Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54765 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giri Widakdo
"Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan 11,6% penduduk
Indonesia berumur 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyakit kronis terhadap
gangguan mental emosional. Desain penelitian ini adalah potong lintang
mengggunakan data Riskesdas tahun 2007. Sebanyak 660.452 responden
berusia di atas 15 tahun yang tidak mengalami gangguan jiwa dijadikan
sampel. Gangguan mental emosional dinyatakan ada jika responden mem-
punyai paling tidak enam dari 20 gangguan. Penyakit kronis seperti tuber-
culosis (TB) paru, hepatitis, jantung, diabetes, kanker, dan stroke diukur
melalui wawancara yang didasarkan pada diagnosis petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh penderita penyakit kronis,
dua sampai lima penderita akan mengalami gangguan mental emosional.
Analisis regresi logistik multivariat memperlihatkan bahwa risiko gangguan
mental emosional semakin tinggi bersamaan dengan semakin banyak jum-
lah penyakit kronis yang diderita oleh responden. Responden yang
menderita satu penyakit kronis berisiko 2,6 kali lebih besar untuk mengala-
mi gangguan mental emosional, yang menderita dua penyakit kronis
berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga penyakit kronis atau lebih berisiko 11
kali. Kementerian Kesehatan disarankan untuk mengembangkan standar
pelayanan penyakit kronis terkait dengan pengurangan dampak pada gangguan
mental emosional dan dibentuknya tim bimbingan teknis pelayanan penyakit
kronis.
Basic Health Research (Riskesdas) year 2007 showed that 11.6 percent of
Indonesia?s population aged 15 years and above suffering from mental emo-
tional disorder. This study aimed to examine the effects of chronic illness to
the mental emotional disorders. A cross-sectional study was performed that
used Riskesdas 2007 data. A total of 660,452 respondents aged 15 years
and over who are mentally health become sample of this study. Mental
Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental
Emosional
Effects of Chronic Illness to the Mental Emotional Disorders
Giri Widakdo* Besral**
*Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, **Departemen Biostatistika dan Ilmu
Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
emotional disorders exist if they have at least six of the 20 disorder. Chronic
diseases such as pulmonary tuberculosis, hepatitis, heart disease, dia-
betes, cancer, and stroke were measured based on diagnosis by health pro-
fesional. The results showed that out of ten respondents with chronic
illness, aproximately two to five will suffering from mental emotional dis-
order. Multivariat logistic regression analysis shows that the risk of developing
mental emotional disorders higher as more number of chronic illnesses suffered
by the respondent. Respondents suffering from one chronic disease were 2.6
times greater risk for emotional mental disorder, suffering from two chronic dis-
ease have risk 4.6 times, which had three or more chronic disease risk have risk
11 times. It is suggested that the Ministry of Health to develop a standard of
care of chronic diseases associated with reducing impact on the mental
emotional disorders and establishment of teams for technical guidance
chronic disease care."
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fetia Nursih Widiastuti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor sosio-ekonomi dan faktor gender dan perkawinan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah di Indonesia. Menggunakan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016, gangguan mental emosional diukur berdasarkan rincian pertanyaan yang terdiri dari 20 pertanyaan Self Reporting Questionnaire SRQ-20.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa persentase gangguan mental emosional tertinggi pada wanita tinggal di perdesaan, pendidikan SD kebawah, tidak bekerja, indeks kekayaan rendah, durasi perkawinan 21-30 tahun, suami melakukan kegiatan selain bekerja, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, usia perkawinan pertama kurang dari 18 tahun, jumlah anak lahir hidup lebih dari enam, dan status kesehatan buruk.
Hasil analisis inferensial menggunakan regresi logistik biner menunjukkan bahwa faktor sosio-ekonomi dan faktor gender dan perkawinan berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional. Faktor sosio-ekonomi yang yang berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional adalah tingkat pendidikan dan indeks kekayaan. Sedangkan status pekerjaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah. Faktor gender dan perkawinan yang berpengaruh signifikan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah adalah durasi perkawinan, kegiatan suami dan kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Sedangkan usia kawin pertama secara statistik tidak signifikan berpengaruh terhadap gangguan mental emosional.

This study aims to determine the influence of socio economic factors and gender and marital factors to common mental disorders among married women in Indonesia. Using the 2016 National Women 39 s Life Experience Survey, common mental disorders were measured on Self Reporting Questionnaire 20 SRQ 20.
