Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140496 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Palinggi, Bogie Putra
"Latar Belakang. Pada lesi stenosis bifurcatio arteri koroner, oklusi akut cabang arterikoroner utama dapat terjadi sebagai komplikasi intervensi koroner perkutan. Peranansudut karina sebagai salah satu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner dalammenyebabkan oklusi akut cabang arteri koroner utama pada tindakan intervensikoroner perkutan elektif masih diperdebatkan.
Tujuan. Menilai hubungan antara sudut karina bifurcatio arteri koroner sebagai salahsatu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner, terhadap kejadian oklusi akut cabangarteri koroner utama pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosisbifurcatio arteri koroner.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai hubunganantara sudut karina bifurcatio arteri koroner terhadap kejadian oklusi akut cabang arterikoroner utama, pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosis bifurcatioarteri koroner. Pengukuran sudut karina bifurcatio arteri koroner menggunakanperangkat lunak CAAS 5.1. Penilaian oklusi akut cabang arteri koroner utamadilakukan setelah intervensi koroner perkutan elektif.
Hasil. Sebanyak 113 lesi pada 108 sampel yang memenuhi kriteria inklusi periodeFebruari 2016 hingga Oktober 2016. Jumlah lesi oklusi akut cabang arteri koronerutama 15 13,3 , dengan median sudut karina bifurcatio arteri koroner 19,17.

Background. Side branch occlusion has been implicated as a complication afterpercutaneous coronary bifurcation intervention. The role of carina bifurcation angle asone of the characteristics of the coronary bifurcation lesion in causing side branchocclusion after percutaneous coronary bifurcation lesion intervention is still debated.
Objective. To assess the relationship betweeen carina bifurcation angles one of thecharacteristics of the coronary bifurcation lesion and side branch occlusion in electivepercutaneous coronary bifurcation lesion intervention.
Methods. This is a cross sectional study to assess the relationship between carinabifurcation angle and side branch occlusion in elective percutaneous coronarybifurcation lesions intervention. CAAS 5.1 software was used to measure carinabifurcation angle. Evaluation of acute occlusion of a side branch conducted afterelective percutaneous coronary intervention.
Results. A total of 113 lesions in 108 patients that met the inclusion criteria fromFebruary 2016 to October 2016. Side branch occlusion occurred in 15 lesions 13,3 ,with median carina bifurcation angle 19,170 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yislam Aljaidi
"Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian, dan hasilnya masih belum memuaskan pada kelompok pasien yang berisiko tinggi. Tindakan intervensi pada arteri koroner left main (LM) dengan strategi provisional stenting adalah salah satu skenario yang menantang dalam menangani lesi bifurkasio kompleks ini. Intervensi koroner perkutan (IKP) dengan panduan ultrasonografi intravaskular (IVUS) telah terbukti memberikan hasil klinis yang lebih unggul dibandingkan dengan IKP dengan angiografi saja. Namun, data-data penelitian sebelumnya yang tersedia tidak adekuat dalam membahas keuntungan IVUS untuk pasien dengan lesi bifurkasio left main – left anterior descending (LM-LAD) kompleks yang menjalani IKP dengan pendekatan provisional stenting. Penelitian kohort retrospektif observasional ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) Jakarta pada periode pengamatan Januari 2017 - Desember 2022, dengan didapatkan total sampel berjumlah 178 orang. Analisa statistik dilakukan untuk melihat perbedaan kelompok antara grup IVUS vs Angiografi pada pasien-pasien PJK dengan lesi LM-LAD yang dilakukan provisional stenting, terutama terhadap luaran klinisnya berupa KKM, serta analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap KKM dari kedua kelompok. Dari 178 pasien yang menjalani IKP provisional stenting dengan mayoritas diagnosa pre-tindakan berupa chronic coronary syndrome (CCS) berjumlah 155 orang (86.6%), hanya didapatkan 27 orang (15.1%) yang mengalami luaran KKM tanpa adanya perbedaan signifikan antara kedua grup IVUS vs angiogafi saja (16.1% vs 14.1%, p = 0.714). Angka tindakan IKP provisional stenting didapatkan cukup berimbang antara grup IVUS vs Angiografi (48.6% vs 51.4%) selama periode pengamatan penelitian. Dari semua variabel faktor resiko yang diteliti, hanya variabel diabetes melitus (DM) yang memiliki pengaruh signifikan secara independen terhadap kejadian KKM (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) pada kedua grup. Dengan kesimpulan Tidak terdapat perbedaan signifikan untuk luaran klinis KKM antara ultrasonografi intravaskular dan angiografi pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) dengan provisional stenting pada lesi arteri koroner LM-LAD.

