Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148041 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Dameria Sri Indahwati
"Latar Belakang. Pasien epilepsi memerlukan obat antiepilepsi (OAE) dalam waktu lama, minimal 1-2 tahun.OAE yang terbanyak digunakan di Indonesi adalah OAE generasi lama yaitu karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan valproat.Karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital dapat menyebabkan stres oksidatif dan peningkatan kolesterol sedangkan menyebabkan resistensi insulin.Keempat OAE dapat menyebabkan peningkatan homosistein. Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan awal dari aterosklerosis.Ketebalan kompleks intima-media (KIM) karotis komunis dapat digunakan sebagai indikator dari aterosklerosis.Oleh karena itu diperlukan pengukuran ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama untuk deteksi awal aterosklerosis.
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk melihat perbandingan ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (pasien epilepsi) dengan kelompok kontrol (populasi normal) dengan usia dan jenis kelamin yang disesuaikan. Variabel independen adalah usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, dan durasi OAE.
Hasil. Didapatkan sampel masing-masing 46 subjek kelompok studi dan kontrol. Median ketebalan KIM karotis komunis kelompok studi (0,49 (0,36-1,40) mm) lebih dari kontrol (0,43 (0,35-0,77) mm) secara bermakna. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, jumlah OAE, jenis OAE, durasi OAE dengan ketebalan KIM karotis komunis pada pasien epilepsi.
Kesimpulan. Ketebalan KIM karotis komunis pasien epilepsi yang menggunakan OAE generasi lama lebih tebal dari kelompok kontrol.

Background. Epilepsy patients requires long-term antiepileptic drugs (AEDs) at least for 1-2 years. The most common AEDs used in Indonesia are first generation AEDs which are carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PB), and valproate (VPA). The first three AEDs may cause oxidative stress and increased cholesterol level while VPA causes insulin resistance. All AEDs cause increased homocysteine level. All those factors could cause endothelial dysfunction which is known as initial process in atherosclerosis. Common carotid intima-media thickness (CC IMT) is a well-known indicator of atherosclerosis. Therefore CC IMT measurement on epilepsy patients with old generation AEDs is required for early detection of atherosclerosis.
Methods. This was a cross-sectional study that comparing CC IMT of epilepsy patients and control group (normal subjects) with age and sex matched. The independent variables were age, sex, number of AEDs, type of AEDs, and duration of AEDs.
Results. There were 46 subjects for each group. The CC IMT median of epilepsy patients (0,49 (0,36-1,40) mm) were significantly thicker than control group (0,43 (0,35-0,77) mm). There were no association of age, sex, number of AEDS, type of AEDs, duration of AEDs with CC IMT.
Conclusions. CC IMT of epilepsy patients with first generation AEDs was higher than control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubna Muhammad Qadri
"Latar belakang : Reaksi simpang yang terjadi akibat penggunaan OAE berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien epilepsi. Angka kejadian reaksi simpang akibat penggunaan OAE dilaporkan mencapai 80%. Sampai saat ini belum didapatkan studi atau instrumen yang valid dalam menilai reaksi simpang pada penggunaan OAE di Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah melakukan validasi terhadap kuesioner Liverpool Adverse Events Profile (LAEP) versi bahasa Indonesia dan mendapatkan prevalensi reaksi simpang serta faktor yang berpengaruh.
Metode penelitian : Dilakukan studi observasional potong lintang pada pasien epilepsi dengan dosis OAE yang stabil di poliklinik epilepsi rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Kuesioner diterjemahkan dari versi bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan dilakukan penerjemahan kembali ke bahasa aslinya untuk menilai ketepatan dari bahasa. Validitas dan reliabilitas diuji dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman dan cronbach's alpha. Faktor yang dianalisis adalah durasi epilepsi, onset epilepsi, frekuensi bangkitan, tipe epilepsi, etiologi epilepsi, sindrom epilepsi, jumlah OAE, durasi OAE dan komorbiditas.
Hasil : Didapatkan 19 variabel pertanyaan yang valid dengan rentang koefisien korelasi 0,465 sampai 0,690. Cronbach?s alpha 0,846. Prevalensi reaksi simpang pada pasien epilepsi yaitu 91%. Reaksi simpang yang sering terjadi adalah kelelahan (67,8%), mengantuk (66,7%), gangguan daya ingat (62,2%) dan kesulitan berkonsentrasi (56,7%). Variabel klinis yang berpengaruh terhadap kejadian reaksi simpang yaitu politerapi (p=0.022).
Kesimpulan : Kuesioner Liverpool Adverse Events Profile versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang valid dan reliabel dalam menilai reaksi simpang pada penggunaan OAE pada pasien epilepsi. Politerapi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian reaksi simpang.

