Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176943 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farisa Rizky
"Pendengaran merupakan suatu proses yang kompleks dan apabila terganggu dapat berdampak terhadap menurunnya pemahaman wicara. Kesulitan dalam mendengar terutama pada tempat dengan suasana bising merupakan salah satu gangguan yang umum terjadi pada bidang THT. Proses kemampuan mendengar meliputi proses deteksi, diskriminasi, rekognisi, serta komprehensi. Pemeriksaan audiometri tutur dalam suasana yang sepi dapat menggambarkan kemampuan pemahaman atau rekognisi seseorang, namun tidak cukup untuk menggambarkan kemampuan rekognisi sehari-hari yang pada umumnya ada pada suasana bising.
Tesis ini membahas mengenai penilaian ambang wicara yang disertai bising latar yang dapat diketahui dari nilai Speech Recognition Threshold SRT 50 dan Speech Discrimination Score SDS 100 pada orang dengan ambang dengar normal usia 18-60 tahun melalui pemeriksaan audiometri tutur dalam bising. Penelitian ini adalah penelitian studi potong lintang dengan desain deskriptif analitik pada 71 percontoh yang diambil secara berurutan.
Hasil dari penelitian ini didapatkan nilai SRT 50 audiometri tutur dalam bising 67.6 dB SNR -2.4 dB SL dan nilai SDS 100 79.7 dB SNR 9.7 dB SL. Terdapat hubungan yang bermakna antara perbedaan kelompok usia terhadap seluruh hasil audiometri tutur dan audiometri tutur dalam bising. Terjadi peningkatan nilai SRT 50 dan SDS 100 yang signifikan pada kelompok usia 40-60 tahun dibandingkan kelompok usia 18-39 tahun.

Hearing is a complex process and if disturbed, it can affect decrease in speech understanding. Difficulty in hearing especially in places with noisy environment is one of the most common disorders in ENT. The process of listening ability includes the process of detection, discrimination, recognition, and comprehension. Speech audiometric examination in a quiet environment can describe the ability of a person 39 s understanding or recognition, but it is not enough to describe the ability of daily recognition that generally exist in a noisy environment.
This thesis discusses the assessment of speech threshold with background noise which can be known from the value of Speech Recognition Threshold SRT 50 and Speech Discrimination Score SDS 100 in people with normal hearing threshold age 18 60 years old through speech in noise audiometric examination. This study is a cross sectional study with descriptive analytic design on 71 samples taken sequentially.
The results of this study obtained SRT 50 speech in noise audiometric was 67.6 dB SNR 2.4 dB SL and SDS 100 was 79.7 dB SNR 9.7 dB SL. There was a significant correlation between age group differences with all results of speech audiometry and speech in noise audiometry examination. The values of SRT 50 and SDS 100 were significantly increased in the 40 60 years old group compared to the 18 39 years old group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nieza Femini Rissa
"Latar Belakang: Pada lansia, gangguan fungsi pendengaran ditandai dengan berkurangnya sensitivitas pendengaran dan pemahaman tutur pada suasana bising. Hal tersebut akibat gangguan pada penerimaan informasi akustik dan kemampuan melokalisir sumber suara pada proses pendengaran sentral.
Tujuan: Mengetahui nilai rerata ambang dengar, Speech Reception Threshold(SRT), Speech Discrimination Score(SDS), signal-to-noise ratio(SNR) dari audiometri nada murni, audiometri tutur, tutur dalam bising dan korelasinya, serta pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan sisi telinga.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, melibatkan 40 percontoh lansia di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri tutur dan tutur dalam bising.
Hasil: Didapatkan nilai rerata ambang dengar sebesar 30,7±9,4dB, SRT50%33,2±12,0dB, SDS100%62,1±13,8dB pada audiometri tutur, SRT50%68,6±2,9dB, dan SDS100%83,7±6,6dB pada tutur dalam bising. Median SNRSRT50% -2,0dBSL(-7–14dBSL) dan SNRSDS100% 15,0(0–30dBSL). Terdapat korelasi sedang dan bermakna antara SRT50%(r=0,67) dan SDS100%(r=0,59) dengan audiometri nada murni(p<0,05). Selain itu, korelasi lemah(r=0,3) namun bermakna pada SRT50% dalam bising dengan audiometri nada murni (p<0,05). Didapatkan perbedaan bermakna pada SDS100% dan SNRSDS100% antar kelompok usia 60-69 dan 70-80 tahun(p<0,05).
Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri nada murni, tutur dan tutur dalam bising sebaiknya menjadi pemeriksaan rutin pada lanjut usia, terutama yang mengalami gangguan pendengaran.

