Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203453 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"[Latar Belakang: Diabetes melitus tipe 1 merupakan diabetes yang paling sering ditemui pada anak dan remaja. Diabetes melitus dapat menimbulkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Salah satu komplikasi mikrovaskular dari diabetes melitus adalah retinopati diabetik. Sampai saat ini, belum ada data mengenai prevalens dan faktor yang berhubungan dengan retinopati diabetik di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang menggunakan data sekunder. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebesar 68 pasien dan data subjek didapatkan melalui arsip rekam medis pasien diabetes melitus tipe 1 di Poliklinik Endokrinologi Anak RSCM. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, usia awitan DM tipe 1, durasi DM tipe 1, riwayat ketoasidosis diabetik, regimen insulin, kontrol glikemik, indeks massa tubuh, dan pubertas, sementara variabel terikatnya adalah kejadian retinopati diabetik.
Hasil: Prevalens retinopati diabetik pada pasien anak dengan DM tipe 1 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 7,4%. Dari seluruh variabel bebas yang diteliti, hanya variabel durasi DM tipe 1 yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik (nilai p=0,01).
Kesimpulan: Prevalens retinopati diabetik pada pasien anak dengan DM tipe 1 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah 7,4%. Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian retinopati diabetik adalah durasi DM tipe 1.
Saran: Penelitian ini dapat menjadi pilot study untuk penelitian mengenai retinopati diabetik kedepannya. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan secara kohort atau case control untuk memetakan faktor risiko retinopati diabetik secara jelas. Sistem pencatatan rekam medis harus terus diperbaiki untuk mendukung iklim penelitian di dunia kedokteran Indonesia, Background: Type 1 diabetes mellitus is the most common type of childhood and adolescent diabetes. There are several macrovascular and microvascular complications associated with diabetes mellitus. Diabetic retinopathy is one of the microvascular complications. Until now, there’s no information about prevalence and risk factor of diabetic retinopathy in Indonesia.
Methods: In this secondary data cross sectional study, we collected 68 subjects from Cipto Mangunkusmo Hospital. Subjects’ medical history is collected from Cipto Mangunkusumo Hospital patient’s medical record. Our independent variables are sex, age of DM onset, duration of DM, diabetic ketoacidosis history, insulin regiment, glycemic control, body mass index, and puberty, while the dependent variable is diabetic retinopathy.
Results: Prevalence of diabetic retinopathy among children with type 1 diabetes in Cipto Mangunkusumo Hospital is 7.4%. We found the factor associated with diabetic retinopathy in duration of DM (p=0,01).
Conclusion: Diabetic retinopathy affects about one tenth of type 1 DM patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. Duration of DM is associated with diabetic retinopathy in type 1 DM.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Fitria Hariany
"ABSTRAK
Diabetes Melitus Tipe 2 DM Tipe 2 merupakan kelompok DM yang dapat menyebabkan komplikasi, baik makrovaskular maupun mikrovaskular. Retinopati Diabetik RD merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan dan merupakan penyebab utama kebutaan pada individu usia kerja. Keberadaan maupun progresifitas retinopati diabetik diduga disebabkan karena durasi diabetes, pemeriksaan glukosa darah, pemeriksaan profil lipid, mikroalbuminuria, kreatinin darah, dan indeks massa tubuh. Metode CART digunakan untuk menentukan faktor yang berhubungan dengan retinopati diabetik pada pasien DM Tipe 2. Dalam penelitian ini diperoleh persentasi retinopati diabetik pada pasien DM Tipe 2 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah sebesar 10.3 dan faktor utama yang berhubungan dengan retinopati diabetik pada pasien DM Tipe 2 adalah nilai mikroalbuminuria sewaktu.

ABSTRACT
Type 2 Diabetes Mellitus DM Type 2 is classified under diabetes mellitus group that could result in complication, both macrovascular and microvascular. Diabetic Retinopathy RD is one of the complications of microvascular DM which can cause loss of vision and is a major cause of blindness in the individual working age. The presence and progression of diabetic retinopathy is thought to be due to duration of diabetes, blood glucose examination, lipid profile examination, microalbuminuria, blood creatinine, and body mass index. The CART method was used to determine factors associated with diabetic retinopathy in Type 2 diabetic patients. In this study, the percentage of diabetic retinopathy in patients with type 2 diabetes mellitus in Cipto Mangunkusumo Hospital was 10.3 and the main factors associated with diabetic retinopathy in DM Type 2 patients is the value of microalbuminuria at the time."
