Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67336 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sony Sutrisno
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Saraf optikus merupakan saraf kranial kedua yang mempersarafi bola mata dan diselubungi oleh selubung saraf optikus. Pelebaran selubung saraf optikus pada umumnya disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Deteksi dini peningkatan tekanan intrakranial sangatlah kritikal tetapi sering kali sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan pemeriksaan tekanan intrakranial secara invasif bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dikerjakan dan terdapat keterbatasan alat. Karena itu, pemeriksaan MRI sequence T2WI fat suppressed dapat membantu dalam mengevaluasi peningkatan tekanan intrakranial melalui pengukuran selubung saraf optikus dengan cara non-invasif. Metode : Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang untuk mengetahui rasio normal selubung saraf optikus terhadap saraf optikus anak berdasarkan pengukuran MRI menggunakan data primer di Departemen Radiologi RSCM mulai bulan September 2015 sampai Juli 2016, dengan jumlah sampel 20. Pengukuran dilakukan dengan jarak 3 mm di belakang bola mata. Hasil : Rasio selubung saraf optikus dibandingkan saraf optikus pada anak adalah 1,83 dengan simpang baku 0,06. Rerata diameter selubung saraf optikus pada anak-anak adalah 4,41 mm dengan simpang baku 0,16 dan rerata diameter saraf optikus pada anak-anak adalah 2,41 dengan simpang baku 0,15. Kesimpulan : Nilai normal rasio selubung saraf optik terhadap saraf optik pada anak-anak dapat digunakan sebagai parameter non-invasif untuk evaluasi tekanan intrakranial.

ABSTRACT
Background and Objective Optic nerve is innervate both eyes and covered by a sheath. Widening of the optic nerve sheath are mainly due to increased intracranial pressure. Early detection is critical but difficult to do. This is because the invasive intracranial pressure measurement is not a routine examination done. Therefore, MRI T2WI fat suppressed can be very helpful in evaluating the increased intracranial pressure. Methods The study was conducted with a cross sectional design to determine the normal ratio of optic nerve sheath against optic nerve in children based on MRI measurement using primary data at the Department of Radiology RSCM, from September 2015 until July 2016, with total sample is 20. Measurements were made at 3 mm behind the eyeball. Results The ratio of the optic nerve sheath against optic nerve in children is 1.83 with 0.06 standard deviations. The mean diameter of the optic nerve sheath in children are 4.41 mm with 0.16 standard deviations and the mean diameter of the optic nerve in children is 2.41 with 0.15 standard deviations. Conclusions Normal ratio of the optic nerve sheath against the optic nerve in children can be used as parameters for evaluation of non invasive intracranial pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58862
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nella Anggraini
"ABSTRAK
Nervus optikus merupakan saraf kranial kedua, mempersyarafi bola mata, yang terdiri dari selubung dan serabut nervus optikus didalamnya Diameter nervus optikus dapat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai sebab yaitu ras, etnik, jenis kelamin atau karena sebab lain yaitu inflamasi, tumor, trauma ataupun penekanan nervus optikus akibat massa disekitarnya. Selubung nervus optikus dapat dinilai rasionya dan dapat dipengaruhi nilainya bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata nervus optikus serta rasio selubung dan nervus optikus dengan pemeriksaan MRI pada usia lebih dari 18 tahun sejumlah 64 nervus optikus dari 32 pasien (16 laki-laki dan 16 perempuan) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara laki-laki dan permpuan. Pasien dianamnesis tidak terdapat riwayat trauma orbita, sakit mata yang menyebabkan penurunan lampang pandang, dan dilakukan pemeriksaan visus yang mambaik setelah dilakukan uji pinhole. Pasien juga tidak terdapat kelainan pada orbita atau massa pada intrakranial pada pemeriksaan MRI kepala. Selanjutnya dilakukan penambahan sekuen sesuai aksis nervus optikus potongan koronal T2 supresi lemak untuk menilai rasio selubung dengan nervus optikus, potongan parasagital kanan kiri T1 supresi lemak untuk pengukuran diameter nervus optikus segmen intraorbita dan intrakanalikular, serta potongan aksial T2 untuk pengukuran segmen intrakranial. Statistik deskriptif disajikan berupa rerata dengan simpangan baku nervus optikus serta rasio selubung dengan nervus optikus. Rerata diameter selubung nervus optikus intraorbita dewasa normal bagian proksimal 4,54 mm (SD 0,28 mm), bagian tengah (mid) 3,49 mm (SD 0,19 mm), bagian distal 3,26 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakanalikular 3,03 mm (SD 0,17 mm), nervus optikus intrakranial 4,22mm (SD 0,32 mm), diameter nervus optikus bagian proksimal 2,54 mm (SD 0,28 mm). Rerata rasio normal selubung dengan nervus optikus adalah 1,81:1 (SD 0,11). Pada statistik analitik dengan uji t tidak berpasangan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diameter selubung dan nervus optikus antara laki-laki dibandingkan perempuan.

