Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tazkya Putri Amelia
"Kapal laut dapat dijadikan sebagai objek jaminan guna menjamin pelunasan suatu utang. Lembaga jaminan atas kapal laut adalah hipotik. Namun hanya kapal yang terdaftar dalam suatu register umum sajalah yang dapat dijadikan jaminan utang. Hipotik kapal laut juga dikenal di negara yang menganut sistem hukum common law, salah satu diantaranya adalah Singapura. Tesis ini membahas mengenai proses penjaminan kapal laut menurut hukum Indonesia dan Singapura serta persamaan dan perbedaan ketentuan kapal laut sebagai objek jaminan utang di Indonesia dan di Singapura. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian komparatif serta deskriptif. Selain itu dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini membahas mengenai proses penjaminan kapal laut di Indonesia dan di Singapura yang samasama terdiri dari 3 tahap yaitu tahap perjanjian kredit, tahap perjanjian pembebanan hipotik kapal laut dan tahap pendaftaran hipotik kapal laut. Selain itu terdapat persamaan dan perbedaan ketentuan hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura. Persamaan ketentuan hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura antara lain baik di Indonesia maupun di Singapura belum Undang-Undang Hipotik Kapal, hipotik kapal laut di Indonesia dan Singapura hanya dapat dibebankan atas kapal yang terdaftar, hipotik kapal laut harus didaftarkan dalam suatu register umum, kapal laut dapat dibebani lebih dari satu hipotik dan lain-lain. Sedangkan perbedaannya antara lain di singapura vessel mortgage terdiri dari 2 bentuk yaitu securing principle sum and interest dan securing current account, syarat pembebanan vessel mortgage di Singapura adalah kapal tersebut harus berusia kurang dari 17 tahun dan kapal tersebut harus berukuran minimal 1,600 Gross Tonnage dan Singapura memiliki pengadilan khusus di bidang admiral yaitu High Court (Admiral Jurisdiction).

A vessel may be made as a collateral security for loan and the instrument creating the security over the vessel is a mortgage. Only registered vessel that can be made as an object of a mortgage. Vessel mortgage also known in common law legal system countries, such as Singapore. This research is discuss about the procedural of vessel mortgage in Indonesia and Singapore and also find out the similarities and differences among two of them. This research is using a juridicalnormative method as the research method with comparative and also descriptive research typology. The method of data analysis in this research is using qualitative approach.
The result of this research showed that both in Indonesia and Singapore, the process of vessel mortgage are consist of 3 steps which are the loan agreement, the collateral agreement and the registration of the vessel mortgage. Moreover, there are similarities between the provision regarding vessel mortgage in Indonesia and Singapore which are both in Indonesia and Singapore, there is no regulation that specifically regulates vessel mortgage, only registered vessel that can be made as an object of a mortgage under Indonesia and Singapore regulation, vessel mortgage shall be recorded by the Registrar in the register and the rest will be discussed in this reseach. Whereas the differences between the provision regarding vessel mortgage in Indonesia and Singapore among others are as follow, in Singapore vessel mortgage is divided by 2 forms which are Securing Principle Sum and Interest form and Securing Current Account form, in Singapore there are requirements regarding the vessel that can be made as an object of the mortgage, such as, the vessels should be less than 17 years old and the vessel must be a minimum size of 1,600 Gross Tonnage, furthermore, Singapore has a special court in the admiral field which is High Court (Admiral Jurisdiction)."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azia Rania
"Kapal merupakan salah satu objek dari benda yang dapat dijaminkan untuk kepentingan hak Kreditur. Konsep jaminan kebendaan atas kapal laut di setiap negara dapat berbeda, karena pada dasarnya mekanisme pembebanan hingga eksekusi tergantung dari klasifikasi benda tersebut. Di Indonesia, kapal laut dibebankan dengan hipotek sebagai benda tidak bergerak, sedangkan di Amerika Serikat kapal laut diklasifikasikan sebagai personal property yang dibebankan dengan security interest. Kapal laut yang dibebankan tentunya harus terdaftar sebagai kapal laut berkebangsaan negara tersebut dan memiliki kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Skripsi ini membahas mengenai kapal laut yang merupakan objek dari jaminan utang-piutang di Indonesia dan Amerika Serikat yang tentunya memiliki proses penjaminan yang berbeda. Bentuk penelitian ini ialah doktrinal dengan mengkaji norma hukum positif diantaranya perundang-undangan, peraturan pelaksana, dan yurisprudensi dan tipologi penelitian komparatif serta deskriptif. Hasil dari penelitian ini akan membandingkan proses penjaminan dari tahap pembebanan dengan membentuk perjanjian utang-piutang, pendaftaran jaminan, penyerahan objek jaminan, hingga mekanisme eksekusi yang diatur dalam masing-masing negara.

