Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186845 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lailiyatul Munawaroh
"ST elevation myocardial infarction STEMI merupakan kasus infark miokardium yang paling banyak ditemukan dengan intervensi utamanya ialah primary percutaneous coronary intervention PPCI. Pasca PPCI, kualitas hidup pasien STEMI ditentukan oleh kemampuannya mengontrol faktor risiko terjadinya infark berulang. Dalam hal ini diperlukan dukungan keluarga. Karena itu peneliti ingin melihat hubungan dukungan keluarga dengan pasien STEMI pasca PPCI. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan desain cross sectional. 34 responden direkrut dalam penelitian ini.
Hasil menunjukan nilai mean dukungan keluarga ialah 64,44 dari nilai maksimal 75 dan nilai mean kualitas hidup 68,36 dari nilai maksimal 100. Hasil uji korelasi menunjukan tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup p value = 0,310, Hasil penelitian merekomendasikan perlu dilakukan penelitian serupa dengan menyeragamkan karakteristik responden dan mengontrol faktor perancu.

ST elevation myocardial infarction is the most common myocardial infarction cases. The main intervention of this case is primary percutaneous coronary intervention PPCI. After PPCI, quality of life in STEMI patienst is depend on their ability to control risk factor of reinfarction. In this condition patients need family support. Therefore, the researcher want to know about the correlation between family support and quality of life in patient after PPCI. This research is a correlation research which use cross sectional dsign. 34 respondents are recruited in this research.
The result shows that the average value of family support is 64.44 from maximumvalue 75 and the average value of quality of life is 68,36 from maximum value 100. Correlation test result shows that there is no correlation between family support and quality of life p value 0,310. This result recommend that similar research should be done with equal respondents characteristics and controlled counfounding factors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Fajarwati
"STEMI masih menjadi penyebab kasus kematian utama di Indonesia. Di Jakarta, angka kejadian STEMI meningkat setiap tahunnya. IKP primer merupakan tindakan utama untuk penanganan STEMI, namun tidak mengatasi penyebab terjadinya oklusi. Pengetahuan pencegahan sekunder diperlukan untuk mencegah terjadinya restenosis sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup setelah IKP primer.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada pasien STEMI Pasca IKP Primer. Desain penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang cross sectional. Responden terdiri dari 60 pasien STEMI pasca IKP Primer yang dipilih melalui teknik consequtive sampling. Instrumen yang digunakan Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO-Q dan Seattle Angina Questionaire-7 SAQ 7.
Hasil penelitian menunjukkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada STEMI pasca IKP primer p=0,662; =0,05. Namun, pengetahuan pencegahan sekunder penting untuk tetap diperlukan sabagai salah satu komponen yang dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien STEMI pasca IKP primer.

STEMI is one a leading cause of death cases in Indonesia. In Jakarta, the incidence of STEMI increases anually. Primary PCI is the main treatment eventhough it is not the causes of occlusion. Secondary prevention knowledge is needed to prevent the occurrence of restenosis so it can improve quality of life after primary PCI.
This research has purpose to know the relationship between knowledge level about secondary prevention and quality of life in STEMI patient after Primary PCI. This is analytic with cross sectional approach. Respondents consisted of 60 STEMI patients post Primary PCI selected through concequtive sampling technique. The instrument is the Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO Q and Seattle Angina Questionaire 7 SAQ 7.