2017
S69794
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wijaya
"Latar Belakang: Sindrom renal-retinal diabetes (SRRD) merupakan koinsidensi nefropati dan retinopati diabetik yang menimbulkan komplikasi serius berupa penurunan kualitas hidup dan peningkatan mortalitas dengan risiko kardiovaskular sebesar 4,15 kali lipat. Sementara itu, angka deteksi dini retinopati dan nefropati masih rendah dan faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD pada penyandang DMT2 di Indonesia belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom renal-retinal diabetes pada DMT2 di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang yang dilakukan pada 157 subjek DMT2 berusia > 18 tahun. Data karakteristik subjek didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto fundus retina, dan pengambilan sampel darah dan urin. Hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan SRRD dianalisis secara bivariat dengan chi square dan multivariat dengan regresi logistik menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0.
Hasil: Sebanyak 157 pasien terlibat dalam penelitian ini. Prevalensi SRRD adalah 28,7%, dengan rerata usia 56 (27-76) tahun, rerata IMT 25,7 (21,3-33,8) kg/m, median durasi DM 12 (1-25) tahun dengan HbA1c 8,6 (4,8-15,8) %, prevalensi hipertensi 86,7%, prevalensi dislipidemia 91%, 76,4% pasien tidak merokok, 33,3% pasien albuminuria derajat A2 dan 66,7% derajat A3. Pada SRRD, prevalensi derajat nefropati berdasarkan klasifikasi adalah 0% risiko rendah, 13,3% risiko sedang, 20% risiko tinggi, dan 66,7% risiko sangat tinggi dan prevalensi derajat retinopati diabetik adalah 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME, dengan angka deteksi dini retinopati dan nefropati adalah sebesar 20% dan 17,8%. Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara durasi DM (p=0,001) dan albuminuria (p=0,008) dengan kejadian SRRD.
Simpulan: Proporsi SRRD pada penyandang DMT2 cukup tinggi (28,7%) dan pada studi ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian SRRD pada DMT2 adalah durasi DM dan albuminuria.

Backgrounds: Diabetic renal-retinal syndrome (DRRS) is a coincidence of diabetic nephropathy and retinopathy that cause serious complications as decreased quality of life and increased mortality with cardiovascular event risk 4,15 times higher. Meanwhile, early detection rate of retinopathy and nephropathy are still low and associated factors of DRRS among Indonesian type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients has not been known.
Objective: To obtain the factors related to DRRS among T2DM patients in Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods: This was a cross-sectional study involving 157 T2DM subjects aged 18 characteristics were obtained from anamnesis, physical examination, retinal fundus, and blood and urine sample. Bivariate and multivariate analysis using statistical package for the social sciences (SPSS) version 21.0 was used to analyze the factors related to DRRS.
Results: 157 patients were included in this study. The prevalence of DRRS was 28,7% with median age was 56 (27-76) year old, mean BMI was 25,7 (21,3-33,8) kg/m2, median duration of DM was 12 (1-25) year old and HbA1c 8,6% (4,8-15,8%), prevalence of hypertension was 86,7%, prevalence of dyslipidemia was 91%, 76,4% patients were not smoker, 33,3% patients with albuminuria grade A2 and 66,7% patients with grade A3. In DRRS, the prevalence of nephropathy was classified as 0% low risk, 13,3% moderate risk, 20% high risk, and 66,7% very high risk and the the prevalence of diabetic retinopathy was 42,2% NPDR, 55,6% PDR, 24,2% DME with early detection rate of retinopathy and nephropathy were 20% and 17,8%. Bivariate and multivariate analysis showed significant correlation with duration of DM (p=0,001) and albuminuria (p=0,008) with DRRS.
Conclusions: DRRS proportion in T2DM was high (28,7%) and this study showed that duration of DM and albuminuria were correlated with DRRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Arianto
"Diabetes melitus dan gizi kurang secara terpisah dikatakan dapat meningkatkan kejadian tuberkulosis. Studi potong lintang analitik ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi tuberkulosis paru (TBP) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Dari keseluruhan 462 pasien DMT2, 125 pasien (27.1%) di antaranya menderita TBP. Total pasien DMT2 yang menderita gizi kurang sebesar 125 pasien (27.1%). Sementara itu, dari keseluruhan pasien DMT2 yang menderita TBP, 78 pasien (62.4%) juga menderita gizi kurang. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP yang bermakna secara statistik (p <0.000).

