Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dally Rahman
"Stigma pada Tuberculosis (TB) paru dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif merupakan masalah kesehatan yang serius. Stigma dan diskriminasi menjadikan pasien menutupi status penyakit dan berdampak pada terhambatnya pasien untuk melakukan program pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran pengalaman pasien TB paru dengan HIV positif pada stigma ganda yang dialaminya. Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif femomenologi dengan metode wawancara mendalam pada 9 orang pasien TB paru dengan HIV positif. Data dianalisis menggunakan teknik Colaizzi. Hasil penelitian mendapatkan tujuh tema, yaitu stigma ganda yang diterima, perilaku diskriminatif petugas kesehatan, perilaku diskriminatif keluarga dan lingkungan, internal stigma, dampak stigma ganda, harapan untuk tidak didiskriminasi, diterima dan didukung, serta strategi koping pada stigma ganda. Rekomendasi penelitian ini, perlu adanya penerapan manajemen stigma sebagai Standar Operasional Prosedur bagi perawat dalam memberikan pelayanan pada pasien TB paru dengan HIV positif.

Tuberculosis (TB) and Human Immunodeficiency Virus (HIV) related stigma is a serious problem worldwide. Stigma and discrimination have made patients hide their status and had the impact on non adherence of patient treatment program. The purpose of this study was to explore the experiences of double stigma perceived by TB and HIV patients. The design of study was phenomenology qualitative research design with in-depth interview to 9 lung TB and HIV positive patients. Data were analyzed by Colaizzi?s techniques. This study identified seven themes included experienced on double stigma, health worker discriminatory attitudes, family and public discriminatory attitudes, internal stigma, the impact of double stigma, the expectation to not be discriminated, accepted and supported, and coping strategy on double stigma. The expectation of this study, have to apply stigma management as Standard Operational Procedures for nurse on provide services to TB and HIV patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T43674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahayu Nur Laila Praptiwi
"Latar Belakang: Cakupan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang semakin luas berdampak positif dengan menurunnya angka kematian dan kesakitan pasien HIV/AIDS. Waktu inisiasi pemberian terapi ARV pada pasien HIV juga berhubungan erat dengan penurunan angka kematian dan kesakitan. Tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi yaitu 10% dibanding yang tidak tertunda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien HIV.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien HIV rawat jalan dewasa di UPT/HIV RSUPNCM yang memulai ARV pertama kali selama periode Januari 2013-Desember 2014. Data klinis dan laboratorium didapatkan dari rekam medis pasien. Tertundanya inisiasi terapi ARV dinyatakan bila pasien belum memulai terapi ARV 10 minggu setelah diagnosis HIV. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (IMT), status fungsional, stadium klinis HIV, dan infeksi oportunistik. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor tersebut dengan tertundanya inisiasi terapi ARV.
Hasil: Terdapat 444 pasien yang memulai terapi ARV pertama kali, 107 pasien (24,1%) yang tertunda inisiasi terapi ARV dan 337 pasien (75,9%) tidak tertunda. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 3 variabel yang memiliki kemaknaan statistik yaitu stadium klinis lanjut (p<0,001), status fungsional rendah (p<0,001) dan adanya infeksi oportunistik (p<0,001). Pada analisis multivariat lebih lanjut terdapat dua variabel yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV yaitu stadium klinis lanjut (OR: 2,92, IK95% 1,53-7,40, p=0,02) dan adanya infeksi oportunistik (OR 1,99, IK95% 1,21-3,29, p=0,01).
Simpulan: Stadium klinis lanjut menurut WHO dan adanya infeksi oportunistik merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan tertundanya inisiasi terapi ARV pada pasien HIV.

Background: Increase access towards antiretroviral therapy (ART) contribute to global decrease of HIV/AIDS-associated morbidity and mortality. Time to initiation of ART in eligible HIV-infected patients is associated with reduction of mortality and morbidity. Delayed initiation of antiretroviral therapy can lead to increase of mortality rate more than 10% compared to early initiation. It is important to identify factors associated with delayed initiation ART among HIV patient in order to control these factors and thus lower the mortality and morbidity in HIV patients.
