Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elfha Shavira
"Skripsi ini membahas bagaimana mantan PSP menjalani transisi keluar dari dunia prostitusi yang membentuk serangkaian tantangan dan bagaimana menyiasati dengan melakukan tiga strategi bertahan hidup dalam rangka mencapai social well-being. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi dengan desain deskriptif yang dilakukan pada tujuh informan mantan PSP.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tipologi transisi yang telah dilakukannya pada masa lalu memberikan sumbangsih untuk melakukan strategi bertahan hidup. Dari gambaran data lapangan, informan mendapatkan respon adaptif dan maladaptif yang bervariasi yang tentunya menyumbang kepada social well-being mantan pekerja sosial.
Dari hal ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa social well-being dapat tercapai apabila mendapatkan respon adaptif, dan terjadi sebaliknya apabila mendapatkan respon yang maladaptif dari tiga strategi bertahan hidup.

This undergraduate thesis explains about how the ex female sex worker undergo a transition period that forming a series of challenges and how to get around by doing the three survival strategies in order to achieve social well being. This research is a qualitative research with descriptive design.
The research concludes that typology of transition that it had done in the past make a contribution to do the survival strategy. From an overview of field data, the source get and adaptive and maladaptive responses to social well being the ex female sex worker.
From this case, the researcher concludes that social well being can be achieved if the informants got the adaptive response and the other way around if the informants get the maladaptive response from three survival strategies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Ikhsan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat dukungan sosial terhadap tingkat well-being pekerja di bidang industri kreatif digital. Penelitian sebelumnya cenderung melihat faktor individual dan organisasional sebagai faktor yang berkontribusi terhadap tingkat well-being pekerja. Dalam rangka memperkaya studi-studi sebelumnya, penelitian ini berusaha menjelaskan well-being pekerja melalui dukungan sosial yang dimiliki pekerja, khususnya keluarga, atasan dan rekan kerja. Dukungan sosial diyakini dapat memberikan sumberdaya yang dapat membentuk dan meningkatkan fungsi dalam bekerja, sehingga semakin tinggi dukungan sosial yang diterima maka semakin tinggi well-being yang dirasakan oleh pekerja dan sebaliknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data diperoleh melalui survei kepada 130 pekerja kreatif digital di Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja kreatif digital memiliki tingkat well-being dan dukungan sosial yang cenderung rendah. Dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, atasan dan rekan kerja terbukti berhubungan dengan tingkat well-being pekerja. Selain itu, didapatkan hasil dukungan sosial yang bersumber dari atasan dengan bentuk dukungan appraisal sebagai variabel yang paling berhubungan dengan well-being pekerja di bidang industri kreatif digital.

ABSTRACT
This study explains the effect of social support level to creative digital worker well-being. Previous studies found that individual internal and organizational as factors that contribute to level of worker well-being. To enrich previous studies, This study seeks to explain worker well-being through social supports, especially from family, supervisor and co-workers. Social support is believed to provide resources that can form and improve functionality in work, so the higher the social support is received then the higher the well-being perceived by workers and vice versa. This study uses quantitative approaches with data collection techniques obtained through surveys to 130 creative digital worker in Jakarta. The results show that creative digital worker have a low level of well-being and social support. Social support from family, supervisor and co-workers is positively correlated with workers well-being. This research also found that social support from supervisor and appraisal support as the most associated variabel with worker well-being."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adi Ganjar Priadi
"Latar Belakang. Perceraian merupakan sebuah peristiwa yang dapat memberikan dampak negatif berkepanjangan dan memberikan pengaruh semua anggota keluarga yang mengalaminya. Dampak perceraian khususnya dirasakan oleh anak-anak korban perceraian orang tua. Hal ini akan menjadi timbulnya konflik psikologis seperti munculnya rasa marah dan takut sebagai reaksi atas perceraian orang tuanya. Hal tersebut dapat berlangsung terus menerus seiring pertumbuhan hingga remaja maupun dewasa. Apalagi sebagai remaja mereka juga harus menghadapi tugas-tugas perkembangan yang menuntut untuk diselesaikan. Kondisi tersebut juga berdampak pada kepuasan hidup mereka. Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan hidup yang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis akan menurun pada masa remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian Well-being therapy (WBT) pada remaja perempuan yang memiliki orang tua bercerai.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain one-group pre-test and post-test non-eksperimental dimana peneliti akan mengukur tingkat kepuasan hidup partisipan sebelum dan sesudah mengikuti WBT. Penelitian ini menggunakan alat ukur life satisfaction life with scale (SWLS) dan Ryff psychological well-being. Partisipan adalah empat orang remaja perempuan berusia 12 hingga 21 tahun dan memiliki orang tua yang bercerai. Intervensi dengan WBT dilakukan sebanyak 4 sesi dengan durasi 60 menit per sesi.
Kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat partisipan menunjukkan peningkatan kepuasan hidup setelah mengikuti WBT. Selain itu, mereka juga mampu mengubah pemahaman mereka mengenai perceraian yang semula negatif menjadi lebih positif. Pada akhirnya, pemberian WBT terbukti efektif dalam meningkatkan kepuasan hidup remaja perempuan yang memiliki orang tua bercerai.

Background. Divorce is one of experience that could affect every family member and has prolonged negative effects. In particular, children of divorce tend to experience psychological effects such as anger and fear as a response of their parent's divorce. On the other hand, when children grow into adolescence, they also have to achieve their development tasks. These could also contribute on low level satisfaction of life which is related to their psychological well-being. In addition, some prior research showed that adolescents well-being will decrease on this period. This research aims to study effectiveness of well-being therapy (WBT) on female adolescents with divorce parents.
Method. Research uses one group pre-and-post-test design non-experimental. Participant's life satisfaction will be measured using Diener's satisfaction with life scale (SWLS) and Ryff's psychological well-being. There were four female adolescents who had participated in this research.
Result. All participants showed some improvements on their life satisfaction's score after accompanied WBT. In addition, they are also able to change their opinions about divorce and accept it as a part of their life experiences. WBT is proven to be effective in order to increase their life satisfaction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T38683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrohoningtyas
"ABSTRAK
Makna kerja pada perempuan berkeluarga yang bekerja, terutama pada mereka yang berada pada tingkatan manajerial lebih didasari oleh motif atau keinginannya
untuk mengaktualisasikan dirinya. Di Indonesia, kesempatan kerja bagi perempuan
dengan jenjang kedudukan yang tinggi telah mengalami peningkatan. Namun demikian, fenomena yang terjadi di masyarakat barat menunjukkan adanya kecenderungan yang cukup tinggi dari perempuan berkeluarga yang berhenti bekerja pada tingkatan manajerial. Keinginan membesarkan dan mengasuh anak merupakan alasan yang paling banyak mereka kemukakan.
Dilema antara kerja dan rumah tangga tersebut menimbulkan keputusan sebagian perempuan berkeluarga yang bekerja untuk berhenti bekerja. Anggapan bahwa
tugas-tugas dometik dianggap tidak penting menimbulkan rasa kehilangan nilai bagi
individu perempuan ketika mereka berhenti bekerja, yang menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya pada diri sendiri, merasa ‘tidak layak’ untuk bergaul karena statusnya yang ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ini tampak sedikit banyak telah pula mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat, terrnasuk perempuan sendiri
tentang peran mereka sebagai ibu mmah tangga. Terdapat anggapan bahwa peran ibu rumah tangga itu ketinggalan Jaman, udak prestisius, dan tidak membutuhkan keterampilan intelektual yang tinggi.
Di sisi lain banyak ibu rumah tangga yang menyukai pekerjaan merawat dan
mengasuh anak. Mereka melihat peran ibu tergolong spesial, dapat memberikan sesuatu yang bermakna yang dapat memperkaya perkembangan anak (Hock dalam
Smolak, 1993) dan keleluasaanya dalam mengatur jadual kerja sendiri (Oakley,
dalam Smolak, 1993). Paling tidak secara sementara, mereka ingin mengorbankan
penghasilan dan keuntungan lain dari kerja luar rumah dengan jalan memberikan
pengaruh mereka terhadap anak.
