Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ucip Sucipto
"ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan
penyebab yang kompleks. Pengobatan KNF mempunyai bebera pa metode
pengobatan salah satu diantaranya adalah dengan kemoradiasi. Kemoradiasi
merupakan pemberian kemoterapi yang diberikan secara besama-sama dengan
radioterapi. Tujuan penelitian ini untuk menggali pengalaman pasien KNF setelah
menjalani kemoradiasi. Metode penelitian dengan desaian kualitatif pendekatan
studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan sebelas partisipan. Pengambilan
data mengguakan wawancara mendalam, analisis data menggunakan Colaizzi.
Tiga tema teridentifikasi pada penelitian ini yaitu xerostomia adalah keluhan fisik
utama partisipan, penurunan interaksi sosial, dan adanya support system yang
adekuat dari keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifik.asi
secara dini gejala xerostomia akibat efek samping kemoradiasi sehingga pasien
dapat beradaptasi dengan respon yang adaptif.

ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer is a tumor of the head and neck with a complex cause.
treatment has several methods of treatment one of them is by chemoradiation.
Chemoradiation is a given of chemotherapy given jointly with radiotherapy. The
purpose of this study was to explore the experience of head and neck patients
who has underwentchemoradiation. Research method with qualitative design of
phenomenology study approach. The study involved eleven participants. Data
collection use in-depth interviews, data analysis using Colaizzi. Three themes
identified in this study are xerostomia arc the main physical complaints of
participants, decreased social interaction, and adequate support system from the
family. The results of this study are expected to identify early symptoms of
xerostomia due to the side effects of chernoradiation so that patients can adapt to
adaptive responses."
2017
T48300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Edwina Djuanda
"Latar belakang: Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang dapat menyebabkan malnutrisi. Radioterapi dan kemoterapi merupakan bagian dari terapi yang dapat menimbulkan berbagai efek samping yang dapat mempengaruhi status gizi. Tujuan dari tata laksana nutrisi adalah meminimalkan penurunan massa tubuh, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Tata laksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik, konseling dan edukasi.
Metode: Pasien serial kasus ini berjumlah empat orang dan berusia antara 38?69 tahun. Keempat pasien menjalankan terapi kemoradiasi. Hasil skrining pasien menggunakan malnutrition screening tools (MST) adalah SOH2. Kebutuhan energi total pasien dihitung menggunakan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stress sebesar 1,5. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, massa lemak, massa otot, kapasitas fungsional, pemeriksaan kekuatan genggam tangan, analisis asupan, dan laboratorium. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara teratur untuk memantau pencapaian target nutrisi.
Hasil: Dukungan nutrisi pada keempat pasien dapat meningkatkan asupan, meminimalkan penurunan massa tubuh dan kapasitas fungsional pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi yang diberikan pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi dapat meminimalkan penurunan status gizi dan kapasitas fungsional pasien. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Wibisono
"

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu tipe dari kanker leher dan kepala yang berasal dari sel skuamosa permukaan dinding nasofaring lateral. Penggunaan obat kemoterapi yang lazim digunakan dalam pengobatan KNF adalah Cisplatin, docetaxel, dan Fluorouracil (5-FU). Stomatitis seringkali terjadi pada pasien yang menjalani kemoterapi dengan regimen dasar obat kemoterapi Fluorouracil atau 5FU. Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini bertujuan untuk menjabarkan hasil analisis asuhan keperawatan pencegahan stomatitis dengan metode pemberian Cryotherapy menggunakan ice chips NaCl 0,9% yang dikulum di mulut pasien 2-3 kali perhari selama pemberian obat kemoterapi 5FU. Sebagai kesimpulan, selama pemberian kemoterapi sampai dengan akhir hari rawat, klien tidak menunjukkan tanda-tanda stomatitis. Pemantauan stomatitis diharapkan dapat terus dilakukan selama perawatan dirumah, dikarenakan risiko terjadinya stomatitis masih mungkin terjadi selama perawatan dirumah


Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a type of cancer of the neck and head originating from squamous cell surfaces of the lateral nasopharyngeal wall. The use of chemotherapy drugs commonly used in the treatment of NPC are Cisplatin, Docetaxel, and Fluorouracil (5-FU). Stomatitis often occurs in patients undergoing chemotherapy with a basic regimen of the drug Fluorouracil or 5FU chemotherapy. This final papers aims to describe the results of the analysis of Cryotherapy Interventions to Prevent Stomatitis using NaCl 0.9% ice chips which are chopped in the patients mouth 2-3 times per day during the administration of the 5FU chemotherapy drug. In conclusion, during the administration of chemotherapy until the end of the day of admission, the client shows no signs of stomatitis. Stomatitis monitoring is expected to continue during home treatment, because the risk of stomatitis is still possible during home treatment

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Fathima
"ABSTRAK
Latar Belakang : Di Indonesia, Kanker Nasofaring (KNF) merupakan insiden terbanyak ke lima yang mencapai 5.2% dari seluruh kasus kanker, dan merupakan kanker terbanyak ke tiga pada laki-laki serta penyebab kematian ke tujuh akibat kanker. Tatalaksana kanker menjadi semakin kompleks sehingga meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan pada penanganan kanker, dan kanker nasofaring (KNF) adalah salah satu diantaranya. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterlambatan penatalaksanaan kanker dan mengetahui peran dan hubungan case manager terhadap keterlambatan diagnosis dan terapi pada pasien KNF. Metode : Penelitian potong lintang retrospektif terhadap 110 pasien kanker nasofaring yang dirujuk ke RSCM periode Juli 2018-Maret 2019, dilihat karakteristik pasien, peran case manager terhadap faktor keterlambatan diagnosis dan terapi yang didapat. Analisis univariat, bivariate, chi square, kolmogorov smirnov dan kaplan Meier dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil : Didapatkan 64,6% pasien adalah laki-laki, rerata usia 44 (12-66) tahun, rujukan internal RSCM 83,3% dengan perujuk 90% dari Departemen THT-KL. Sebagian besar pasien datang dengan stadium IV A (64,6%) dengan domisili terbanyak dari luar DKI Jakarta (81,3%). Secara umum didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok tanpa pendampingan case manager lebih banyak mengalami keterlambatan diagnosis dibandingkan pada kelompok yang dengan pendampingan case manager (73,3% versus 24,2%; P = 0,001). Demikian pula pada keterlambatan tindakan pengobatan atau terapi (86,7% versus 54,5%; P = 0,031), namun tidak berbeda signifikan pada waktu tunggu keseluruhan pelayanan pasien, walaupun secara proporsi tetap lebih tinggi waktu tunggu pelayanan pasien pada yang tanpa pendampingan case manager (60% versus 54,5%; P = 0,724). Untuk faktor yang mempengaruhi keterlambatan tatalaksana kanker lainnya didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, tingkat pendidikan dan tempat tinggal terhadap keterlambatan waktu diagnosis ataupun terapi. Kesimpulan : Case manager terbukti dapat mengoptimalkan pelayanan kesehatan sehingga dapat memperbaiki waktu tatalaksana pada pasien kanker Nasofaring di RSCM.

