Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181972 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catharine Mayung Sambo
"Penelitian ini adalah penelitian deskriptif potong lintang pada pasien remaja di RSCM Jakarta pada bulan Juni 2018. Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran masalah psikososial dan hubungannya dengan kepatuhan berobat remaja dengan infeksi HIV perinatal yang diukur dengan kuesioner. Terdapat 46 remaja usia 11-17 tahun yang mengikuti penelitian. Kebanyakan subyek masih bersekolah. Lebih dari setengah 58,7 sudah mengetahui status infeksi HIV mereka, dan 47,8 dianggap mandiri minum obat oleh orangtua atau pengasuhnya. Kebanyakan subyek memiliki setidaknya satu masalah di rumah, sekolah, kebiasaan makan, penggunaan obat/zat adiktif, atau keamanan diri, sementara 8,7 memiliki masalah seksualitas. Gejala emosional didapatkan pada 8,7 subyek, masalah perilaku pada 6,5 , hiperaktivitas pada 6,5 , masalah teman sebaya 6,5 , dan masalah total kesulitan pada 8,7 . Delapan puluh sembilan persen subyek memiliki skor perilaku prososial normal. Kepatuhan berobat tinggi pada 39,1 , sedang pada 37 , dan rendah pada 23,9 . Tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan status infeksi atau masalah psikososial dan kepatuhan berobat.
This is a descriptive, cross sectional study in adolescent patients of RSCM Jakarta done in June 2018. The aim was to describe psychosocial problems and the associations with medication adherence in perinatally infected adolescents, measured by questionnaires. Forty six adolescents enrolled in this study. Most subjects still study at school. More than half 58.7 already know their HIV status, and 47.8 were considered independently adherent to their medication by parents or caregivers. Most subjects had at least one home, school, eating habit, drug substance use, or safety problems, and 8.7 had sexuality problems. Emotional symptoms were found in 8.7 subjects, conduct problems in 6.5 , hyperactivity in 6.5 , peer relationship problems in 6.5 , and total difficulties problems in 8.7 . Eighty nine percent subjects scored normal prosocial behavior. Medication adherence were high in 39.1 subjects, medium in 37 , and low in 23.9 . There were no significant associations between knowledge of infection status or psychosocial problems and medication adherence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Mardiani Sasqiaputri
"Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan, dimana tugas yang tidak mudah dengan suasana kerja yang terkesan monoton, bergaul dengan penghuni lapas yang sulit dan bermasalah, bekerja dikelilingi tembok tinggi dan tertutup merupakan situasi yang harus dihadapi oleh petugas pemasyarakatan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran bahaya dan risiko psikososial dari faktor – faktor psikososial (lingkungan pekerjaan, rumah, sosial, dan individu) serta gejala psikososial (perilaku, fisiologis, kognitif, dan emosional) pada petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan pemuda kelas IIA Tangerang tahun 2020. Dengan desain penelitian cross sectional dan cara pengambilan data melalaui penyebaran kuesioner. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukan bahwa tingkat risiko psikososial pada lingkungan pekerjaan, rumah, sosial, dan individu termasuk kedalam katagori tingkat risiko psikososial rendah dengan sumber bahaya dari lingkungan pekerjaan (27), lingkungan rumah (7), lingkungan sosial (10), dan individu (14). Selain itu, hasil dari gejala psikososial (perilaku, fisiologis, kognitif, dan emosional) termasuk kedalam katagori tingkat risiko psikososial rendah. Dilihat dari persebaran responden risiko psikososial dari lingkungan pekerjaan, sosial, dan individu secara statistik lebih mengeluhkan gejala psikososial kognitif, sedangkan risiko psikososial lingkungan rumah didapatkan lebih mengeluhkan gejala psikososial emosional.