Kesejahteraan psikologis adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ryff (1989) memaparkan mengenai karakteristik kesejahteraan psikologis yang
meliputi pemahaman dan penerimaan berbagai aspek dari diri seseorang, hubungan
yang positif dengan orang lain, kemandirian, memilih lingkungan yang sesuai, memi-
liki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran secara spesiiik tentang
perempuan khususnya perempuan brkeluarga yang telah berhenti bekerja di suatu
organisasi formal dengan kedudukan terakhir pada posisi setingkat manajer. Adanya
keputusan berhenti bekerja menirnbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kondisi
kesejahteraan psikologis perempuan tersebut setelah berhenti bekerja.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam dan Skala Kesejahteraan Psikologis (SPWB) yang diadaptasi
dan Ryff (1989) yang bertujuan mendapatkan gambaran yang mendalam dan bermakna. Subjek penelitian benjumlah 3 (tiga) orang dengan karakteristik usia dewasa madya dengan posisi terakhir setingkat level manajer di suatu organisasi formal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kekhasan penghayatan kesejahteraan psikologis pada ketiga subjek penelitian. Subjek yang mengalami dominasi
dari suami mempunyai kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kebebasan dalam menentukan pi1ihan-pilihannya sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan kesejahteraan psikologis
merupakan proses untuk ‘menjadi'. Rogers (1995) menggambarkan bahwa aktualisasi
diri merupakan suatn proses, suatu arah bukan suatu tujuan, dimana aktualisasi diri
berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai
atau statis. Oleh karena itu, tidak ada titik puncak dari kesejahteraan psikologis. Yang
mungkin dicapai oleh individu adalah berubah dari kondisi kesejahteraan psikologis
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi kesejahteraan psikologis buka.n dipengaruhi oleh faktor bekrja atau tidak bekerja, namun terdapat faktor-faktor lain yang diduga lebih memberikan pengaruh terhadap kondisi ke-
sejahteraan psikologis mereka.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis mantan
manajer yang berkeluarga.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2023
361 SOC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Noori Lukman Pradipto
"Selama masa pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi oleh guru semakin berat
dengan strategi mengajar yang baru. Hal tersebut membuat guru kesulitan untuk
mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka terutama guru perempuan yang mengajar di tingkat SD. Stres yang dirasakan oleh guru perempuan semakin bertambah dengan beban sebaga seorang ibu yang mengurus anak. Komunikasi antara anggota keluarga diasumsikandapat membantu guru untuk melewati masa sulit selama pandemi Covid-19. Penelitian inidilakukan untuk melihat peran pola komunikasi keluarga, baik dimensi conversation ataupun conformity, sebagai mediator dalam hubungan antara perceived social support dengan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan teknik pengambilan sampel convenient sampling dari guru perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support
dengan psychological well-being baik secara langsung (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000), maupun tidak langsung melalui pola komunikasi keluarga dimensi conversation (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). Di sisi lain, pola komunikasi keluarga yang mementingkan konformitas dalam berpendapat tidak berperan sebagai mediator karena tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). Salah satu limitasi penelitian ini adalah penelitian
ini hanya dapat dilakukan masa pandemi akan tetapi hasil yang didapatkan mengimplikasikan bahwa dukungan sosial dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh guru dalam menghadapi masa pandemi agar dapat menjadi bahagia, terlepas dari pola komunikasi di rumah. Meskipun demikian, pola komunikasi yang mementingkan kehangatan dalam berpendapat dan keterbukaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang menunjang psychological well-being guru di situasi pandemi.

During the Covid-19 pandemic, teachers are facing more challenges such as new teaching strategies. Thus, makes it difficult for teachers to maintain their psychological well-being especially female teachers who teach elementary students. Some of those female teachers have responsibilities as mothers at home. The burden of caring for children in home increasing the stress felt by these teachers. It is assumed that communication between family members can help teachers through difficult times during the Covid-19 pandemic. This
research was conducted to see whether conversation or conformity dimension within family communication pattern can act as mediator in the relationship between perceived social support and psychological well-being. This research is non-experimental study with convenient sampling technique given to female teachers. The result indicates that there is significant relationship between perceived social support and family communication pattern, either directly (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000) or indirectly through the conversation
dimension within family communication family patterns (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). On the other hand, family with high conformity dimension do not act as mediator in relationship between perceived social support and psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). One of the limitation of this study is this study can only be conducted in pandemic Covid-19 situation but the results obtained shows that social support from various sources is needed by teachers in order to be mentally healthy and happy regardless of communication patterns at home. However, communication patterns that emphasize warmth and openness can be one of the social
support that teachers needed in this pandemic situation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzura Salsabilla Puspariyan Putri
"Selain membentuk identitas diri, remaja juga mulai membentuk social identity yang dapat diperoleh dengan bergabung dalam peer group. Social identity dalam peer group menjadi salah satu penentu psychological well-being bagi remaja untuk mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih sedikit penelitian yang secara khusus menyoroti social identity pada remaja akhir dalam konteks peer group. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah social identity dalam peer group memiliki hubungan positif yang signifikan dengan psychological well-being pada remaja akhir. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Social Identity Scale (SIS) untuk mengukur social identity dalam peer group dan Ryff’s Psychological Well-being Scale (RPWBS) untuk mengukur psychological well-being. Partisipan penelitian ini adalah Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 18–20 tahun (M = 19,03, SD = 0,74). Hasil Spearman Correlation menunjukkan bahwa social identity dalam peer group dan psychological well-being memiliki korelasi yang signifikan dengan rs(160) = .138, p = .041, one-tailed. Artinya, semakin tinggi tingkat social identity dalam peer group pada remaja akhir, maka semakin tinggi tingkat psychological well-being.