Background: In elderly, hearing impairment is characterized by reduced hearing sensitivity and speech recognition in noisy situations. 
Objectives: To determine the hearing threshold, SRT, SDS, and SNR from pure tone, speech and speech-in-noise audiometry and their respective correlation, also the influences of age, gender and ear side factors. 
Methods: A cross-sectional study involving 40 elderly samples in RSCM. Forty samples to meet the inclusion criteria were examined with speech audiometry and speech-in-noise audiometry. 
Results:  The mean hearing threshold is 30.7±9.4dB, SRT50% 33.2±12.0dB, SDS100% 62.1±13.8dB in speech audiometry and the SRT50% 68.6±2.9dB, and SDS100% 83.7±6.6dB in speech-in noise audiometry examination,. The median SNRSRT 50% in noise -2.0dBSL (-7 - 14dBSL) and SNRSDS100% in noise 15.0 (0-30 dB SL). There was moderate correlation between SRT50% (r=0.67) and SDS100% (r=0.59) with pure tone audiometry (p<0.05). In addition, a weak (r=0.3) but significant correlation was found at SRT50% in noise with pure tone audiometry (p<0.05). There were significant differences in SDS and SNRSDS in noise based on the age group (p<0.05). 
Conclusion: Examination of pure tone, speech and speech-in-noise audiometry should be a routine examination for the elderly, especially those with hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sevi Aristya Sudarwin
"Vestibulo Ocular Reflex VOR merupakan salah satu refleks keseimbangan vestibuler perifer yang berfungsi menjaga stabilitas visual saat bergerak sehingga VOR dapat menggambarkan keadaan vestibular perifer pada seseorang. Video Head Impulse Test VHIT merupakan pemeriksaan fungsi keseimbangan yang menilai fungsi VOR sehingga dapat menilai fungsi vestibuler perifer. Rentang nilai VOR yang dijadikan acuan pada pemeriksaan VHIT saat ini merupakan hasil penelitian di luar negeri, belum ada nilai VOR berdasarkan pengukuran di dalam negeri yang dapat dijadikan acuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pemeriksaan VHIT dan nilai VOR gain pada orang dewasa tanpa gangguan keseimbangan. Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan desain deskriptif pada 65 percontoh yang diambil secara konsekutif.
Hasil penelitian ini didapatkan tidak terdapat perbedaan bermakna rerata VOR gain berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia 18 60 tahun. Rerata VOR gain lateral sebesar 1,11 dengan standar deviasi 13,5 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 1,08 1,14. Rerata VOR gain anterior sebesar 1,11 dengan standar deviasi 0,28 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 1,05 1,15. Rerata VOR gain posterior sebesar 1,01 dengan standar deviasi 0,26 dan indeks kepercayaan 95 berkisar antara 0,97 1,06. Pemeriksaan VHIT dapat melengkapi pemeriksaan keseimbangan yang sudah ada sehingga tatalaksana gangguan keseimbangan menjadi lebih baik.