The result of descriptive analysis show that the highest percentage of common mental disorder in women living in rural areas, elementary school education, unemployment, low wealth index, duration of marriage 21 30 years, husband doing activities other than work, experiencing domestic violence, age at first marriage less from 18 years, the number of live birth children is more than six, and the health status is bad.
The results of inferential analysis uses binary logistic reggression show that socio economic factors and gender and marital factors significantly influence common mental disorders. The socio economic factors that significantly influence common mental disorders are the level of education and wealth index. While the status of work does not significantly influence the common mental disorders among married women. Gender and marital factors that significantly influence the common mental disorders among married women are the duration of marriage, husbands 39 activities and domestic violence by husbands. While age at the first marriage is not statistically significant effect on common mental disorders.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyoko
"Di Provinsi DKI Jakarta gangguan mental emosional khususnya pada lansia menjadi masalah seiring dengan bertambahnya jumlah lansia. Tujuan penelitian adalah mengetahui prevalensi, distribusi dan perbedaan proporsi faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan mental emosional pada lansia .Metode penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan data Riskesdas tahun 2007. Hasil Penelitian prevalensi sebesar 21,1%, Berdasarkan umur proporsi gangguan mental emosional pada lansia lebih besar pada umur ≥ 70 tahun (21,0%), lebih besar pada jenis kelamin perempuan (26,0%), lebih besar pada tingkat pendidikan rendah (26,8%), lebih besar pada yang tidak bekerja (24,2%), lebih besar pada status ekonomi tinggi (24,1%), lebih besar pada anggota keluarga (25,3%), lebih besar pada yang cerai (30,6%), lebih besar pada yang menderita DM (31,6%), lebih besar pada yang menderita hipertensi (29,9%), lebih besar pada menderita gangguan sendi (26,2%) lebih besar pada yang kurus (27,4%) lebih besar pada yang tidak mandiri (46,5%).

In Jakarta Provincial mental disorders in the elderly in particular emotional an issue as the number of elderly. The research objective was to determine the prevalence, distribution and differences in the proportion of risk factors related with emotional mental disorder in the elderly. This method is a cross sectional study using data Riskesdas 2007. Research a prevalence of 21.1%, Based on the emotional life of the proportion of mental disorders in the elderly greater at age ≥ 70 years (21.0%), greater in the female sex (26.0%), greater in the low education level (26.8%), greater in that it does not work (24.2%), greater in the high economic status (24.1%), greater in family members (25.3%), greater in the divorce (30.6%), which suffer greater in DM (31.6%), greater in hypertensive (29.9%), greater in suffering from joint disorders (26.2%) greater in the lean (27.4%) was greater in the dependent (46.5%)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Bus kota merupakan sarana transportasi penting pada masyarakat perkotaan, terutama Jakarta dan sekitarnya. Mengemudi bus kota merupakan ciri pekerjaan yang mengandung banyak masalah, seperti kemacetan lalu lintas, jam kerja yang tidak menentu, risiko kecelakaan, gangguan keamanan oleh ancaman penumpang dan penodongan, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat menimbulkan stres kerja. Stres kerja dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan pengemudi, diantaranya hipertensi dan gangguan mental emosional. Penelitian stres di Indonesia masih langka, terutama penelitian untuk pekerja kerah biru seperti pengemudi bus kota.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan mental emosional dan hipertensi pengemudi bus kota dan apakah ada hubungannya dengan stres kerja yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan pada pengemudi bus kota di Tangerang. Alat ukur untuk mengukur stres kerja dipergunakan instrumen yang dikembangkan Winkleby yang telah dimodifikasi. Penilaian stres kerja yang dilakukan oleh instrumen ini bersifat self reported stresors. Alat ukur untuk menilai gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Alat ukur untuk mengukur tekanan darah dipergunakan spighmomanometer air raksa merek Nova, dan mengikuti protokol WHO 1978.
Desain yang dipergunakan pada penelitian ini adalah studi potong tintang (Cross sectional), terhadap 287 subjek penelitian. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, kemudian anatisis regresi logistik ganda.