Correctional is a place to carry out the formation of prisoners and correctional students, where the task is not easy with a monotonous work atmosphere, associating with prisoners who are difficult and problematic, working surrounded by high walls and closed is a situation that must be faced by correctional officers. The purpose of this study was to determine the psychosocial hazards and risks from psychosocial factors (work environment, home, social, and individual) as well as psychosocial symptoms (behavioral, physiological, cognitive, and emotional) in correctional facilities at class IIA Tangerang youth penitentiary 2020. With a cross sectional research design and data collection methods through questionnaires. The results obtained in this study indicate that the level of psychosocial risk in the work environment, home, social, and individuals included in the category of low psychosocial risk levels with sources of danger from the work environment (27), home environment (7), social environment (10), and individuals (14). In addition, the results of psychosocial symptoms (behavioral, physiological, cognitive, and emotional) are included in the category of low psychosocial risk. Judging from the distribution of respondents psychosocial risks from the work environment, social, and individuals statistically more complaining of cognitive psychosocial symptoms, while psychosocial risk of the home environment is found to be more complaining of emotional psychosocial symptoms.

 

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Praeger Publ., 1982
362.1 PSY
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Thalia
"Studi literatur menunjukkan bahwa perundungan dapat diturunkan jika para siswa yang menjadi saksi perundungan bersedia menolong korban. Kesediaan menolong korban perundungan sangat tergantung pada efikasi diri maupun efikasi komunitas mereka. Namun dampak bagi saksi siswa yang bersedia menolong masih kontradiktif; ada studi yang menunjukkan bahwa saksi penolong korban akan meningkat self esteemnya, dan ada studi-studi lain yang menunjukkan bahwa saksi penolong dan pendukung pelaku yang akan mengalami kesulitan psikososial. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model terbentuknya permasalahan psikososial yang dapat menjelaskan peranan keyakinan efikasi diri, keyakinan efikasi komunitas dan perilaku menolong saksi. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 239 siswa. Dari pengihitungan SEM didapatkan bahwa kesulitan psikososial akan meningkat dengan menurunnya keyakinan efikasi diri melalui mediator perilaku mendukung pelaku. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku mendukung pelaku lebih rentan mengalami kesulitan psikososial dibandingkan perilaku menolong korban.