ABSTRACT
Optic nerve as the second cranial nerve which inervates the eye balls, consists of nerve sheath and optic nerve fibers within. Optic nerve diameter varies, and is influienced by various factors namely age, ethnicity, gender or other conditions such as inflammation, tumor, trauma or mass pressing the optic nerve. Nerve sheath and optic nerve ratio can be measured and is influenced by increase of intracranial pressure. The aim of this research is to determine the mean optic nerve diameter and sheath-optic nerve ratio by MRI on subjects older than 18 years, of 64 optic nerves and 32 patients (16 male and 16 female) to determine the difference of male and female. Patient is interviewed to ensure no history of orbital trauma nor orbital disease which decrease the visual field, and improvement of visus on pinhole test. Only patient with no orbital nor intracranial mass on MRI examination is included in this research. Further additional MR sequence is acquired on coronal optic nerve plane on T2 fat suppression sequence, parasagital plane on T1 fat suppression to measure intraorbital and intracanalicular optic nerve diameter, and T2 axial to measure intracranial segment. Descriptive statistic is provided as mean with standard deviation of optic nerve diameter as well as sheath to optic nerve ratio. Intraorbital segmen of optic nerve sheath diameter of normal adult on proximal side is 4,54 mm (SD 0,28 mm), middle part 3,49 mm (SD 0,19 mm), distal part 3,26 mm (SD 0,17 mm), intracanalicular segment optic nerve 3,03 mm (SD 0,17 mm), intracranial segment of optic nerve 4,22 mm (SD 0,32 mm), proximal optic nerve diameter 2,54 mm (SD 0,28 mm). Mean of normal nerve to sheath ratio is 1,81:1 (SD 0,11). Analytic statistic which utilize unpaired t test demonstrate no difference of male and female optic nerve and nerve sheath diameter."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Chitra
"Latar belakang: Terdapat beberapa metode pengukuran TIK, baik invasif maupun noninvasif. Metode invasif pengukuran TIK kadang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tenaga ahli. Untuk itu, metode noninvasif pemeriksaan TIK telah banyak dikembangkan. Salah satunya adalah sonografi ONSD. Menurut studi sebelumnya, ONSD memiliki korelasi yang kuat, serta sensitivitas dan spesifisitas yang baik dalam memprediksi peningkatan TIK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan ONSD menggunakan ultrasonografi dalam mendeteksi peningkatan TIK pada pasien dengan infeksi otak.Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menilai korelasi antara nilai ONSD menggunakan ultrasonografi dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi. Terdapat 43 subjek tersangka infeksi otak yang telah dilakukan pemeriksaan sonografi ONSD sesaat sebelum dilakukan pengukuran tekanan pembukaan lumbal pungsi. Tekanan pembukaan lumbal pungsi diperiksa dengan menggunakan intravenous IV tubing, three way stopcock, dan penggaris ukur. Tekanan pembukaan dikatakan meningkat jika lebih dari 20 cmH2O. Pemeriksaan ONSD dilakukan pada kedua mata dengan menggunakan ultrasonografi dengan frekuensi transmit sekitar 7-15MHz.Hasil: Didapatkan usia rata-rata subjek adalah 35 tahun. Sebagian besar subjek adalah HIV positif 55,8 . Jenis infeksi otak terbanyak adalah meningitis TB yaitu 28 kasus 65,1 . Keluhan terbanyak yang dialami subjek adalah sakit kepala 79,1 dan demam 88,4 . Defisit okulomotor berupa paresis nervus abdusen atau nervus okulomotorius didapatkan pada 8 subjek 18,6 . Median tekanan pembukaan subjek yaitu 18 cmH2O rentang 7- 81 cmH2O , dimana 16 subjek 37,2 dengan tekanan di atas 20 cmH2O. Nilai ONSD pada tekanan pembukaan meningkat lebih lebar dibandingkan ONSD pada tekanan pembukaan normal 6,09 0,59 vs 5,58 0,55mm . Terdapat perbedaan ONSD yang bermakna antara tekanan pembukaan meningkat dan normal p=0,02 . Berdasarkan hasil uji Spearmen didapatkan hubungan antara ONSD dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi p= 0,002 dengan derajat korelasi sedang r= 0,452 . Model regresi ONSD terhadap tekanan pembukaan lumbal pungsi adalah y= -36,488 9,936x.Kesimpulan: ONSD berkorelasi sedang dengan tekanan pembukaan lumbal pungsi.