Prevalensi gangguan mental emosional pada pengemudi bus kota 29,3%. Ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan gangguan mental emosional. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pengemudi bus yang mengalami stres tinggi 6,35 lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengalami stres rendah. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pengemudi yang mengalami hipertensi mempunya risiko 1,96 kali lebih tinggi dibandingkan dengan non hipertensi. Hubungan antara hipertensi dengan gangguan mental emosional mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, keluhan subjektif pada skala somatisasi merupakan bagian dari gejala hipertensi. Kedua, hipertensi dan gangguan mental emosional merupakan co morbiditas. Bila diperhatikan anatisis logistik ganda hubungan stres kerja dengan gangguan mental emosional tetap positif dan dominan, maka faktor hipertensi kurang begitu panting mempengaruhi gangguan mental emosional. Meskipun demikian, adanya hipertensi pada pengemudi turut meningkatkan gangguan mental emosional hampir dua kali.
Prevalensi hipertensi pada pengemudi bus kota 25,8%. Tidak ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada pengemudi yang gemuk 1,86 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang tidak gemuk.

The Relationship of Occupational Stress to Mental Emotion& Disturbance (Study among City Bus Drivers on a Bus Company in Tangerang, 1997) City bus is an important transportation equipment of Urban Community, particularly in Jakarta and surrounding. Driving the bus is an occupation characterized as having so many problems such as traffic jam, long working hours, accident risk, security annoyance by passengers and an threat. All of the problems may lead to occupational stress and then may lead to outcomes in drivers health such as Hypertension and Mental emotional disturbance. Studies of stress in Indonesia is still rarely, particularly studies on blue collar workers as city bus drivers.
The objectives of this study are to ascertain prevalence of hypertension and mental emotional disturbance and whether an association exist between hypertension, mental emotional disturbance of city bus drivers and their occupational stress felt. This study was carried out on city bus drivers in Tangerang. The instrument for measuring occupational stress was used a questionnaire of Winkleby developed that was modified. This measurement of occupational stress was used an instrument that have the character of self report stressors. The instrument for measuring mental emotional disturbance was used a questionnaire SCL 90. The instrument for measuring blood pressure was used a Mercurial Sphygmomanometer" NOVA' and according to WHO 1978 Protocol.
Design of this study was applied Cross sectional method of 287 subjects study. Collected data were processed by bivariate analysis, and then Multivariate analysis by Multiple logistic regression analysis.
Prevalence of mental emotional disturbance on city bus drivers is 29,3%. There were significant association between Occupational stress with Mental emotional disturbance. Mental emotional disturbance risk of drivers with high level stress 6,35 times more than low level stress. Mental emotional disturbance risk of drivers with hypertension 1.96 times more than drivers with hypertension. The relationships between hypertension and mental emotional disturbance may be caused by two reasons. First, subjective complaints on somatisation scale is a part of hypertension symptoms. Secondly, hypertension and mental emotional disturbance are co-morbidity phenomenon. When we see about multiple logistic regression analysis on relationships of occupational stress with mental emotional disturbance is constant and dominant, therefore hypertension factors less than importance to lead emotional mental disturbance. Nevertheless, hypertension of the drivers to share in confirming mental emotional disturbance increasing twice.
Prevalence of Hypertension on city bus drivers is 25,8%. There were no association between occupational stress and Hypertension. Hypertension risk of obese drivers were 1.86 times more than non obese drivers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azkia Ikrima
"Gangguan mental emosional merupakan gangguan kesehatan yang terjadi di seluruh negara yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan dapat terjadi pada seluruh kalangan usia. Lansia merupakan salah satu kelompok usia berisiko terkena gangguan mental emosional sebagai akibat dari berkurangnya kemampuan fisik dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Studi ini menggunakan desain cross-sectional. Subjek penelitian ini adalah seluruh lansia yang tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional secara statistik (p = 0,000<0,05), dengan tingkat ketergantungan ringan (PR = 2,021, 95% CI (1,936-2,109)), ketergantungan sedang (PR = 3,189, 95% CI (2,818-3,610)), ketergantungan berat (PR = 3,350, 95% CI (2,920-3,843), dan ketergantungan total (PR = 2,770, 95% CI (2,419-3,173)) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan tingkat ketidakmampuan fisik terhadap gangguan mental emosional baik setelah di kontrol oleh variabel pendidikan dan jumlah riwayat penyakit kronis.