Background : Adverse effects (AE) of antiepileptic drugs (AEDs) affect the quality of life of patients with epilepsy. The prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy is up to 80%. There are no studies nor validated instruments in measuring AE of AEDs in patients with epilepsy in Indonesia. This study aimed to validate the Indonesian version of The Liverpool Adverse Events Profile (LAEP) also to determine the prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy and related factors.
Methods : An observational cross-sectional study was carried out on epilepsy outpatients clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. Patient treated with a stable dose of AED were enrolled. The questionnaire was translated from the English version into Indonesian version and then was back-translated to examine its accuracy. The validity and reliability was tested by Spearman correlation coefficient and cronbach?s alpha. The Indonesian version of LAEP was selfadministered by the patient. The analyzed factors consisted of epilepsy duration, onset of epilepsy, seizure frequency, type of epilepsy, etiology and epilepsy syndrome, number of AEDs, AEDs duration and comorbidity.
Results : All of the 19 variable of questions were valid, with range of correlation coefficient from 0.465 to 0.690. The cronbach?s alpha was 0.846. Ninety patients were enrolled. The prevalence of AE of AEDs in patients with epilepsy was 91%. The most common AE were tiredness (67.8%), sleepiness (66.7%), memory problems (62.2%) and difficulty in concentrating (56.7%). Clinical variables that influenced the AE was polytherapy.
Conclusion : The Indonesian version of the Liverpool Adverse Events Profile is a valid and reliable instrument in assessing AE of AEDs in patients with epilepsy. Almost all of the patients in this study experienced an AE. Polytherapy was the related factors of AE of AEDs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Triono
"Penghentian obat antiepilepsi OAE dengan terburu-buru meningkatkan risiko relaps pada epilepsi. Risiko resistensi obat pada epilepsi relaps sangat tinggi. Belum ada kesepakatan umum kapan OAE dapat dihentikan dengan aman sehingga tidak terjadi relaps. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian relaps pada anak dengan epilepsi terkontrol danyang belum terkontrol kejangnya, mengetahui karakteristik anak dengan epilepsi terkontrol yang mengalami relaps, mengetahui faktor prediktor epilepsi relaps, mengetahui luaranepilepsi relaps, mengetahui perjalanan EEG anak dengan epilepsi relaps. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah kasus-kontrol, retrospektif, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Studi rekam medis dilanjutkan dengan wawancara dan pemeriksaan EEG untuk kelompok kasus. Kelompok kasus adalah anak-anak dengan epilepsi relaps sedangkan kelompok kontrol adalah epilepsi remisi komplit. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktor epilepsi relaps. Angka kejadian epilepsi relaps pada penelitian ini adalah 13,6 . Dilakukan analisis terhadap 63 subyek epilepsi relaps dan 63 subyek epilepsi remisi komplit. Faktor prediktor epilepsi relaps pada analisis bivariat yaitu: epilepsi simptomatik P