Objectives: To identify factors associated with delayed initiation of ART in HIV patients.
Methods: This study was a cross sectional study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of HIV Integrated Clinic Cipto Mangunkusumo General Hospital who started ARV therapy for the first time (ART-naïve patients) enrolled from January 2013 to December 2014. Clinical and laboratory data were extracted from medical records. Delayed initiation ART was defined as eligible patients didn?t initiate ART within 10 weeks after the diagnosis of HIV infection. Factors identified were gender, education level, employment, marital status, WHO clinical stage, BMI, functional status, and the presence of opportunistic infection. Logistic regression test was used to find factors associated with delayed initiation of ART.
Results: There were 444 subjects in this study, which consisted of 107 patients (24.1%) who delayed initiation of ART and 337 patients (75.9%) who didn?t delayed initiation of ART. Based on the bivariate analysis, there were three variables statistically significance, which were advanced WHO clinical stage (p<0.001), lower functional status (p<0.001) and the presence of opportunistic infection (p<0.001). Further multivariate analysis showed that there were two variables associated with delayed initiation of ART, which were advanced WHO clinical stage (OR: 2.92, 95%CI 1.53-7.40, p=0.02) and the presence of opportunistic infection (OR 1.99, 95%CI 1.21-3.29, p=0.01).
Conclusion: Advanced WHO clinical stage and the presence of opportunistic infections are factors associated with delayed initiation of ART among HIV patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Keganasan non limfomatosa dapat terjadi pada pasien-pasien imunokompromais. Namun, penelitian rinci tentang kasus-kasus tersebut sangat kurang. Dalam tulisan ini diuraikan 4 kasus tumor padat para pasien HIV seropositif. (Med J Indones 2004; 13: 171-2)

Non lymphomatous malignancies may also develop in immunocompromised patients. However a detail study about the cases is lacking. Here we describe four cases of solid tumours in HIV seropositive patients. (Med J Indones 2004; 13: 171-2)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 171-172, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-171
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Hidayah
"HIV telah menjadi epidemi selama lebih dari tiga dekade dunia dan menjadi agenda kesehatan global yang terus dibahas. Status epidemi HIV di Tanah Papua menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia dan telah memasuki kategori tergeneralisasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui besar masalah HIV dan hubungan faktor sosiodemografi, ko-infeksi, perilaku, lingkungan dan pelayanan kesehatan dengan kejadian HIV di Tanah Papua pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional dengan menggunakan data sekunder Survei Terpadu Biologis dan Perilaku Tanah Papua Tahun 2013. Sampel berjumlah 5.334 responden, berusia 15-49 tahun yang bersedia dan berhasil dilakukan rapid test untuk mengetahui status HIV. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan kejadian HIV di Tanah Papua, yaitu usia, tingkat pendidikan dan suku asal; faktor ko-infeksi, yaitu status sifilis; faktor perilaku, yaitu pengetahuan, usia pertama berhubungan seks, status poligami, sirkumsisi, seks di luar nikah, seks saat menstruasi, konsumsi alkohol sebelum berhubungan seks, penggungaan narkoba suntik dan kebiasaan menyayat tubuh; faktor lingkungan, yaitu strata geografis; faktor pelayanan kesehatan, yaitu ketersediaan kondom, akses dan biaya pemeriksaan pelayanan VCT. Uji statistik multivariat menunjukkan faktor yang paling berhubungan dengan HIV pada responden laki-laki yaitu sirkumsisi, sedangka pada keseluruhan responden yaitu biaya pemeriksaan pelayanan VCT. Penelitian ini menemukan bahwa peluang lebih tinggi untuk status HIV positif ditemukan pada responden berada pada usia 15-24 tahun, pendidikan tinggi, suku asal papua, status sifilis positif, pengetahua rendah, pertama kali berhubungan seks pada usia 15-24 tahun, tidak berpoligami, tidak sirkumsisi, pernah seks di luar nikah dan saat menstruasi, jarang konsumsi alkohol sebelum seks, menggunakan narkoba suntik, tidak melakukan kebiasaan menyayat tubuh, akses kondom sulit, akses ke pelayanan VCT mudah, serta biaya pemeriksaan VCT tidak terjangkau.