Emotional mental disorders are health problems that occur in all countries that can affect a person's quality of life and can occur in all age groups. Elderly is one of the age groups at risk for mental-emotional disorders as a result of reduced physical ability to carry out daily activities. Therefore, this study aims to determine the relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders that are influenced by other variables. This study used a cross-sectional design. The subjects of this study were all elderly people who were recorded in the 2018 Riset Kesehatan Dasar who met the inclusion criteria. The results showed that there was a statistically significant relationship between the level of physical disability and emotional mental disorders (p = 0.000 <0.05), with a mild degree of dependence (PR = 2.021, 95% CI (1.936-2.109)), moderate dependence (PR = 3.189, 95% CI (2.818-3.610)), severe dependence (PR = 3.350, 95% CI (2.920-3.843), and total dependence (PR = 2.770, 95% CI (2.419-3.173)) after being controlled by variable education and the number of history of chronic disease.So it can be concluded that there is a relationship between the level of physical disability with mental emotional disorders after being controlled by the education variable and the number of history of chronic disease."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Melissa Novitasari
"Pemakaian smartphone yang berlebih pada anak usia sekolah dapat menyebabkan adiksi smartphone dan gangguan mental emosional, serta mempengaruhi kemampuan menggunakan smartphone secara bijak, kemampuan berpikir rasional dan berperilaku adaptif, serta kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Untuk mengatasi pemasalahan tersebut, dibutuhkan tindakan/terapi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan, cognitive behavioral therapy dan psikoedukasi keluarga terhadap adiksi smartphone dan gangguan mental emosional pada anak usia sekolah. Penelitian ini menggunakan desain Quasi Experiment dengan rancangan pre posttest with control group dengan menggunakan 2 kelompok. Metode sampel dengan teknik purpisive sampling sebanyak 64 orang yang terbagi menjadi 32 kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2. Hasil penelitian diketahui pendidikan kesehatan dan CBT dapat menurunkan adiksi smartphone, menurunkan gangguan mental emosional pada anak usia sekolah, meningkatkan kemampuan menggunakan smartphone secara bijak, meningkatkan kemampuan berpikir rasional dan berperilaku adaptif serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Gangguan mental emosional berhubungan secara bermakna dengan kemampuan menggunakan smartphone secara bijak dan kemampuan keluarga dalam merawat anak pengguna smartphone. Pendidikan kesehatan perlu diberikan dalam frekuensi yang lebih sering dengan durasi pemberian yang lebih lama serta dibutuhkan kombinasi pemberian terapi keperawatan ners spesialis berupa CBT dan FPE.

Excessive use of smartphones in school-age children can cause smartphone addiction and mental-emotional disorders, as well as affecting the ability to use smartphones wisely, the ability to think rationally and behave adaptively, as well as the family's ability to care for children who use smartphones. To overcome this problem, certain actions/therapy are needed. This research aims to determine the effect of health education, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation on smartphone addiction and emotional mental disorders in school-aged children. This research used a Quasi Experiment design with a pre-posttest with control group design using 2 groups. The sample method used purpisive sampling technique was 64 people divided into 32 intervention groups 1 and intervention groups 2. The results of the research showed that health education and CBT can reduce smartphone addiction, reduce emotional mental disorders in school age children, increase the ability to use smartphones wisely. , increasing the ability to think rationally and behave adaptively as well as increasing the family's ability to care for children who use smartphones.  Emotional mental disorders are significantly related to the ability to use smartphones wisely and the family's ability to care for children who use smartphones. Health education needs to be given more frequently with a longer duration of administration and a combination of specialist nursing therapy in the form of CBT and FPE is needed."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Laurentius
"Latar belakang dan tujuan
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Keselamatan pekerja merupakan hal yang penting mengingat pekerja adalah sumber daya yang diharapkan mampu berproduksi secara optimal. Keselamatan pekerja juga akan mengurangi angka kecelakaan kerja baik yang merugikan pekerja sendiri maupun orang lain yang berada di lingkungannya serta alat produksi. Faktor lingkungan pada pekerja di sektor kelistrikan seperti medan elektromagnit dapat menjadi gangguan keseimbangan lingkungan ekosistem bagi seseorang.
Metode
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan perbandingan internal pada populasi tertentu yaitu karyawan PT X Jakarta yang bekerja di tempat dengan pajanan yang tinggi dan di tempat dengan pajanan yang rendah. Pengukuran pada karyawan meliputi nilai SCL-90, Survei Diagnostik Stres, dan Data sosiodemografi.