Coronary artery disease still represents the leading cause of mortality, with the outcome still unsatisfactory in high-risk subsets of patients. Percutaneous treatment of the left main coronary artery with provisional stenting strategy is one of the most challenging scenarios in interventional cardiology for treating this complex bifurcation lesion. Intravascular ultrasound-guided percutaneous coronary intervention (PCI) has been shown to result in superior clinical outcomes compared with angiography- guided percutaneous coronary intervention. However, insufficient previous study data are available concerning the advantages of IVUS guidance for specific patients with complex left main – left anterior descending (LM-LAD) bifurcation lesion undergoing PCI with provisional stenting approach. This observational retrospective cohort study was conducted at the National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in the observation period between January 2017 - December 2022, with a total sample size of 178 participants. Statistical analysis was carried out to learn group differences between the IVUS vs Angiography-guided groups in CAD patients with LM-LAD lesions who underwent provisional stenting, especially regarding clinical outcomes in MACE, as well as analysis of factors that influenced the MACE from both groups. Of the 178 patients who underwent provisional stenting PCI with the majority of pre-operative diagnosis were chronic coronary syndrome (CCS) with total of 155 participants (86.6%), only 27 participants (15.1%) experienced MACE outcomes without any significant group differences between the two groups of IVUS vs Angiography-guided (16.1 % vs 14.1%, p = 0.714). There was quite balanced between the IVUS vs angiography-guided groups (48.6% vs 51.4%) for PCI imaging technique approach during the observation period. From all variables of risk factor studied, only diabetes mellitus (DM) had an independent significant impact on the incidence of MACE (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) in both groups. There is no significant difference in outcomes of MACE between IVUS and angiography- guided ultrasonography in patients undergoing PCI with provisional stenting in LM-LAD coronary artery lesions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joel Herbet Marudut Hasiholan
"Latar Belakang : Setengah pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer(IKPP) memiliki multivessel disease. Rekomendasi saat ini hanya menganjurkan intervensi pada arteri terkait infark pada saat IKPP. Revaskularisasi selanjutnya pada stenosis signifikan lainnya dapat dilakukan dengan intervensi koroner perkutan (IKP) atau bedah pintas arteri koroner (BPAK). Namun sampai saat ini belum ada panduan pemilihan tindakan paska IKPP dengan multivessel disease.
Tujuan : Mendapatkan data yang akurat tentang mortalitas IKP dan BPAK pada stenosis multipel paska IKPP. Melalui data ini diharapkan didapatkan rekomendasi yang sesuai tentang pilihan strategi pada stenosis multipel paska IKPP.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif observasional. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) dengan mengambil data dari rekam medis. Durasi data yang diambil dari 01 Januari 2011 - 31 Desember 2014. Data karakteristik dasar, data klinis, dan angiografi dicatat dari rekam medis dan melalui wawancara melalui telepon. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk melihat hubungan kedua jenis tindakan dan mortalitas.