Ship is one of the objects that can be pledged for the benefit of Creditor rights. The concept of property security over ships in each country can be different, because basically the mechanism of encumbrance to execution depends on the classification of the object. In Indonesia, ships are charged with mortgages as immovable objects, while in the United States ships are classified as personal property charged with security interest. An encumbered vessel must be registered as a vessel of that country's nationality and have certain criteria that must be met. This thesis discusses marine vessels which are the object of debt collateral in Indonesia and the United States which of course have different guarantee processes. The form of this research is doctrinal by examining positive legal norms including legislation, implementing regulations, and jurisprudence and comparative and descriptive research typology. The results of this study will compare the guarantee process from the encumbrance stage by forming a debt agreement, guarantee registration, delivery of the guarantee object, to the execution mechanism regulated in each country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylfani Lauren
"This thesis analyzes the comparative law on the inheritance of digital assets between Indonesia and Singapore, specifically focusing on bitcoin as an object of inheritance. Inheritance is a legal aspect that governs the transfer of property from a deceased person to their heirs. In the context of bitcoin and other digital assets, there are no specific regulations regarding the actions to be taken concerning digital assets in inheritance law. Using doctrinal research methods, the issues addressed in this thesis focus on the inheritance regulations in Indonesia and Singapore, and the legal regulations regarding bitcoin as an object of inheritance in both countries. This thesis finds that the inheritance of bitcoin can be carried out through the necessary documentation and a will to transfer its ownership. In practice, if the testator consciously intends to inherit the asset, they will provide access to the username and password to access their bitcoin through a will. Nevertheless, if the heirs do not know the access details for the testator's bitcoin storage, serious issues will arise concerning the inheritance of access to these assets. Additionally, the fluctuating value of bitcoin can change rapidly, adding uncertainty to the actual value of the bitcoin. To date, there are no adequate legal regulations governing the status of bitcoin and other digital assets as objects of inheritance. Therefore, specific regulations regarding the inheritance of digital assets, particularly bitcoin, are needed in Indonesia to provide legal protection for heirs.

Skripsi ini menganalisis perbandingan hukum mengenai pewarisan aset digital antara Indonesia dan Singapura, khususnya terhadap bitcoin sebagai objek harta waris. Pewarisan merupakan aspek hukum yang mengatur pemindahan harta benda dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Dalam konteks bitcoin dan aset digital lainnya, belum ada aturan khusus mengenai tindakan yang harus dilalukan terhadap aset digital dalam hukum waris. Dengan metode penelitian doktrinal, rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada pengaturan pewarisan di Indonesia dan Singapura, dan peraturan hukum aset digital bitcoin sebagai objek harta waris di Indonesia dan Singapura. Penelitian ini menemukan bahwa pewarisan bitcoin dapat dilakukan melalui dokumen persyaratan dan surat wasiat untuk mengalihkan kepemilikannya. Dalam praktiknya, jika pewaris memberikan warisan secara sadar, pewaris akan memberikan akses terhadap username dan password untuk mengakses bitcoin yang dimilikinya melalui surat wasiat. Namun, jika ahli waris tidak mengetahui akses penyimpanan bitcoin milik pewaris, maka akan timbul masalah serius terkait pewarisan akses untuk membuka aset tersebut. Selain itu, nilai bitcoin yang fluktuatif dapat berubah dengan cepat, menambah ketidakpastian mengenai nilai sesungguhnya dari bitcoin. Hingga saat ini belum ada peraturan hukum yang memadai yang mengatur keberadaan bitcoin serta aset digital lainnya sebagai objek harta waris. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan khusus mengenai pewarisan aset digital, khususnya bitcoin di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum terhadap ahli waris."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Feronika Br
"Artikel ini membahas mengenai perbandingan penerapan merek dagang UMKM sebagai objek jaminan di Indonesia dan Malaysia. Landasan penelitian ini adalah dibutuhkannya pengaturan khusus mengenai merek dagang UMKM yang dapat dijadikan sebagai objek Jaminan Fidusia di Indonesia untuk mendorong dan mengembangkan kekayaan intelektual bagi UMKM, serta memudahkan UMKM untuk mendapatkan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengaturan merek dagang UMKM sebagai objek jaminan fidusia di Indonesia saat ini, pengaturan merek dagang UMKM sebagai objek jaminan fidusia di Malaysia, dan apa saja hal-hal yang perlu diatur mengenai topik penelitian ini di Indonesia pada masa yang akan datang. Metode penelitian ini merupakan doktrinal dengan mengakaji peraturan pada kedua negara dalam penelitian ini. Penelitian ini akan membahas persamaan, perbedaan dan hal-hal yang perlu diatur di Indonesia mengenai merek dagang UMKM sebagai objek jaminan fidusia.