Literature studies show that bullying can be reduced if students who bystander bullying are willing to help the victims. Willingness to help victims of bullying is very dependent on their self-efficacy and collective efficacy. But the impact for student bystander who are willing to help is still contradictory; some studies show that the self-esteem of defender will be increased, and other studies show that defender and prepetrator supporter will experience psychosocial difficulties. This study aims to find a model for the formation of psychosocial problems that can explain the role of self-efficacy beliefs, collective efficacy beliefs, and bystander’s helping behavior. This study was conducted by a survey method using a questionnaire. Participants in this study were 239 students. From the SEM calculation found that psychosocial difficulties would be increased with the decrease of self-efficacy beliefs through mediators of behavior of supporting perpretrator. Based on this result, it can be concluded that the behavior of supporting prepetrator is more prone to experiencing psychosocial difficulties than the behavior of helping the victim."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T54525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Yasmine Dyahputri
"Pendahuluan: Perawakan pendek merupakan masalah pertumbuhan yang banyak dijumpai di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi anak usia sekolah dasar dengan perawakan pendek mencapai 23,6% pada tahun 2018. Perawakan pendek pada anak dikaitkan dengan masalah psikososial yang diduga disebabkan oleh bullying, stigmatisasi, dan isolasi sosial yang dihadapi anak. Namun, penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik ini telah menghasilkan hasil dan angka yang bervariasi
tidak memadai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar. Metode: Rancangan penelitian potong lintang digunakan pada anak usia sekolah dasar di SDN 01 Kampung Melayu. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kelompok tinggi badan
anak dengan masalah psikososial hasil skrining menggunakan kuesioner PSC-17, yang menilai tiga subskala masalah perilaku (internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian). Hasil: Prevalensi anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu mencapai 15,28%. Prevalensi anak dengan masalah psikososial adalah 18,12% dan prevalensi anak perawakan pendek dengan masalah psikososial adalah 22,73%. Hasil analisis perawakan pendek pada masalah psikososial pada anak menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistik, baik secara umum (p = 0,268), subskala internalisasi (p = 0,532), eksternalisasi (p = 0,400), perhatian (p = 0,414), dan skor total PSC-17 (p = 0,614). Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar.
Introduction: Short stature is a common growth problem in developing countries. In Indonesia, the prevalence of primary school-age children with short stature reached 23.6% in 2018. Short stature in children is associated with psychosocial problems which are thought to be caused by bullying, stigmatization, and social isolation faced by children. However, previous studies dealing with this topic have yielded varying results and figures inadequate. Therefore, this study aims to determine the relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children. Methods: A cross-sectional study design was used on elementary school-aged children at SDN 01 Kampung Melayu. The study was conducted by comparing the height group Children with psychosocial problems were screened using the PSC-17 questionnaire, which assessed three behavioral problem subscales (internalization, externalization, and attention). Results: The prevalence of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu reached 15.28%. The prevalence of children with psychosocial problems was 18.12% and the prevalence of short stature children with psychosocial problems was 22.73%. The results of the analysis of short stature on psychosocial problems in children showed a statistically insignificant relationship, both in general (p = 0.268), internalization subscale (p = 0.532), externalization (p = 0.400), attention (p = 0.414), and score total PSC-17 (p = 0.614). Conclusion: There is no significant relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Kholisah
"
Latar belakang. Penelitian di negara maju menunjukkan masalah ketidakpuasan citra tubuh (body image dissatisfaction/BID) pada remaja menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan makan dan masalah psikososial. Prevalens BID pada remaja di negara berkembang cukup tinggi, yaitu masing-masing 10-75% dan 24-90% pada remaja lelaki dan perempuan, tetapi di Indonesia belum diketahui. Tujuan. Mengetahui prevalens BID pada remaja di populasi urban, faktor risiko terjadinya BID, hubungan BID dengan kebiasaan makan, dan masalah psikososial pada remaja.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang yang dilakukan di 10 sekolah di Jakarta selama Agustus-November 2020. Penilaian data demografik, status antropometri, nilai BID, umpan balik dari orangtua, teman, follower media digital mengenai citra tubuh, stres psikologis, kebiasaan makan, dan masalah psikososial menggunakan kuesioner yang divalidasi dibagikan melalui tautan elektronik.
Hasil. Jumlah subyek pada penelitian ini ialah 327 remaja dengan prevalens BID sebanyak 47,1%. Faktor risiko untuk terjadinya BID pada remaja adalah umpan balik negatif orangtua (p=0,045, adjusted OR 1,766, IK 95% 1,012-3,080), status gizi (p<0,0001, adjusted OR 2,819, IK 95% 1,777-4,471), dan tingkat stres (p=0,004, adjusted OR 1,404, IK 95% 1,113-1,772). Tidak terbukti adanya hubungan antara BID dengan kebiasaan makan (p=0,893) atau masalah psikososial (p=0,053) pada remaja. Aspek emosi dalam masalah psikososial terbukti berhubungan dengan BID pada remaja (p=0,023).
Kesimpulan. Prevalens BID pada remaja di Jakarta cukup tinggi. Dibutuhkan suatu program intervensi untuk faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan pelajaran di sekolah mengenai citra tubuh positif dan mekanisme koping yang didukung oleh orangtua.

