium I subtipe musinosum derajat difensiasi baik dengan keterlibatan pada KGB yang minimal sehingga dapat lebih selektif dalam mempertimbangkan risk dan benefit dari limfedenektomi

ABSTRACT
AIM To evaluate the incidence of pelvic and paraaortic lymph node metastasis of epithelial ovarian cancer underwent primary surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital from Januari 2009 to December 2015. BACKGROUND The definitive objective of lymphadenectomy in ovarian cancer is still controversial due to the lack of prospective research or randomized controlled trial. Since 1998, FIGO has stated that pelvic and paraaorta lymphadenectomy are part of ovarian cancer surgical staging. But, there is still limited research and still not published the incidence of pelvic and paraaortic lymph node metastasis of epithelial ovarian cancer underwent primary surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital. METHODS This research is cross sectional from medical records, the INASGO cancer registry. A hundred fifty four medical records were included but we found only 401 ovarian cancer, 306 data were excluded and 55 data were included. RESULTS From 55 epithelial ovarian cancer patients underwent the primary surgery, there are 20 metastasis to paraortic lymph node, 9,1 metastasis to pelvic lymph node, and 23,6 metastasis to both. CONCLUSION 1. Lymph node metastases incident of ovarian epithelial cancer in paraorta amounts 20 , pelvic 9.1 and pelvic or paraortic 23.6 2. Higher the stadium, the lymph node involvements will be higher as well pelvic and paraortic 3. In serous subtype, there is more incidents of lymph node involvements pelvic and paraaortic 4. If the differentiation type is worse, there will be higher rate of pelvic and paraaortic lymph node involvement. 5. In stadium 1 of mucinous subtype with well differentation has minimal lymph node involvement so we can be more selective in considering the risk and benefit of lymphadenectomy. The suggestion is the advanced research needs to be done prospectively by increase the number of samples for finding the metastatic factors to lymph node more accurately. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Bur
"Latar Belakang : Perbedaan antara demam dengue ( DD ) dan demam berdarah dengue ( DBD ) adalah terjadinya kebocoran plasma pada DBD. Kebocoran plasma pada ruang interstitial ditandai dengan adanya efusi cairan di pleura dan peritoneal, hemokonsentrasi, serta hipovolemia intravaskular. Keadaan ini menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan, sehingga menyebabkan metabolism anaerob. yang menimbulkan peningkatan kadar laktat dalam darah.
Tujuan Penelitian: Mengetahui peran laktat sebagai prediktor prognosis dan diagnosis kebocoran plasma pada infeksi dengue pasien dewasa.
Metode: Studi potong lintang, pada infeksi virus dengue pasien dewasa yang dirawat di bangsal penyakit dalam RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan Jakarta. Jumlah subjek sebanyak 57 orang. Dilakukan pemeriksaan kadar laktat untuk melihat perbedaan rerata kadar laktat antara DD dan DBD dengan uji t-tes tidak berpasangan, dan nilai titik potong kadar laktat pada keadaan tanpa atau dengan kebocoran plasma dilakukan dengan menentukan sensitifitas dan spesifisitas terbaik dari kurva ROC yang sudah dibuat.
Hasil: Rerata kadar laktat pada DBD secara bermakna lebih tinggi daripada DD. Nilai titik potong untuk prediktor prognostik pada hari ke-3 yang ditentukan dengan kurva ROC mendapatkan nilai kadar laktat ≥ 2,65 mmol/ L dengan AUC 0,626 ; IK 95% 0,480-0,772. Dan nilai titik potong untuk diagnostik pada hari ke-5 mendapatkan nilai kadar laktat ≥ 2,55 mmol/L memberikan sensitivitas 66,6%% dan spesifisitas 54,2%.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar laktat antara DD dan DBD. Nilai kadar laktat ≥ 2,65 mmol/L belum dapat digunakan sebagai prediktor prognostik adanya kebocoran plasma pada fase kritis. Nilai kadar laktat ≥ 2,55 mmol/L pada saat fase kritis dipakai sebagai petanda adanya kebocoran plasma dengan akurasi yang rendah.