Hasil Penelitian : Terdapat 177 pasien yang memenuhi kriteria dengan 141 pasien yang dilakukan IKP dan 36 pasien dilakukan BPAK paska IKPP. Karakteristik dasar tidak berbeda diantara kedua kelompok. Data klinis dan angiografi menunjukkan perbedaan culprit lesion (p=0,007), residual lesion (p<0,001), dan jumlah vessel (p<0,001). Data pre tindakan ulang menunjukkan perbedaan interval waktu tindakan (p=0,042) dan lesi Left Main (LM) atau proksimal left anterior descending (LAD) (p=0,032). Mortalitas terjadi pada 14,2% pada kelompok IKP dan 27,8% pada kelompok BPAK (RR 1,96; 95% IK 1,01-3,81). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa diabetes mellitus (RR 1,18; 95% IK 1,03-1,36), fraksi ejeksi (RR 1,18; 95% IK 1,01-1,38), lesi residual LM atau proksimal LAD (RR 2,43; 95% IK 1,08-5,48), dan nilai kreatinin saat tindakan ulang (p=0,027) memiliki pengaruh terhadap mortalitas selain BPAK. Hasil multivariat regresi logistik biner dan cox regression didapatkan bahwa DM (aOR 2,67; 95% IK 1,145-6,248), lesi LM atau proksimal LAD (aOR 2,49; 95% IK 1,078-5,762), dan fraksi ejeksi (aOR 2,43; 95% IK 1,067-5,567) yang berpengaruh terhadap mortalitas.
Kesimpulan : Mortalitas BPAK dan IKP tidak berbeda secara statistik pada pasien paska IKPP dengan multivessel disease. Perbedaan angka mortalitas disebabkan karena adanya perbedaan lesi residual pada LM atau proksimal LAD yang dari awal merupakan karakteristik pre tindakan ulang yang berbeda diantara kedua kelompok. DM dan fraksi ejeksi konsisten menyebabkan mortalitas pada kedua kelompok dan tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.

Background : Almost half of the patients with STEMI that undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) have multivessel disease. Currently, the only recommendation is to intervene in the infarct related artery at the time of PPCI. The next revascularization on other significant stenosis can be done with Percutaneous Coronary Intervention (PCI) or Coronary Artery Bypass Grafting (CABG). However, the guideline in selecting intervention post PPCI with multivessel disease is currently unavailable.
Objective : To obtain accurate data of mortality in PCI and CABG on patient with multivessel disease post PPCI. The data is expected to obtain reasonable recommendation of selection strategy on multiple stenosis post PPCI.
Methods : This study is an observational retrospective cohort. The research was done by retrieving medical record data of catheterization laboratory divison at the Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) from 1st January 2011 to 31st December 2014. Basic characteristics data, clinical data, and angiography were recorded from medical records and interviewes through telephone. The data is then processed by bivariate and multivariate analyzes to obtain the relationship between two types of modality and mortality.
Results : There were 177 eligible post PPCI patients, 141 patients undergoing PCI and 36 patients undergoing CABG. The baseline characteristics are no different between the two groups. Clinical data and angiography show a difference culprit lesion (p = 0.007), residual lesions (p<0.001), and the number of vessel (p <0.001). Pre intervention data shows the intervention time interval difference (p = 0.042) and the Left Main lesion (LM) or proximal left anterior descending (LAD) (p = 0.032). Mortality occurred in 14.2% and 27.8% in the PCI and CABG group (RR 1.96; 95% CI 1.01 to 3.81). The results of bivariate analyzes shows that diabetes mellitus (RR 1.18; 95% CI 1.03 to 1.36), ejection fraction (RR 1.18; 95% CI 1.01 to 1.38), residual lesions LM or proximal LAD (RR 2.43; 95% CI 1.08 to 5.48), and creatinine values before intervention (p = 0.027) had an significant influence on mortality other than CABG. The results of multivariate binary logistic regression and cox regression shows that DM (aOR 2.67; 95% CI 1.145 to 6.248), LM or proximal LAD lesion (aOR 2.49; 95% CI 1.078 to 5.762), and ejection fraction (aOR 2 , 43; 95% CI 1.067 to 5.567) effect on mortality.