Background. Studies in developed countries showed that body image dissatisfaction in adolescents causes some health problems, including eating disorder and psychosocial problem. The prevalence of BID in developing countries were 10-75% and 24-90% in girl and boy teenagers respectively. Meanwhile, it is still unknown for Indonesian adolescents.
Objective. To determine the prevalence of BID problems in adolescents of Indonesian urban population, the risk factors associated with BID, and the health problems potentially caused by BID in teenager, which were unhealthy eating behaviour and psychosocial problems.
Methods. This study was an observational study with cross-sectional design, which involved 10 high-schools in Jakarta, during August to November 2020. The validated and reliable questionnaire on demographic data, anthropometric status, body dissatisfaction scale, feedback from parents, friends, digital media followers on body image, psychological stress, eating behaviour, and psychosocial problems was shared via electronic link.
Result. This research included 327 teenagers, with the prevalence of BID among them was 47.1%. The BID risk factors in adolescent were negative feedback from parent (p=0.045, adjusted OR 1.766, CI 95% 1.012-3.080), nutritional status (p<0.001, adjusted OR 2.819, CI 95% 1.777-4.471), and stress level (p=0.004, adjusted OR 1.404, CI 95% 1.113-1.772). BID in adolescents has no association to eating habits (p=0.893) or psychosocial problems (p=0.053). Meanwhile, emotional subscale as one of psychosocial problems has an association with BID in teenagers (p=0.023).
Conclusion. The prevalence of BID in adolescents in Jakarta was high. An intervention program is needed for modifiable risk factors, which can be done via lessons at school about positive body image and coping mechanism, supported by parents as well.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ristiara Shafwah Khairunnisa
"Masa remaja merupakan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Tugas perkembangan dan aspek perkembangan berkontribusi dalam keberhasilan pencapaian perkembangan psikososial remaja. Isu penting dalam mencapai identitas diri remaja salah satunya berkaitan dengan citra tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perkembangan psikososial dengan citra tubuh remaja. Peneliti menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan teknik purposive sampling didapatkan sampel penelitian sejumlah 283 remaja dari SMA Negeri 9 Kota Bogor. Penelitian ini menggunakan tiga jenis kuesioner, yaitu Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scales (MBSRQ-AS), Extended Objective Measure of Ego Identity Status II (EOM-EIS II), dan kuesioner kemampuan perkembangan remaja. Berdasarkan analisis Rank-Spearman didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara tugas perkembangan p = 0,001 (p < 0,05) dan aspek perkembangan p = 0,003 (p < 0,05) dengan citra tubuh remaja. Penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan peran institusi pendidikan dan lingkungan sosial dalam memahami pentingnya melakukan stimulasi perkembangan psikososial dan citra tubuh remaja menjadi lebih optimal.

Adolescence is the transition from childhood to adulthood. Developmental tasks and aspects of development contribute to the successful achievement of adolescent psychosocial development. One important issue in achieving adolescent self-identity is related to body image. This study aims to determine the relationship between psychosocial development and adolescent body image. Researchers used a cross-sectional research design with purposive sampling technique to obtain a research sample of 283 adolescents from SMA Negeri 9 Kota Bogor. This study used three types of questionnaires, namely Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scales (MBSRQ-AS), Extended Objective Measure of Ego Identity Status II (EOM-EIS II), and adolescent developmental ability questionnaire. Based on Rank-Spearman analysis, there was a significant relationship between developmental tasks p = 0.001 (p < 0.05) and developmental aspects p = 0.003 (p < 0.05) with adolescent body image. This study is expected to optimize the role of educational institutions and social environment in understanding the importance of stimulating psychosocial development and the body image of adolescents to be more optimal."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mario Raka Pratama
"PT X merupakan sebuah perusahaan tambang di Papua Tengah, melaporkan bahwa selama pandemi Covid-19, 57.8% pekerja mengalami burnout, 47.7% stres, dan 51.4% depresi. Divisi geoteknikal PT X, yang memiliki pekerjaan berisiko tinggi dan mobilitas tinggi, menghadapi faktor risiko gangguan psikososial yang signifikan. Penelitian tahun 2024 bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko ini dan memberikan rekomendasi untuk pengelolaan gangguan psikososial, mendukung komitmen perusahaan dalam pencegahan, perlindungan, promosi, dan dukungan kesehatan mental karyawan. Studi ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang deskriptif analitik di divisi geoteknikal PT X di Tembagapura dan Timika, Papua, dari April hingga Mei 2024. Populasi penelitian terdiri dari 644 karyawan, dengan 323 responden yang dipilih secara acak sederhana. Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner COPSOQ III dan DASS-21. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gejala depresi 12.38%, ansietas 17.96%, dan stres kerja 21.67% di antara karyawan divisi geoteknikal PT X tahun 2024, dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Faktor individu, pekerjaan, organisasional, interpersonal, dan sosial berkontribusi signifikan terhadap gejala-gejala tersebut. Perusahaan disarankan mengadopsi strategi intervensi komprehensif untuk mengelola dan mencegah gangguan psikososial di kalangan karyawan.