The results showed no correlation between knowledge level and quality of life in STEMI after primary IKP p 0,662 0,05. However, secondary prevention knowledge is important to remain as one of the components that can improve quality of life in STEMI post primary IKP.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Kusuma
"Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial khususnya depresi dan kurangnya dukungan keluarga terkadang lebih berat dihadapi oleh pasien sehingga dapat menurunkan kualitas hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang dan merekrut sampel sebanyak 92 responden dengan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kualitas hidup kurang baik (63,0%), mengalami depresi (51,1%), dukungan keluarga non-supportif (55,4%), berjenis kelamin laki-laki (70,7%), berpendidikan tinggi (93,5%), bekerja (79,3%), berstatus tidak kawin (52,2%), mempunyai penghasilan tinggi (68,5%), berada pada stadium penyakit lanjut (80,4%), rata-rata usia 30,43 tahun, dan rata-rata lama mengidap penyakit 37,09 bulan. Pada analisis korelasi didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Selanjutnya, hasil uji regresi logistik menunjukkan responden yang mengalami depresi dan mempersepsikan dukungan keluarganya non-supportif beresiko untuk memiliki kualitas hidup kurang baik setelah dikontrol oleh jenis kelamin, status marital, dan stadium penyakit. Selain itu, diketahui pula bahwa dukungan keluarga merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan kualitas hidup dengan nilai OR=12,06.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan intervensi untuk memberdayakan keluarga agar dapat senantiasa memberikan dukungan pada pasien HIV/AIDS dan upaya pencegahan serta penanganan terhadap masalah depresi agar dapat memperbaiki kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

Quality of life of patients with HIV/AIDS become a main concern since this chronic and progressive illness may impact in all aspects of patient?s life: physical, psychological, social, and spiritual. Psychosocial problems especially depression and lack of family support are frequently faced of this patients which effect in reducing their quality of life. The purpose of this study was to identify and to explain the relationship between depression and family support with quality of life in patients with HIV / AIDS. This study used cross-sectional study design, with a total sample is 92 respondents that recruited by purposive sampling technique.
The results showed that the majority of respondents have poor quality of life (63.0%), depression (51.1%), lack of family support (55.4%), male (70.7% ), higher education level (93.5%), work (79.3%), unmarried (52,2%), have higher income (68.5%), in advanced stage of disease (80.4% ), with an average age of 30.43 years, and the average length of illness 37.09 months. Analysis of the correlation showed any significant relationship between depression and family support with quality of life (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Further analysis with logistic regression test demonstrated that respondents who perceive depressed and family non-supportive are at risk to have poor quality of life after being controlled by gender, marital status, and stage of disease. In addition, this analysis showed that family support is the most influential factors to the quality of life with OR=12,06.
Recommendations from this study is necessary to empower family in order to continously giving support to patients with HIV/AIDS and also needs to prevent and resolve problem of depression in order to improve quality of life of patients with HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apitri
"Seksualitas adalah kebutuhan dasar sepanjang hayat baik sehat maupun sakit Fungsi seksual yang baik menjadi indikator pencapaian kualitas hidupyang optimal. Penyakit gagal jantung mengubah fungsi seksual dan mempengaruhi kualitas hidup yang optimal. Tujuan penelitian kuantitatif ini adalah menggambarkan hubungan fungsi seksual denga kualitas hidup pasien gagal jantung. Sampel penelitian ini pasien gagal jantung di poliklinik gagal jantung Rs Jantung Harapan Kita, Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan metode consecutive sampling yang melibatkan 444 responden.
Hasil penelitian dianalisa dengan uji spearman menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara fungsi seksual dengan kualitas hidup pada pasien gagal jantung laki-laki. pada perempuan ditemukan bahwa fungsi seksual tidak memepngaruhi kualiatas hidup. Rerata fungsi seksual laki-laki 46.33 dengan standar deviasi 7,50 dalam rentang kepercayaan 95 45.42-47.23 dan rerata fungsi seksual perempuan didapat 24.66 dengan standar deviasi 2.12 dalam rentang kepercayaan 95 24.34-24.97. fungsi seksual behubungan kuat dengan domain psikologi r=0.65.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan keperawatan. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan studi kualitatif mengenai fungsi seksual dengan kualitas hidup pasien gagal jantung.

Sexuality is basic need throughout life no matter healthy or sick. Good sexual function becomes an indicator of achievement of optimal quality of life. Heart failure disease alters sexual function and affects the optimal quality of life. The purpose of this quantitative study is to describe the relationship of sexual function premises quality of life of patients with heart failure. sample of this study is patient with heart failure in heart failure clinic Rs Jantung Harapan Kita, with cross sectional Design and consecutive sampling method that involving 444 respondents.