Vestibulo Ocular Reflex VOR is one of the peripheral vestibular balance reflexes that serves to maintain visual stability while moving with the result VOR can describe the state of a peripheral vestibular system in a person. The Video Head Impulse Test VHIT is an examination of the balance function that assesses the function of the VOR in order to assess peripheral vestibular function. The range of VOR scores referenced that used in the current VHIT examination is the result of research abroad, there is no VOR value based on the domestic measurements that can be used as reference for VHIT examination. This study aims to determine the VHIT overview and know the value of VOR gain in adults without disturbance of balance. This study is a cross sectional study with descriptive design on 65 samples taken consecutively.
The result of this study were there was no significant differences of average VOR gain between age and sex group. Average of lateral VOR gain was 1.11 with the standard deviation of 13.5 and the 95 confidence interval ranged from 1.08 to 1.14. The average of anterior VOR gain was 1.11 with the standard deviation of 0.28 and the 95 confidence interval ranged from 1.05 to 1.15. The average of posterior VOR gain is 1.01 with the standard deviation of 0.26 and the 95 confidence interval ranges from 0.97 to 1.06. VHIT examination complement the existing balance test so that the management of balance disorder is better.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risdawati
"Tuli mendadak merupakan kedaruratan dibidang audiologi yang perlu penatalaksanaan segera. Konsensus terapi tuli mendadak tahun 2010 di Madrid-Spanyol dan systematic review yang dilakukan Cochrane tahun 2009 menetapkan steroid sebagai terapi utama. Pasien yang mengalami kesembuhan memperlihatkan peningkatan nilai emisi otoakustik selama terapi. Perbaikan emisi terjadi lebih awal dibandingkan perbaikan ambang dengar.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil terapi metil prednisolon dosis terbaru pada tuli mendadak dengan pemeriksaan DPOAE dan audiometri nada murni dengan desain pre-eksperimental bersifat analitik pre-post terapi. Pemeriksaan audiometri nada murni dan DPOAE dilakukan sebelum dan sesudah terapi hari ke-15 pada 22 subjek penelitian.
Pada penelitian ini didapatkan perubahan bermakna nilai audiometri di semua frekuensi yang diteliti, perubahan bermakna nilai DPOAE di frekuensi 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz dan hubungan bermakna perubahan SNR pada DPOAE dengan tingkat perubahan ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz dan 10000 Hz. Penelitian ini mendapatkan perubahan yang bermakna nilai audiometri nada murni sebelum dan sesudah terapi pada semua frekuensi yang diteliti dengan menggunakan dosis terbaru metil prednisolon. Oleh karena itu dosis ini dapat diaplikasikan untuk terapi tuli mendadak.

Sudden deafness is an emergency case in audiology that need immediate treatment. Consensus 2010 in Madrid-Spain and Cochrane systematic review in 2009, stated steroid as drugs of choice in sudden deafness therapy. Patient that has been recovered from sudden deafness has increasing otoacoustic emission during treatment. The emission improvement begins earlier than the improvement of the hearing level.
The aim of research is to evaluate new dose of methylprednisolon therapy in sudden deafness by using DPOAE and pure tone audiometry with pre-experimental analytical design pre-post treatment. Pure tone audiometry and DPOAE evaluation before therapy and day 15th after therapy on 22 subjects.
This reseach found that there are changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies, there is also changes in DPOAE for 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz frequencies and a significant difference between changes in DPOAE with changes in hearing threshold level for 8000 Hz and 10000 Hz. This research found changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies by using new dose of methylprednisolone. There fore, this new dose could be applied for sudden deafness therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher.
Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa.
Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p

Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available.
Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients.
Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer.
Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Indriaty
"ABSTRAK
Diagnosis gangguan penghidu memerlukan pemeriksaan yang akurat. Saat ini Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan Sniffin? Sticks sebagai pemeriksaan rutin. Uji penghidu intravena (UPI) merupakan pemeriksaan penghidu sederhana yang dapat melengkapi pemeriksaan Sniffin? Sticks dalam menilai jalur retronasal dan prognosis. Tujuan: Mengetahui sebaran nilai normal ambang penghidu berdasarkan UPI pada subjek dewasa tanpa gangguan penghidu. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Terpadu THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari-Februari 2016 dengan melibatkan 55 subjek normosmia. Hasil: Rerata (± simpang baku) nilai normal ambang berdasarkan UPI adalah 16,29 ± 5,52 detik dengan persentil 5 pada 9,46 detik dan persentil 90 pada 22,99 detik. Tidak terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan ambang penghidu berdasarkan UPI dengan ambang penghidu maupun skor total pemeriksaan Sniffin? Sticks. Kesimpulan: Uji penghidu intravena dapat diaplikasikan dalam evaluasi fungsi penghidu sebagai pelengkap Sniffin? Sticks.