An inappropriate antiepileptic drugs AED withdrawal increases the risk of relapse. The risk of drug resistance in epilepsy relapse is very high. There is no consensus when the AED is safely withdrawn, so that epilepsy will not relapse. This study aims to know the incidence of relapse in children with controlled and uncontrolled epilepsy, the characteristics, predictors, outcomes, and EEG evolutions in children with epilepsy relapse. This study was held from June December 2016. This was a case control study with retrospective, multi site medical record evaluation from 2012 2016, followed by interview and EEG examination for the case group. The case group was children with epilepsy relapse, while the control was children with epilepsy complete remission. Bivariate and multivariate analysis was done to identify predictors of relapse. The incidence of epilepsy relapse in this study was 13,6 . We analyzed 63 epilepsy relapse and 63 epilepsy complete remission subjects. Relapse predictors in bivariate analysis were symptomatic etiology P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Kurnia Salma S.
"Golongan obat antikonvulsan memerlukan perhatian khusus untuk dipantau karena tingkat konsekuensi kegagalan terapi yang tinggi dan beberapa obat memiliki indeks terapi sempit. Obat indeks terapi sempit dapat menimbulkan masalah terkait obat yang terdiri dari efektivitas pengobatan, efek samping obat, dan biaya pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan monitoring efek samping pada pasien epilepsi yang mendapatkan karbamazepin, fenitoin, asam valproat, atau kombinasi obat-obat tersebut di Instalasi Rawat Jalan RSUP Fatmawati periode Maret-Mei 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang dilakukan secara prospektif pada pasien dewasa yang memenuhi kriteria inklusi secara total sampling. Data didapatkan dari data primer yang berasal dari hasil wawancara dan data sekunder yang berasal dari rekam medis. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Algoritma Naranjo. Subjek penelitian yang didapatkan sebanyak 54 pasien dengan 38 pasien 70,37 mengalami efek samping dan 16 pasien 29,63 tidak mengalami efek samping. Kategori efek samping yang paling banyak ditemukan adalah probable dengan persentase 48,15. Tidak ada hubungan antara usia p=0,903 dan jenis kelamin p=1,000 dengan efek samping yang terjadi.

Anticonvulsant drugs must get special attention to be monitored due to the concequence's rate that they have. This group comprises of some drugs which have narrow therapeutic index. Thus, the group causes drug related problem, such as therapeutic efficiency, drug side effect, and cost of the treatment. The purpose of this research was to monitor drug side effects that were severed by adult patients of epilepsy who got carbamazepine, or phenytoin, or valproic acid, or combination of the drugs at Outpatient Department, Fatmawati Central General Hospital from March to May 2017. The research was running prospectively and the data were collected from patients who fit to inclusion criteria with total sampling. There were 54 patients selected as samples, 38 patients 70.37 experienced drugs side effects and 16 patients 26.93 didn't experience drugs side effects. The data of patients were from primer data's source that is the answer of interview and secondary data's source that is medical record that were analyzed with Naranjo Algorithm. The most drug side effect category that found is probable with percentage 53.70 . Age p 0.903 and gender p 1.000 didn't have correlation with the rising of side effects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Raven Press, 1983
616.853 061 CRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lamia Aisha
"

Latar belakang: Prevalensi wanita dengan epilepsi (WDE) usia reproduktif di Rumah Sakit Pusat Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah 61,7% pada tahun 2019. Pada sebagian WDE, frekuensi bangkitan dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Fungsi reproduksi WDE di RSCM sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik gangguan fungsi reproduksi pada WDE di RSCM.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data primer. Kriteria inklusi adalah WDE berusia diatas 18 tahun, yang didiagnosis epilepsi oleh spesialis saraf, yang berobat di RSCM dari bulan September 2020 – November 2021. Ganguan fungsi reproduksi terdiri dari ganngguan siklus menstruasi, infertilitas, gangguan kehamilan atau gangguan persalinan.