Background There are several methods of measuring increased intracranial pressure, both invasive and noninvasive. The invasive method of measuring intracranial pressure sometimes can not be performed because of limited tools and experts. For that reason, noninvasive methods of intracranial pressure examination have been widely developed today. One of the noninvasive method is ONSD sonography. According to previous studies, ONSD has a strong correlation, as well as good sensitivity and specificity in predicting increased intracranial pressure. This study aims to determine the usefulness of ONSD examination using ultrasonography in detecting increased intracranial pressure in patients with cerebral infection.Method This study used cross sectional design and assessed the correlation between ONSD value using ultrasonography with opening pressure of lumbar puncture. There were 43 suspected cerebral infection subjects who had performed ONSD sonographic shortly before opening pressure swere measured. The opening pressure is examined using intravenous IV tubing, three way stopcock, and a measure ruler. The opening pressure is interpreted to increase if the pressure exceeds 20 cmH2O. The ONSD examination is performed on both eyes using ultrasound with a transmitting frequency of about 7 15MHz.Result The average age of the subject was 35 years. Most of the subjects were HIV positive 55.8 . The most common type of cerebral infection is TB meningitis 28 cases, 65,1 . The most common chief complaints were headache 79.1 and fever 88.4 . An oculomotor deficit paresis of the abduscen nerve or oculomotor nerve was obtained in 8 subjects 18.6 . The median of opening pressure was 18 cmH2O range 7 81 cmH2O , where 16 subjects 37.2 with pressure above 20 cmH2O. The ONSD value at the increased opening pressure was wider than ONSD at normal opening pressure 6.09 0.59 vs 5.58 0.55mm . There was a significant ONSD difference between increased and normal opening pressure p 0.02 . Based on Spearmen test results obtained the relationship between ONSD with puncture lumbar opening pressure p 0,002 with medium degree of correlation r 0.452 . The ONSD regression model of predicting opening pressure of lumbar puncture is y 36,488 9,936x.Conclusion ONSD correlated moderately with opening pressure of lumbar puncture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Albertha
"Latar Belakang: Karsinoma endometrium adalah keganasan pada organ reproduksi wanita yang terjadi umumnya pada wanita pasca menopase. Pemeriksaan radiologi khususnya MRI merupakan penunjang penting dalam menentukan staging dan keterlibatan organ organ rongga panggulyang akan menentukan pilihan terapi. Perkembangan teknik fungsional MRI yakni diffusion weighted imaging (DWI) dan apparent diffusion coefficient (ADC)digunakan untuk membedakan lesi jinak dengan ganas, grading disertai dengan perluasannya, tetapi sayangnya teknik inimemiliki keterbatasanyakni nilai yang dihasilkan pada setiap alat MRI heterogen. Saat ini berkembang teknik baru yang membandingkan nilai ADC jaringan lesi dengan nilai ADC jaringan sehat dengan hasil nilai yang lebih homogen.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membuktikan nilai rerata rasio ADC memilikihasil lebih homogen dibandingkan dengan nilai rerata ADC.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif potong lintang menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2018 hingga Maret 2019, dengan jumlah sampel sebanyak 21 sampel.