PT X is a mining company in Central Papua, reported that during the Covid-19 pandemic, 57.8% of its employees’ experienced burnout, 47.7% experienced stress, and 51.4% experienced depression. PT X's geotechnical division, characterized by high-risk and high-mobility roles, faces significant psychosocial risk factors. The 2024 study aimed to identify these risk factors and provide recommendations for managing psychosocial disorders, supporting the company's commitment to prevention, protection, promotion, and support for employees' mental health. This quantitative study employed a cross-sectional descriptive analytic design in PT X's geotechnical division in Tembagapura and Timika, Papua, from April to May 2024. The study population comprised 644 employees, with 323 randomly selected respondents. Data were collected using COPSOQ III and DASS-21 questionnaires. The research findings revealed a prevalence of 12.38% for depression, 17.96% for anxiety, and 21.67% for work stress among PT X's geotechnical division employees in 2024, with varying severity levels. Individual, occupational, organizational, interpersonal, and social factors significantly contributed to these symptoms. The company is advised to adopt a comprehensive intervention strategy to manage and prevent psychosocial disorders among its employees."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Maharani Kartika
"

Kehamilan remaja merupakan masalah yang global dan berisiko, baik secara fisik maupun psikososial. Jika ibu hamil mengalami masalah psikososial, memperbesar risiko terjadinya postpartum depression, serta berkaitan dengan ekspektasi menjadi ibu baru. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kondisi psikososial  dengan ekspektasi menjadi ibu baru pada ibu hamil remaja. Penelitian dilakukan menggunakan desain cross sectional dengan teknik consequtive sampling. Sampel berjumlah 107 ibu hamil remaja yang berada di Kota Bogor. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu Antenatal Psychosocial Health Assessment (ALPHA-Form) untuk mengukur kondisi psikososial dan Prenatal Maternal Expectation Scale (PMES) untuk mengukur ekspektasi menjadi ibu baru. Hasil uji univariat penelitian ini menunjukkan responden berada pada rentang usia 18-19 tahun, berada pada trimester tiga kehamilan (62,6%), berasal dari Suku Jawa (44,9%), tingkat pendidikan mayoritas SMP (75,7%), bekerja (54,2%), tingkat pendapatan keluarga sama dengan atau diatas UMR Kota Bogor (67,2%), menikah (98,1%), dan memiliki kehamilan yang diinginkan (96,3%). Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kondisi psikososial dengan ekspektasi menjadi ibu baru dengan nilai p 0,027 dan korelasi positif. Hasil penelitian ini merekomendasikan pentingnya pengkajian kondisi psikososial pada ibu hamil remaja untuk membentuk ekspektasi yang realistis setelah kelahirannya nanti.

 