Hasil Penelitian: Dari 136 subjek penelitian yang didapatkan, 41,2% mengalami gangguan fungsi reproduksi. Gangguan siklus menstruasi didapatkan pada 31,6% subjek. Subjek yang sudah menikah sebanyak 34,6%, dengan gangguan fertilitas didapatkan pada 45,5% subjek. Dari subjek yang sudah menikah, 77,3% pernah hamil. Gangguan kehamilan didapatkan pada delapan (47,1%) subjek, berupa riwayat abortus sebanyak 23,5%. Perubahan frekuensi bangkitan selama kehamilan ditemukan pada 94,1% subjek, berupa frekuensi bangkitan meningkat (23,5%), frekuensi menurun (23,5%) dan bebas bangkitan (47,1%). Lima belas (68,2%) subjek pernah melahirkan, dan sebanyak 66,7% melahirkan dengan sectio sesaria. Dua subjek mengalami gangguan saat persalinan, berupa persalinan prematur dan kejang saat persalinan.

Kesimpulan: Gangguan fungsi reproduksi pada WDE didapatkan pada 41,2% subjek, dengan jenis gangguan terbanyak adalah gangguan siklus menstruasi dan gangguan fertilitas.

Kata Kunci: gangguan fertilitas, gangguan fungsi reproduksi, gangguan menstruasi, wanita dengan epilepsi.

 


Background: Women with epilepsy (WWE) in reproductive age prevalence at Cipto  Mangunkusumo Nasional Hospital (RSCM) is 61,7% in 2019. Seizure frequencies in WWE could be influenced by hormonal changes. Reproductive function of WWE in RSCM has not been exactly known until now. The purpose of this study is to know the characteristic of reproductive system disorder in WWE at RSCM.

Methods: A cross-sectional study using primary and secondary data. Inclusion criteria are WWE older than 18 years old and has been diagnosed with epilepsy by the doctors at RSCM from September 2020 until November 2021. Reproductive system disorder consist of menstrual cycle disorder, infertility, pregnancy problems or delivery problems.

Results: There were 136 subjects, 41,2% have reproductive system disorder. Menstrual cycle disorder found in 31,6% subjects. There were 34,6% married subjects, and 77,3% of them have pregnancy experience, while infertility found in 45,5% subjects. Eight (47,1%) subjects were having problem during their pregnancy. Spontaneous abortion found in 23,5%. Seizure frequency increased in 23,5% subjects, decreased in 23,5% subjects and 47,1% subjects. Seizure free during their pregnancy. Fifteen (68,2%) subjects have delivery experiences and 66,7% subjects were using C-section methods. Two subjects were having problem during their delivery. One subject has premature delivery while the other one was having seizure during delivery.

Conclusion: Reproductive system disorder found in 41,2% subjects. Menstrual cycle disorder and infertility are the greatest disorder found in this study.

Keyword: infertility, menstrual cycle disorder, reproductive system disorder, women with epilepsy

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Devianca
"Latar belakang: Prevalensi ketidakpatuhan pasien pada pengobatan epilepsi cukup besar. Penyebab ketidakpatuhan terdiri dari banyak faktor, yang dapat diklasifikasikan menjadi intensional ataupun non intensional. Perilaku kepatuhan pasien dibentuk oleh bagaimana pasien melakukan representasi terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) pasien epilepsi dinilai dapat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan tersebut.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Populasinya adalah pasien epilepsi yang berobat ke poli neurologi RSUPNCM bulan Agustus – September 2022. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan regresi logistik.
Hasil: Rerata nilai pengetahuan sebesar 15,41+/-3,827 dengan rentang 7-35 (nilai 7 mengindikasikan ukuran pengetahuan paling baik). Median nilai sikap adalah 18 (10-27)dengan rentang 8-40 (nilai 8 mengindikasikan sikap paling baik). Median nilai perilaku adalah 10 (5-20), dengan rentang 5-25 (nilai 5 menunjukkan perilaku paling baik). Nilai kepatuhan pasien pada penelitian ini adalah 55,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa semakin buruk nilai pengetahuan maka akan meningkatkan probabilitas terjadinya ketidakpatuhan sebesar 1,271 kali.
Kesimpulan: Pengetahuan mengenai epilepsi memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan, sedangkan sikap dan perilaku pasien epilepsi tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan

Background: There was a high prevalence of patient’s non-adherence to anti-seizure medication (ASM). It caused by many factors and classified as intentional or non intentional. Patient’s adherence was formed when they represent their ilness, so knowledge, attitudes, and behavior of patient with epilepsy (PWE) are considered to be related to their adherence. This study was aimed to assess this relationship.
Methods: We conducted a cross sectional study on PWE who came to RSUPNCM Neurology outpatient clinic from August to September 2022. All consecutive patients were asked to complete the given questionnaire. We used a logistic regression for statistical analysis.
Results: The mean score of knowledge was 15,41+/-3,827 (range, 7-35), with score of 7 indicated the best knowledge. The median score of attitudes was 18, interquartile range (IQR) 10-27 (range, 8-40), with score of 8 indicated the best attitudes. The median score of behavior was 10, IQR 5-20 (range, 5-25), with score of 5 indicated the best behavior. Fifty-five-point seven percent were estimated to be adherent. The multivariate analysis showed that with the worse score of knowledge, the probability of non-adherence will increase by 1,271 times.
Conclusion: Knowledge about epilepsy has a relationship with ASM adherence, while attitude and behavior of PWE has no relationship with ASM adherence
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Mediciani
"ABSTRAK
Epilepsi lobus temporal mesial adalah sindrom epilepsi yang banyak diderita oleh dewasa yang sering mengalami refrakter dalam pengobatan. Atrofi hipokampus yang terlihat melalui MRI kepala dapat ditemukan sebanyak 87% pada pasien epilepsi lobus temporal mesial dan memiliki respon yang baik dengan operasi epilepsi. Salah satu syarat operasi epilepsi adalah EEG monitoring untuk mencari EEG iktal untuk mencari fokus epileptik, walaupun sudah didapatkan adanya gelombang interiktal sebelumnya.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan dan kesesuaian antara abnormalitas gelombang EEG dengan sisi atrofi hipokampus dan untuk mengetahui prevalensi atrofi hipokampus pada epilepsi lobus temporal mesial.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 37 subyek epilepsi lobus temporal mesial, yang terbukti secara klinis dan EEG. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala 1,5T untuk melihat ada atau tidaknya atrofi hipokampus secara visual. Kemudian dibandingkan antara abnormalitas gelombang EEG interiktal dengan sisi atrofi hipokampus. Onset usia bangkitan, frekuensi bangkitan, riwayat kejang demam, lama menderita epilepsi dan penggunaan obat entiepilepsi dianalisis sebagai data demografi klinis.
Hasil: Prevalensi atrofi hipokampus sebesar 64,8% dengan 64,8% subyek ditemukan gambaran EEG berupa gelombang epileptiform dan 45,8% gelombang lambat. Didapatkan kesesuaian yang kuat antara lateralisasi EEG interiktal, yaitu gelombang epileptiform, dengan MRI (p 0,000; nilai kappa 1,00) dan didapatkan keseuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan atrofi hipokampus (p 0,500; nilai kappa 0,689, p 0,008).
Simpulan: Pada penelitian ini, didapatkan keseuaian yang kuat antara lateralisasi gelombang epileptiform dengan sisi atrofi hipokampus dan kesesuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan sisi atrofi hipokampus.