Background: The difference between dengue fever (DF) and dengue hemorrhagic fever (DHF) is plasma leakage which occurs in DHF. The leakage of plasma into interstitial space is shown by pleura and peritoneal effusion, hemoconcentration, and intravascular hypovolemia. Anaerob metabolism will occur due to perfusion dysfunction which will cause increased serum lactate.
Objectives: To determine the role of lactate as a prognostic predictor and diagnostic in plasma leakage which occurs in adult dengue-infected patients.
Methods: This is cross-sectional study which is conducted in adult dengueinfected patients hospitalized in internal medicine ward of Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan Hospital in Jakarta. There are 57 adult dengue-infected patients recruited. Serum lactate is examined to determine the mean difference between DF and DHF. The data is analyzed by t-test independent and cut-off point is identified in presence as well as absence of plasma leakage which is to determine the sensitivity and specificity based on ROC curve.
Results: The mean of serum lactate in DHF is significantly higher compared to DF. The cut-off point of prognostic predictor in day three of fever which is determined based on ROC curve shows lactate serum ≥ 2.65 mmol/L with AUC 0.626; 95% CI 0.480-0.772. Moreover, the cut-off point of diagnostic factor in day five of fever is shown by serum lactate ≥ 2.55 mmol/L with sensitivity 66.6% and specificity 54.2%.
Conclusion: There is difference of serum lactate in DF and DHF. Serum lactate ≥ 2.65 mmol/L could not be used as a prognostic predictor of plasma leakage in critical phase. Serum lactate ≥ 2.55 mmol/L during critical phase could be used as a marker of plasma leakage but low of accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindhita
"Studi analitik kohort untuk membuktikan peningkatan sensitivitas PNI preoperatif ditambah hemoglobin akan lebih tinggi diibandingkan PNI preoperatif dalam memprediksi kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel yang dilakukan pembedahan (complete surgical staging atau optimal debulking) dilanjutkan kemoterapi menggunakan Carboplatin dan Paclitaxel di RSCM, RSP, RSF dan RS Dharmais pada Januari 2017 sampai Desember 2018. Hasil penelitian adalah dari 32 sampel didapatkan 6 sampel mengalami rekurensi dalam 1 tahun pasca pembedahan dan kemoterapi. Secara karakteristik didapatkan kanker ovarium terbanyak terjadi pada usia > 50 tahun (62,5 %), paritas 0 (46,87 %), dengan histopatologi tersering clear cell carcinoma (31,25 %), derajat diferensiasi terbanyak adalah derajat berat (56,25 %) dan stadium terbanyak adalah stadium I-II (56,25 %). Sensitivitas PNI penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya dan penambahan hemoglobin penelitian ini tidak dapat digunakan untuk dapat meningkatkan sensitivitas. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara PNI preoperatif, Hb preoperatif, PNI + Hb preoperatif dengan kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel. Kesimpulan adalah penambahan hemoglobin pada PNI preoperatif tidak dapat digunakan untuk menentukan sensitivitas dalam memprediksi kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel. Tidak terdapat hubungan bermakna antara PNI preoperatif, Hb preoperatif, PNI + Hb preoperatif dengan kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel.

An analytic cohort study to prove sensitivity of hemoglobin level added to PNI will be higher comparing to PNI only in predicting 1 year survival in epithelial ovarian cancer underwent surgery (complete surgical staging or optimal debulking) and chemotherapy (Carboplatin and Paclitaxel) at Cipto Mangunkusumo Hospital, Persahabatan Hospital, Fatmawati Hospital and Dharmais Cancer Hospital on January 2017 until December 2018. The result was from 32 samples, recurrences occurred in 6 samples within 1 year after surgery and chemotherapy. From characteristic finding we found epithelial ovarian cancer occurred mostly in age > 50 years old (62,5 %), parity 0 (46,87 %), histopathology clear cell carcinoma (31,25 %), poor differentiation (56,25 %) and I-II (56,25 %). Sensitivity of PNI is lower comparing to previous studies. Addition of hemoglobin level cannot be used to measure the sensitivity level. There was no statistical correlation between preoperative PNI, preoperative hemoglobin level, and PNI + Hb with the survival. The conclusion was addition of hemoglobin level to preoperatif PNI cannot be used to measure the sensitivity level in predicting epithelial ovarian cancer survival. There was no statistical correlation between preoperative PNI, preoperative hemoglobin level, and PNI + Hb with 1-year survival in epithelial ovarian cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>