Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33122 dokumen yang sesuai dengan query
cover
UI-IJIL 6 (1-4) 2008/2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pingkan Ratna Melati Santosa
"Semakin tingginya arti dari sebuah merek menjadikan merek terutama merek terkenal rentan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak ketiga. Tindakan pihak ketiga cenderung akan merugikan pemilik merek terkenal yang sebenamya. Oleh karena itu, terhadap merek terkenal diperlukan perlindungan yang memadai.
Kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah kasus pelanggaran merek Davidoff milik Davidoff Cie S.A di mana pemilik merek Davidoff yang sesungguhnya harus mengalami merek bahwa yang dimilikinya telah didaftarkan terlebih dahulu oleh NV. Sumatra Tobacco Trading Company sejak tahun 1989."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Erikson
"Skripsi ini membahas mengenai perlindungan merek terkenal dari Dilusi Merek di Indonesia. Adanya Dilusi Merek merupakan perluasan perlindungan bagi merek Terkenal. Tidak adanya pengaturan secara tegas dan khusus mengenai Dilusi Merek di Indonesia membuat adanya ketidakpastian bagi hakim dalam memutus perkara pada sengketa merek terkenal terhadap barang yang tidak sejenis. Suatu sengketa merek yang seharusnya dapat diselesaikan melalui Dilusi Merek akhirnya diselesaikan melalui Pelanggaran Merek biasa. Padahal secara nyata bahwa Dilusi Merek berbeda dengan Pelanggaran Merek pada umumnya. Sejauh ini hakim dalam memutus sengketa merek tidak sejenis menggunakan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 6 ayat (2) sendiri masih perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Ketiadaan PP sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 membuat hakim tidak memiliki pedoman yang tetap dalam memutus sengketa merek terkenal tidak sejenis. Ketentuan mengenai merek terkenal juga belum diatur secara jelas dan utuh yang merupakan salah satu unsur utama agar suatu merek dapat dilindungi dari Dilusi Merek.

This thesis discusses the protection of Well-Known mark from Trademark Dilution in Indonesia. Trademark Dilution is an extension of protection for Well-Known Mark. The absence of forcefully and specifically regulation about Trademark Dilution in Indonesia cause the uncertainty for the judge in deciding the case of well-known mark dispute especially on dissimilar goods. A trademark dispute that should have been resolved in Trademark Dilution is resolved through trademark infringement instead. Whereas, it is obvious that Trademark Infringement and Trademark Dilution are different in general. So far the judge in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods use Article 4 and Article 6, paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 about Trademark. Article 6, paragraph (2) itself still needs to be further regulated in Government Regulation. The absence of Government Regulation as mandated in Article 6 paragraph (2) of Law Number 15 of 2001 cause the judge does not have persistent guidelines in deciding well-known mark dispute on dissimilar goods. The provision about well-known mark also has not clearly defined and intact, which is one of the main elements for a mark in order that a mark can be protected under Trademark Dilution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46576
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Berlianta Ria
"ABSTRAK
Undang-undang merek yang berlaku di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan untuk mengikuti aturan-aturan Internasional yang berlaku dan mengikuti praktek-praktek bisnis masa kini. Undang-undang yang mengatur mengenai merek di Indonesia dimulai dengan " Reglement Industrieele Eigendom" lahun 1912 Si 912 Nomor 545 yang berlaku sejak tahun 1913. Setelah Indonesia merdeka, di terbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek yang diundangkan pads tanggal 11 Oktober 1961, yang berlaku efektif tanggal 11 Nopernber 1961. Kemudian Undang-Undang Nomor 19 Tabun 1992 diundangkan pada tanggal 28 Agustus 1992 dan berlaku efektif tanggal 1 April I993. Selanjutnya pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia menerbitkan UndangUndang Nomor 15 Tabun 2001 tentang Merek yang mulai berlaku pads tanggal I Agustus 2001. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 merupakan langkah maju dalam menyikapi perkembangan yang ada dan juga diharapkan sebagai upaya untuk melakukan perlindungan yang rnaksimal serta menyeluruh dalam perlindungan merek dan juga sebagai salah satu antisipasi dalam menghadapi era globalisasi perdagangan dunia.
Narnun walaupun undang-undang merek telah dilakukan perubahan dan perbaikan beberapa kali, tetapi tetap saja terjadi pelanggaran merek berupa pemalsuan, pemboncengan, penjiplakan, sehingga merugikan pemilik merek yang beritikad bank. Hal itu terlihat jelas apabila iangsung mengamati di lapangan seperti di pasar mangga besar, glodok Jakarta Pusat, dengan sangat mudah dijumpai penggunaan dan pemasaran merek merek terkenat, yang sebenamya barang tersebut adalah barang palsu dan juga tanpa hak memperdagangkan barang-barang tersebut.