Diabetes mellitus and undernutrition separately were proved as risk factors of tuberculosis incidence. This analytical cross sectional study aimed to measure the prevalence of lung tuberculosis (TBP) among type 2 diabetes mellitus (DMT2) patients and its association with undernutrition. A total of 462 DMT2 patients were analyzed and the results showed that 125 patients (27.1%) had TBP and 125 patients (27.1%) were undernourished. Within DMT2 patients who had TBP, there were 78 undernourished patients (62.4%). We concluded there is a highly significant statistical association between undernutrition and prevalence of TBP among DMT2 patients (p <0.000)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Nur rachmanto
"Diabetes melitus (DM) merupakan kondisi yang mendorong perkembangan dan progresi penyakit arteri perifer (PAP). Short Chain Fatty Acid (SCFA) memiliki peran dalam modulasi sistem imun yang merupakan komponen penting dalam patogenesis dari aterosklerosis. Peran SCFA dalam regulasi kadar glukosa dan aterosklerosis memiliki kemungkinan penggunaan SCFA sebagai upaya mencegah PAP pada pasien DM Tipe 2. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan antara SCFA dengan parameter ultrasonografi pada pasien diabetes melitus tipe 2 tanpa penyakit arteri perifer ekstremitas bawah Metode: Sebuah penelitian potong lintang pada pasien diabetes melitus tanpa PAP pada selama Februari 2023 s/d Mei 2023 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Seluruh pasien dilakukan ultrasonografi pada ekstremitas bawah untuk menilai diameter, volume flow, peak systolic value, gelombang spektral, dan plak. Kemudian dialukan pemeriksaan SCFA dari feses Hasil: Terdapat 39 pasien yang diikutsertakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini ditemukan korelasi positif sedang antara diameter SFA dengan propionat persen (r= 0,408; p= 0,025), terdapat korelasi negatif antara PSV CFA dengan total SCFA (p= 0,007), korelasi positif antara valerat persen dengan PSV PTA (r= 0,375; p= 0,041) dan PSV DPA (r= 0,379; p= 0,039), terdapat korelasi antara VF DPA dengan total SCFA (p =0.025), dan korelasi antara VF PTA dengan total SCFA (p=0,006) dan asetat absolut (p=0,038). Hasil ini dapat dipengaruhi oleh antropometri, jenis kelamin, kadar kolesterol, tekanan darah dan kadar gula darah pasien Kesimpulan: Terdapat potensi hubungan antara kadar SCFA dengan parameter ultrasonografi ekstremitas bawah. Perlu penelitian lebih lanjut dengan desain kohort dengan jumlah sampel yang lebih banyak untuk mengevaluasi efek sebab-akibat terkait hubungan SCFA dengan parameter-parameter klinis dan ultrasonografi pasien DM tanpa PAP.

Diabetes mellitus (DM) is a condition that promotes the development and progression of peripheral arterial disease (PAD). Short Chain Fatty Acid (SCFA) has a role in modulating the immune system in the pathogenesis of atherosclerosis. The role of SCFA in the regulation of glucose levels and atherosclerosis has the possibility of using SCFA as an effort to prevent PAD in Type 2 DM patients. Therefore, this study aims to find out the relationship between SCFA and ultrasound parameters in type 2 DM patients without lower extremity peripheral artery disease. Methods: A cross-sectional study of DM patients without PAD from February 2023 to May 2023 at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. All patients underwent ultrasonography of the lower extremities to assess diameter, volume flow, peak systolic value, spectral waves, and plaques. Then a SCFA examination of the stool is carried out Results: There were 39 patients included in this study. This study found a positive correlation between SFA diameter and propionate percent (r= 0,408; p= 0,025), there was a negative correlation between PSV CFA and total SCFA (p= 0,007), a positive correlation between valerate percent and PSV PTA (r= 0,375 ; p = 0,041) and PSV DPA (r = 0,379; p = 0,039), there is a correlation between VF DPA and total SCFA (p = 0,025), and a correlation between VF PTA and total SCFA (p = 0,006) and absolute acetate (p =0.038). These results can be influenced by anthropometry, gender, cholesterol levels, blood pressure and blood sugar levels of the patient. Conclusion: There is a potential relationship between SCFA levels and lower extremity ultrasound parameters. Further research is needed with a cohort design with a larger number of samples to evaluate the causal effect related to the relationship between SCFA and clinical and ultrasound parameters of DM patients without PAP."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubita Rahmarianti
"Salah satu komplikasi mikroangiopati dari penyakit DM dan merupakan penyebab kematian terpenting pada penderita DM adalah Nefropati Diabetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kejadian Gangguan Ginjal pada penderita DM serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tersebut di RSCM tahun 2012. Penelitian ini dilakukan pada penderita DM yang berobat baik di rawat jalan (Poli DM) maupun rawat inap dengan menggunakan desain cross sectional. Sampel penelitian terdiri dari 255 pasien DM yang terpilih seara random sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 34,9% sampel mengalami Gangguan Ginjal. Hasil dari analisis chi square menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan lama menderita DM dengan kejadian Gangguan Ginjal.