Conclusion : Mortality in PCI and CABG were not statitically different for the post PPCI patients with multivessel disease. The difference on mortality was caused by the difference of residual lesions on the LM or proximal LAD which is the characteristic of different pre reintervention in the two types of modality. DM and the ejection fraction were consistently cause mortality in both groups and not significantly different in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Kurniadhi
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Diluar dari faktor risiko konservatif yang sudah diketahui berhubungan PJK ternyata didapatkan pula sejumlah faktor non konservatif yang berhubungan dengan PJK, salah satu faktor risiko yang paling menonjol adalah resistensi insulin. Data penelitian yang melihat peranan dan hubungan antara resistensi insulin dengan kejadian dan beratnya PJK masih menjadi kontrovesi, dimana sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran nilai resistensi insulin pada pasien PJK dan tersangka PJK yang menjalani angiografi koroner dan korelasi antara resistensi insulin dengan beratnya PJK, yang dinilai dengan derajat stenosis arteri koroner.
Metode: Resistensi insulin dinilai dengan menggunakan HOMA IR sedangkan beratnya derajat stenosis koroner dinilai dengan sistem skoring dari Gensini.
Hasil: Sebanyak 39 subyek yang menjalani angiografi koroner karena PJK dan tersangka PJK mengikuti penelitian ini. Nilai HOMA IR pada penelitian ini tidak mengikuti distribusi normal, dengan nilai median 4,63 (0,73 – 26,9). HOMA IR menunjukkan korelasi yang bermakna dengan beratnya derajat stenosis arteri koroner dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang (r: 0,44, p < 0,05). Korelasi ini tetap bermakna meskipun telah dilakukan penyesuaian dengan sejumlah variabel perancu.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara resistensi insulin dengan beratnya PJK yang dinilai dengan Gensini skor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Betriza
"Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara stenosis arteri koroner dan ketebalan intima media arteri karotis pada populasi umum. Ketebalan intima media arteri karotis ini pada penderita DMTTI lebih tebal dibandingkan pada penderita yang tanpa diabetes. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah berat dan luasnya stenosis arteri koroner secara angiografi pada penderita PJK dengan DMTTI mempunyai korelasi dengan makin tebalnya intima media arteri karotis. Telah dilakukan pemeriksaan ketebalan intima media arteri karotis komunis, bifurkasio-bulbus, arteri karotis interna dan eksterna kanan dan kiri pada 30 orang penderita PJK dengan DMTTI yang terdiri dari 25 laki-laki dan 5 perempuan, berumur rata-rata 58 ± 8,5 tahun (44 - 74 tahun). Dari hasil angiografi koroner terdapat 2 orang dengan 1 VD, 11 orang dengan 2VD dan 17 orang dengan 3VD. Terdapat penebalan intima media arteri karotis pada semua penderita dengan rata-rata ketebalan intima media arteri karotis yaitu 2,6 ± 1,1 mm (1 - 6 mm), ini menunjukkan adanya korelasi antara ketebalan intima media arteri karotis dan stenosis arteri koroner, namun tidak didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara 1 VD, 2 VD dan 3 VD dengan ketebalan intima media arteri karotis yang lebih tebal meskipun ada kecenderungan bahwa makin banyak pembuluh darah koroner yang mengalami stenosis makin tebal intima media arteri karotis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ahmad Anzali
"Latar Belakang: Perbaikan dalam sistem, teknologi, dan farmakoterapi telah mengubah prognosis secara signifikan pada pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMAEST) selama beberapa dekade terakhir. Sekitar sepertiga pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) berisiko mengalami no-reflow (NR), suatu kondisi yang ditandai dengan perfusi miokard yang buruk meskipun aliran koroner epikardial berhasil dibuka. NR berdampak signifikan pada luaran klinis termasuk luas infark yang lebih besar, gagal jantung, dan kematian. Peningkatan D-Dimer dan Fibrinogen berkaitan dengan meningkatnya risiko NR. Beberapa publikasi telah menyimpulkan rasio D-Dimer dan Fibrinogen (DFR) memiliki spesifisitas yang lebih baik. Belum ada penelitian yang menilai hubungan DFR dengan NR pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara DFR dengan perfusi mikrovakular koroner yang dinilai dengan Quantitative Blush Evaluator (QuBE) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Kami mengevaluasi 61 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakukan penilaian myocardial blush menggunakan QuBE. Sampel pemeriksaan D-Dimer dan Fibrinogen diambil saat admisi. DFR dinilai hubungannya dengan nilai QuBE yang dikategorikan menjadi dua kelompok (QuBE <9 dan ≥9 unit arbiter). Hasil: Pasien dengan DFR ≥0,149 berisiko untuk memiliki nilai QuBE <9 unit arbiter sebesar 18,32 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan DFR <0,149 (IK 95% 2,49-134,68; p 0.004). Nilai batas DFR 0,149 memiliki sensitivitas 54,5% dan spesifisitas 82% untuk menggambarkan no-reflow pasca-IKPP (AUC= 0,665).