Hasil
Medan listrik pada tempat dengan pajanan tinggi adalah 4.980 V/m masih di bawah nilai ambang batas yang dianjurkan untuk frekuensi 50/60 Hz yaitu 10.000 V/m untuk medan listrik dan 4,6 A/m untuk medan magnit yang juga masih di bawah ambang batas yaitu 398 A/m. Jumlah sampel yang diteliti adalah 164 karyawan sesuai jumlah sampel yang diperlukan masing-masing kelompok sama yaitu 82 orang. Pada kelompok subyek yang bekerja di tempat dengan pajanan medan elektromagnit tinggi didapat prevalensi gangguan mental 56% sedangkan pada kelompok yang bekerja di tempat dengan pajanan rendah didapat prevalensi gangguan mental 39,02% dengan perbedaan yang bermakna (p
Kesimpulan
Gangguan mental emosional tidak berhubungan secara bermakna dengan pajanan medan elektromagnit. Gangguan mental emosional berhubungan dengan stresor ketaksaan peran dan pengembangan karir.

Workers needed safety work protection ordered by the Safety Law in Workplace, Law Number 1, Year 1970. Safety was very important to have workers work optimally, as well as decreasing the number of accidents in workplace and to have production instruments. In such as the working place, electromagnetic fields was one of the factors interfered the ecosystem balance of work.
Method
This study was a cross sectional design with internal comparison. The population were workers of PT "X" Jakarta consisted of high exposed and low exposed groups. The SCL90 instrument was used to measure the mental emotional disorder.
Results
The electric field as well as the magnetic field in the high exposed workplace were 4.980 V/m and 4,6 V /m below the limit of threshold value 10.000 V/m for electrical field and 398 V /m for magnetic field. Number of samples collected were 164 workers, each 82 for high exposed group and for low exposed group. The prevalence of mental disorder in high exposed group was 56,00% and in the low exposed group was 39,09% when the difference was significant. (p<0,05). Mental emotional disorder did not correlate with age, job position, level and education. The bivariate analysis showed that mental emotional disorder correlated with career development, ambiguity, responsibility for people, conflict, overloaded quantitative role, overloaded qualitative role, workplace and period of work. The logistic regression function identified that career development and role ambiquity correlated with mental emotional disorder while workplace had no correlation with mental emotional disorder.
Conclusion
Mental emotional disorders had no significant correlation with electromagnetic fields. Mental emotional disorder had significant correlation with career development and role ambiguity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"Sebagian besar pasien dengan gangguan mental emosional pertama-tama belum berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pasien gangguan mental emosional yang berobat ke Puskesmas wilayah Jakarta Timur hanya 1,88 % dari kasus yang ada di masyarakat dengan rata-rata kunjungan 1,31 kali pada tahun 1994. Agar gangguan tersebut tidak menjadi berat atau menjadi penyakit lain, maka diperlukan pengobatan sedini mungkin. Untuk mencapai maksud tersebut, yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana pola perilaku pencarian pengobatan dari pasien gangguan mental emosional dan faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku tersebut.
Jenis disain penelitian ini adalah crossectional, namun menggunakan analisis yang lazim digunakan pada studi case control pada penduduk dewasa (17 tahun ke atas) yang mengalami gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional ditetapkan berdasarkan pengisian instrumen Self Reporting Questionnaire (SRQ) dengan cut-off points 6. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling dengan sampling fraction 9. Unit sampel adalah rumah tangga dengan jumlah 650 KK yang meliputi 1950 penduduk dewasa sehat. Sampel pasien gangguan mental emosional yang diteliti berjumlah 446 kasus. Untuk mengetahui hubungan faktor dengan perilaku pengobatan dilakukan perhitungan Odds ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola perilaku pengobatan pertama pasien gangguan mental emmosional di Kelurahan Pulogadung adalah melakukan pengobatan sandhi 27,8 %, ke dokter umum 18,4 %, tidak mencari pengobatan 17,4 %, ke Puskesmas 13,2 %, ke pengobat tradisional 8,7 %, ke rumah sakit umum 6,1 %, ke spesialis penyakit dalarn 5,8 % dan ke psikiater 2,5 %. Pasien yang melakukan kegiatan rujukan adalah 23,6 %. Sebagian besar pasien yang melakukan rujukan dan pasien yang melakukan pengobatan selanjutnya tidak berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
Pasien gangguan mental emosional lebih mungkin tidak mencari pengobatan apabila pasien tidak merasa terganggu akibat gangguan mental emosional yang dialaminya (OR 0,01 ; 95% Cl 1,5E-03 - 0,02), kurang mendapatkan informasi pelayanan kesehatan jiwa (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95) dan apabila pasien malu berobat ke psikiater (OR 2,24 ; 95% 1,02 - 4,85).