Salali sate permasalahan hak merek yang mencuat dipermukaan dan akan menjadi topik bahasan dalarn Tesis ini adalah perkara antara merek terkenal yaitu merek GIORDANO versus GIORDANI yang memperoleh perlindungan untuk kelas barang yang tidak sama atau tidak dal= satu kelas. Walton International Limited pemilik merek GIORDANO sebagai Penggugat, menuding pihak GIORDANI beritikad buruk dengan membonceng ketenaran merek dari perusahaan yang berkedudukan di Cayman Islands. Pemilik merek GIORDANI adalah perusahaan asing yang berkedudukan di Luxemburg yaitu Oriflame Cosmetics SA. Merek GIORDANI telah terdaftar di Indonesia sejak Oktober 1997 dengan nomor pendaftaran 424868 dengan perlindungan kelas barang nunah tangga. Pendaflaran merek GIORDANI ini dilakukan dalam jangka waktu tidak terlalu lama dengan pendaftaran yang dilakukan oleh GIORDANO. GIORDANO telah mendaftarkan hak mereknya sejak tanggal 22 Oktober 1996, dengan nomor pendaftaran 372219.
Berdasarkan keterangan di atas, rnaka perlu adanya aturan yang jelas mengenai penolakan permohonan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya. Di sainping itu, perlu pula adanya definisi yang jelas mengenai persamaan pada pokoknya dan secara keseluruhannya agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda."
2007
T18701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah
"ABSTRAK
Kekosongan hukum Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001
tentang Merek merupakan ketentuan yang rentan menimbulkan masalah
sehingga harus segera ditetapkan oleh pemerintah. Muculnya berbagai masalah
merek terkenal jauh sebelum undang-undang ini berlaku juga disebabkan oleh
kekosongan hukum Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1992 tentang Merek
karena Pasal tersebut mengamanatkan lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang perlindungan merek terkenal terhadap barang dan atau
jasa yang tidak sejenis. Akibatnya, pengertian dan kriteria merek terkenal serta
pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai barang dan jasa tidak sejenis
apakah mencakup barang-barang yang berbeda kelas barang belum dapat
diketahui secara pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya
karena untuk menentukan keterkenalan suatu merek sangat tergantung pada
penilaian Hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Padahal sistem Peradilan di
Indonesia tidak menganut azas precedent dimana Hakim tidak diharuskan untuk
mengikuti putusan-putusan Hakim sebelumnya bahkan untuk sengketa yang
sama atau mirip. Walaupun bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen
internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial
Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rghts, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs),
tetapi semua ketentuan yang terdapat didalamnya juga tidak memberikan
pengertian yang jelas dan lengkap mengenai perlindungan terhadap barang yang
tidak sejenis. Ketentuan ini juga memberikan kebebasan kepada setiap negara
anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya
masing-masingg. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada
akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim maupun Direktorat Jenderal
HKI. Ketentuan Pasal 16 ayat (3) TRIPs yang menerapkan Pasal 6 Bis Konvensi
Paris secara mutatis mutandis dapat diartikan sebagai perluasan perlindungan
hukum Hak Atas Merek Terkenal untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis."
2012
T30679
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Astari Fadhila Rahmani
"Hukum pelindungan merek di Indonesia telah mengatur mengenai merek terkenal sejak tahun 1992. Sejak saat itu pula, terdapat suatu ketentuan dalam undang-undang yang melarang nama orang terkenal untuk didaftarkan sebagai merek di Indonesia. Namun, hingga saat keberlakuan undang-undang merek terbaru tahun 2016, belum ada penjelasan mengenai definisi dari kualifikasi "orang terkenal" tersebut, meskipun telah banyak terdapat merek-merek yang merupakan nama orang di Indonesia maupun negara-negara lainnya. Merek terkenal dan merek yang merupakan nama orang terkenal pun seringkali beririsan satu sama lain. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan besar dalam kasus sengketa merek "Pierre Cardin", yang kemudian menimbulkan pertanyaan tentang apakah merek "Pierre Cardin" sebagai merek terkenal asing yang merupakan nama orang dilindungi di Indonesia sesuai undang-undang yang berlaku.