Background : Improvements in systems, technology, and pharmacotherapy have
significantly changed the prognosis of STEMI patient over the past few decades.
Approximately one third of patients undergoing primary percutaneous coronary intervention
(PPCI) are at risk for no-reflow (NR), a condition characterized by poor myocardial perfusion
despite successful opening of epicardial blood flow. NR has significant impact on clinical
outcomes including greater infarct size, heart failure, and death. Increased D-Dimer and
Fibrinogen are associated with an increased risk of NR events. Several publications have
concluded that the D-Dimer and Fibrinogen ratio (DFR) has better specificity. There are no
studies that have assessed the relationship between DFR and NR in STEMI patients
undergoing PPCI.
Objective: This study aims to determine the association between DFR and coronary
microvascular perfusion using the Quantitative Blush Evaluator (QuBE) in STEMI patients
undergoing PPCI.
Methods: We evaluated 61 STEMI patients who underwent PPCI and met the criteria for
myocardial blush assessment using the QuBE program. D-Dimer and Fibrinogen examination
samples were taken at admission. DFR was assessed for its association with the QuBE score
results which were divided into two groups (QuBE <9 arbitrary units and ≥9 arbitrary units).
Results: Patients with DFR ≥0.149 had a 11.26 times greater risk of having QuBE <9 arbitrary
units than patients with DFR <0.149 (CI 95% 2,49-134,68; p 0.004). The DFR cut point of
0.149 had a sensitivity of 54.5% and a specificity of 82% for predicting NR (AUC= 0.665; p
0.019).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Riana Hapsari
"Pasien yang telah menjalani Intervensi Koroner Perkutan (IKP) masih ada yang mengalami keluhan baik klinis maupun mental. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman terkait literasi kesehatan pada PJK. Pada pasien PJK penting untuk meningkatkan kemampuan literasi kesehatan yang dapat dilihat dari kemampuan manajemen diri agar dapat meningkatkan kualitas hidup. Perawat memegang peranan penting dalam penyampaian literasi kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara literasi kesehatan, manajemen diri dengan kualitas hidup pasien PJK, merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif analitik korelasi dan pendekatan cross sectional dengan beberapa kriteria inklusi pada 127 reponden. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, uji korelasi Spearman Rank dan regresi linier berganda. Hasil penelitian didapatkan Sebagian besar responden berjenis kelamin pria, berkisar pada usia 59 tahun, memiliki pendidikan rendah, berpenghasilan di bawah UMR Kotamadya Surakarta, mayoritas tidak memiliki kecemasan, memiliki cardiac self efficacy yang baik. Terdapat hubungan yang bermakna antara literasi kesehatan dan kualitas hidup, terdapat hubungan yang bermakna antara manajemen diri dengan kualitas hidup. Masih diperlukan penelitian lain untuk mengeksplorasi variabel lain yang mempengaruhi kualitas hidup pada pasien penyakit jantung koroner yang telah menjalani Intervensi Koroner Perkutan

Patients who have undergone Percutaneous Coronary Intervention (CCI) still experience both clinical and mental complaints. This is due to a lack of understanding regarding health literacy in CHD. In CHD patients it is important to improve health literacy skills which can be seen from self-management skills in order to improve quality of life. Nurses play an important role in the delivery of health literacy. This study aims to identify the correlation between health literacy, self-management and the quality of life of CHD patients, is a quantitative study with a descriptive analytic correlation design and a cross sectional approach with several inclusion criteria in 127 respondents. Data