Hasil: Median nilai ADC tumor endometrium, urin, dan miometrium adalah 0,58 mm2/s, 3,26 mm2/s, dan 1,52 mm2/s. Berdasarkan coefficient of variation (COV) nilai rasio ADC lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC tumor (nilairasio ADC tumor-urine 35,1%, tumor-miometrium 41,7%, dan ADC tumor 42,2%).
Kesimpulan: Nilai rasio ADC memiliki nilai yang lebih homogen dibandingkan dengan nilai ADC, sehingga dapat digunakan sebagai parameter non-invasif dalam mengevaluasi tumor.

Background: Endometrial carcinoma is most common gynecologic malignancy that occurs usually in postmenopausal women. Imaging examination, especially MRI, is important in determining the staging and involvement of intrapelvic organs, which will determine the therapy for the patient. Diffusion weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) can be used to help distinguish benign or malignant lesions, grading and expansion of the lesion, but unfortunately this technique produced heterogeneous values. Currently a new technique is developing that compares the tissue ADC value of lesions with healthy tissue, resulting more homogeneous values.
Purpose: The purpose of this study is to prove the average value of the ADC ratio has more homogeneous results than the average value of the ADC.
Methods: This study uses a cross-sectional descriptive design, using secondary data. The study was conducted from December 2018 to March 2019, with a total sample of 21.
Result: The median ADC value of endometrial, urine, and myometrial tumors was 0.58 mm2 / s, 3.26 mm2 / s, and 1.52 mm2 / s. Based on coefficient of variation (COV) the ADC ratio value is more homogeneous compared to the tumor ADC value (tumor-urine ADC ratio value is 35.1%, myometrial tumor 41.7%, and tumor ADC 42.2%).
Conclusion: The ADC ratio value has a more homogeneous value than the ADC value, so it can be used as a non-invasive parameter in evaluating tumors.
"
[Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syntia Nusanti
"Non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy (NAION) adalah penyakit multifaktorial yang mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun hiperkoagulasi diduga merupakan faktor yang berperan pada NAION. Karena merupakan penyakit mikrovaskular, maka aktivasi koagulasi pada fase awal dapat menyebabkan koagulasi pada NAION. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hiperkoagulasi pada kejadian NAION dalam upaya memberikan tata laksana yang lebih baik pada pasien NAION. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2020 hingga April 2022 di Poliklinik Mata Divisi Neuro-oftalmologi FKUI-RSCM Kirana. Subjek adalah pasien NAION yang dibagi menjadi kelompok hiperkoagulasi dan non-hiperkoagulasi. Penelitian potong lintang dilakukan untuk menilai penanda koagulasi dini yaitu E-selectin, P-selectin, microparticle tissue factor (MPTF), prothrombin fragment 1+2 (PF1+2), dan hasil pemeriksaan penunjang berupa optical coherence tomography (OCT), OCT angiography (OCTA), dan Humphrey visual field (HVF). Uji klinis eksperimental dilakukan untuk menilai efektivitas terapi hiperkoagulasi dalam waktu 1 bulan. Terdapat 64,3% subjek NAION dengan hiperkoagulasi dan terjadi aktivasi penanda koagulasi dini pada kedua kelompok. Kesesuaian lokasi OCTA dengan ganglion cell inner plexiform layer (GCIPL) ditemukan pada 33% subjek, retinal nerve fiber layer (RNFL) pada 6,7% subjek, dan HVF pada 40% subjek, namun tidak terdapat korelasi jumlah sektor atau kuadran yang terkena. Nilai GCIPL dan HVF tidak berkorelasi dengan OCTA, di kuadran yang terkena, RNFL berkorelasi dengan OCTA. Kelompok terapi hiperkoagulasi menunjukkan penurunan perfusi lebih sedikit. Tajam penglihatan membaik pada 57,2% subjek di kelompok NAION dengan hiperkoagulasi dan 42,9% di kelompok NAION nonhiperkoagulasi. Berdasarkan fungsi lapang pandang, kedua kelompok menunjukkan perbaikan pada sebagian besar subjek (71,4% pada kelompok NAION dengan hiperkoagulasi dan 85,8% pada kelompok NAION nonhiperkoagulasi). Disimpulkan hiperkoagulasi berperan pada mekanisme NAION, sehingga tata laksana terkait hiperkoagulasi penting pada pasien NAION dalam mencapai luaran klinis yang lebih baik.