This article examines the comparison of the application of SME trademarks as security objects in Indonesia and Malaysia. The basis of this research is the urge for specific regulations regarding SME trademarks that can be used as fiduciary security objects in Indonesia to promote and develop intellectual property for SMEs and to facilitate SMEs in obtaining intellectual property-based financing. Accordingly, the research problems addressed in this study include the current regulation of SME trademarks as fiduciary security objects in Indonesia, the regulation of SME trademarks as fiduciary security objects in Malaysia, and the aspects that need to be regulated regarding this topic in Indonesia in the future. This research employs a doctrinal method by examining regulations in both countries. The study will discuss the similarities, differences, and aspects that need to be regulated in Indonesia concerning MSME trademarks as fiduciary security objects."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Raihan Putra Safiandi
"Skripsi ini membahas anticipatory breach sebagai bentuk wanprestasi dalam perjanjian dengan fokus pada perbandingan hukum di Indonesia, Inggris, dan Singapura. Anticipatory breach adalah pelanggaran kontrak yang terjadi sebelum kewajiban kontraktual jatuh tempo atau dilanggar secara aktual, memberikan pihak yang dirugikan hak untuk segera mengambil tindakan hukum. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yang melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta literatur hukum terkait. Di Indonesia, anticipatory breach belum diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan wanprestasi hanya dapat terjadi setelah kewajiban jatuh tempo. Sebaliknya, Singapura dan Inggris, yang menganut sistem common law, mengakui anticipatory breach sebagai prinsip hukum, memungkinkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan lebih awal. Penelitian ini menganalisis putusan pengadilan terkait di ketiga yurisdiksi untuk mengeksaminasi penerapan doktrin ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anticipatory breach telah sejak lama diterapkan di Inggris dan Singapura dan memberikan perlindungan lebih baik kepada pihak yang dirugikan dibandingkan sistem hukum Indonesia. Namun, adaptasi prinsip ini ke dalam hukum Indonesia terhambat karena keberadaan pasal 1238 jo. pasal 1243 jo. pasal 1269 KUHPerdata. Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk menerapkan doktrin anticipatory breach dalam sistem hukum Indonesia guna mendukung perkembangan penyelesaian sengketa perjanjian yang semakin modern.

This thesis examines anticipatory breach as a form of default in contracts, focusing on a comparative legal study between Indonesia, England, and Singapore. Anticipatory breach refers to a contractual violation that occurs before the contractual obligations are due or breached in actuality, granting the aggrieved party the right to take immediate legal action. This study employs a normative-juridical research method, analyzing legislation, court decisions, and relevant legal literature. In Indonesia, anticipatory breach is not explicitly regulated in the Indonesian Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata or KUHPerdata), which requires default to occur only after the obligation becomes due. In contrast, Singapore and England, which adhere to the common law system, recognize anticipatory breach as a legal principle, enabling the aggrieved party to file claims earlier. This research analyzes court decisions in the three jurisdictions to examine the application of this doctrine. The findings reveal that anticipatory breach has long been implemented in England and Singapore, offering better protection to the aggrieved parties compared to Indonesia’s legal system. However, the adaptation of this principle into Indonesian law faces challenges due to the provisions of Articles 1238, 1243, and 1269 of the Civil Code. This study provides recommendations to adopt the doctrine of anticipatory breach into the Indonesian legal system to support the evolving resolution of contractual disputes in modern times."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Karunia Putri
"Penelitian ini membahas mengenai perbandingan hukum dimana hak cipta yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia di Negara Indonesia dan Negara Singapura. Berdasarkan Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia hal ini menyadarkan kita bahwasanya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis. Dengan adanya perkembangan masyarakat global, HKI dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Dengan adanya pasal tersebut memunculkan masalah baru dimana belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, penilaian aset HKI, dan lembaga appraisal HKI di Indonesia, serta belum adanya dukungan yuridis baik dalam bentukperaturan terkait aset HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan maupun revisi mengenai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/6/PBI/2007 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum terkait agunan kredit menjadi salah satu faktor utama mengapa pihak bank belum dapat menerima HKI sebagai objek jaminan kredit perbankan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediary, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, khususnya dalam menyalurkan dana melalui pemberian kredit atau pembiayaan untuk memastikan bahwa debitur atau nasabah memiliki itikad dan kemampuan untuk membayar sesuai kesepakatan. Untuk mewujudkan konsep tersebut, Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang telah mengatur secara jelas dan pasti peraturan mengenai HKI dapat dijadikan sebagai agunan di Bank.