analysis using descriptive analysis, Spearman Rank correlation test and multiple linear regression. The results showed that most of the respondents were male, around 59 years old, had low education, earned below the minimum wage of Surakarta Municipality, the majority did not have anxiety, had good cardiac self-efficacy. There is a significant relationship between health literacy and quality of life, there is a significant relationship between self-management and quality of life. Other studies are needed to explore other variables that affect quality of life in coronary heart disease patients who have undergone Percutaneous Coronary Intervention."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syari Maisyarah Rahman
"Latar Belakang : Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di dunia. Penyakit jantung koroner sebagai akibat aterosklerosis merupakan penyebab kematian utama penyakit kardiovaskuler baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Penting untuk melakukan segala upaya deteksi dini hal-hal terkait peningkatan risiko demi mencegah penyakit ini. CT scan kardiak mampu menilai proses aterosklerosis melalui evaluasi remodelling pada lumen pembuluh darah koroner sebagai informasi untuk tata laksana pasien penyakit jantung koroner.
Tujuan : Mendapatkan arah hubungan risiko kardiovaskuler tinggi berdasarkan skor kalsium arteri koroner terhadap indeks remodelling pada pasien penyakit jantung koroner yang menjalani CT scan kardiak.
Metode : penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 63 pasien penyakit jantung koroner yang telah menjalani pemeriksaan CT scan kardiak di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Juli 2013 hingga Februari 2019. Penelitian dilakukan sejak Desember 2018 hingga April 2019. Penilaian total skor kalsium arteri koroner dan penilaian indeks remodelling dilakukan oleh peneliti dan dilakukan pengecekan kembali oleh pembimbing Radiologi.
Hasil : Dilakukan Uji Mann-Whitney U, pada total indeks remodelling positif didapatkan nilai median 134,6 dengan range 3,2 sampai 3862,4 dan pada total indeks remodelling negatif didapatkan nilai median 7 dengan range 1,4 sampai 356,5. Terdapat perbedaan signifikan diantara keduanya (p<0,05). Dilakukan penentuan titik potong total skor kalsium arteri koroner sebesar 54,8 dengan nilai sensitivitas 76 % dan spesifisitas 76,9 %.
Kesimpulan : Terdapat hubungan positif antara total skor kalsium arteri koroner dengan indeks remodelling arteri koroner melalui CT scan kardiak pada pasien penyakit jantung koroner.

Background : Cardiovascular disease is the leading cause of death in the world. Coronary heart disease as a result of atherosclerosis is the leading cause of death for cardiovascular disease both in the United States and in Indonesia. It is important to make every effort to detect things related to increasing risk to prevent this disease. Cardiac CT scan is able to assess the process of atherosclerosis through evaluation of remodeling of the lumen of the coronary arteries as information for the management of patients with coronary heart disease.
Purpose : Obtain direction of the relationship of high cardiovascular risk based on coronary artery calcium score to index remodeling in coronary heart disease patients undergoing cardiac CT scans.
Method : this study uses cross-sectional design with consecutive sampling method. The study sample consisted of 63 coronary heart disease patients who had undergone cardiac CT scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo Hospital in the period July 2013 to February 2019. The study was conducted from December 2018 to April 2019. Evaluation of total coronary artery calcium scores and remodeling index assessment was carried out by researchers and is checked again by the Radiology supervisor.
