Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206416 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisaa Yuneva
"Saat ini, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dengan aktivitas fisik yang minimal dalam durasi yang cukup lama. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab munculnya sindroma metabolik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan FKUI dengan dan tanpa sindroma metabolik. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Data penelitian diambil dari medical check-up tahun 2012 dan pengisian kuesioner Bouchard pada April-Mei 2015. Hasil analisis menunjukan tidak adanya perbedaan bermakna aktivitas fisik antara kedua kelompok (p>0,050). Dapat disimpulkan bahwa sindroma metabolik merupakan penyakit multifaktorial yang dapat disebabkan kurangnya aktivitas fisik dan faktor-faktor metabolik lainnya.

These days, there are plenty jobs that involve mild physical activity for long periods of time. It can be one of the causes of metabolic syndrome. This research was done to find out whether the physical activity between employees of FMUI with and without metabolic syndrome were different using cross-sectional method. The data were collected from medical check-up results in 2012 and filled-out questionnaire in April-May 2015. The analysis results showed that the physical activity between the two groups (p>0.050). It was concluded that metabolic syndrome is a multifactorial illness caused by the lack of physical activity, as well as another metabolic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Quarino
"Saat ini banyak orang yang melakukan pekerjaan dengan duduk sehingga aktivitas fisik menjadi berkurang, padahal menurut laporan WHO tahun 2009, salah satu penyebab utama kematian global adalah perilaku tidak aktif (6%). Berkurangnya aktivitas fisik ini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sindroma metabolik. Peningkatan aktivitas fisik pekerja dapat dilakukan dengan menambah jumlah langkah setiap hari, yang dapat diukur dengan menggunakan alat penghitung langkah (pedometer). Jumlah langkah setiap hari yang rendah berarti aktivitas fisik berkurang sehingga akan menjadi risiko untuk mendapat sindroma metabolik.
Tujuan : mendapatkan gambaran aktivitas fisik pekerja berdasarkan jumlah langkah pada pekerja dengan sindroma metabolik di lingkungan pekerja pertambangan minyak dan gas.
Metode : penelitian potong lintang, menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan kesehatan tahunan pekerja tahun 2012, didapat 25 subyek yang memenuhi kriteria, yang terdiri dari 15 subyek tanpa sindroma metabolik dan 10 subyek dengan sindroma metabolik.
Hasil : diperoleh hasil rerata jumlah langkah per hari pada kelompok sindroma metabolik lebih rendah dibandingkan langkah kelompok tanpa sindroma metabolik yaitu masing-masing 5055±1004 langkah dan 9887± 2036 langkah yang berbeda bermakna secara statistik (p<0,001).
Kesimpulan : kelompok dengan sindroma metabolik memiliki aktivitas fisik yang rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa sindroma metabolik.

Today many jobs performed in sitting position therefore reducing physical activity, whereas based on report from World Health Organization (WHO) in 2009, one of the leading cause of global mortality is physically inactive behavior (6%). Low physical activity is one of the risk factors of metabolic syndrome. Increasing worker’s physical activity can be done by adding more steps each day which can be measured by using a step counter (pedometer). Low number of steps everyday means reduced physical activity which might lead to increasing risk of metabolic syndrome.
Goal : to get an overview of worker’s physical activity represented by the number of steps of oil and gas workers with metabolic syndrome.
Methods : a cross-sectional study, using secondary data from annual medical check-up of oil and gas workers in 2012, 25 subjects who met the criteria where obtained consisted of 15 subjects without metabolic syndrome and 10 subjects with metabolic syndrome.
Results : mean number of steps per day in the metabolic syndrome group was lower than the group without metabolic syndrome, which were 5055±1004 steps and 9887±2036 steps respectively and statistically different.
Conclusion : the group with metabolic syndrome have lower physical activity compared with the group without metabolic syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurza Mulyani
"Penelitian ini membahas mengenai perbedaan pola aktivitas fisik pada tenaga kesehatan dengan sindroma metabolik dan tanpa sindroma metabolik. Sindroma metabolik adalah suatu sindrom yang terdiri dari sekumpulan gejala meliputi peningkatan ukuran lingkar pinggang, peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol, tekanan darah tinggi dan intoleransi glukosa.Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif kategorik. Hasil penelitian dengan menggunakan metode Bouchard dan NCEP-ATP III modifikasi Asia didapatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik meningkat pada tenaga kesehatan dengan pola aktivitas fisik banyak duduk.