In addition to forming their self identity, adolescents also begin to form a social identity that can be obtained by joining peer groups. Social identity within peer groups is one of the determinants of psychological well-being for adolescents to cope with stress in daily life. However, there is still limited research that specifically highlights social identity in late adolescents in the context of peer groups. Therefore, this study aims to investigate whether social identity within peer groups has a significant positive relationship with psychological well-being in late adolescents. The research instruments used were the Social Identity Scale (SIS) to measure social identity within peer groups and the Ryff's Psychological Well-being Scale (RPWBS) to measure psychological well-being. The participants in this study were Indonesian citizens aged 18–20 years old (M = 19,03, SD = 0,74). The results of the Spearman Correlation showed that social identity within peer groups and psychological well-being had a significant correlation with rs(160) = .138, p = .041, one-tailed. This means that the higher the level of social identity within peer groups in late adolescents, the higher the level of psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Mardiyanah
"Peluang mendapatkan pendapatan lebih tinggi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke berbagai daerah di Indonesia. Namun, hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi kesejahteraan subjektif pekerja migran seperti stres, kesepian, dan rendahnya modal sosial. Penelitian ini menguji hubungan antara persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif pada 86 karyawan migran berusia 20-40 tahun di Indonesia. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan alat ukur The-PERMA-Profiler dan Social Provision Scale (SPS). Hasil penelitian menunjukan adanya korelasi positif secara signifikan antara persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan subjektif (r=0.382, p<.01, two-tailed) yang menunjukan semakin tinggi pekerja memiliki persepsi dukungan sosial, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif yang dirasakannya. Dimensi persepsi dukungan sosial yang berhubungan erat dengan kesejahteraan subjektif adalah meyakinkan keberhargaan diri, disusul dengan dimensi integrasi sosial dan dimensi bimbingan. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang kebijakan yang mendukung apresiasi pekerja, lingkungan yang menciptakan integrasi sosial dan mentor bagi karyawan migran serta memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan persepsi dukungan sosial dan kesejahteraan karyawan migran.

Opportunities for higher incomes encourage workers to migrate to various regions in Indonesia. However, this poses its own challenges to the subjective well-being of migrant workers such as stress, loneliness, and low social capital. This study examined the relationship between perceived social support and subjective well-being in 86 migrant employees aged 20-40 years in Indonesia. Data were collected through questionnaires with The-PERMA-Profiler and Social Provision Scale (SPS) measurement tools. The results showed a significant positive correlation between perceived social support and subjective well-being (r=0.382, p<.01, two-tailed), indicating that the higher the workers' perceived social support, the higher their subjective well-being. The dimension of perceived social support that is closely related to subjective well-being is self-esteem, followed by the social integration dimension and the guidance dimension. Therefore, companies need to design policies that support worker appreciation, environments that create social integration and mentors for migrant employees and provide adequate support to improve the perceived social support and well-being of migrant employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Putri Khairunnisa
"Pada beberapa waktu terakhir, perhatian terhadap subjective well-being mengalami peningkatan, khususnya yang terjadi pada kalangan usia dewasa muda. Salah satu faktor yang mungkin berkaitan dengan fenomena tersebut adalah maraknya penggunaan media sosial, mengingat jumlah dewasa muda di Indonesia yang menggunakan media sosial tergolong besar. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk melihat peran dari empat dimensi penggunaan media sosial yang terdiri image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, dan consumption-based SMU dalam subjective well-being dewasa muda di Indonesia. Terdapat 125 responden dewasa muda pengguna media sosial yang direkrut dengan metode convenience sampling. Variabel subjective well-being diukur dengan The PERMA-Profiler dan penggunaan media sosial diukur dengan Social Media Use Scale (SMUS) yang sudah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Hasil analisis linear berganda menunjukkan bahwa empat dimensi penggunaan media sosial secara simultan berkontribusi dalam subjective well-being. Ditemukan hanya image-based, comparison-based, dan consumption-based SMU yang memiliki peran signifikan dalam subjective well-being, sedangkan peran dari belief-based SMU tidak signifikan. Temuan ini dapat diartikan bahwa penggunaan media sosial dewasa muda memiliki peran dalam kondisi subjective well-being mereka. Limitasi penelitian diulas lebih lanjut, dan disarankan agar penelitian di masa depan dapat mencoba melakukan kontrol terhadap durasi penggunaan media sosial, serta mempertimbangkan frekuensi dan tujuan penggunaan pada platform media sosial yang berbeda.