ABSTRACT
Mesial temporal lobe epilepsy (mTLE) is the most common epilepsy syndrome in adults and often refractory in medical treatment. The Magnetic resonance imaging (MRI) showed hippocampal atrophy present in 87% patients with mesial temporal lobe epilepsy and have good respons with surgery. EEG monitoring is needed to find ictal EEG although interictal EEG already obtained as one of the requirements of epilepsy surgery for localize the epileptic region.
Objective: To investigate the concordance between abnormalities EEG and side of hippocampal atrophy in patients with mesial temporal lobe epilepsy. To determine prevalance of hippocampal atrophy.
Methods: We reviewed 37 consecutive patients with mesial temporal lobe epilepsy defined by clinical and EEG criteria and had 1,5T MRI visually analyzed by radiologist. We compared the interictal EEG and side of hippocampal atrophy. Age of seizure onset, seizure frequency, history of febrile seizure, antiepileptic drug and duration of epilepsy were analyzed as clinical demographic data.
Results: The prevalence hippocampal atrophy was 64,8%. With 64,8% had epileptiform discharge and 45,8% had slow wave associated with hippocampal atrophy. There was significant concordance between MRI lateralization and interictal EEG (p 0,000, Kappa value 1,00). There was weak concordance between hippocampal atrophy and focal slow wave (p 0,500; Kappa value 0,689, p 0,008).
Conclusions: We found strong concordance between MRI lateralization and interictal EEG in patients with mTLE and weak concordance between hippocampal atrophy and interictal slow wave.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tetti Agustin
"Pendahuluan: Prevalensi psikosis pada epilepsi (PPE) 15 kali lebih tinggi dibandingkan psikosis pada populasi umum. Gambaran klinis PPE berupa halusinasi dan waham yang dominan dengan hendaya. Faktor risiko PPE antara lain onset dini epilepsi, epilepsi yang tidak terkontrol, riwayat status epileptikus, fokus epileptogenik di temporal kiri, sklerosis hipokampus, dan riwayat psikosis dalam keluarga. PPE sendiri sering dihubungkan dengan gangguan fungsi psikososial dan kesejahteraan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian PPE pada epilepsi fokal, gambaran klinis serta faktor-faktor yang berkaitan.
Metode: Studi ini bersifat deskriptif dengan metode potong lintang pada pasien epilepsi fokal di Poliklinik Neurologi RSCM. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian kemudian dilakukan wawancara menggunakan MINI-ICD 10 bagian psikotik untuk menapis gejala psikotik dan dilakukan konfirmasi hasil dengan dokter spesialis kesehatan jiwa untuk mendiagnosis PPE.
Hasil: Jumlah subjek yang didapatkan sebanyak 34 subjek. Dari MINI ICD-10 bagian psikotik, terdapat 10 subjek mengalami gejala psikotik dan hendaya dialami 2 subjek. Angka kejadian PPE didapatkan sebesar 5,9%. Gambaran klinis psikosis berupa halusinasi (auditori dan visual), waham (paranoid dan bizzare), dan hendaya. Kedua subjek PPE memiliki jenis kelamin perempuan, awitan epilepsi usia muda, durasi epilepsi ke psikosis selama 6 dan 23 tahun, frekuensi kejang yang belum terkontrol, riwayat status epileptikus, memiliki sindrom epilepsi lobus temporal dan sklerosis hipokampus dengan lateralisasi fokus bilateral dan kiri serta keduanya menggunakan politerapi.
Kesimpulan: Angka kejadian PPE pada epilepsi fokal sebesar 5,9% dengan waham yang muncul berupa waham paranoid dan bizzare. Halusinasi yang muncul adalah halusinasi visual dan auditorik. Penelitian ini tidak dapat mencari faktor resiko yang berhubungan dengan PPE.