The research discusses about the difference between physical activity pattern of medical worker with metabolic syndrome and without metabolic syndrome. Metabolic syndrome is a syndrome which consists of a set symptoms increasing in the size of the waits circumference, blood triglyceride levels, decreasing of high density lipoprotein (HDL) cholesterol, high blood pressure and glucose intolerance. This study was a cross sectional study with a design categorical description. The results of the study that use Bouchard and NCEP- ATP III methods Asian modifications found that the prevalence of metabolic syndrome increased in pattern with lots of sitting physical activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meuthia Rana Amira Primaputri
"ABSTRAK
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia,
dengan prevalensi 20-35% diantaranya disebabkan oleh hipertensi. Prevalensi hipertensi
meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya prevalensi hipertensi dapat dikarenakan
pertambahan populasi, degeneratif, gaya hidup, dan kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan
WHO, ketidaaktifan secara fisik menjadi empat faktor risiko utama yang menyebabkan
mortalitas di dunia, hingga menyebabkan 3,2 juta kematian. Maka itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan dengan
hipertensi dan tanpa hipertensi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian
ini dilakukan dengan desain cross-sectional. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari
hasil medical check-up karyawan dan data primer mengenai aktivitas fisik yang didapatkan
dari pengisian kuesioner Bouchard selama dua hari hari kerja dan satu hari libur. Data
dianalisis dengan Uji Kolmogrov-Smirnov. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna tingkat aktivitas fisik antara karyawan dengan hipertensi dan
tanpa hipertensi (p=1,00). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian hipertensi
tidak hanya dipengaruhi oleh kurangnya aktivitas fisik, terdapat banyak faktor lainnya.

ABSTRACT
Cardiovascular disease is one of leading causes of death in Indonesia, with a prevalence of
20-35% of which are caused by hypertension. The prevalence of hypertension increases each
year. The increasing prevalence of hypertension can be due to population growth,
degenerative, lifestyle, and lack of physical activity. According to the WHO, physically
inactive is one of four major risk factors that cause mortality in the world, causing 3.2 million
deaths. Thus, this study aims to determine whether there are differences in physical activity
among employees with hypertension and without hypertension at the Faculty of Medicine,
University of Indonesia. This study was conducted using cross-sectional. This study use
secondary data from the results of medical check-ups of employees and primary data on
physical activity from Bouchard questionnaires for two days working day and one day off.
Data were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov test. The result showed that there were
no significant differences in levels of physical activity among employees with hypertension
and without hypertension (p = 1,00). From this study it can be concluded that the incidence of
hypertension is not only influenced by the lack of physical activity, but there are many other
factors that contribute to cause hypertension."
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Sayogo Putri
"Obesitas merupakan salah satu masalah utama di perkotaan, yang dapat menyebabkan banyak komplikasi. Aktivitas fisik merupakan pergerakan badan yang diproduksi kontraksi otot rangka yang meningkatkan konsumsi energi diatas level basal. Obesitas dipengaruhi oleh ketidakseimbangan energi masuk dan energi keluar. Untuk mengetahui perbandingan tingkat aktivitas fisik pada kasus obesitas dan non-obesitas, dilakukan perekaman aktivitas fisik selama 2 hari kerja dan 1 hari libur pada 44 karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2015 dengan obesitas dan tanpa obesitas. Perekaman dilakukan dengan kuesioner Bouchard yang dimodifikasi dan anamnesis subjek. Aktivitas fisik subjek digolongkan dalam 4 kategori: sedenter, ringan, sedang, dan berat. Hasil analisis data menggunakan Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas fisik pada subjek obesitas dan non-obesitas (p=1). Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak menjadi variabel tunggal dalam menyebabkan obesitas.