Background: In Indonesia, Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the fifth highest incidence which reaches 5.2% of all cancer cases, and is the third most cancer in men after lung cancer and liver cancer and the seventh cause of cancer death. The management of cancer became more complex which increasing the risk of delays in cancer treatment, and nasopharyngeal cancer (NPC) is one of them. This study was conducted to identified the delay factors in cancer management and to determine the role and relation of case manager on factors from diagnosis delay and treatment delay for NPC patients. Methods: A retrospective cross sectional study of 110 nasopharyngeal cancer patients reffered to Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) for the period of July 2018-March 2019, analyzed the characteristics of patients and the role of case managers on the factors of diagnosis and treatment delay obtained. Bivariate, univariate, chi square, kolmogorov smirnov and kaplan Meier analyzes were performed on patients who met the inclusion criteria. Results: Obtained 67.1% of patients were men, mean age of patients 44 (12-66) years old, RSCM internal majority of patients came with stage IV A (64.6%) and staying mostly outside from DKI Jakarta area (81.3%). In general, there were significant differences in the group without case manager had a higher delay in diagnosis than in the group with the case manager (73.3% versus 24.2%; P = 0.001). Same as in treatment delay (86.7% versus 54.5%; P = 0.031), but not significantly different in awaiting time overall patient care, however in a proportion, the waiting time for patient care was higher in group without case manager (60% versus 54.5%; P = 0.724). For the other factors that influence the delay treatment of cancers showed, there is no relations which related to age, education level and place of residence to delay the time of diagnosis or treatment. Conclusion: Case manager are proven to optimize health services that can improve management time and decrease treatment delay in Nasopharyngeal cancer patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Suryakusuma
"ABSTRAK
Latar Belakang. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan jenis tumor kepala dan leher yang paling sering ditemukan, dan angka kejadiannya di Indonesia sendiri terbilang cukup tinggi. Paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI merupakan defisit neurologi yang sering dijumpai pada pasien KNF dan merupakan salah satu penanda infiltrasi intrakranial. Pemeriksaan neurologi klinis terhadap saraf kranial merupakan salah satu prosedur evaluasi pasien KNF pasca terapi standar. Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain pra-pasca. Subjek penelitian adalah semua pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI yang telah menjalani radioterapi lengkap di Departemen Radioterapi RSUPNCM antara 2 bulan – 6 bulan sebelumnya. Dilakukan wawancara, pengisian kuesioner serta pemeriksaan neuro-oftalmologi klinis. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0. Hasil. Diperoleh 32 subjek pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI. Terapi standar KNF di RSUPNCM memberikan perbaikan pada paresis saraf kranial sebagai berikut: perbaikan paresis saraf kranial III sebesar 86% (membaik komplit 57%, membaik parsial 29%), perbaikan paresis saraf kranial IV sebesar 100%, perbaikan lesi saraf kranial V(1,2,3) sebesar 57% (membaik komplit 36%, membaik parsial 21%), dan perbaikan paresis saraf kranial VI sebesar 43%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara perbaikan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI dengan faktor terkait penderita (usia dan jenis kelamin), faktor terkait penyakit (respons massa tumor KNF pasca radioterapi, durasi paresis saraf kranial, derajat keterlibatan saraf kranial dan subtipe histologi WHO), maupun dengan faktor terkait tatalaksana (teknik radioterapi dan pendekatan kemoterapi). Kesimpulan. Perbaikan paresis saraf kranial pasca radioterapi dapat dinilai secara objektif dengan pemeriksaan neurologi klinis sehingga perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan neurologi klinis pra maupun pasca terapi sebagai salah satu standar evaluasi pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