Over the past few years, attention to subjective well-being has increased, especially among young adults. One factor that may be related to this phenomenon is the widespread use of social media, given the large number of young adults in Indonesia who use social media. Therefore, this study aimed to look at the role of the four dimensions of social media use consisting of image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, and consumption-based SMU in the subjective well-being of young adults in Indonesia. A total of 125 young adult social media users were recruited using convenience sampling method. Subjective well-being was measured with The PERMA-Profiler and social media use was measured with the Social Media Use Scale (SMUS), which has been adapted to Indonesian. The results of multiple linear analysis showed that four dimensions of social media use simultaneously contributed to subjective well-being. It was found that only image-based, comparison-based, and consumption-based SMU had a significant role in subjective well-being, while the role of belief-based SMU was not significant. This finding can be interpreted that young adults' social media use has a role in their subjective well-being. The limitations of the study were further reviewed, and it was suggested that future research could try to control for the duration of social media use, while also considering the frequency and purpose of use on different social media platforms."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofa Dzakiah
"Guru berperan penting dalam proses pembelajaran, bahkan ketika pembelajaran
berlangsung secara jarak jauh (PJJ). Beban kerja guru yang bertambah banyak di masa
PJJ, juga terdapat guru yang sekaligus berperan sebagai orang tua, dapat berdampak pada
kondisi kesejahteraan psikologisnya. Sulitnya memisahkan kehidupan pribadi dan
personal selama PJJ, serta keterbatasan dalam interaksi sosial secara langsung dapat turut
berperan pada kondisi kesejahteraan guru perempuan. Adanya peningkatan kesadaran
(mindfulness) pada diri guru diduga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada guru, dengan cara membantu guru perempuan untuk mempersepsikan
ketersediaan dukungan yang dibutuhkan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji peran variabel persepsi dukungan sosial sebagai mediator pada hubungan antara
mindfulness dengan kesejahteraan psikologis. Penelitian ini melibatkan 117 orang guru
SD, perempuan, yang juga berperan sebagai orang tua bagi anak pada kelompok usia kelas 1-3 SD. Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner secara dalam jaringan (daring) melalui berbagai jejaring media sosial. Penelitian ini
menggunakan alat ukur Psychological Well-Being Scale (α=.917), Five Facet of Mindfulness Questionnaire (α=.819), dan Social Provisions Scale (α=.928). Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji mediasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap dukungan sosial berperan sebagai mediator sebagian (partially
mediated) dalam hubungan antara mindfulness dengan kesejahteraan psikologis.

Teachers play an essential role in the learning process, even when learning takes placeremotely, known as distance learningning (PJJ). With the increasing teachers' workload
psychological well-being. The difficulty of separating professional and personal life
during PJJ, as well as limitations in social interaction can also contribute to the
psychological well-being. Increasing awareness (mindfulness) in teachers is assumed to
improve the psychological well-being, by helping female teachers to perceive the
availability of support needed in their environment. This study aims to examine the role
of the perceived social support on the relationship between mindfulness and
psychological well-being. This study involved 117 primary school teachers, women, who
also act as parents for children in the 1-3 grade. Data was collected by distributing online
questionnaires through various social media. This study used measuring instrument of
the Psychological Well-Being Scale (α = .917), the Five Facet Mindfulness Questionnaire
(α = .819), and the Social Provisions Scale (α = .928). Data analysis was performed
using mediation test. This study indicates that perceived social support play a partially
mediated role in the relationship between mindfulness and psychological well-being.
Kata kunci: Mindfulness; perceived social support; psychological well-being; remote
learning, teachers.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>