Non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy (NAION) is a multifactorial disease with an uncertain mechanism. Hypercoagulability is believed to be one of the factors involved in NAION. Considering that NAION is a microvascular disease, this study assumes that coagulation activation in the early phase is sufficient to cause a coagulation state in NAION. The aim of this research is to evaluate the role of hypercoagulability in the occurrence of NAION in order to provide better management for NAION patients. The subjects were NAION patients divided into hypercoagulability and non-hypercoagulability groups. A cross-sectional study was conducted to assess early coagulation markers, namely E-selectin, P-selectin, microparticle tissue factor (MPTF), and prothrombin fragment 1+2 (PF1+2), as well as ancillary tests such as optical coherence tomography (OCT), OCT angiography (OCTA), and Humphrey visual field (HVF). An experimental clinical trial was conducted to evaluate the effectiveness of hypercoagulation therapy within one month. It was found that 64.3% of NAION subjects had hypercoagulability. Early coagulation marker activation occurred in both groups. There was a concordance between OCTA and ganglion cell inner plexiform layer (GCIPL) location in 33% of subjects, retinal nerve fiber layer (RNFL) in 6.7% of subjects, and HVF in 40% of subjects. However, no correlation was found regarding the number of affected sectors or quadrants. GCIPL and HVF values did not correlate with OCTA, whereas in the affected quadrant, RNFL correlated with OCTA. The hypercoagulation therapy group showed less perfusion reduction. Visual acuity improved in 57.2% of subjects in the hypercoagulability NAION group and 42.9% in the non-hypercoagulability NAION group. Based on visual field function, both groups showed improvement in the majority of subjects (71.4% in the hypercoagulability NAION group and 85.8% in the non- hypercoagulability NAION group). It can be concluded that hypercoagulability plays a role in the mechanism of NAION, thus emphasizing the importance of managing hypercoagulability in NAION patients to achieve better clinical outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Gusti Ayu Ari Raiasih
"Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan desain potong lintang (comparative cross sectional) yang bertujuan untuk menilai dan membandingkan ketebalan lapisan serabut saraf retina/retinal nerve fiber layer (RNFL) peripapil antara kelompok normal dan kelompok glaukoma dengan cup disk ratio (CDR) vertikal 0,4 sampai dengan 0,7 di poliklinik mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kirana. Sebanyak 40 mata kelompok normal dan 34 mata kelompok glaukoma mengikuti pemeriksaan Humphrey field analyzer dan Optical Coherence Tomography (OCT). Kemudian ketebalan RNFL peripapil kelompok normal dan glaukoma dianalisis untuk mendapatkan perbandingan ketebalan RNFL peripapil antara kelompok normal dan glaukoma. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada perbedaan perubahan ketebalan lapisan serabut saraf retina peripapil seiring dengan penambahan CDR vertikal namun secara klinis ketebalan RNFL peripapil pada kelompok glaukoma lebih tipis dibandingkan kelompok normal dengan CDR vertikal yang sama kecuali pada kuadran temporal.