One of the microangiopathic complications and the most important cause of death in people with diabetes is Diabetic Nephropathy. The purpose of this study was to describe the incidence of renal disorders in patients with diabetes and the factors that influence the event at the RSCM in 2012. The study was conducted in patients with DM were treated well in the outpatient (Poly DM) and hospitalizations using cross-sectional design. The research sample consisted of 255 patients who elected seara DM random sampling. The results showed that as many as 34.9% of the sample had Kidney Disorders. Results of chi-square analysis showed that there is a relationship between sex and the incidence of long- suffering DM Kidney Disorders."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S44912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Yudi Febrianti
"Atas rekomendasi dokter spesialis pelayanan Rujuk Balik ke puskesmas dianjurkan bagi pasien di RS yang menderita penyakit kronis termasuk diabetes melitius. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kesediaan pasien diabetes mellitus tipe 2 peserta JKN di RSU Jagakarsa untuk dirujuk balik ke FKTP.Desain potong lintang dan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam digunakan dalam studi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan pasien terhadap dokter layanan primer, persepsi pasien mengenai ketersediaan obat di fasilitas kesehatan primer, jarak tempuh terhadap fasilitas kesehatan primer dan dukungan keluarga dan teman berhubungan dengan kesediaan pasien untuk dirujuk balik. Disarankan untuk mengembangkan SOP rujuk balik di RS dan mengembangkan pojokrujuk balik.

Back referral service to primary care is provided for JKN patients including diabetes mellitus type 2 patients as recommended by the internal medicine specialist. This studyaim is to analyse the factors that related to willingness of the patients to be referred to primary care after receiving care at the hospital in Jagakarsa Hospital. This study is using quantitative method with cross sectional design, followed by qualitative method with in depth interview.
The study revealed that trust to the primary health care physician, perception on medicine availability in primary health care facility, accessiibility and support from family and friend affect patient willingness to agree with back referral service. The study suggested to develop standard procedure for back referral and initiate back referral corner in hospital.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Sadhyo Prabhasworo
"Latar Belakang Diabetes melitus dapat menyebabkan gangguan sistem saraf otonom (SSO) yang disebut sebagai neuropati otonom diabetik. SSO mengendalikan banyak sistem organ dan salah satu gangguannya dapat bermanifestasi sebagai disfungsi ereksi (DE). Prevalensi DE dan neuropati otonom diabetik di dunia masih beragam dan hubungan keduanya masih memiliki hasil yang bervariasi. Dengan deteksi dini neuropati otonom diabetik diharapakan dapat turut mendeteksi DE dan mencegah progresifitas DE menjadi lebih berat. Terdapat pilihan skrining untuk mendeteksi neuropati otonom salah satunya dengan Survey of Autonomic Symptom (SAS) dan pemeriksaan variabilitas detak jantung (HRV)
Tujuan Mengetahui proporsi dan hubungan antara neuropati otonom dengan disfungsi ereksi pada DMT2 yang dinilai dengan kuesioner SAS dan pemeriksaan HRV
Metode Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dari 86 pasien DMT2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sejak Agustus 2021 hingga November 2021. Pasien dilakukan wawancara dengan kuesioner SAS, IIEF-5, dan Pemeriksaan HRV. Dilakukan analisis multivariat untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol dengan variabel-variabel perancu yang berhubungan.