The results were analyzed by spearman test showed a significant relationship between sexual function with quality of life in men heart failure respondents. in women respondents it was found that sexual function does not affect the quality of life. The mean male sexual function was 46.33 with a standard deviation of 7.50 in the 95 confidence range 45.42 47.23 and the mean female sexual function was 24.66 with the standard deviation of 2.12 in the 95 confidence range 24.34 24.97. sexual function is strongly associated with the psychological domain r 0.65.
This study is expected to be useful for the development in nursing science. The next research is expected to conduct a qualitative study on the sexual function with the quality of life of patients with heart failure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Escana
"ABSTRAK
Infark Miokard merupakan kasus kegawatan kardiovaskular yang dapat memperburuk kualitas hidup dan meningkatkan mortalitas. Prevalensi infark miokard lebih tinggi pada pria dibanding perempuan seusianya. Namun VIRGO study 2008-2012 menyatakan prevalensi infark miokard pada perempuan muda le; 55 tahun terus meningkat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup laki-laki dan perempuan pasca infark miokard yang menjalani intervensi koroner perkutan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dengan metode pengambilan sampel secara consecutive sampling sebanyak 126 responden. Penelitian ini menggunakan instrumen MacNew dengan hasil tidak ada perbedaan kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan pada pasien pasca infark miokard yang menjalani intervensi koroner perkutan p = 0,246. Skor kualitas hidup laki-laki lebih tinggi pada domain sosial 5,41 0,81. Skor perempuan lebih tinggi pada domain emosional 5,53 1,01 dan domain fisik 5,58 0,78. Perawat disarankan memfasilitasi pasien degan memberikan asuhan perawatan yang komprehensif mencakup domain fisik, emosional dan sosial tanpa membedakan jenis kelamin pasien sehingga tercapai kualitas hidup yang optimal.

ABSTRACT
Myocardial infarction is an emergency case of cardiovascular which could decrease quality of life and increase mortality. Myocardial Infarction prevalence on men are higher than women at the same ages. But, the VIRGO 39 s study 2008 2012 stated that prevalence of myocardial infarction on younger women le 55 years old were increasing. This study aimed identify differences of quality of life between men and women post myocardial infarction undergoing percutaneous coronary intervention. This cross sectional study with consecutive sampling method involved 126 respondent. Using MacNew Instrument and showed no difference of quality of life p 0.246. The quality of life score of men are higher on the social domain 5,41 0,81. The quality of life score of women are higher on the emotional 5,53 1,01 and physical domain 5,58 0,78. Nurses are recommended to provide a comprehensive nursing care to obtain optimum quality of life without distinguishing between men and women. "
2018
spdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew
"Pendahuluan: Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah menjadi salah satu pilihan terapi pada pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang dapat menurunkan angka kematian dengan signifikan. Sebagian pasien yang menjalani IKPP mengalami kegagalan reperfusi optimal yang disebut sebagai no-reflow phenomenon (NRP). Penilaian NRP ini dapat menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Kegagalan reperfusi juga meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE) pada pasien. Hiperaktivitas trombosit diketahui berperan pada patofisiologi terjadinya NRP. Nilai mean platelet volume (MPV) yang merupakan ukuran rerata volume dari trombosit dianggap dapat menggambarkan aktivasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nilai MPV dengan TIMI-flow dan MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan terhadap 137 subyek dengan IMA-EST yang menjalani IKPP. Pemeriksaan MPV dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan alat Sysmex XN-2000. Subyek dibagi berdasarkan kelompok dengan reperfusi sub-optimal (TIMI flow < 3) dan reperfusi optimal (TIMI flow 3). Luaran klinis berupa MACE dilakukan observasi selama minimal 90 hari pasca tindakan.