HIV has become an epidemic for more than three decades and remained global health issue. The status of the HIV epidemic in Papua shows a different developments compared to other regions in Indonesia and has been classified as having generalized category. This research aims to determine the problem of HIV and the association between sociodemographic, co-infections, behavioral, environmental and health services factors with HIV infection in Tanah Papua in the year 2013. This research is a quantitative study, with a cross-sectional design and use secondary data from the Survei Terpadu Biologis dan Perilaku in Tanah Papua in 2013. The number of sample is 5334 respondents aged from 15-49 years old who are willing to and successfully conduct a rapid test to determine the HIV status. The results of this research is to find sociodemographic factors that associated with HIV infection in Papua, which are age, education and ethnic; co-infection factors, which is the status of syphilis; behavioral factors, which are knowledge, age of first sex, status of polygamy, circumcision, extramarital sex, sex during menstruation, drunk alcohol before having sex, injecting drug use, and traditional healing with scrathcing body; environmental factors, which is geographical strata; health care factors, which are availability of condoms, access to VCT and costs of VCT test. Multivariate statistical test indicates that the most associated factor with HIV infection among male respondents is circumcision, however among overall respondents the most associated factor is the costs of VCT test.. This research found the risk of HIV infection is higher for respondents around the age of 15-24 years old, higher educational level, origin of Papua, positive in syphilis status, lower knowledge level, first had sex at around the age of 15-24 years old, had one sex partner, lack of circumcision, had extramarital sex, had sex during menstruation, infrequent drunk alcohol before sex, injecting drug use, not making a habit of healing with scrathcing body, have a difficult access to condom, accessable to VCT, and high costs of VCT test."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Sulaiman
"HIV/AIDS masih menjadi masalah pandemik diseluruh negara dibelahan dunia, salah satu yang memiliki berkontribusi pada bertambahnya jumlah kasus adalah pada pasangan seksual akibat dari ketidakterbukaan salah satu pasangan khususnya laki-laki terhadap status HIV nya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan dukungan sosial, stigma dan maskulinitas ODHA pria terhadap keterbukaan status HIV pada pasangannya. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik consecutive sampling pada 110 orang ODHA laki-laki dewasa (>18 tahun) dibawah pengawasan LSM Yayasan Tanpa Batas Kupang, dengan 4 jenis kuesioner penelitian (Brief HIV Stigma Scale, Perceived Social Support in HIV/PSS-HIV, Masculinity Attribute Questionaire/MAQ dan Brief HIV Disclosure and Saffer sex efficacy). Hasil : Pada analisis bivariat ditemukan hubungan yang signifikan antara maskulinitas dan stigma dengan keterbukaan dengan nilai p masing-masing (0,000 dan 0,042 : α 0,05), tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan keterbukaan status HIV ODHA pria (p = 0,621 ; α = 0,05). Pada analisis multivariat regresi logistik ganda didapatkan hasil bahwa maskulinitas memiliki hubungan negatif yang secara signifikan dan paling memiliki hubungan dengan keterbukaan status HIV ODHA pria kepada pasangannya (p = 0,000, α = 0,05 ; OR = 0,154) sehingga diperlukan konseling yang mendalam untuk membantu mengatasi masalah dan dampak keterbukaannya terhadap kondisi maskulinitas nya serta edukasi terhadap resiko penularan pada pasangan.