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat diharapkan tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas perlu dikembangkan dalam kegiatan Puskesmas lainnya (Taruna Husada, Sala Shakti Husada dan sebagainya). Pelayanan prevensi sekunder (mendorong pasien berobat) melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional dan fasilitas pengobatannya perlu lebih diprioritaskan. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter umum perlu dilakukan secara periodik. Peningkatan mutu pelayanan jiwa di Puskesmas dan pembinaan pengobat tradisional perlu lebih diperhatikan. Disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater di masyarakat.

Most patients with mental emotional disorder didn't visit health facility with mental health service at the first treatment. There is only 1,8 % of people with mental emotional disorder who visited Puskesmas at East Jakarta with average 1.31 visit in 1994. To prevent the disturbance become more severe or to become another illness, early treatment is needed. To reach the purpose, the problem of this study is to identify health seeking treatment pattern of patient with mental emotional disturbance and to find factors which was associated with the behavior treatment.
The study design is cross sectional study but method of analysis is case control. Sample of the study are adult (17 years or more) who experience mental emotional disorder. The criteria of mental emotional disorder is based on answers of Self Reporting Questionnaire (SRQ) with cut-off 6. Sampling method is systematic random sampling with sampling fraction of 9. Sampling unit is household with totally 650 household which include 1950 adult with good health. Sample of patient with mental emotional disorder are 446 cases. To identify relationship between factors with health seeking treatment, logistic regression with odds ratio is applied.
The result showed that for the first treatment there is 27,8% of the mental emotional disorder patients performing self medication, 18,4% visit medical doctor, 17,4 % didn't seek any treatment, 13,2 % visit Puskesmas, 8,7 % going to traditional healer, 6,1% to general hospital, 5,8% visit internist and 2,5% visit psychiatrist. There where 23,6 patient who were given referral. Most of the patients who were referred or patient who continue the treatment didn't visit health facility with mental health service.
Patients with mental emotional disorder probably not seek any treatment if they didn't feel uncomfortable with the disturbance they experienced (OR 0,01 ; 95% CI 1,5E-03 - 0,02), did not obtained enough information about mental health service (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95), or if the patient was ashamed to visit psichiatrist (OR 2,24 ; 95% CI 1,02 - 4,85).
Patients with mental emotional disorder probably would performed self medication if their social economic status is low (OR moderat 0,52 ; 95% CI 0,06-0,83; OR high 0,45 ; 95% CI 0,04-0,62), if they were not bothered by the disturbance they experienced (OR 0,47; 95% CI 0,03-0,91), didn't consider the disturbance as severe (OR 0,54 ; 95% CI 0,07-0,91), didn't obtained enough information on the mental health service (OR 0,52 ; 95% CI 0,06-0,79), were not suggested to have treatment (OR 0,45 ; 95 % CI 0,04-0,57), they have no work (OR 0,35 ; 95 %CI 0,17-0,67) and if they are Askes member (OR 2,48 ; 95% CI 2,40-17,54).
Patients with mental emotional disorder will probably visit traditional healer if they have expectation that the treatment not only give drug (OR 8,76 ; 95% CI 1,86 - 42,26), have supernatural believe (OR 7,53; 95% CI 3,15-40,22), and have enough knowledge on the traditional healer service (OR. 6,67; 95% CI 1.86-23,57), did not feel comfortable with the disturbance they experienced (OR 8,84; 95% CI 3,00 - 26,05), their knowledge on the mental emotional disorder was not good (OR 0,12;95% CI 0,03-0,56), and have no information on the mental emotional service (OR. 0,25; 95% CI 0,06-0,98).