Results : The Mann-Whitney U Test was carried out, on the total positive remodeling index obtained a median 134.6 with a range of 3.2 to 3862.4 and the total negative remodeling index obtained a median 7 with a range of 1.4 to 356.5. There were significant differences between the two (p <0.001). Determination of the total coronary artery calcium score cut was 54.8 with a sensitivity 76% and a specificity of 76.9%
Conclusion : There is a positive relationship between the total coronary artery calcium score and the index of coronary artery remodeling through cardiac CT scan in coronary heart disease patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Adimulya Tasela
"Latar belakang: Gagal ginjal akut (GGA) menjadi salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi setelah prosedur bedah pintas arteri koroner (BPAK). GGA paska
operasi jantung secara independen berhubungan dengan peningkatan 3-8 kali lipat angka morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang durasi perawatan (hospitalisasi) sehingga dapat meningkatkan biaya kesehatan. Untuk menurunkan insidensi GGA ini, dibutuhkan modalitas pemeriksaan sebelum operasi yang berhubungan dengan kejadian GGA paska BPAK sehingga dapat digunakan sebagai prediktor nantinya untuk tindakan pencegahan. Indeks resistif renal (IRR) diketahui dapat menggambarkan kondisi resistensi dan komplians pembuluh darah yang berhubungan dengan patofisiologi GGA paska BPAK. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara nilai IRR dan kejadian GGA paska BPAK. Tujuan: Mengetahui hubungan nilai IRR terhadap kejadian GGA paska BPAK Metode: Pasien yang akan dilakukan prosedur BPAK akan menjalani pemeriksaan dupleks renalis untuk mendapatkan nilai IRR. Luaran gagal ginjal akut dinilai dengan pemeriksaan kadar kreatinin darah selama 48 jam paska BPAK Hasil: Terdapat 96 pasien yang menjadi subjek penelitian. Median nilai IRR pada subjek penelitian ini ialah 0.71 (0.57-0.87). Terdapat perbedaan median nilai IRR antara kelompok GGA dan non GGA (0.73, rentang 0.57-0.87 dan 0.65, rentang 0.58-0.72). Nilai IRR memiliki korelasi yang cukup baik terhadap kejadian GGA paska BPAK (nilai koefisien korelasi r = 0.66, p < 0,001) dengan titik potong pada
nilai IRR 0.685 (sensitivitas 82.40%, spesifisitas 73.30%). Faktor-faktor lain seperti usia, diabetes melitus, hipertensi, nilai kreatinin serum pre operatif, klirens kreatinin pre operatif, fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal dan durasi klem silang aorta secara statistika berbeda bermakna berhubungan terhadap kejadian GGA paska BPAK. Namun dari analisis multivariat, hanya faktor fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal, nilai IRR, dan diabetes mellitus terbukti bermakna Kesimpulan: Terdapat hubungan antara IRR dengan kejadian gagal ginjal akut paska BPAK. Nilai IRR 0.685 merupakan titik potong optimal (sensitivitas 82,40% dan spesifisitas 73.30%)

Background: Acute kidney injury (AKI) still become one of the serious complications that can occur after a coronary artery bypass graft (CABG) procedure. Post-operative AKI is independently associated with a 3-8 fold increase in morbidity and mortality and extending the duration of treatment (hospitalization) thereby increasing health costs. To reduce the incidence of AKI, a modality of examination prior surgery which is related to the incidence of post-operative AKI is needed so that it can be used as a predictor later for preventive action. The renal resistive index (RRI) is known to be able to describe the condition of resistance and vascular compliance which are related to the pathophysiology of post-operative AKI. However, there has been no research that assesses the direct relationship between RRI values and the incidence of post-operative AKI Objectives: To investigate the relationship between RRI value and incidence of post-operative AKI in patients underwent CABG procedure. Methods: CABG candidates patients will undergo duplex renalis examination to obtain an RRI score. Outcome of renal impairment was assessed by blood creatinine examination within 48 hours after CABG procedure. Results: There were 96 patients who became