ABSTRACT
Background. Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the most prevalent head and neck cancer, and its incidence in Indonesia is quite high. Third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies are often found in NPC patients and signify intracranial infiltration. Clinical neurological examination for cranial nerves is one method of evaluating NPC patients after they receive standard management. Methods. This is an observational study with a pre-post design. The subject of this study were all NPC patients with third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies who receive full radiotherapy regimen at the Department of Neurology, Cipto Mangunkusumo National Hospital 2-6 months prior to evaluation. Patients were then interviewed, asked to fill in questionnaires and went through clinical neuro-ophthalmological evaluation. Data was analyzed using SPSS 17.0. Results. There were 32 NPC patients included in this study. Standard management at Cipto Mangunkusumo National Hospital improve the outcome of third cranial nerve palsy in 86% of subjects (57% complete recovery, 29% partial recovery), 100% improvement of the fourth cranial nerve palsy, 86% improvement of the fifth cranial nerve palsy (36% complete recovery, 21% partial recovery), and 43% improvement of the sixth cranial nerve palsy. However, there were no statistically significant correlations between the improvement of the cranial nerves with patients related factors (age and sex), with disease related factors (NPC primary tumor response to radiotherapy, duration of cranial nerves palsy, degree of cranial nerves involvement and WHO histological subtypes), or with treatment related factors (radiotherapy techniques and chemotherapy approaches). Conclusion. The recovery of cranial nerve palsy after radiotherapy could be objectively evaluated with clinical neurological examination. Therefore, clinical neurological examination should be viewed as the standard evaluation for NPC patients pre as well as post therapy."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Gatot Dwiyono
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang sering di Indonesia. Molekul terkait imun yang banyak diteliti adalah Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil PD-L1 dari spesimen KNF di Indonesia.
Metode: Spesimen biopsi massa nasofaring diambil untuk pemeriksaan konsentrasi protein PD-L1 dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pada spesimen yang terbukti secara histologis KNF dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) untuk mengetahui ekspresi PD-L1.
Hasil: Lima puluh empat spesimen biopsi nasofaring diperoleh. Tiga puluh lima dari 54 spesimen dikonfirmasi secara histologis KNF yang tidak berdiferensiasi dengan usia rerata 51 tahun. Selebihnya, 19 spesimen lainnya secara histologis bukan KNF dengan usia rerata 37 tahun. Pada pemeriksaan ELISA, median konsentrasi PD-L1 dari spesimen KNF adalah 2100,73 ± 3689,52 pg/mg protein, dan spesimen bukan KNF adalah 1010,88 ± 1082,37 pg/mg protein. Pada pemeriksaan IHK 30 sampel KNF untuk pemeriksaan ekspresi PD-L1, semuanya mengekspresikan PD-L1 positif, dengan rincian; skor 1 sebanyak 7%, skor 2 sebanyak 30%, dan skor 3 sebanyak 63%.
Kesimpulan: Protein PD-L1 dari spesimen KNF dengan pemeriksaan ELISA signifikan meningkat dibandingkan dengan bukan KNF. Semua spesimen KNF dengan pemeriksaan IHK mengeskspresikan PD-L1 positif dengan mayoritas skor 3.

Background: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a common malignancy in Indonesia. Immune-related molecules that have been studied are Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). This study aims to determine the profile of PD-L1 from NPC specimens in Indonesia.
Method: A nasopharyngeal biopsy specimen was taken to examine the concentration of PD-L1 protein by the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Immunohistochemistry (IHC) examinations were conducted to determine the PD-L1 expression.
Results: Fifty-four nasopharyngeal biopsy specimens were obtained. Thirty-five of 54 specimens were confirmed histologically for undifferentiated NPC with an average age of 51 years. The rest, 19 other specimens are histologically non NPC with an average age of 37 years. On ELISA examination, the median PD-L1 concentration of the NPC specimen was 2100.73 ± 3689.52 pg/mg protein, and the non-KNF specimen was 1010.88 ± 1082.37 pg/mg protein. At the IHC examination of 30 NPC samples for PD-L1 expression examination, all of them expressed PD-L1 positive, with details; score 1 is 7%, score 2 is 30%, and score 3 is 63%.
Conclusion: PD-L1 protein from NPC specimens by ELISA examination was significantly increased compared to non-NPC. All NPC specimens with IHC examination expressed PD-L1 positive with a majority score of 3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Haryoga
"Latar Belakang: Skrining awal dengan pemeriksaan viral load EBV plasma belum menjadi pemeriksaan rutin pada kanker nasofaring. Penelitian ini dikhususkan meneliti peran viral load EBV plasma pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini akan menjadi studi pilot di bidang viral load EBV plasma pada kanker nasofaring, khususnya di Indonesia.
Metode: Desain penelitian ini adalah Study Ekploratif, mengeksplorasi hubungan antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan pada kanker nasofaring stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Besar sample diambil berdasarkan rule of thumb, diperkirakan 15 sampel memberikan gambaran yang cukup memadai, mempertimbangkan biaya dan waktu penelitian. Untuk pemeriksaan viral load EBV plasma maupun jaringan tumor dilakukan dengan metode Real Time PCR dengan Kit dan alat PCR milik perusahaan QIAGEN®.
Hasil: Ditemukan korelasi lemah-sedang (R= 48,3%) antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan, dengan nilai p = 0,003 yang menyatakan bahwa korelasi ini dapat dipercaya. Tidak ada korelasi antara konsentrasi PD-L1 ELISA, IFN gamma, Limfosit, Neutrofil, maupun Leukosit dengan viral load EBV plasma. Kesimpulan: Semakin tinggi konsentrasi DNA EBV jaringan, semakin tinggi pula konsentrasi viral load EBV plasma, walaupun korelasi lemah-sedang, namun signifikan. Sampel yang sedikit menjadi kelemahan dalam penelitian ini, karena biaya dan waktu yang terbatas.