Hasil Pada penelitian ini didapatkan proporsi pasien DE pada DMT2 sebanyak 59,3%. Proporsi pasien neuropati otonom yang dinilai dengan HRV sebanyak 94,3% dan neuropati otonom yang dinilai dengan kuesioner SAS sebanyak 41,9%. Terdapat hubungan secara statistik bermakna setelah dilakukan analisis multivariat antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE (adjusted OR 18,1 [IK95% 3,90-84.33]). Pemeriksaan HRV dalam penelitian ini tidak menunjukan hubungan yang signifikan secara statistik dengan DE.
Kesimpulan Proporsi pasien dengan neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS didapatkan sebesar lebih dari 40% dan yang dinilai dengan HRV lebih dari 90%. Terdapat hubungan yang secara statistik bermakna antara neuropati otonom diabetik yang dinilai dengan kuesioner SAS dengan DE.

Background Diabetes mellitus (DM) affecting the autonomic nervous system known as diabetic autonomic neuropathy (DAN), which controls many organ systems and can manifest as erectile dysfunction (ED). The range of ED and DAN prevalence has been found to vary widely depending on the baseline comorbidities in the population of the subject studied. Autonomic neuropathy is still rarely studied and its relationship with erectile dysfunction needs to be explored whether the two variables are related. By early detection of autonomic neuropathy, it is hoped that can help detect ED and prevent the progression more severe. There are screening options to see autonomic neuropathy: survey of Autonomic Symptoms (SAS) questionnaire and Heart rate variability (HRV) test.
Objective To determine the proportion and relationship between diabetic autonomic neuropathy and erectile dysfunction in Type 2 DM using SAS questionnaire and HRV examination
Methods Cross-sectional study of 86 type 2 DM patients at the Metabolic Endocrine Polyclinic, dr. Cipto Mangunkusumo from August 2021 to November 2021. Patients were interviewed with the IIEF-5 questionnaire, SAS and HRV examination. Multivariate analysis with logistic regression analysis was performed to assess the relationship between diabetic autonomic neuropathy with ED in the type 2 DM population.
Results In this study, the proportion diabetic autonomic neuropathy in Type 2 DM was 41.9% with SAS questionnaire and 94,3% with HRV, and Proportion of ED was 59.3%. The proportion of autonomic neuropathy who had ED was 91.7% with SAS and 69,7% with HRV. There was a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy use SAS and ED (adjusted OR 18.1 [95% CI 3.90-84.33]). HRV examination did not show an association with ED in this study.
Conclusion More than half of the subjects had erectile dysfunction and almost all of the patients with diabetic autonomic neuropathy had erectile dysfunction. There is a statistically significant relationship between diabetic autonomic neuropathy using SAS questionnaire and ED.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vynlia
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil kesehatan gigi mulut serta distribusi frekuensi sosioekonomi dan perilaku dari pasien diabetes melitus tipe 2 di RSCM. Studi potong lintang ini dilakukan dengan memberikan kuesioner pada 70 orang pasien dan dianalisis menggunakan uji Pearson. Hasil uji tersebut tidak menunjukkan hubungan bermakna antara pengetahuan, sikap, durasi, dan sosioekonomi pasien terhadap status kesehatan gigi dan mulut (p>0,05). Hasil penelitian memperlihatkan kurangnya pengetahuan pasien diabetes melitus terhadap dampak diabetes melitus terhadap kesehatan gigi dan mulut sedangkan pengetahuan tentang komplikasi diabetes baik. Dari hasil pemeriksaan klinis dapat disimpulkan bahwa kesehatan gigi dan mulut pasien diabetes kurang memuaskan.