Patients with mental emotional disorder will probably visit mental health service if they felt disturbed (OR 4,43 ; 95% CI 1,76 - 11,13), did not have senior high school or more education (OR 0,36 ; 95% CI 0,16 - 0,81), expected to be given more than just drug (OR 5,93 ; 95% CI 1,93 - 18,17), feeling that the high cost of the treatment influence the effort to seek treatment (OR 7,17 ; 95 % CI 2,83 - 17,81), obtained enough information on the mental health service (OR 5,22 ; 95% CI 2,34 - 11,59), and did not feel ashamed to visit psychiatrist (OR 0,43; 95% CI 0,18 - 0,99).
Patients with mental emotional disorder will probably visit Puskesmas if they feel bothered (OR 14,41 ; 95% CI 4,14 - 50,40), feeling the cost of the treatment influence the effort of seeking treatment (OR. 4,28 ; 95% CI 1,39 - 13,06), their social economic status is low (OR high 0,11 ; 95 % CI 0,03 - 0,37), lived near to Puskesmas (OR 0,21 ; 95% CI 0,06 - 0,77), realize that there is mental health service in the Puskesmas (OR 14,31 ; 95 % CI 4,09 - 49,89), did not know about traditional service (OR 0,05 ; 95 % CI 0,01 - 0,25), did not have knowledge about the general health service (OR 0,23; 95% CI 0,07 - 077), and the healer attitude did not influence the choice of treatment (OR 0,35 ; 95 % CI 0,14 - 0,88).
Mental health service in the public is expected not only waited patients to visit the mental health service. Mental health service at the Puskesmas needs to be integrated and to be developed with the other Puskesmas activity (Taruna Husada, Bhakti Husada, Karang Werdha). Secondary prevention thru knowledge development on the mental emotional disorder, treatment facility and early detection should be give more priority. Knowledge refreshment on the mental emotional disorder to medical doctor needed to be in force periodically. Quality improvement of health service in Puskesmas' and education of traditional healer need to be given more attention. The figure of psychiatrist in the society need to changed as well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiorini
"Perempuan pengungsi korban bencana rawan mengalami gangguan mental emosional baik disebabkan oleh pengalaman traumatik yang dialaminya maupun karena harus hidup dalam segala keterbatasan di pengungsian. Pemenuhan kebutuhan akan pangan, air bersih, kamar mandi dan jamban, tempat penampungan, dan bilik asmara diperkirakan memiliki hubungan yang bermakna dengan gangguan mental emosional pada perempuan pengungsi di kabupaten Karo. Penelitian dengan desain studi deskriptif cross sectional dilakukan dengan mengambil data primer melalui wawancara pada 244 responden di 37 lokasi penampungan pengungsi di kabupaten Karo. Hasil analisis bivariat, variabel yang menunjukkan hubungan yang bermakna adalah variabel status kehamilan (OR=0,17), kebutuhan pangan (OR=7,25), air bersih (OR=4,78), dan tempat penampungan (OR=4,88). Sedangkan dari hasil analisis multivariat memperlihatkan bahwa variabel pemenuhan kebutuhan pengungsi yang paling berpengaruh terhadap gangguan emosional pada perempuan pengungsi adalah varaiabel pemenuhan kebutuhan pangan dengan nilai OR = 7,2 Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengelolaan pemenuhan kebutuhan pengungsi belum memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, diharapkan dengan melakukan pengelolaan pengungsi yang sesuai standar minimal dapat mengurangi risiko gangguan mental emosional pada pengungsi khususnya pada perempuan.

ABSTRACT
Women IDP’s vulnerable to had emotional mental disorders that caused by traumatic experiences that happened and having to live within the limitations in the shelter. Fullfillment the needs for food, water, toilets , shelters, and booths romance is estimated to have a significant association with emotional mental disorders in marriage women IDP’s in Karo district. Research with a descriptive cross-sectional study is done by taking primary data through interviews on 244 respondents in 37 shelters in Karo district . The results of the bivariate analysis, variables that showed a significant association was pregnancy status (OR=0.17), the need for food ( OR = 7.25 ), water ( OR = 4.78 ), and shelter ( OR = 4.88 ). While the results of multivariate analysis showed that meet the needs of IDP’s variables that most affect the emotional disturbances in women are variabel food needs with OR = 7.2 From the results of this study indicate that the management of the fulfillment needs of IDP’s have not met the minimum standards set by Ministry of Health, is expected to conduct the management of refugee appropriate minimum standards can reduce the risk of mental disorders in women."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>