Background: The prevalence of psychosis in epilepsy (PPE) is 15 times higher than general population. The clinical features of PPE are hallucinations and dominant delusions with disability. Risk factors for PPE include early onset of epilepsy, uncontrolled epilepsy, history of status epilepticus, left temporal epileptogenic focus, hippocampal sclerosis, and family history of psychosis. PPE often associated with impaired psychosocial functioning and patient well-being. This study aims to determine the incidence clinical features and related factors of PPE in focal epilepsy.
Method: This study is a descriptive cross-sectional in patients with focal epilepsy at the RSCM Neurology outpatient clinic. Subjects are focal epilepsy patient who willing to participate then interviewed using the MINI-ICD 10 psychotic section to screen for psychotic symptoms. Results are confirmed by psychiatrist to diagnose PPE.
Results: The number of subjects obtained was 34 subjects. From the psychotic section of the MINI ICD-10, there were 10 people who experienced psychotic symptoms and 2 subjects experienced disability. The prevalence of PPE was 5.9%, with clinical features of psychosis are hallucinations (auditory and visual) and delusions (paranoid and bizzare). Both PPE subjects had female gender, young onset of epilepsy, duration of epilepsy to psychosis for 6 and 23 years, uncontrolled seizure frequency, history of status epilepticus, temporal lobe epilepsy syndrome and hippocampal sclerosis with focal lateralization to bilateral and left as well as use of polytherapy.
Conclusion: The incidence of PPE was 5.9% with delusions in the form of paranoid and bizzare. The hallucinations that manifest are visual and auditory hallucinations. This study was unable to look for risk factors associated with PPE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Jenny Br.
"Latar Belakang: Epilepsi di negara berkembang dua kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Sekitar 60-70% pasien bebas kejang dengan obat antiepilepsi (OAE) generasi satu, jika tidak respons dan kejang menetap maka dipertimbangkan OAE generasi dua. Keberhasilan pengobatan epilepsi dipengaruhi oleh pelbagai faktor serta bergantung terhadap plastisitas dan maturitas otak hingga usia tiga tahun. Belum ada penelitian yang menilai faktor-faktor keberhasilan terapi OAE generasi dua.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko keberhasilan keberhasilan terapi OAE generasi 2 pada pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun.
Metode: Studi kasus kontrol dengan data sekunder berupa rekam medis. Sampel penelitian adalah anak epilepsi berusia di bawah tiga tahun yang mendapatkan minimal salah satu OAE generasi 2 berupa topiramat/levetiracetam/lamotrigin. Subyek terbagi kelompok kontrol (dilakukan matching usia) yang kejangnya tidak terkontrol dan kelompok kasus yang kejangnya terkontrol minimal enam bulan. Faktor risiko yang diteliti adalah tipe kejang, status perkembangan, status neurologis awal, gambaran elektroensefalografi (EEG) awal, evolusi klinis dan evolusi EEG.
Hasil: Didapatkan 60 subyek pada masing-masing kelompok; pada kelompok kasus paling banyak dijumpai 66,7% laki-laki, 31,7% rentang usia 6-12 bulan, 83,3% usia awitan kejang <12 bulan, dan 93,3% tipe kejang umum. Dari 6 faktor risiko yang diteliti, hanya evolusi EEG berperan independen dalam memengaruhi keberhasilan terapi, nilai p<0,001; aOR 9,53; IK95% 3,39-26,77.
Kesimpulan: Pasien dengan evolusi EEG baik memiliki kemungkinan sebesar 9,53 kali lipat lebih besar untuk kerjangnya terkontrol dengan OAE generasi 2, dibandingkan pasien dengan evolusi EEG buruk.

Background: Epilepsy in developing countries is twice compared developed countries. About 60-70% epilepsy patients had seizure-free with first generation antiepileptic drugs (AED), if there is no response and persistent seizures, second generation AED is considered. The success of epilepsy treatment is influenced by various factors and depends on the plasticity and maturity of the brain until the first 3 years. There are no studies that assess the success factors of second generation OAE therapy.
Purpose: To assess the risk factors that affecting the success of second generation therapy in children under 3 years old with epilepsy.
Methods: A case control study with secondary data from medical records. The study sample was children under 3 years old with epilepsy who received at least one of second generation AED (topiramate/levetiracetam/lamotrigine). Subjects were divide into 2 groups, control groups (age matching) whose seizure were not controlled and case groups whose seizure were controlled for at least six months. The risk factors studied were seizure type, developmental status, initial neurological status, initial electroencephalography (EEG), clinical evolution and EEG evolution,
Results: There were 60 subjects in each group; the most proportion in case group were 66,7% males, 31,7% of the age range of 6-12 months, 83,3% onset of seizures <12 months, and 93,3% general seizures. Of the 6 risk factors studied, only the EEG evolution significantly and independently affecting the success of therapy, with p value <0,001; aOR 9.53; 95%CI 3.39-26.77.
Conclusion: Patients with good EEG evolution were 9.53 times more likely to have controlled seizure with second generation AED, compared to patients with poor EEG evolution."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>