ABSTRACT
Background: The diagnosis of olfactory loss needs accurate examinations. At this moment, Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery (ORL-HNS) has used Sniffin? Sticks as a routine examination. Intravenous olfaction test (IOT) is a simple examination to complement the Sniffin? Sticks examination( due to its ability to evaluate retronasal pathway and prognosis. Objective: To investigate the normative value of olfactory threshold using the IOT in adult subjects without olfactory loss. Method: This research is a cross sectional, descriptive study took place at ORL-HNS Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital included 55 normosmia subjects in January-February 2016. Results: Normative value of olfactory threshold using IOT was 16,29 ± 5,52 seconds (mean ± standard deviation) with the 5th percentile on 9,46 seconds and 90th percentile on 22,99 seconds. There was no correlation between the olfactory threshold results based on IOT with the olfactory threshold or the overall score of Sniffin? Sticks. Conclusion: Intravenous olfactory test is applicable for the evaluation of olfactory function, complementing the Sniffin? Sticks examination."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta

ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA.
Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel.

Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed.
Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients.
Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karisma Prameswari
"ABSTRAK
Latar Belakang Papiloma inverted (PI) merupakan papiloma yang berasal dari
traktus sinonasal yang dilapisi oleh epitel Schneiderian, yang secara ektodermal
berasal dari mukosa respiratorius. Tumor jinak ini memiliki karakter yang bersifat
agresif secara lokal, memiliki angka rekurensi tinggi dan kemampuan untuk
bertransformasi ke arah keganasan. Karakteristik biomolekuler dari tumor PI
belum banyak diteliti. Perkembangan PI diduga berasal dari ketidakseimbangan
antara peningkatan proliferasi sel epitel yang berlebihan dan peningkatan
apoptosis yang tidak bermakna. Tujuan Mengetahui gambaran karakteristik
biomolekuler tumor PI berdasarkan ekspresi HSP 70, HSF-1, NF-kappa-B dan
Bcl-2. Metode Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi potong lintang
untuk mencari gambaran ekspresi HSP 70, HSF-1, NF-kappa-B dan Bcl-2 pada
epitel dan stroma jaringan tumor PI melalui pemeriksaan imunohistokimia. Hasil
Terdapat korelasi yang bermakna antara HSF-1 epitel dan Bcl-2 epitel dengan p =
0,022 (p<0,05) dan r = 0,709. Hasil korelasi yang bermakna juga didapatkan
antara HSF-1 stroma dan HSP 70 stroma dengan p = 0,024 (p<0,05) dan r =
0,699. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai ekspresi NF-kappa-B pada
epitel dan stroma dengan adanya transformasi keganasan (p<0,05). Kesimpulan
Terdapat peran dari HSP 70, HSF-1 dan Bcl-2 dalam perkembangan tumor PI
secara umum. Proses transformasi keganasan berkaitan erat dengan ekspresi NFkappa-
B. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan titik potong nilai
ekspresi NF-kappa-B sebagai prediktor transformasi keganasan pada tumor PI.