The law of trademark protection in Indonesia has regulated the protection of well known marks since 1992. Since then, the law also regulated the prohibition to register a trademark using well known person rsquo s names in Indonesia. However, until the latest trademark law was enforced in 2016, there has been no explanation by the law regarding the definition of a "well known person", despite the vast use of marks using person's names in Indonesia and other countries. This caused a major problem in the case of "Pierre Cardin" trademark dispute, which then raised a question regarding the protection of the trademark as a foreign well known mark that uses a well known person's name in Indonesia, according to the governing law. This research is aimed to analyze the problem on the basis of the related regulation in the trademark law that was enforced in Indonesia at the time of the dispute, which was Law No. 15 of 2001, using the normative juridical method through a descriptive typology. It is concluded from the research that the trademark Pierre Cardin is not protected in Indonesia according to the court judgement which was influenced by factors related to the governing law and the court proceedings."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teofilus Edbert
"Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 41 ayat (8) yang dimaksud dengan pengalihan hak atas suatu Merek telah selesai hal ini dimungkinkan untuk dilakukan meskipun tanda tersebut masih ada dalam tahap pendaftaran. Ini menunjukkan bahwa pengalihan dapat terjadi meskipun hak atas merek belum ada, mengingat hak atas merek baru telah muncul setelah Merek yang bersangkutan didaftarkan dan disebut sebagai merek terdaftar. Padahal, menurut Pasal 584 KUHP Hukum perdata untuk mentransfer barang, seseorang harus memilikinya
kewenangan atas benda-benda tersebut terlebih dahulu, dan menurut Pasal 1320 salah satunya Keabsahan perjanjian adalah adanya "hal tertentu" atau objek yang jelas yang seharusnya tidak dipenuhi oleh merek yang masih dalam taraf Registrasi. Sekilas transfer seperti ini mirip dengan Preliminary Agreement Jual Beli atau PPJB yang dilakukan untuk jual beli rumah yang belum selesai dibangun dibangun di. Tesis ini membahas latar belakang berlakunya Pasal 41 ayat (8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan menganalisis bagaimana artikel ini dapat digunakan di Indonesia juga memberikan perbandingan antara pasal ini dengan PPJB yang sudah berlaku sejak lama di Indonesia.

With the enactment of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indication Article 41 paragraph (8), which means that the transfer of rights to a Mark has been completed, is possible to do this even though the sign is still in the registration stage. This indicates that the transfer can occur even though the right to a mark does not yet exist, considering that the right to a new mark has emerged after the Mark concerned has been registered and is called a registered mark. In fact, according to Article 584 of the Criminal Code Civil law to transfer goods, someone must own it authority over the said objects first, and according to Article 1320, one of the validity of the agreement is the existence of "certain things" or clear objects which should not have been fulfilled by a mark which is still in the registration stage. At first glance, a transfer like this is similar to a Preliminary Sale and Purchase Agreement or PPJB which is carried out to buy and sell a house that has not yet been built in. This thesis discusses the background to the enactment of Article 41 paragraph (8) of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications and analyzes how this article can be used in Indonesia and also provides a comparison between this article and the PPJB which has been in effect for a long time in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asgar Hasrat Sjarfi
"Skripsi ini membahas tentang bagaimana kriteria atau etiket merek yang digunakan tidak sesuai dengan yang didaftarkan sehingga berakibat pada dilakukannya penghapusan merek oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ketentuan mengenai etiket merek ada pada pasal 61 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Ketidaksesuaian dalam penggunaan meliputi ketidaksesuaian dalam bentuk penulisan kata atau huruf atau ke tidak sesuaian dalam penggunaan warna yang berbeda. Tulisan "Agar-Agar Powder" dengan gambar piring berisi Ager-Ager warna-warni disertai tulisan Kanzi, yang artinya : "Agar-Agar" adalah bukan termasuk pengertian merek dikarenakan sesuai dengan pasal Pasal 5 huruf d UU No. 15 Tahun 2001 Unsur yang merupakan keterangan atas barang atau jasa, tidak dapat digunakan sebagai merek.