This research discusses the comparative law where copyright can be used as an object of fiduciary security in Indonesia and Singapore. Based on Article 16 paragraph 3 of the Copyright Law which states that copyright can be used as an object of fiduciary security, this makes us aware that Intellectual Property Rights (IPR) basically have economic value. As is development of the global community, IPR can be used as collateral to get credit banking internationally. The existence of this article raises new problems where there is no clear concept related to due diligence, IPR asset valuation, and IPR appraisal institutions in Indonesia, and there is no juridical support either in the form of regulations related to IPR assets as objects of bank credit guarantees or revisions to Bank Indonesia Regulations. (PBI) No. 9/6/PBI/2007 concerning Asset Quality Assessment of Commercial Banks related to credit collateral is one of the main factors why banks have not been able to accept HKI as objects of bank credit guarantees. In carrying out its function as an intermediary institution, Banks are required to apply the precautionary principle, particularly in channeling funds through the provision of credit or financing to ensure that the debtor or customer has the intention and ability to pay according to the agreement. To realize this concept, Indonesia needs to learn from countries that have clearly and definitely regulated IPR regulations that can be used as collateral in banks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Susanto
"Skripsi ini membahas mengenai arrest of vessel dalam Hukum Indonesia, dengan metode perbandingan hukum terhadap Hukum Belanda dan Hukum Federal Amerika Serikat. Arrest of vessel belum dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia padahal tuntutan untuk pengembangan Maritime Law dengan banyaknya kapal Indonesia (asas cabotage) dan keadaan geografi Indonesia, pengaturan arrest of vessel diperlukan, Indonesia masih membebani proses eksekusi Hipotik Kapal Laut dengan sita jaminan yang waktu dan kejelasan akan menjadi dipertanyakan. Pembanding dengan Hukum Belanda dan Hukum Federal Amerika Serikat terkait karakteristik pengaturannya yang sengaja dikronologikan sedemikian rupa oleh penulis untuk melihat hukum acara sekaligus proses pembebanan arrest of vessel.

The focus of this study is to analyze the problems of the execution process on ship's mortgage in Indonesian law with the method of comparative law to the Law of the Netherlands and the United States Federal Law. Arrest of vessel has not been known in the Legal System Indonesia whereas the demand for the development of Maritime Law with the number of Indonesian ships (of cabotage) and geographica l situation of Indonesia, setting arrest of the vessel is required, Indonesia still weighing process execution Mortgages Ships with sequestration that time and clarity becomes questionable. A comparison with Dutch law and US Federal Laws related characteristics are deliberately setting dikronologikan such a way by the authors to see the event as well as the legal arrest of vessel loading process."
2016
S62601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Steven
"ABSTRACT
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengatur bahwa hak cipta dapat dijadikan objek fidusia. Namun, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum bisa mengakomodasi penggunaan hak cipta sebagai jaminan pembayaran utang. Untuk menentukan apa saja yang dibutuhkan hukum jaminan Indonesia agar dapat mengakomodasi penggunaan hak cipta sebagai jaminan, Penulis memelajari bagaimana hukum jaminan Amerika Serikat dan Inggris mengatur hal yang sama. Penulis menemukan bahwa hukum jaminan Indonesia memiliki banyak kekurangan dibandingkan hukum jaminan Amerika Serikat dan Inggris, baik dari segi eksekusi, pendaftaran, penjaminan ulang, bentuk jaminan, peran pengadilan, luasnya objek jaminan, dan hak moral, yang menyebabkan penggunaan hak cipta sebagai jaminan sulit dilakukan di Indonesia.