the subject of the study. The median of RRI value in this study subjects was 0.71 (0.57-0.87). There were differences in median of RRI values between groups with post-operative AKI and those not (0.73, range 0.57-0.87 dan 0.65, range 0.58-0.72). There was quite good correlation between RRI and post-operative AKI (p < 0.001 with correlation coefficient r = 0.66) with cut off point of IRR value was 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%). Other factors such as age, diabetes mellitus, hypertension, ejection fraction, CPB duration, and aortic cross clamp duration are associated with incidence of post-operative AKI. However, multivariat analysis showed only ejection fraction, cardiopulmonary bypass duration, RRI, and diabetes mellitus significantly related to post-operative AKI Conclusion: RRI values has relationship with post-operative AKI. The optimal cut off value of RRI retrieved by this study is 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ngantung, Robert Noldy
"Latar Belakang: Jaringan adiposa epikardial (JAE) sebagai jaringan adiposa visera penting peranannya dalam proses aterosklerosis di arteri koroner. Studi sebelumnya menunjukkan ketebalan adiposa epikardial lebih besar pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) Tujuan Mengetahui korelasi antara ketebalan adiposa epikardial dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada tujuh puluh pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Derajat stenosis arteri koroner dinilai dengan skor Gensini > 40 (berat) dan ≤ 40 (ringan-sedang). Ketebalan adiposa epikardial dinilai dengan ekokardiografi transtorakal pada fase sistolik akhir tampilan parasternal long axis.
Hasil: Nilai rerata ketebalan adiposa epikardial adalah 5,96 mm (SB 1,76) dan nilai median skor Gensini adalah 35,0 (kisaran 2-126). Analisis bivariat menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna (r = 0,768, p < 0,001). Nilai titik potong terbaik dari ketebalan adiposa epikardial yang memiliki nilai klinis berkaitan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini adalah 6,15 mm dengan sensitivitas 85,29%, spesifisitas 83,33%, nilai duga positif 82%, nilai duga negatif 85% dengan AUC sebesar 0,893 (IK 95% 0,814-0,971, p < 0,001).
Simpulan: Ketebalan adiposa epikardial berkorelasi signifikan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini. Ketebalan adiposa epikardial 6,15 mm memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien PJK stabil ringan-sedang dan berat berdasarkan skor gensini.

Background: Epicardial adipose tissue (EAT) as part of visceral adipose tissue, has an integral role in the atherosclerotic cardiovascular disease. Previous studies have shown that EAT is thicker in those with coronary heart disease.
Objective: To determine the correlation of epicardial adipose thickness with the severity of coronary artery stenosis in stable coronary heart disease (CHD) patient.
Method: A cross-sectional study was conducted on seventy stable CHD patient undergoing coronary angiography. Severity of coronary artery stenosis was evaluated using Gensini scoring system : > 40 (severe) and ≤ 40 (mild-moderate). Epicardial adipose tissue was measured using transthoracic echocardiography at end-systole from parasternal longaxis view.
Results: Mean value of epicardial adipose thickness was 5,96 mm (SD 1,76) and median value of Gensini score was 35,0 (range 2-126). The correlation test showed a significant strong-positive correlation (r = 0,768, p < 0,001). The best cut-off point of epicardial adipose thickness which has a clinical value correlating to severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system was 6,15 mm with the sensitivity 85,29 %, specificity 83,33%, positive predictive value 82 %, negative predictive value 85 % and AUC of 0,893 (CI 0,814-0,971, p < 0,001).
Conclusion: Epicardial fat thickness is significantly correlated to the severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system. The thickness cutoff point of 6,15 mm has a good capability in discriminating mild-moderate dan severe stable CHD patient based on Gensini scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>