Introduction: HIV is still a pandemic problem in all countries around the world, one that contributes to the increasing number of case, namely in sexual partners due to the lack of disclose from partners, especially men to their HIV status.
Research objective: The purpose of this study was to identify the relatioship of social support, stigma anf masculinity among male PLWH with HIV disclosure to their spouse. This study using cross sectional design wit consecutive sampling technique on 110 adult male PLWH (>18 years old) under the supervision of NGO's Yayasan Tanpa Batas in Kupang, and using 4 types of reserach questionaires (Brief HIV Stigma Scale, Perceived Social Support in HIV/PSS-HIV, Masculinity Attribute Quastionaire/MAQ, and Brief HIV Disclosure and Saffer sex Efficacy).
Results: In bivariate analysis found a significant correlation between stigma and masculinity to HIV disclosure with their respective p value (0,042 and 0,000 : α = 0,05), but there was no significant correlate between social support with HIV disclosure (p = 0,621 : α = 0,05). In Multivariate multiple logistic regression analysis, it was found that masculinity had a negative and most significant correlate with HIV disclosure of male PLWH to their spouse (p = 0,000 : α = 0,05, OR = 0,154). So, in-depth counseling is needed to help addressing problems and the impact of their disclosure on masculinity conditiona and education on the risk of transmission to their spouse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Yuniati Demang
"Tes HIV merupakan gerbang utama dalam rangkaian penanganan kasus HIV. Diketahuinya status HIV seseorang akan meningkatkan upaya pencegahan pada orang yang belum terinfeksi HIV dan membantu orang yang terinfeksi untuk segera mengakses layanan pengobatan. Berdasarkan laporan STBP tahun 2015 Lelaki potensial berisiko tinggi merupakan kelompok kunci yang memiliki prevalensi tes HIV paling rendah. Orang yang memiliki persepsi berisiko tertular penyakit akan cenderung untuk mengakses layanan kesehatan untuk mengetahui status kesehatannya, dan persepsi berisiko tertular HIV diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan tes HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh persepsi berisiko tertular HIV terhadap perilaku tes HIV pada lelaki potensial berisiko tinggi. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder STBP tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 4.898 orang yang diambil dari 12 kab/kota di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang berpersepsi berisiko tertular HIV memiliki faktor protektif 0,9 kali untuk melakukan tes HIV dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki persepsi berisiko tertular HIV, dengan adjusted RO sebesar 0,9 dan 95 CI 0,5-1,5. Hasil ini belum bisa mengungkapkan adanya pengaruh persepsi berisiko tertular HIV terhadap perilaku tes HIV pada responden lelaki potensial berisiko tinggi.

An HIV testing is the main gate in the circuit handling cases of HIV. Knowing one 39 s HIV status will increase prevention efforts on those who have not been infected with HIV and, furthermore, will help an infected person for immediately accessing treatment services. Based on the 2015 STBP rsquo s report, potential high risk men is a key group who has the lowest prevalence of HIV testing. People who have the perception of the risk of contracting the disease will tend to access health care services to find out the status of his health, and moreover, the perception of risk of contracting HIV is allegedly is one of the factors that affect a person do HIV testing. This research aims to study the influence of perception are at risk of contracting HIV testing behavior against HIV potential high risk men. This research is the analysis of secondary data of STBP in 2015. The research method used is cross sectional with number of samples as much as 4,898 people drawn from 12 counties cities in Indonesia. The research results showed that respondents who have the perception of risk of contracting HIV has a protective factor of 0.9 times to perform HIV testing compared to respondents who do not have the perception of the risk of contracting HIV, with adjusted RO of 0.9 and 95 CI 0.5 1.5. These results have not been able to reveal the influence of perceptions of the risk of contracting HIV on the behavior of HIV testing in potential high risk male respondents. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tomasouw, Eryza Odilia
"Kasus HIV di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun, dengan penularan tertinggi pada kelompok usia produktif. Efek jangka panjang yaitu penurunan angka harapan hidup, peningkatan kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara faktor lingkungan sosiekonomi dan demografi yang terdapat pada setiap provinsi di Indonesia dengan prevalensi HIV pada tahun 2013.
Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi ekologi dengan uji statistik regresi linier sederhana dan regresi linier ganda. Terdapat korelasi kuat positif antara upah minimum provinsi dengan prevalensi HIV (r = 0,52 ; R2 = 0,27 ; P-value = 0,002). Perlu penelitian lebih lanjut pada tingkat kabupaten yang memisahkan Tanah Papua dari populasi studi dan dengan indikator ekonomi yang lebih bervariasi.

HIV case in Indonesia is increasing every year. The highest transmision is among people in their productive age. Long term effect of this situation is the decreasing of life expectancy, increasing of poverty, and lead to economic imbalance. The purpose of this study was to identify the relationship between socioeconomic & demography factors in each province in Indonesia and HIV prevalence in 2013.
Study design used in this study is ecological study and the statistical methods used are simple linear regression and multiple linear regression. The result showed a strong positive correlation between provincial minimum wage and HIV prevalence (r = 0,52 ; R2 = 0,27 ; P-value = 0,002). Further advance research need to be done in regency level that separate Papua region and using a more varied indicator of economy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Yusup Hidayat
"Jumlah orang yang terinfeksi HIV terus meningkat pesat dan tersebar luas di seluruh dunia. Individu yang dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian menunjukkan perubahan psikososial yang berdampak pada dirinya, sehingga memerlukan suatu mekanisme koping. Strategi koping merupakan cara individu menyelesaikan masalah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi koping pasien HIV/AIDS di Poliklinik NAPZA Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Desain penelitian menggunakan desain deskriptif sederhana, dilakukan secara purposive sampling methods terhadap 83 responden. Hasil penelitian menunjukkan strategi koping yang dipakai responden, didapatkan strategi koping yang adaptif 55,6 %, dan stretegi koping yang maladaptif sebanyak 44,4 %.
Penelitian ini mengindikasikan perlunya memberikan dukungan dan mendorong pasien HIV/AIDS dalam menemukan atau meningkatkan koping individu yang adaptif, dan memfasilitasi pasien HIV/AIDS mendapatkan sumber-sumber dukungan. Sehingga pasien HIV/AIDS dapat beradaptasi terhadap kondisinya dan mampu mengelola penyakit yang dialaminya.

People infected with HIV continues to increase rapidly and is widespread throughout the world. HIV-infected individuals, in part demonstrated psychosocial changes that have an impact on him, so it takes a coping strategies. Coping strategies is an individual way to solve the problem. The purpose of this study is to describe the coping strategies of patients with HIV / AIDS in drug Polyclinic Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital.
The study design using simple descriptive design, done by purposive sampling methods against 83 respondents. The results suggest coping strategies employed respondents, found that adaptive coping strategies 55.6%, and maladaptive coping stretegies 44.4%.
This study indicates the need to provide support and promote HIV / AIDS patients in finding and enhancing adaptive coping individuals, and facilitate HIV / AIDS patients get support resources. So that HIV / AIDS patients can adapt to the conditions and be able to manage the disease they experienced.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Puspasari
"Infeksi HIV bukan hanya mempengaruhi kesehatan fisik tetapi juga dapat mengakibatkan kecemasan atau depresi berkaitan dengan mortalitas, terapi, dan stigma, yang kemudian berdampak pada kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kualitas hidup Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu. Penelitian ini menggunakan rancangan studi deskriptif dan mengumpulkan sebanyak 121 responden.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup kurang baik (63,6%), mayoritas responden memiliki dimensi kesehatan fisik yang kurang baik yaitu (60,3%). Pada dimensi psikologis responden memiliki nilai yang kurang baik (75,2 %). Dalam dimensi interaksi sosial, mayoritas responden juga memiliki nilai yang kurang baik (57,9%). Dalam dimensi lingkungan (62,8%) nilainya kurang baik. Dari dimensi tingkat kemandirian, mayoritas responden (70,2%) nilainya kurang baik. Sedangkan dimensi spiritual, sebanyak 68 orang (56,2%) nilainya kurang baik.