This was a comparative cross-sectional study. The purpose of this study was to assess and compare the peripapillary retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness between the normal and glaucoma eyes with vertical cup disc ratio (CDR) 0.4 to 0.7 in eye clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kirana. A total of 40 eyes of normal group and 34 eyes of glaucoma following Humphrey field analyzer examination and Optical Coherence Tomography (OCT). Peripapillary RNFL thickness between normal and glaucoma eyes were analysed and compared each other. The result of this study was no difference in changes of peripapillary RNFL along with the progression of vertical CDR but clinically, peripapillary RFNL thickness in glaucoma group is thinner than that of normal group with the same vertical CDR except in temporal quadr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haznim Fadhli
"ABSTRAK
Latar belakang: Nilai normal Kecepatan Hantar Saraf KHS pada saraf perifer, dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis, antara lain usia, tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan faktor non fisiologis seperti teknik pengukuran dan suhu. Referensi nilai normal tiap laboratorium elektrofisiologi berbeda-beda, sehingga dibutuhkan penelitian untuk memperoleh referensi nilai normal KHS yang sesuai dengan populasi di Indonesia, khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangukusumo Jakarta..Metode:Penelitian ini merupakan penelitian prospektif. Responden sehat didapatkan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi diambil secara concecutive, usia 18-60 tahun sebanyak 210 subyek. Dilakukan penapisan neuropati perifer dengan wawancara dan kuesioner Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool BPNS Tool . Subyek yang memenuhi persyaratan dilakukan pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf KHS motorik dan sensorik pada ekstremitas atas dan bawah, meliputi n.medianus, n.ulnaris, n.radialis, n.peroneus, dan n.suralis. Hasil:Didapatkan sebanyak 210 dari 215 subyek yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek penelitian terdiri dari 91 sampel ekstremitas laki-laki dan 119 sampel perempuan. Subjek diambil pada usia dewasa rentang 18-60 tahun, dengan nilai tengah 33 tahun. Subyek terbanyak usia 31-40 tahun, sebanyak 68 sampel 32,4 , jenis kelamin wanita sebanyak 119 sampel 56,7 . Usia subyek dengan nilai tengah 33 22,0-53,4 tahun, dengan tinggi badan subyek 1,6 1,49;1,74 m, dan nilai tengah indeks massa tubuh IMT 24.84 18,5- 31,3 kg/m2.Nilai kecepatan hantar saraf KHS digunakan nilai tengah, dengan batas bawah persentil lima dan batas atas persentil sembilan puluh lima. Nilai KHS motorik pada n.medianus 60 50;73,2 m/det, n.ulnaris 66,6 53;80 m/det, pada n.radialis 67 48,1; 81,8 m/det. n.peroneus 55 39,6;69,8 m/det, n.tibialis 59,5 46,5;75 m/det. Hasil pemeriksaan sensorik, didapatkan KHS sensorik pada n.medianus 66,3 49,6;83 m/det, n.ulnaris 52 41,5;70 m/det, n.radialis 46,7 38,4: 59 m/det. n.peroneus superfisialis 62 44;82 m/det, pada n.suralis 62 48;79 m/det. Kesimpulan:Nilai normal kecepatan hantar saraf motorik pada n.medianus ge;50 m/det, n.ulnaris ge;53 m/det, n.radialis ge;48 m/det, n.peroneus ge;40 m/det, n.tibialis ge;46 m/det. Nilai normal kecepatan hantar saraf KHS pada saraf sensorik pada n.medianus ge; 50 m/det, n.ulnaris ge; 41 m/det, n.radialis ge;38 m/det, n.peroneus superfisialis ge;44 m//det, n.suralis ge;48 m/det.