Background: Initial screening with plasma EBV viral load has not become a routine examination of nasopharyngeal cancer. This research will be a pilot study in the field of plasma EBV viral load in nasopharyngeal cancer, especially in Indonesia.
Method: The design of this study was an Explorative Study. This study explores the relationship between plasma and tissue EBV viral load in locally advanced and advanced stage nasopharyngeal cancer. Large samples are taken based on the rule of thumb, it was estimated that 15 samples would provide an adequate picture. Plasma and tissue DNA EBV PCR examinations were carried out using the Real Time PCR method with the company's QIAGEN® Kit and PCR tool.
Results: There is a weak-moderate correlation (R = 48,3%) between plasma EBV viral load and tissue EBV viral load, with a value of p = 0.003 which indicates that this correlation can be trusted. There is no correlation between the concentration of PD-L1 ELISA, IFN gamma, Lymphocytes, Neutrophils, or Leukocytes with plasma EBV viral load. Conclusion: The higher the tissue EBV viral load concentration, the higher the plasma EBV viral load concentration, although this correlation was weak - moderate, but significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
"Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor. 
Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.  
Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.  
Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan.

Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity. 
Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test. 
Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1. 
Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Mareindri Agnest George
"ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan jenis kanker kepala dan leher yang disebabkan oleh tumbuhnya sel-sel ganas pada bagian nasofaring. Kanker ini dapat diobati dengan kemoterapi, radioterapi, dan atau keduanya. Salah satu efek samping dari radiasi sebagai langkah pengobatan KNF, khususnya setelah radiasi yaitu rusaknya kelenjar tiroid. Rusaknya kelenjar tiroid dapat mengakibatkan kelenjar tiroid dalam tubuh tidak cukup dalam memproduksi hormon tiroid yang dibutuhkan tubuh. Hal tersebut dinamakan hipotiroid. Perkembangan hipotiroid pada tiap pasien KNF pascaradiasi berbeda sesuai dengan faktor-faktor tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat perkembangan hipotiroidisme pada pasien KNF pascaradiasi serta faktor yang berasosiasi dengan tingkat perkembangan hipotiroid. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan perluasan dari classification and regression tree (CART). Algoritma survival yang digunakan dalam penelitian ini yaitu relative risk tree. Hasil yang diperoleh dari colorival tree adalah perkembangan hipotiroid pada pasien dengan produksi keringat tidak berkurang cenderung lebih lambat daripada pasien dengan produksi keringat berkurang. Selain itu, perkembangan hipotiroid pada pasien yang memiliki total skor gejala hipotiroid Zulewski 1,5 lebih lambat daripada pasien yang memiliki total skor gejala hipotiroid Zulewski.

ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer (NPC) is a type of head and neck cancer that caused by malig- nant cells in the nasopharynx. This cancer can be given with chemotherapy, radiotherapy, and or all. One of the side effects of radiation as a step in NPCs treatment, specifically after radiation is thyroid damage. Damage to thyroid hormones that can be done in the body is not enough to produce thyroid hormones that the body needs. This is called hy- pothyroidism. The development of hypothyroidism in each post-radiation NPCs patient is different according to certain factors. The aim of this study was to analyze the rate of development of hypothyroidism in post-radiation NPCs patients as well as factors re-lated to the rate of hypothyroid development. The method used in this study is a survival tree. Survival tree is the extensions of classification and regression trees (CART). The survival tree algorithm used in this study is a relative risk tree. The results obtained from the survival tree are the development of hypothyroidism in patients with sweat production does not reduce more than patients with reduced sweat production. In addition, the development of hypothyroidism in patients who have a total score of Zulewski 1.5 slower than patients who have a total score of Zulewskis hypothyroid symptoms with criteria 1.5."
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>