ABSTRACT
Section 16 (3) of Law Number 28 Year 2014 on Copyright regulates that copyright can be used as collateral in fiduciary security. But, the regulation in Law Number 42 Year 1999 on Fiduciary Security cannot accomodate the use of copyright as collateral. To decide what Indonesian law needs to accomodate the use of copyright as collateral, The Writer learned how American and English law regulate the same matter. The Writer found out that Indonesian secured transactions law is deficient compared to American and English secured transactions law regarding enforcement/execution, filing/registration, multiple security interests, form of secured transactions, role of court, type of collaterals, and waiver of moral rights, which make the use of collateral in Indonesia difficult."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kumala Indriyani
"Penelitian atas Hak Cipta sebagai Benda Jaminan didasarkan pada Undang - Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang hak Cipta dan Undang - Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui keberadaan Hak Cipta dalam kedudukannya sebagai benda serta kemungkinannya sebagi obyek penjaminan atas hutang dalam prespektif Hukum Jaminan Indonesia.
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku? berdasarkan pasal 2 Undang - undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, sedangkan pengertian Jaminan sebagai jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Hak Cipta memenuhi seluruh unsur dan keberadaan sebagai benda, tetapi sebagai obyek penjaminan Hak Cipta memiliki kelemahan - kelemahan yaitu peralihan atas Hak Cipta yang tidak menyeluruh melainkan hanya sebagian, tidak terdapatnya nilai tetap atas Hak Cipta, serta belum adanya lembaga penjaminan yang tepat bagi Hak Cipta sebagai Jaminan.

Copyright is the exclusive right for the creator or the recipient of the right to publish or reproduce his/her creations and to give others permissions to do so without reducing any restrictions regulated by the existing laws; Article 2 of Copyright Act No. 19 of 2002. Collateral on the other hand is an asset given by debtors to creditors as a guarantee on a particular value of a loan.
The research on Copyright as an object of warranty is based on the Act No. 19 of 2002 on Copyrights and Law, as well as the Law No. 42 of 1999 on Fiduciary Guarantee. This study aims to explore the stand of Copyright in its capacity as an object as well as its potential as collateral with respect to the Indonesian Security Law.
Results of this study conclude that Copyright in fact fulfills all the elements and conditions as an object yet contains some weaknesses as collateral such as; the transfer of Copyright that is only partial instead of full, the absence of a fixed value due to the fact that the value of Copyright is determined based on mutual agreements and professional organizations, and the difficulty of executing copyright as an object of warranty due to its intangible nature.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Andien Hanifa
"Penetapan PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif memuat ketentuan mengenai skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang memberikan sarana baru bagi pelaku ekonomi kreatif untuk menjaminkan kekayaan intelektual serta mendapatkan pembiayaan. Akan tetapi, dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak diatur mengenai bentuk penjaminan merek. Namun, penetapan PP No. 20 Tahun 2022 masih sangat baru maka penulis mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait penjaminan merek sebagai objek jaminan utang untuk memperoleh pembiayaan dengan membandingkan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu PP No. 24 Tahun 2022, UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Article 9 Uniform Commercial code kemudian menganalisis kelebihan dan kekurangan serta memberikan rekomendasi terkait implementasi pengaturannya. Hasil dari penelitian oleh penulis adalah merek sebagai jaminan utang dapat dibebankan atas jaminan fidusia dan implementasi harus memerhatikan penilaian kekayaan intelektual sebagai jaminan.

The stipulation of PP No. 24 of 2022 concerning the Implementation Regulations of Law No. 24 of 2019 concerning the Creative Economy contains provisions regarding intellectual property-based financing schemes that provide new means for creative economy actors to pledge intellectual property and obtain financing. However, Law No. 20/2016 on Trademarks and Geographical Indications does not regulate the form of brand collateral. Nevertheless, the stipulation of Government Regulation No. 20 of 2022 is still very new, hence the author criticizes and analyzes the regulation related to brand collateral as an object of debt collateral to obtain financing by comparing the regulation and its application in the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials, namely PP No. 24 of 2022, Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, and Article 9 of the Uniform Commercial code then analyzes the advantages and disadvantages and provides recommendations regarding the implementation of its arrangements. The result of the research by the author is that the trademark as debt collateral can be imposed on fiduciary guarantees and the implementation must pay attention to the valuation of intellectual property as collateral."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>