ABSTRACT<>br>
Background The normal value of nerve conduction velocity NCV in peripheral nerves, is influenced by physiological factors, including age, height and body mass index, and non physiological factors such as measurement and temperature techniques. Reference to the normal values of each electrophysiological laboratory is different, so research is needed to obtain references to normal NCV values that are appropriate to the population in Indonesia, especially in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Method This research is a prospective study. Healthy respondents were obtained according to the inclusion and exclusion criteria were taken concecutive, aged 18 60 years as many as 210 subjects.Peripheral neuropathy screening was performed by interview and questionnaire of the Brief Peripheral Neuropathy Screening Tool BPNS Tool . Subjects meeting the requirements were examined for motor and sensory velocity NCV at the upper and lower extremities, including n.medianus, n.ulnaris, n.radialis, n.peroneus, and n.suralis. Result There were 210 out of 215 subjects who met the inclusion criteria. The subjects consisted of 91 samples of male limbs and 119 female samples. Subjects were takenat an adult age range of 18 60 years, with a median of 33 years. Most subjects aged 3140 years, as many as 68 samples 32.4 , gender of women as much as 119 samples 56.7 . Age of subjects with a mean of 33 22.0 53.4 years, with a subjectheight of 1.6 1.49, 1.74 m, and a median body mass index IMT of 24.84 18.5 31.3 kg m2.The value of nerve conduction velocity NCV is used in the middle value, with thelower limit of the fiveth percentile and the upper limit of the ninety five percentile.The value of motor KHS at n.medianus 60 50 73,2 m s, n.ulnaris 66.6 53 80 m s, on n.radialis 67 48,1,81,8 m det. n.peroneus 55 39,6,69,8 m s, n.tibialis 59,5 46,5,75 m s. The results of sensory examination, obtained sensory KHS atn.medianus 66.3 49.6 83 m s, n.ulnaris 52 41,5 70 m s, n.radialis 46,7 38.4 59 m s. n.peroneus superfisialis 62 44 82 m s, on n.suralis 62 48 79 m s. Conclusion The normal value of motor neural conduction velocity in n.medianus ge 50 m s, n.ulnaris ge 53 m s, n.radialis ge 48 m s, n.peroneus ge 40 m s, n.tibialis 46 m s. In the sensory nerves is obtained nerve velocity n.medianus ge 50 .m s, n.ulnaris ge 41 m s, n.radialis ge 38 m s, n.peroneus superfisialis ge 44 m s, n.suralis ge 48 m s. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Muallim
"Latar Belakang :Peningkatan TIK adalah keadaan darurat medis yang berpotensi menimbulkan iskemia serebral, herniasi otak dan kematian. Penyebab TIK meningkat diantaranya trauma dengan edema serebral, perdarahan intrakranial dan tumor. Pengawasan TIK diperlukan untuk mencegah kematian pascabedah kraniotomi, salah satunya dengan evaluasi DSSO. Metode pemeriksaan TIK ini bersifat noninvasive dan belum umum dilaporkan terhadap pasien cedera otak traumatik pascabedah kraniotomi.Tujuan :Mengetahui hubungan DSSO terhadap peningkatan tekanan intrakranial pasca bedah kraniotomi pada pasien cedera otak traumatikMetode :Penelitian dengan design cross sectional. Pengambilan sampel secara consecutive terhadap pasien trauma kepala yang telah menjalani bedah kraniotomi. Pemeriksaan DSSO dilakukan untuk menilai diameter selubung saraf optik. pemeriksaan Transcranialdoppler dilakukan untuk mengetahui pulsatilityindex PI sehingga dapat ditentukan nilai tekanan intrakranial dengan rumus GoslingIndex TIK= 11,1x PI -1,43 . Uji independent T dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata DSSO terhadap TIK meningkat. Uji ROC dilakukan untuk mengetahui cut off point, sensitifitas dan spesifisitas DSSO.Hasil :Terdapat 40 subjek trauma kepala yang menjalani bedah kraniotomi. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 57,5 , perdarahan intraserebral adalah bentuk cedera otak yang terbanyak 57,7 dan subdural hematoma 30 . Rerata DSSO adalah 5,46 SD 0,80 dan TIK 12,60 mmHg SD 4,80 pasien pascabedah kraniotomi. Perbandingan antara Nilai DSSO TIK meningkat 6,06 mm SD 0,66 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan TIK normal rerata 5,20mm SD 0,72 dimana nilai P menunjukkan perbedaan signifikan P=0,001 . Nilai DSSO>5,40 memiliki sensitifitas 91,7 dan spesifisitas 64,3 dalam menentukan TIK meningkat pascabedah kraniotomi.Kesimpulan :DSSO berperan dalam peningkatan TIK pasca bedah kraniotomi. Kata kunci :DSSO, TIK, kraniotomi