Hasil: Sebanyak 27.7% dan 28.9% pasien mengalami kegagalan reperfusi dan MACE. Tidak terdapat hubungan antara nilai MPV pada saat masuk rumah sakit dengan kegagalan reperfusi dan kejadian MACE 90 hari pada pasien IMA-EST di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Kesimpulan: Nilai MPV tidak dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan reperfusi dan kejadian MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Introduction: Primary percutaneous coronary intervention (PCI) has become one of the treatment options in patients with acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) which can significantly reduce mortality. In some patients who undergo primary PCI experience failure of optimal reperfusion called the no-reflow phenomenon (NRP). NRP assessment can use various methods, one of them using thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Failure of reperfusion also increases the incidence of major adverse cardiac events (MACE) in patients. Platelet hyperactivity is known to play a role in the pathophysiology of NRP. The mean platelet volume (MPV) which is a measure of the average volume of platelets is considered to be able to describe platelet activation. This study aims to determine the role of MPV values ​​with TIMI-flow and MACE in STEMI patients undergoing primary PCI.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 137 STEMI patients who underwent primary PCI. MPV examination is performed at hospital admission with Sysmex XN-2000. Subjects were divided into groups with sub-optimal reperfusion (TIMI flow <3) and optimal reperfusion (TIMI flow 3). Clinical outcomes in the form of MACE were observed for at least 90 days post-treatment.
Result: 27.7% and 28.9% of patients experienced failure of reperfusion and MACE, respectively. There is no relationship between the MPV value at hospital admission with failure of reperfusion and the incidence of 90-day MACE in IMA-EST patients at the Harapan Kita Heart and Vascular Hospital.
Conclusion: MPV values ​​cannot be used in predicting reperfusion failure and MACE events in STEMI patients undergoing primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinto Bono Adji Hardjosworo
"ABSTRAK
Objektif: infark miokard perioperatif merupakan salah satu komplikasi pada CABG. Prediksi untuk terjadinya komplikasi tersebut dan deteksi dini pada fase paska operasi sangat penting dilakukan untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Penelitian kaii ini dilakukan untuk mencari Faktor-faktor predisposisi terjadinya infark miokard perioperatif serta peran troponin T sebagai biomarker prediktor dan deteksi dini komplikasi tersebut.
Metoda: empat puluh enam pasien yang akan menjalani CABG saja dan untuk pertama kali secara elektif diobservasi secara prospektif. Data faktor predisposisi, faktor intraoperasi dan paska operasi pada periode perioperatif dicatat. Diagnosis infark perioperatif ditegakkan berdasarkan EKG dan nilai CK-MB. Nilai troponin T diambil pada 24 jam preoperasi, 1 dan 6 jam setelah total revaskularisasi.
Hasil : enam pasien (13%) teridentifikasi mengalami infark. perioperatif. Mortalitas terjadi pada 1 orang (2,1%) yaitu pada kelompok infark. Faktor preoperasi yang mempunyai hubungan bermakna untuk terjadinya infark adalah EuroSCORE dan angina tidak stabil. Pada fase intraoperasi, faktor yang teridentifikasi bermakna adalah konversi OPCAB ke on pump karena gangguan hernodinamik dan adanya gangguan hemodinamik signifikan preinsisi. Walaupun kurang bermakna, teknik CABG on pump memiliki prosentase infark yang lebih tinggi (19%) dibandingkan dengan teknik OPCAB (7%). Pada CABG on pump, penggunaan CPB, klem silang aorta, waktu iskemia lebih lama pada kelompok infark dan kardioplegia juga lebih sering diberikan. Morbiditas berupa penambahan lama waktu intubasi (p=0,009) dan lama penggunaan inotropik juga terjadi pada kelompok infark (61 jam) dibandingkan non infark (15 jam). Troponin T pada infark sudah berbeda secara bermakna 6 jam setelah revaskularisasi dengan nilai rerata 1 ng/ml (p=0,002). Nilai troponin T preoperatif juga sudah berbeda preoperasi antara kelompok infark dan non infark (0,01 vs 0,02 ng/ml) walaupun secara statistik kurang bermakna. Kenaikkan troponin T juga berkorelasi positif dengan lama pemakaian inatropik, lama intubasi, dan kadar CK-MB paska operasi.
Kesimpulan: infark miokard perioperatif meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada fase perioperatif. Empat faktor teridentifikasi sebagai faktor resiko. Trapanin T mampu mengidentifikasi terjadinya infark perioperatif 6 jam paska operasi dengan nilai 1 ng/ml. Terdapat kemungkinan untuk memprediksi resiko terjadinya infark perioperatif dengan pemeriksaan troponin T preaperasi apabila terjadi kenaikkan di alas 0,02 ng/ml."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>