Obesity remains a big problem in an urban life, leading to complications. Physical activity is defined as bodily movement produced by skeletal muscle which increases energy expenditure above basal level. An inequilibrium of energy intake and expenditure leads to obesity. To investigate the level of physical activity between obese employees and non-obese employees of Medical Faculty of University of Indonesia (2015), their physical activities during 2 weekday and 1 weekend were recorded in modified Bouchard questionnaire and anamnesis was performed. The physical activities of the subject were classified into 4 categories: sedentary, mild, moderate, and vigorous. The result of data analysis using Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no significant difference of physical activities level of the subjects (p=1). This research shows that physical activity level is not the only contributing factor of obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Winandanu Kusumah
"ABSTRAK
Kadar kolesterol yang tinggi (hiperkolesterolemia) merupakan salah satu penyebab penyakit jantung yang terbesar. Penyakit jantung sendiri masih menjadi penyebab utama kematian di antara penyakit-penyakit tidak menular. Aktivitas fisik adalah suatu kegiatan yang memerlukan ATP dan dilakukan oleh kontraksi serta relaksasi otot skeletal untuk menciptakan pergerakan tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan aktivitas fisik antara penderita hiperkolesterolemia dan non-hiperkolesterolemia pada karyawan FKUI tahun 2015. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional pada 22 karyawan usia 30-60 tahun yang diambil secara consecutive sampling. Data yang diambil dari responden berupa data primer yaitu aktivitas fisik selama 2 hari kerja dan 1 hari libur responden yang dilihat melalui pengisian kuisioner dan data sekunder yaitu rekam medis karyawan FKUI. Kemudian data diolah menggunakan spss 11.5 for windows. Variabel pada penelitian ini adalah aktivitas fisik dan kondisi hiperkolesterolemia yang dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik pada karyawan dengan hiperkolesterolemia dan tanpa hiperkolesterolemia.

ABSTRACT
High level of cholesterol (hypercholesterolemia) is one of the biggest cause of heart disease. Heart disease is still the number one cause of death between uncommunicated diseases. Physical activity is an activity which needs ATP and done by contraction and relaxation of skeletal muscle to create a body movement. The aim of this study is to know the comparison of physical activity between hypercholesterolemia and non-hypercholesterolemia employees of FKUI in 2015. This study was conducted with a cross-sectional method on 22 employees aged 30-60 years were taken by consecutive sampling. Data taken from respondent was primary data as a record of physical activity on two weekdays and one weekend which taken through questionnaire and secondary data which is medical record of FKUI?s employees. Then the data was processed using spss 11.5 for windows. Variables in this study were the physical activity and hypercholesterolemia. This data was analyzed by chi-square test. The result showed no significant association between physical activity in hypercholesterolemia and non-hypercholesterolemia employees"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Safitri
"Sindroma metabolik merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian. Prevalensi sindroma metabolik di Indonesia diketahui sebesar 21,66%, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 37,5%. Kejadian sindroma metabolik seringkali dihubungkan dengan faktor risiko terkait gaya hidup di antaranya aktivitas fisik dan perilaku sedenter. Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan 2018, terjadi penurunan tingkat aktivitas fisik pada penduduk Indonesia. Pekerja perkantoran merupakan salah satu populasi yang berisiko terhadap penurunan aktivitas fisik. Hal ini karena rendahnya kebutuhan akan aktivitas fisik selama bekerja dan tinggnya waktu yang dihabiskan dalam posisi sedenter. Pandemi COVID-19 menyebabkan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan kebijakan work from home (WFH). Kebijakan tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada pekerja disertai peningkatan perilaku sedenter yang menyebabkan pekerja menjadi lebih rentan mengalami sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19, serta mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari data Posbindu PTM yang dilaksanakan pada salah satu institusi pendidikan negeri di DKI Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 270 pekerja berusia 22-58 tahun yang terdiri dari 99 laki-laki dan 171 perempuan. Pada analisis bivariat ditemukan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian sindroma metabolik (p = 0,321), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara waktu sedenter (p = 0,017), usia (p <0,001), dan jenis kelamin (p = 0,04). Berdasarkan analisis multivariat, ditemukan variabel usia yang memengaruhi kejadian sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dan tidak memengaruhi kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19.