Background The increased of ICP is a medical emergency that potentialy cause cerebral ischemia, brain herniation and death. The cause of increasing ICP including trauma with cerebral edema, intracranial hemorrhage and tumor. Observation of ICP is needed to prevent death after craniotomy surgery. One of the methods to observe ICP is using ONSD. This method is a noninvasive method for evaluate the increased of ICP but has not been commonly reported in patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery.Objectives Tofind out the correlation between ONSD and the increased intracranial pressure post craniotomy surgery in patient with traumatic brain injury.Method This research is using cross sectional design method. The sample is selected consecutively towards patient with traumatic brain injury after craniotomy surgery. The ONSD examination is performed to determine the diamater of optic nerve sheath. The transcranial doppler examination is performed to determine the pulsatility index PI that can be used to know the value of ICP with Gosling index ICP 11,1 x PI 1,43 . Independent T test is performed to determine the mean difference of ONSD and the increased of ICP, the ROC test is performed to determine cut off point of ONSD 39 s sensitivity and specificity.Results There were 40 head trauma subjects who have undergone craniotomy. The most common sex were male 57.5 , intracerebral hemorrhage was the most common form of brain injury 57.7 and subdural hematoma 30 . The mean ONSD was 5.46 SD 0.80 and ICP 12.60 mmHg SD 4.80 in postoperative craniotomy patients. Comparison between ONSD and ICP show, there rsquo s increasing ONSD values 6.06 mm SD 0.66 for increasing ICP subject and it has higher values than the normal average ICP with 5.20 mm SD 0.72 . P values showed significant differences P 0.001 of ONSD and ICP. The value of ONSD 5.40 has sensitivity of 91.7 and specificity of 64.3 to determining increased ICP post craniotomy surgery.Conclusion ONSDhas role for the increased of ICP post craniotomy surgery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisresti Diwyacitta
"ABSTRAK
Latar belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat dimana sering melibatkan nervus optikus (94-99%). Namun hanya sekitar 20% yang mengalami neuritis optik (NO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur dan fungsi nervus optikus antara pasien MS dengan kontrol normal, perbedaan pada kelompok MS selama pengamatan satu tahun, serta hubungannya dengan durasi penyakit, jumlah relaps, derajat disabilitas, dan subtipe MS.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang melibatkan 58 mata pasien MS. Fungsi nervus optikus dinilai dengan visus, sensitivitas kontras, dan latensi P100. Sedangkan struktur nervus optikus dinilai dengan melihat ketebalan GCIPL, RNFL melalui pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT), dan gambaran fundus.
Hasil: Struktur dan fungsi nervus optikus kelompok MS lebih buruk dibandingkan dengan kontrol normal. Selama pengamatan 6 dan 12 bulan, lapisan GCIPL dan RNFL pada kelompok MS mengalami penipisan. Durasi penyakit dan jumlah relaps berkorelasi dengan pemanjangan latensi P100 (r=-0,61, p<0,001 dan r=-0,46, p=0,02). Lapisan GCIPL dan RNFL lebih tipis pada subtipe SPMS dibandingkan RRMS.
Kesimpulan: Struktur dan fungsi nervus optikus pasien MS lebih buruk dibandingkan orang normal. Terjadi penipisan GCIPL dan RNFL dalam 6 dan 12 bulan namun tidak berkorelasi dengan durasi penyakit, jumlah relaps, dan derajat disabilitas.

ABSTRACT
Background: Multipel sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination of central nervous system which often involves the optic nerve (94-99%). However, only about 20% patients experience optic neuritis (ON). This study aims to determinate the optic nerve structure and function differences between MS patients and healthy controls (HC), the optic nerve changes in MS group over 1-year follow up, and its correlations with the disease duration, number of relapses, degree of disability, and MS subtype.
Methods: This is a prospective cohort study involving 58 eyes of MS patients. Optic nerve function was evaluated by visual acuity, contrast sensitivity, and P100 latency. While the optic nerve structure was assessed by looking at GCIPL and RNFL thickness through Optical Coherence Tomography (OCT), also fundus appearance.
Results: Optic nerve structure and function of MS group were worse than HC. During 6 and 12 months observations, GCIPL and RNFL in MS group were depleting. The disease duration and number of relapses correlated with delayed P100 latency (r=-0,61, p<0,001 and r=-0,46, p=0,02). GCIPL and RNFL in SPMS subtype were thinner than in RRMS."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>