HIV Infection not only affects physical health but also causes anxiety or depression related to mortality, therapy, and stigma, and then influence quality of life. The purpose of this study was to determine the picture quality of life of people living with HIV / AIDS (PLWHA) in Bhayangkara Hospitals Indramayu. This study used a descriptive study design and collect as much as 121 respondents.
The results showed that most of respondents have a poor quality of life (63.6%), more specically, all dimention the of qualiti of life majority respondents showed less than expected. Dimention of physical health, (60.3%), (75.2%), social interaction (57.9%), environmental (62.8%), level of independence (70.2%), and spiritual dimension (56.2%).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machrumnizar
"ABSTRAK
Cryptococcus neoformans adalah khamir berkapsul penyebab kriptokokosis, predileksi di SSP terutama pada individu imunokompromi. Cryptococcus hidup bersama mikobiom di alam. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan kriptokokosis meningeal pada pasien HIV dengan keberadaan Cryptococcus di alam. Sampel yang diteliti adalah material pepohonan di lubang pohon dan tanah, debu rumah, kotoran burung, dan air dari 22 rumah pasien HIV dengan kriptokokosis (kelompok kasus) dan tanpa kriptokokosis (kelompok kontrol). Identifikasi Cryptococcus dilakukan berdasarkan karakter morfologi dan fisiologi-biokimia. Total 297 isolat jamur ditemukan Cryptococcus, Candida, Saccharomyces, Rhodotorula, Aspergillus, Neurosporium dan Penicillium. Tujuh isolat Cryptococcus neoformans ditemukan dari 120 khamir yang diperiksa berasal dari debu rumah, kotoran burung kenari, lubang pohon mangga, lapukan daun rambutan. Berdasarkan statistik terdapat korelasi positif signifikan antara keberadaan Cryptococcus neoformans di lingkungan dengan kriptokokosis pada pasien HIV (p=0,013; r=0,47) namun tidak ada korelasi positif dengan musim (r=-0,069). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Cryptococcus neoformans di lingkungan rumah pasien HIV dengan kriptokokosis meningeal. Di alam Cryptococcus neoformans ditemukan bersama Cryptococcus albidus dan Aspergillus niger.

ABSTRACT
Cryptococcus neoformans is an encapsulated yeast cause cryptococcosis with a predilection for the CNS, especially individual with immunocompromise. The fungus lives with other fungi in nature. This study investigates the relationship between meningeal cryptococcosis in HIV patients with the presence of Cryptococcus in nature. The samples studied are decaying wood and leaves, tree hollows, dust, bird droppings, and water from 22 of HIV-infected patients haouse with cryptococcosis (case group) and without cryptococcosis (control Group). Identification of Cryptococcus was based on morphological and fisiologi-biochemistry characters. From total 297 fungal isolates we found Cryptococcus, Candida, Saccharomyces, Rhodotorula, Aspergillus, Neurosporium and Penicillium. From 120 yeast isolates we found seven Cryptococcus neoformans from dust, canary dropping, mango tree hollow, decaying rambutan leaves on the ground. The statistical analysis showed a significant association among cryptococcosis in HIV-infected patients with the environment (p=0.013). Based on statistic there is a significant positive correlation between the presence of Cryptococcus neoformans in the environment with cryptococcosis in HIV-infected patients (r=0.47), but no positive correlation with the season (r=-0.069 ). These results indicate that there is a relationship between Cryptococcus neoformans in the environment of HIV-infected patients house with meningeal cryptococcosis. In nature Cryptococcus neoformans is found along Cryptococcus albidus and Aspergillus niger.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>