Metabolic syndrome is one of the health problems of concern. The prevalence of metabolic syndrome in Indonesia is known to be 21.66%, with a prevalence in Jakarta of 37.5%. The incidence of metabolic syndrome is often associated with lifestyle-related risk factors, including physical activity and sedentary behavior. Based on data from Riskesdas 2013 and 2018, there was a decrease in the level of physical activity in the Indonesian population. Office workers are one of the populations at risk for decreased physical activity. This is due to the low need for physical activity during work and the high time spent in a sedentary position. The COVID-19 pandemic has led to the implementation of activity restrictions and work from home (WFH) policies. This policy causes a decrease in the level of physical activity in workers accompanied by an increase in sedentary behavior which causes workers to become more susceptible to metabolic syndrome. This study aims to determine the relationship between the level of physical activity with the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic, as well as to determine other influencing factors. This study used a cross-sectional design with secondary data obtained from Posbindu PTM data which was carried out at one of the public educational institutions in DKI Jakarta. The research subjects were 270 workers aged 22-58 years consisting of 99 men and 171 women. Bivariate analysis found that the level of physical activity was not significantly associated with the incidence of metabolic syndrome (p = 0.321), but found a significant relationship between sedentary time (p = 0.017), age (p < 0.001), and gender (p = 0 ,04). Based on multivariate analysis, it was found that age variable that affects the incidence of metabolic syndrome. It can be concluded that the level of physical activity is not significantly related and does not affect the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Nuraini Afifa
"Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit dengan prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Indonesia terbukti sebagai negara keenam dengan prevalensi DM tipe 2 terbesar di dunia. Sebagai penyakit multifaktorial, salah satu faktor yang disebutkan berpengaruh dalam kejadian DM tipe 2 adalah aktivitas fisik, yang didefinisikan sebagai pergerakan badan yang diproduksi kontraksi otot rangka yang meningkatkan konsumsi energi di atas level basal. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan aktivitas fisik antara karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia penderita DM tipe 2 dan tanpa DM tipe 2. Pengambilan data dilakukan dengan rekam data aktivitas fisik selama 2 hari kerja dan 1 hari libur melalui kuesioner Bouchard dan anamnesis. Hasil pengolahan data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna tingkat aktivitas fisik pada subjek DM tipe 2 dan tanpa DM tipe 2 (p = 0,988). Melalui penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa aktivitas fisik tidak menjadi variabel tunggal dalam menyebabkan DM tipe 2.

Diabetes mellitus type 2 is a disease whose prevalence is increasing every year. Indonesia is considered as the 6th country of highest prevalence of DM type 2. As a multifactorial disease, one of factors that believed to be involved in causing DM type 2 is physical activity, which defined as bodily movement produced by skeletal muscle which increases energy expenditure above basal level. This research aims to know whether there is different physical activity level between DM type 2 and non DM type 2 employees of Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Collecting data is performed by recording of the physical activity in 2 weekdays and 1 weekend through Bouchard questionnaire and anamnesis. The result of data analysis using Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no significant difference of physical activity level of the subjects (p = 0,988). According to this research, physical activity level is not the only contributing factor of DM type 2."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yogaswara
"Latar Belakang: Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh disfungsi endotel menjadi salah satu penyebab mortalitas yang cukup tinggi pada pasien Artritis Reumatoid AR. Faktor Reumatoid RF merupakan autoantibodi yang sering dijumpai pada AR dan diduga dapat meningkatkan respon inflamasi dan disfungsi endotel. Sindroma metabolik dapat pula meningkatkan disfungsi endotel. Belum ada studi yang menilai korelasi RF dengan disfungsi endotel pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 pada pasien AR tanpa sindroma metabolik.
Metode: Penelitian desain potong lintang terhadap pasien AR dewasa yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo tanpa sindroma metabolik. Pengumpulan data dilakukan sejak Februari hingga Maret 2018 dari data penelitian sebelumnya yang diambil periode Februari 2016 hingga September 2017. Kadar RF dan VCAM-1 dinilai melalui pemeriksaan serum darah dengan metode ELISA. Analisis korelasi antar kedua variabel dibuat dengan SPSS 20,0.
Hasil: Sebanyak 46 subjek diikutsertakan dalam penelitian ini. Sebagian besar 95,7 subjek adalah perempuan dengan rerata usia 44,43 tahun, median lama sakit 36 bulan, dan sebagian besar memiliki derajat aktivitas sedang 52,2. sebagian besar pasien memiliki RF positif 63. Korelasi antara kadar RF dengan kadar VCAM-1 memiliki kekuatan korelasi yang lemah tetapi tidak bermakna secara statistik r = 0,264; p = 0,076 . Subjek dengan RF positif memiliki kadar VCAM-1 yang lebih tinggi 626,89 vs 540,96 ng/mL.
Simpulan: Belum terdapat korelasi antara RF dengan VCAM-1 pada pasien Artritis Reumatoid tanpa sindroma metabolik.