The purpose of this study is to obtain information about the oral health profile, socioeconomic status and dental behavior of Type 2 Diabetes Mellitus patients in RSCM. A cross sectional study was conducted by giving out questionnaire to 70 diabetic patients and were analyzed by Pearson test. There are no significant correlation between diabetic patients’ knowledge, dental behavior, diabetes duration, and socioeconomic status to oral health status. This study showed that patients had lack of awareness of diabetes effects on oral health but good in diabetes complications. From the clinical examination, diabetic patients’ oral health status were not good."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Yune Yohana, auhtor
"ABSTRAK
Latar belakang : Penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke merupakan penyebab
kematian utama baik di negara Barat maupun di Indonesia terutama di daerah
perkotaan. Setiap tahun lebih banyak orang meninggal karena penyakit
kardiovaskular dibandingkan penyakit lain. Diabetes melitus merupakan faktor
risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. Gangguan aliran darah yang
mengakibatkan PJK maupun stroke disebabkan oleh trombosis arteri. Aktivasi
trombosit diduga terjadi pada pasien diabetes melitus. Ketika trombosit teraktivasi
akanterjadi beberapa perubahan diantaranya pelepasan kandungan granula dan
pembentukan tromboksan A2. Pengukuran tromboksan A2 sulit dilakukan karena
sifatnya yang tidak stabil, maka dilakukan pengukuran terhadap metabolitnya 11-
dehidro tromboksan B2. tujuan penelitian ini adalah menukur kadar 11 dehidro
TxB2 di urin pada pasien diabetes melitus sebagai suatu petanda dini aktivasi
trombosit dan mengkorelasikannya dengan hemoglobin A1c (HbA1c).
Metoda : Empat puluh lima pasien diabetes melitus tipe 2 dan 30 non diabetes
sebagai kontrol diambil pada penelitian ini. Pengukuran kadar 11 dehidro TxB2 di
urin dengan tehnik competitive EIA menggunakan reagen dari Cayman Chemical.
Kadar 11-dehidro tromboksan B2 urin disajikan dalam bentuk rasio dengan
kreatinin urin. Pengukuran HbA1c dilakukan dengan metode akfinitas boronik
menggunakan NycocardR.
Hasil : Pada kelompok diabetes melitus median kadar 11 dehidro TxB2 di urin
1216,56 pg/mg kreatinin (70,53 – 12167,72 pg/mg kreatinin). Terdapat perbedaan
bermakna dibanding kelompok non diabetes dengan median 200,55pg/mg kreatinin
(57,19-602,46 pg/mg kreatinin). Terdapat korelasi yang kuat antara kadar 11
dehidro TxB2 pada kelompok diabetik dengan indeks glikemik (HbA1c).
Kesimpulan : 11 dehidro TxB2 di urin dapat dipakai sebagai petanda dini aktivasi
trombosit pada pasien diabetes melitus dan mempunyai korelasi yang kuat dengan
HbA1c.

ABSTRACT
Background: It is widely known that heart disease and stroke are the main cause of
death in Western countries. This issue found in Indosesia especially in the urbam ares.
Diabetes mellitus is one of the independentbrisk faktor for cardiovaskular. Cirulatory
disorder that result in coronary heart disease and stroke is arterial thrombosis. Platelet
play an important role in the pathogenesis of arterial thrombosis. Some report stated
that platelet activation occurred in diabetes mellitus. When platelet are activated, some
change happened, i.e : released of granule content and thromboxane A2 (TxA2)
formation. Measurement of TxA2 as a marker for platelet activation was hampered by
the instability of this substance. Therefore it is preferred to measure their stable
metabolite 11-dehydro thromboxane B2 in urine. The aim of this study is to measure
urine 11-dehydro thromboxane B2 in diabetes mellitus as an early of platelet activation
and to correlate this value with hemoglobin A1c.
Methode: Forty five patients with type 2 diabetes mellitus and 30 non diabetic as
control group were enrolled in this study. Measurement of urine 11 dehidro TxB2 was
done by competitive EIA using reagent from Cayman Chemical. The level of urine 11-
dehydro TxB2 was expressed as ratio with urine creatinine. Measurement of HbA1c
was performed by boronic affinity method using NycocardR.
Result : In diabetics group the median rate for urine 11 dehydro TxB2 was 1216,56
pg/mg creatinine ( 70,53 - 12167,72 pg/mg creatinine). It was significantly higher than
that of non diabetic group, which median was 200,55 pg/mg creatinine ( 57,19 -
602,46 pg/ mg creatinine). the level of urine 11-dehydro TxB2 in diabetics group
showed a strong correlation with HbA1c as glycemic index.
Conclusion: Urine 11-dehydro TxB2 can be used as an early marker of platelet
activation in diabetes mellitus patients and there was a strong correlation with HbA1c."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>