ABSTRACT
Background Inverted papilloma (IP) is a papiloma that is lined by the
Schneiderian epithelials, derived ectodermally from the respiratory mucosa. This
benign neoplasm has a characteristic of local aggresiveness, high recurrence rate
and possibility of malignant transformation. Biomolecular characteristics have
not been studied extensively. Development of IP is thought to arise due to the
imbalance between excessive cell proliferation and insignificant apoptosis.
Objective To describe the expressions of HSP 70, HSF-1, NF-kappa-B and Bcl-2
in IP. Methods This research is a cross-sectional study to describe the
expressions of HSP 70, HSF-1, NF-kappa-B and Bcl-2 in epithelial and stromal
IP using immunohistochemistry. Results There is a strong positive correlation
between epithelial HSF-1 with epithelial Bcl-2 with p=0,022 (p<0,05) and
r=0,709. There is also a strong positive correlation between stromal HSF-1 and
stromal HSP 70 with p=0,024 (p<0,05) and r=0,699. There is a relationship
between epithelial and stromal NF-kappa-B expression with signs of malignancy
transformation (p<0,05). Conclusion There is a role of HSP 70, HSF-1 and Bcl-
2 in the development of IP. There is a close relationship between malignant
transformation and the expression of NF-kappa-B. Further research is needed to
determine the cut-off point for NF-kappa-B expression to predict malignant
transformation in IP"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Muhammad Syafi`i
"Latar Belakang
Keterlambatan wicara adalah kondisi ketika seorang anak belum dapat mencapai batas kemampuan bicara yang ideal sesuai dengan anak normal seusianya. Salah satu penyebab keterlambatan wicara adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat diintervensi dengan tepat apabila pemeriksaan tidak terlambat. Baku emas pemeriksaan pendengaran pada anak oleh Joint Committee on Infant Hearing adalah Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Namun, BERA memiliki nilai standar yang berbeda pada setiap institusi, sehingga diperlukan nilai standar nilai BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di Poliklinik THT RSCM
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif numerik dengan model penelitian cross- sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 2-3 tahun dengan keterlambatan wicara yang melakukan pemeriksaan BERA dengan hasil fungsi pendengaran perifer normal untuk dicari rerata hasil pemeriksaan BERA pada 2018-2023.
Hasil
Dari 133 sampel yang dikumpulkan, didapatkan nilai normal masa laten absolut gelombang V BERA click dengan intensitas 20 dB pada anak dengan keterlambatan wicara adalah 7,30±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,29±0,41 ms pada telinga kiri. Terdapat perbedaan hasil pada laki-laki dan perempuan, dengan rerata nilai gelombang V BERA pada anak laki-laki sebesar 7,37±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,38±0,39 ms pada telinga kiri, sedangkan pada anak perempuan sebesar 7,16±0,38 ms pada telinga kanan dan 7,13±0,42 ms pada telinga kiri.
Kesimpulan
Terjadi pemanjangan hasil nilai normal gelombang V BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di poliklinik THT RSCM. Terdapat perbedaan yang bermakna pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan nilai rerata nilai normal gelombang V BERA anak laki-laki lebih panjang dibanding pada anak perempuan.

Introduction
Delayed speech is condition when a child can’t reach the milestones for their age. Hearing loss is one reason speech delay occurs. Hearing loss could intervened appropriately if diagnosed correctly. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) is the gold standard for child hearing tests, according to the Joint Committee on Infant Hearing. However, BERA standard values is vary in each institution, so it’s need a standard BERA value in children with speech delays at the ENT Polyclinic of RSCM
Method
This study is a descriptive numerical study with a cross-sectional model. Children aged 2-3 years with delayed speech who underwent BERA examinations with normal hearing function as the subject to find the average wave V BERA results in 2018-2023.
Results
From 133 samples collected, the average value of wave V BERA click with intensity 20 dB in children with delayed speech was 7.30±0.41 ms in right ear and 7.29±0.41 ms in left ear. There were differences in the results in boys and girls, with the average value of wave V BERA in boys being 7.37±0.41 ms in right ear and 7.38±0.39 ms in left ear, while in girls it was 7.16±0.38 ms in right ear and 7.13±0.42 ms in left ear.
Conclusion
The results of the normal value of wave V BERA in children with speech delay at ENT clinic of RSCM is prolonged compared to normative value. There is a significant difference in boys compared to girls, with prolonged average value of wave V BERA in boys than girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>