Teenage pregnancy is a global and risky problem, both physically and psychosocially. If a pregnant women experienced psychosocial problems, it will increase the risk of postpartum depression, and associated with expectations of becoming a new mother. This study aims to look at the relationship between psychosocial conditions and expectations of becoming new mothers in adolescent pregnant women. The study was conducted using a cross sectional design with consequtive sampling technique. The sample is 107 pregnant women who are teenagers in the city of Bogor. The measuring instrument used in this study is the Antenatal Psychosocial Health Assessment (ALPHA-Form) to measure psychosocial conditions and the Prenatal Maternal Expectation Scale (PMES) to measure expectations of being a new mother. The results of this univariate test showed that respondents were in the age range of 18-19 years, were in the third trimester of pregnancy (62.6%), came from Javanese (44.9%), the education level was mostly junior high (75.7%), work (54.2%), the level of family income is the same as or above the UMR of Bogor City (67.2%), married (98.1%), and has a desired pregnancy (96.3%). This study revealed that there was a relationship between psychosocial conditions and expectations of being a new mother with a p value of 0.027 and a positive correlation. The results of this study recommend the importance of assessing psychosocial conditions in pregnant women in adolescence to form realistic expectations after their birth.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitha Christine
"Background: As the second most common congenital structural anomaly, CL/P may functionally disable children with regard to eating, drinking, speaking, breathing, and hearing. Psychosocial health issue is important in school-age children because by the
age of 7 years, children start to make judgments about physical attractiveness in their peers. This study aims to evaluate psychosocial problems in Indonesian cleft center school-age patients identified using CBCL/6-18 despite any surgical interventions. Methods: We conducted a cross-sectional study on patients’ parents from Bandung,
Indonesia from 2011 to 2016, have undergone CL/P associated surgeries in Bandung Cleft Center using the Bahasa Indonesia version of CBCL/6-18 questionnaire (administered orally by phone). The data was entered to the official ASEBA-Web
online calculator. We depicted the findings using descriptive statistics. Results: There were 104 patents who can be contacted from the Bandung Cleft Center surgery database from 2011 to 2016. The median age was 8 years old, 56.7% of them were male, and 73.0% of them has cleft of lip, gum, and palate. We found that the speech and appearance problem were not perceived on 36 patients (34.6%) after undergoing surgery. We found that 78,8% of the patients had below normal score in Activities scale, while 93.3% of the patient had normal score in the Social scale and 92.3% of the patient had normal score School scale. Seven patients (6.7%) scored Borderline or Clinical Range in the Problem Items section. Sixteen patients (15.4%) were noted for some of the Critical Items put in among the Problem Items checklist as a
red flag indicator. Conclusion: In this study, we found 6.7% of the school-age children population with
CL/P had psychosocial problems. As the Indonesian population is very diverse, a wider sample from all regions of Indonesia are necessary to give more complete understanding. The result of this study hopefully can shed some light in the long-term
psychosocial conditions of the CL/P children post-operatively and be a baseline for further studies and care in Indonesian cleft center

Latar Belakang: Sebagai kelainan kongenital struktural kedua paling umum, CL/P dapat menyebabkan gangguan fungsional dalam hal makan, minum, berbicara, bernapas, dan mendengar. Masalah psikososial menjadi penting pada anak usia sekolah
karena pada usia 7 tahun, anak mulai dapat melakukan penilaian daya tarik fisik pada teman sebayanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi masalah psikososial pada pasien usia sekolah di pusat sumbing Indonesia menggunakan CBCL / 6-18 setelah dilakukan intervensi bedah. Metode: Kami melakukan studi potong lintang pada orang tua pasien dari Bandung,
Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016, telah menjalani operasi terkait CL/P di Bandung Cleft Center menggunakan kuesioner CBCL / 6-18 versi Bahasa Indonesia (diberikan secara lisan melalui telepon). Data dimasukkan ke kalkulator online resmi ASEBA-Web. Kami menguraikan temuan menggunakan statistik deskriptif. Hasil: Terdapat 104 pasien yang dapat dihubungi dari database operasi Bandung Cleft
Center dari tahun 2011 sampai 2016. Median umur adalah 8 tahun, 56,7% berjenis
kelamin laki-laki, dan 73,0% diantaranya mengalami celah bibir, gusi, dan lelangit.
Kami menemukan bahwa masalah bicara dan penampilan tidak dikeluhkan pada 36
pasien (34,6%) setelah menjalani operasi. Kami menemukan bahwa 78,8% pasien memiliki skor di bawah normal pada skala Aktivitas, sedangkan 93,3% pasien memiliki skor normal pada skala Sosial dan 92,3% pasien memiliki skor normal Skala Sekolah.
Tujuh pasien (6,7%) mendapat skor borderline atau clinical range di bagian Problem Items. Enam belas pasien (15,4%) dicatat untuk beberapa Critical ITems yang dimasukkan dalam daftar periksa Problem Items sebagai indikator bendera merah. Kesimpulan: Dalam penelitian ini ditemukan 6,7% dari populasi anak usia sekolah dengan CL/P memiliki masalah psikososial. Mengingat jumlah penduduk Indonesia
yang sangat beragam maka diperlukan sampel yang lebih luas dari seluruh wilayah
Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjelaskan kondisi psikososial jangka panjang pada anak CL / P
pasca operasi dan menjadi dasar untuk studi dan perawatan lebih lanjut di pusat
sumbing di Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>