Background: Cardiovascular complications caused by endothelial dysfunction become one of the highest causes of mortality in patients with Rheumatoid Arthritis RA . Rheumatoid Factor RF is an autoantibody that is commonly found in RA and is thought to increase the inflammatory response and endothelial dysfunction. Metabolic syndrome may also increase endothelial dysfunction. There have been no studies assessing correlation between RF and endothelial dysfunction in RA patients without metabolic syndrome.
Aim: To determine the correlation between RF levels with VCAM-1 levels in RA patients without metabolic syndrome.
Method: Cross sectional design study of adult AR patients treated in Rheumatology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital without metabolic syndrome. Data collection was conducted from February to March 2018 from the previous research data taken from February 2016 to September 2017. The levels of RF and VCAM-1 were assessed through blood serum testing using the ELISA method. Correlation analysis between the two variables was made with SPSS 20.0 for windows version.
Results: A total of 46 subjects were included in the study. Most 95.7 subjects were women with an average age of 44.43 years, median duration of 36 months, and most had moderate activity 52.2. Most patients had a positive RF 63. The correlation between RF levels and VCAM-1 levels had a weak correlation strength but was not statistically significant r = 0.264; p = 0.076. Subjects with RF positive had higher VCAM-1 levels 626.89 vs 540.96 ng/mL.
Conclusion: We did not found correlation between RF and VCAM-1 in Rheumatoid Arthritis patients without metabolic syndrome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Ardian Noor
"Sindrom prahaid (SPH) adalah salah satu masalah kesehatan perempuan yang semakin meningkat prevalensinya selama beberapa dekade terakhir. SPH dapat menurunkan kualitas hidup perempuan saat masa suburnya. Berbagai terapi farmakologi dan nonfarmakologi digunakan untuk mengatasi gejalanya. Aktivitas fisik telah direkomendasikan sebagai salah satu metode untuk mengurangi keparahan gejala. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa memang ada hubungan antara SPH dengan aktivitas fisik, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan data gambaran antara dua variabel tersebut.
Menggunakan desain penelitian cross-sectional peneliti ingin melihat gambaran SPH dan hubungannya dengan intensitas aktivitas fisik pada 106 mahasiswi di Fakultas Kedokeran Universitas Indonesia yang berada dalam rentang usia 15-24 tahun. Data didapatkan dari 106 responden dengan menggunakan kuesioner tervalidasi. Diagnosis SPH menggunakan kriteria dari The American College of Obstetrics and Gynecology sedangkan aktivitas fisik berdasarkan kriteria pada kuesioner Rapid Assessment of Physical Activity.
Hasil uji distribusi data 62.3% perempuan masuk ke dalam kriteria SPH dengan distribusi ringan 19.8%, sedang 29.2%, dan berat 13.2%. Nilai p Chi-Square antara kejadian SPH dengan intensitas aktivitas fisik 0.804 (p<0.050). Dilakukan penggabungan data aktivitas fisik (aktif, tidak aktif) dan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p=1.000. Sebagia kesimpulan, tidak ditemukan ada hubungan bermakna antara SPH dengan intensitas aktivitas fisik.

Premenstrual Syndrome (PMS) is one of women?s health problem with an increasing of its prevalence in recent decades. PMS has a high chance to reduce the quality of life for many women in their reproductive age. Variation of therapies has been used to eliminate the symptomps. Physical activity has been recommended as one of the treatments to reduce the severity of the symptoms. However, no clear evidence to support a relationship between PMS and physical activity, including in Indonesia. Therefore, specific data that gives picture of relationship between those variables is needed.
Using a cross-sectional design, we evaluated PMS?s distribution in 106 college students between 15-24 years old in Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia and its relationship to physical activity. Datas from respondents were assessed by validated questionnaire. Diagnostic of PMS based on The American College of Obstetrics and Gynecology criteria of PMS and Rapid Assessment of Physical Activity were used to classified the intensity of physical activity.
Distribution test shows that 62.3% women met established criteria of PMS, 19.8% with mild symptom, 29.2% moderate, and 13.2% severe. Value of p=0.804 were obtained from Chi-Square test between PMS and physical activity (p<0.050). Integration of several categories of physical activity were calculated (active, non-active) and results in p=1.000 from Kolmogorov-Smirnov test. As a conclusion, the results do not support a significant relationship between prevalent of PMS and intensity of physical activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>