Permasalahan yang dibahas dalam kasus ini adalah Bagaimanakah kriteria untuk menilai merek yang digunakan tidak sesuai dengan yang didaftarkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan mengenai kedudukan Putusan Hakim dalam Kasus Gugatan Penghapusan Merek yang penulis berpendapat kurang tepat dalam putusannya. Dalam kasus ini, pertimbangan hakim hakim pengadilan niaga sampai pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali juga cenderung tidak menjalankan prinsip keadilan dalam mempertimbangkan putusannya terkait dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Pihak Tergugat yang jelas-jelas sebagai pemegang merek terdaftar yang wajib dilindungi secara hukum. Tulisan ini dibuat berdasarkan dibuat dengan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa sebaiknya unsur kemasan dengan warna kemasan dimasukkan dalam menentukan kriteria merek atau memang dilakukan penegasan dalam undang-undang merek ke dapan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam kategori dalam menentukan etiket merek. Sehingga keberadaan warna yang melekat pada kemasan memang tidak menjadi persoalan lagi. Selain itu, sebaiknya para hakim berpedoman pada Undang-Undang Merek dalam memutuskan perkara. Hal ini penting, mengingat keberadaan hakim sebagai pemberi keadilan. Selanjutnya Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris dari World Intellectual Property Organization (WIPO) seharusnya menerapkan dan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada konvensi tersebut, khususnya Pasal 10 bis Konvensi Paris terhadap tindakantindakan unfair competition yang dapat menimbulkan persaingan curang.

This thesis discusses about how the criteria used or brand labels do not match those registered to do so resulted in the elimination of brands by the Central Jakarta Commercial Court. Provisions on the brand label is on Article 61 paragraph (2) letter b of Law Number 15 Year 2001 About the Brand. Incompatibility in use include mismatches in the form of writing words or letters or to the inappropriate use of a different color. Agar-Agar writings Powder "with the image plate of Agar-Agar colors accompanied by a written Kanzi, which means:" Ager-Ager is not included due to the understanding of the brand in accordance with clause d of Article 5 of Law No. 15 Year in 2001. Element is a description of the goods or services, can not be used as a trademark. The topic is related also to the legal protection of registered trademark holders as part of the implementation of the provisions of Article 3 of Law Number 15 Year 2001 about The Brand in order to provide legal l certainty in relation to the obligation to protect trademark holders in one of two rights his base deed of grant or contract based on brand usage.
Issue to be discussed in this case is How criteria used to assess the brand does not match that registered according to Law Number 15 Year 2001 About the Brand and of the position of Justice ruling in Case of Removal Trademark Lawsuit authors argue that less accurate in their decision. In this case, the judge considered the commercial court judges to courts of appeal and judicial review also tend not to follow the principle of fairness in considering the decision relating to the evidence submitted by the Party Defendants clearly as the holder of a registered mark shall be protected by law. This paper is based on library research methods was made with the character of juridical normative.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24744
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khadijah Zena Septyorini
"ABSTRAK
Perlindungan merek terkenal adalah mandat dari hukum dan komitmen dalam perdagangan internasional yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Kriteria yang sering digunakan dalam menentukan suatu merek sebagai merek terkenal adalah promosi merek tersebut. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan pada penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf UU No.20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis dan Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 67 tahun 2016 tentang Registrasi Merek Dagang . Promosi merek yang dilakukan oleh pemilik merek tentunya membutuhkan pengorbanan waktu, energi, dan bukan jumlah yang kecil, jadi tentu saja sang Hakim perlu mempertimbangkannya. Namun, tidak ada peraturan atau penjelasan lebih lanjut tentang penerapan kriteria merek terkenal. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian dalam menerapkan kriteria merek terkenal dalam sengketa merek dagang. Tesis ini menganalisis regulasi dan penerapan promosi merek sebagai kriteria merek terkenal dalam perselisihan merek terkenal. Tesis ini menemukan bahwa masih belum ada standardisasi untuk memeriksa bukti dari kriteria merek terkenal, terutama promosi merek. Oleh karena itu, tesis ini memberikan masukan kepada regulator mengenai regulasi promosi merek sebagai kriteria merek terkenal dan bagi hakim untuk menerapkannya dalam sengketa merek terkenal.

Abstract
Protection of famous brands is a mandate from the law and commitment in international trade that must be fulfilled by Indonesia. The criteria that are often used in determining a brand as a well-known brand is the promotion of that brand. This can be concluded based on the explanation of Article 21 paragraph (1) letter of Law No.20 of 2016 concerning Trade Marks and Geographical Indications and Article 18 of the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 67 of 2016 concerning Trademark Registration. Brand promotion carried out by the brand owner certainly requires a sacrifice of time, energy, and not a small amount, so of course the Judge needs to consider it. However, there are no regulations or further explanation regarding the application of well-known brand criteria. This results in uncertainty in applying well-known brand criteria in trademark disputes. This thesis analyzes the regulation and application of brand promotion as criteria for well-known brands in disputes of famous brands. This thesis finds that there is still no standardization to examine evidence of well-known brand criteria, especially brand promotion. Therefore, this thesis provides input to regulators regarding the regulation of brand promotion as a criterion for well-known brands and for judges to apply them in disputed famous brands."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>